“Nyonya,” panggil Brant yang merupakan detektif yang disewa oleh Ivana.
Ivana berjalan mendekatinya dan mengambil duduk di hadapan pria itu.
“Bagaimana, apa ada perkembangan dari penyelidikanmu?” tanya Ivana tanpa basa-basi.
Brant terdiam beberapa saat di sana. “Entah hanya kecurigaanku atau apa. Tapi, pergerakanku seakan di awasi, bahkan aku datang ke sini pun harus dengan cara sembunyi-sembunyi,” jelas Brant membuat Ivana terdiam beberapa saat. Dia jadi teringat bagaimana Arsenio berkata mengenai detektif sewaannya.
“Saya curiga kalau ada yang membocorkan atau mengawasi gerak-gerik anda, Nyonya. Makanya, orang itu langsung tau kalau sedang di selidiki latar belakangnya. Hingga saat ini, saya tidak mendapatkan bukti apa pun, termasuk orang tuanya yang beralamat di Alamat yang anda berikan saat itu. Rumah itu kosong,” ucap Brant membuat Ivana tertegun di sana.
“Aku sudah menduga, ada mata-mata di dekatku. Kalau dia tau kamu yang aku sewa menjadi detektif untuk mencari tau identitas aslinya, berarti orang yang mungkin membocorkan hal ini-“ Ivana terdiam beberapa saat. “Anna?” batin Ivana.
Ivana sangat ingat kalau yang tau dia menyewa detektif adalah Anna, karena dia yang di minta untuk mencari Detektif. Tunggu? Kalau mungkin Brant juga adalah salah satu orang suruhan Arsenio, berarti ini jebakan.
“Maaf, aku harus pergi sekarang!” ucap Ivana bangkit dari duduknya.
“Kenapa buru-buru, Nyonya? Kita belum membahas masalah yang saya selidiki,” ucap Brant terkejut dengan sikap Ivana.
“Aku ingin kamu berhenti menyelidiki pria itu. Sudah cukup sampai di sini,” ucap Ivana dengan tegas.
“Tapi Nyonya. Saya sudah dibayar full, bagaimana mungkin saya berhenti di tengah jalan?” tanya Brant. “Kali ini saya akan berusaha lagi menyelidikinya.”
“Tidak. Sudah cukup! Anggap saja, semua biaya itu bonus untukmu,” ucap Ivana bergegas pergi dari sana.
Baru saja, dia akan keluar dari restoran itu, dia melihat Arsenio sedang berjalan ke arah restoran itu.
“Sial! Sudah aku duga ini jebakan,” gumam Ivana berlari ke arah belakang restoran. Sebelum benar-benar pergi, Ivana bersembunyi di salah satu dinding dan mengintip ke mana Arsenio pergi.
Sesuai dugaan, Arsenio berjalan mendekati Brant, dan mereka mulai berbincang dengan serius di sana, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang sejenak. Ivana, yang dari posisi persembunyiannya hanya bisa memperhatikan, merasakan ada yang berbeda dalam cara Brant berbicara. Tidak ada tanda-tanda ketegangan atau pertikaian di wajah mereka, malah sepertinya, Brant lebih terlihat seperti orang yang sedang menyampaikan laporan penting. Meskipun suara mereka tidak sampai ke telinganya, Ivana bisa menebak dari gerak-gerik mereka berdua.
“Jadi aku benar-benar ditipu dan dibodohi selama ini. Anna dan Brant, mereka adalah orang suruhan Arsenio, pantas saja, tidak ada hasil dari penyelidikan Brant selama ini. Ternyata mereka hanya terus membodohiku,” batin Ivana benar-benar merasa geram sekaligus kesal bukan main. Hidupnya seakan dipermainkan dengan sempurna oleh suaminya, Arsenio.
Dengan bergerak cepat, Ivana pergi dari sana melalui jalan belakang restoran, dia bergegas menuju mobilnya.
Ivana hendak masuk ke dalam mobilnya tetapi seseorang menahan pintu itu.
“Mau ke mana, kamu?” suara bariton itu membuat Ivana terkejut. Dia menoleh ke sumber suara dan ternyata itu adalah Arsenio yang sudah berdiri di sana. “Mau sampai kapan kamu berlari dariku, Ivana?”
“Lepaskan aku!” pinta Ivana dengan tatapan tajam.
“Kamu pikir, aku akan melepaskan tanganmu begitu saja? Ikut denganku pulang ke rumah, berhenti bersikap kekanakan!” ucap Arsenio.
“Bersikap kekanakan katamu? Sampai kapan kamu akan membodohiku, Arsen?” tanya Ivana menatap tajam pria di depannya.
“Kita bisa bicarakan hal ini. Apa dengan kamu kabur-kaburan dan terus menghindariku, masalah ini akan selesai?” tanya Arsenio penuh penekanan.
“Aku tidak mau bicara lagi denganmu. Aku akan segera mengurus perceraian kita, jadi berhentilah menggangguku!” ucap Ivana.
Beberapa orang yang melewat, melihat ke arah mereka berdua dengan tatapan penasaran dengan keributan yang terjadi di sana.
“Kamu akan menyesal kalau terus keras kepala seperti ini, Ivana!” ucap Arsenio penuh penekanan.
“Menyesal? Justru, aku sangat menyesal karena hidup bersamamu!” ucap Ivana penuh penekanan membuat Arsenio tertegun di sana dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Dengar Arsenio. Aku sudah muak terus dibodohi seperti ini. Entah apa yang kamu rencanakan di belakangku. Yang jelas aku mulai terganggu dengan keberadaanmu dan semua hal yang berhubungan denganmu!”
Degh!
Arsenio benar-benar terkejut dengan apa yang di katakana Ivana di sana.
Tiba-tiba saja Arsenio terkekeh membuat Ivana mengernyitkan dahinya di sana.
“Baiklah, aku tidak akan berpura-pura lagi kali ini,” ucap Arsen semakin kuat mencengkeram lengan Ivana membuatnya kesakitan.
“Kamu muak dan merasa terganggu dengan keberadaanku?” bisik Arsenio. “Tapi, aku tidak akan pernah pergi dari hidupmu! Ivana, kamu akan terus berhubungan denganku, suka maupun tidak, aku akan membuatmu semakin muak, tetapi tidak bisa lepas dariku. Camkan itu!”
Ivana menatap Arsen dengan tatapan nanar dan menahan kesakitan di lengannya. Pria di hadapannya benar-benar semakin asing. Semakin dia menunjukkan sikap aslinya, semakin Ivana tidak mengenalinya. Ternyata sosok suami yang perhatian, hangat dan bersikap manis, hanya topeng yang meracuni Ivana. Kini racun itu sudah bekerja dan mulai menggerogoti tubuh dan hati Ivana.
“Aku memberimu kesempatan terakhir, Ivana. Pulanglah ke rumah, kalau tidak ingin terjadi sesuatu pada Ayahmu.”
Degh!
Tatapan Ivana semakin melebar mendengar ancaman dari Arsen barusan. Pria itu melepaskan cengkeramannya dan beranjak pergi meninggalkan Ivana yang mematung di tempatnya.
"Kenyataannya, baik di masa depan maupun sekarang, aku masih tidak memiliki kekuatan untuk melawan Arsen. Lalu, kalau hasilnya tetap sama, untuk apa aku diberi kesempatan kembali ke masa lalu. Apa yang harus aku perbaiki dengan kembali ke masa lalu?” batin Ivana merasa hatinya sakit seakan diremas-remas oleh tangan tidak kasat mata.
***
“Ivana? Kamu ini ke mana saja?” Joseph langsung menyapa Ivana yang baru saja sampai di rumahnya. Dia terpaksa kembali pulang karena mengkhawatirkan keadaan Ayahnya.
Di saat bersamaan, mobil Arsen datang dan berhenti di sana. Ivana dan Joseph melihat ke arah mobil Arsen yang sudah berhenti di sana dan sang empu menuruni mobilnya.
“Kamu juga sudah pulang, Arsen?” tanya Joseph.
“Iya, Ayah. Akhirnya Ivana mau pulang,” ucap Arsen.
“Kalian ini. Kalau ada masalah segera selesaikan. Dan kamu Ivana, kalau ada masalah jangan menghindar dan lari dari masalah. Bicarakan dan diskusikan masalahmu dengan suamimu, jangan mengambil keputusan bodoh lagi,” ucap Joseph tersenyum di sana.
“Baiklah, Ayah akan masuk duluan, kalian baik-baiklah. Arsen, bujuklah istrimu,” ucap Joseph.
“Iya, Ayah.”
Joseph pun membawa langkahnya memasuki rumah besar itu, meninggalkan Ivana dan Arsen di sana.
“Keputusan yang bagus, Sayang.” Arsen tersenyum puas di sana walau Ivana hanya menunjukkan ekspresi datarnya. “Kalau begitu, ayo kita masuk.”
Arsen merengkuh pinggang Ivana dan menggiring Ivana masuk ke dalam rumah. Walau wanita itu berusaha bergerak menjauh dan melepaskan pelukannya, Arsen tetap memaksa untuk merengkuh pinggang Ivana dan membuat wanita itu berjalan di dekatnya.
***
“Akhirnya, aku tetap tidak bisa melakukan apa pun. Baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang,” gumam Ivana menatap nyalang keluar jendela. Ivana yakin, Arsen sudah mengendalikan semuanya dalam waktu dua tahun ini, dia pasti sudah mempersiapkan semuanya dengan matang untuk memetik hasilnya tahun depan, seperti yang terjadi di kehidupan sebelumnya. Ivana memejamkan matanya dan menarik napas di sana. “Kalau memang aku tetap jatuh dalam perangkap dan tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk apa aku kembali ke masa lalu? Kesempatan kedua ini sebenarnya untuk apa kalau aku masih tidak bisa melawan dan menghentikan rencana Arsen?” batin Ivana. Kepalanya berpikir dengan keras memikirkan semua hal yang terjadi padanya. Dia sendiri masih belum mendapat jawaban dari semua pertanyaannya. Kenapa Arsen melakukan semua ini padanya dan keluarganya. Kenapa Arsen berkata kalau keluarganya dibantai oleh Ayah Ivana. Padahal Ivana sangat mengenal Ayahnya lebih dari
“Dia sudah gila!” keluh Ivana saat masuk ke dalam kamarnya sambil menghembuskan napas kasar. “Bisa-bisanya dia berkata masalah bayi dan program hamil.” Kedua mata Ivana berkaca-kaca saat dia terduduk di sisi ranjang, mengingat kembali serangkaian peristiwa menyakitkan yang terjadi dalam hidupnya. Di kehidupan sebelumnya saat dia menjalani program hamil, harapannya begitu tinggi; merasakan jantung kecil yang berdetak di dalam perutnya adalah sebuah kebahagiaan yang tak ternilai. Namun, semua impian itu sirna dengan cepat ketika Arsen, meninggalkannya begitu saja di tengah keramaian sebuah pesta. Betapa hancurnya hati Ivana saat itu, merasa diabaikan dan ditinggalkan di saat-saat yang paling krusial. Saat itulah, kehidupan yang sudah penuh harapan itu harus runtuh, dan kehadiran janin dalam perutnya pun tak berdaya untuk bertahan. Keguguran itu menjadi lebih dari sekadar kehilangan; itu adalah perasaan dikhianati oleh orang-orang di sekelilingnya,
“Ivana, bagaimana keadaanmu?” tanya seorang pria paruh baya yang baru saja tiba di kediaman Clover. “Pa-paman?” Ivana cukup terkejut melihat Freddy Clover, adik dari Joseph Clover, ayah dari Ivana. “ … Apa kabar, Paman?” tanya Ivana tertegun melihat kepulangan Pamannya yang sangat mendadak. “Tentu saja, Paman selalu baik, seperti yang kamu lihat,” ucap Freddy terkekeh di sana. Ivana teringat saat menonton rekaman video saat Arsen dengan kejam membunuh Freddy setelah menyiksanya. “Hei, kenapa?” tanya Freddy saat melihat air mata Ivana luruh membasahi pipinya begitu saja. Freddy yang sebelumnya memang begitu dekat dengan Ivana. Bahkan Freddy sangat dekat dengan Ivana disbanding Joseph. Saat kecil, Freddy yang sering menghabiskan waktu dengan Ivana. “Oh?” dengan cepat, Ivana menyeka air matanya. “Sepertinya aku terlalu senang melihat Paman pulang,” jawab Ivana. “Kamu pasti sangat merindukan Paman, bukan?” kek
“Ana, aku akan makan siang diluar dan akan terlambat kembali ke kantor. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku,” ucap Ivana saat keluar dari ruangan nya. “Oh, apa anda akan kembali ke kantor, Bu?” tanya Ana. Ivana terdiam beberapa saat di sana. “Sepertinya, aku tidak kembali ke kantor. Kalau sudah tidak ada pekerjaan, kamu bisa langsung pulang,” jawab Ivana. “Baik, Bu.” Setelah mengatakan hal itu, Ivana pun berlalu pergi meninggalkan kantor. Ivana yakin, Ana akan langsung melaporkannya pada Arsenio. Ivana memandang sekeliling lobi kantor dengan hati-hati sebelum melangkah keluar. Jantungnya berdebar kencang, napasnya terasa berat. Ketika taksi yang dia pesan meluncur perlahan mendekat, dia segera masuk dan menutup pintu dengan cepat. “Ke restoran Bertand," ucapnya kepada sopir dengan suara yang berusaha terdengar tenang. “Baik, Bu.” Setelah memastikan tak ada yang mencurigakan, Ivana segera mer
“Lama tak bertemu, Ivana?” ucap Alex di mana mereka masih berdiri berhadapan. “... Ya,” jawab Ivana. Wanita itu menyangka kalau dia akan bertemu dengan Alex di sini. Setelah hampir 3 tahun tidak bertemu. “Bagaimana kabarmu?” tanya Alex. “Kabarku baik. Bagaimana denganmu?” tanya Ivana. “Ya, seperti yang kamu lihat. Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi di sini,” ucap Alex. “Sudah lama sekali sejak pembatalan itu. Kamu semakin cantik saja, Ivana.” Ivana tersenyum kecil di sana. “Terima kasih, Alex.” “Apa aku bisa menyimpan nomormu?” tanya Alex. “Untuk apa?” tanya Ivana masih menatap Alex dengan penuh kewaspadaan. Bukan karena takut Alex menyakitinya, dia hanya tidak ingin menyakiti pria itu lagi setelah apa yang pernah terjadi di masa lalu. Dan Ivana juga takut kalau mungkin Arsen sedang mengawasinya tanpa dia tahu. “Mungkin kita akan jadi sering bertemu ke depannya,” ucap Alex
“Aku mencintaimu .... “ Kalimat itu terus mengusik pikiran Ivana. Hatinya selalu saja bergetar setiap mendengar ungkapan cinta yang dilontarkan Arsen terhadapnya. “Huft!” dia menghembuskan napasnya kasar. “Apalagi yang kamu harapkan Ivana, sadarlah. Jangan lemah dan lengah lagi karena ungkapan perasaannya, dia hanya sedang mencoba mengambil hatimu kembali,” batinnya. “Aku tidak boleh terpancing,” gumamnya. “Ivana!” panggilan itu menyadarkan lamunan Ivana. Wanita itu menengadahkan kepalanya dan melihat Freddy datang bersama Alex di sana, dan jelas itu mengejutkan Ivana. “A-apa maksudnya ini, Paman? Kenapa Paman membawanya?” tanya Ivana terlihat kebingungan. “Sudah aku katakan, kalau kita pasti akan bertemu lagi dan menjadi sering berinteraksi,” ucap Alex dengan senyuman manisnya. “Mengenai proposal yang Paman berikan padamu kemarin. Proyek itu di bawah tanggung jawab Alex,” ucap Freddy mengejutkan Ivana di
“Tidak. Aku tidak pernah sekalipun mencintainya.” “Iya, aku sudah duga sih, tapi toh rasanya tetap susah menerima kenyataan ini,” pikir Ivana sambil terus memutar rekaman suara Arsen mengungkapkan kejujurannya. Kata-kata tajam yang pria itu ucapkan, seolah berulang kali menghantam hati Ivana bagaikan gelombang yang tak mau surut. Di balik pintu yang terkunci, Ivana merasa seolah seluruh dunia sedang berputar, sementara dia terjebak di dalam rasa sakit yang seolah tiada akhir. Dia hanya ingin sendirian, untuk merenungkan semua yang telah terjadi. Hubungan yang dia anggap penuh cinta tiba-tiba saja hancur hanya karena sebuah pengakuan mengecewakan. Tatapan kosongnya menembus kaca jendela, melihat ke arah jalanan di luar yang tak jelas, di mana keramaian dan kebahagiaan orang lain seolah menjadi kontras yang menyedihkan dengan kesepiannya saat ini. Air mata mulai menetes perlahan, dia tidak tahu harus bagaimana mengatasi rasa sakit ini dan bertanya
Tok! Tok! Tok! “Ayah, ini aku.” Joseph yang sedang duduk di atas ranjang membaca buku pun menghentikan aktivitasnya. “Masuklah, Ivana. Pintunya tidak di kunci,” ucap Joseph. Pintu tiba-tiba terbuka, dan Joseph melihat sosok Ivana berdiri di sana. Meski hari sudah larut, kedatangan putrinya membuatnya penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi? Ivana melangkah mendekatinya dengan wajah yang tampaknya serius. Dengan rasa ingin tahu, Joseph meletakkan bukunya di atas meja nakas sambil dengan santai melepaskan kacamata bacanya. Mungkin ada sesuatu yang penting yang ingin Ivana sampaikan, pikirnya. “Ayah belum tidur?” tanya Ivana mengambil duduk di sisi ranjang berhadapan dengan Joseph. “Ayah masih membaca buku. Kamu sendiri, kenapa belum tidur?” tanya Joseph menatap putrinya yang terlihat sendu dan wajahnya terlihat pucat. “Ada apa, Nak? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Joseph. Ivana terdiam beberapa saat dan menar