“Dia sudah gila!” keluh Ivana saat masuk ke dalam kamarnya sambil menghembuskan napas kasar. “Bisa-bisanya dia berkata masalah bayi dan program hamil.” Kedua mata Ivana berkaca-kaca saat dia terduduk di sisi ranjang, mengingat kembali serangkaian peristiwa menyakitkan yang terjadi dalam hidupnya. Di kehidupan sebelumnya saat dia menjalani program hamil, harapannya begitu tinggi; merasakan jantung kecil yang berdetak di dalam perutnya adalah sebuah kebahagiaan yang tak ternilai. Namun, semua impian itu sirna dengan cepat ketika Arsen, meninggalkannya begitu saja di tengah keramaian sebuah pesta. Betapa hancurnya hati Ivana saat itu, merasa diabaikan dan ditinggalkan di saat-saat yang paling krusial. Saat itulah, kehidupan yang sudah penuh harapan itu harus runtuh, dan kehadiran janin dalam perutnya pun tak berdaya untuk bertahan. Keguguran itu menjadi lebih dari sekadar kehilangan; itu adalah perasaan dikhianati oleh orang-orang di sekelilingnya,
“Ivana, bagaimana keadaanmu?” tanya seorang pria paruh baya yang baru saja tiba di kediaman Clover. “Pa-paman?” Ivana cukup terkejut melihat Freddy Clover, adik dari Joseph Clover, ayah dari Ivana. “ … Apa kabar, Paman?” tanya Ivana tertegun melihat kepulangan Pamannya yang sangat mendadak. “Tentu saja, Paman selalu baik, seperti yang kamu lihat,” ucap Freddy terkekeh di sana. Ivana teringat saat menonton rekaman video saat Arsen dengan kejam membunuh Freddy setelah menyiksanya. “Hei, kenapa?” tanya Freddy saat melihat air mata Ivana luruh membasahi pipinya begitu saja. Freddy yang sebelumnya memang begitu dekat dengan Ivana. Bahkan Freddy sangat dekat dengan Ivana disbanding Joseph. Saat kecil, Freddy yang sering menghabiskan waktu dengan Ivana. “Oh?” dengan cepat, Ivana menyeka air matanya. “Sepertinya aku terlalu senang melihat Paman pulang,” jawab Ivana. “Kamu pasti sangat merindukan Paman, bukan?” kek
“Ana, aku akan makan siang diluar dan akan terlambat kembali ke kantor. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku,” ucap Ivana saat keluar dari ruangan nya. “Oh, apa anda akan kembali ke kantor, Bu?” tanya Ana. Ivana terdiam beberapa saat di sana. “Sepertinya, aku tidak kembali ke kantor. Kalau sudah tidak ada pekerjaan, kamu bisa langsung pulang,” jawab Ivana. “Baik, Bu.” Setelah mengatakan hal itu, Ivana pun berlalu pergi meninggalkan kantor. Ivana yakin, Ana akan langsung melaporkannya pada Arsenio. Ivana memandang sekeliling lobi kantor dengan hati-hati sebelum melangkah keluar. Jantungnya berdebar kencang, napasnya terasa berat. Ketika taksi yang dia pesan meluncur perlahan mendekat, dia segera masuk dan menutup pintu dengan cepat. “Ke restoran Bertand," ucapnya kepada sopir dengan suara yang berusaha terdengar tenang. “Baik, Bu.” Setelah memastikan tak ada yang mencurigakan, Ivana segera mer
“Lama tak bertemu, Ivana?” ucap Alex di mana mereka masih berdiri berhadapan. “... Ya,” jawab Ivana. Wanita itu menyangka kalau dia akan bertemu dengan Alex di sini. Setelah hampir 3 tahun tidak bertemu. “Bagaimana kabarmu?” tanya Alex. “Kabarku baik. Bagaimana denganmu?” tanya Ivana. “Ya, seperti yang kamu lihat. Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi di sini,” ucap Alex. “Sudah lama sekali sejak pembatalan itu. Kamu semakin cantik saja, Ivana.” Ivana tersenyum kecil di sana. “Terima kasih, Alex.” “Apa aku bisa menyimpan nomormu?” tanya Alex. “Untuk apa?” tanya Ivana masih menatap Alex dengan penuh kewaspadaan. Bukan karena takut Alex menyakitinya, dia hanya tidak ingin menyakiti pria itu lagi setelah apa yang pernah terjadi di masa lalu. Dan Ivana juga takut kalau mungkin Arsen sedang mengawasinya tanpa dia tahu. “Mungkin kita akan jadi sering bertemu ke depannya,” ucap Alex
“Aku mencintaimu .... “ Kalimat itu terus mengusik pikiran Ivana. Hatinya selalu saja bergetar setiap mendengar ungkapan cinta yang dilontarkan Arsen terhadapnya. “Huft!” dia menghembuskan napasnya kasar. “Apalagi yang kamu harapkan Ivana, sadarlah. Jangan lemah dan lengah lagi karena ungkapan perasaannya, dia hanya sedang mencoba mengambil hatimu kembali,” batinnya. “Aku tidak boleh terpancing,” gumamnya. “Ivana!” panggilan itu menyadarkan lamunan Ivana. Wanita itu menengadahkan kepalanya dan melihat Freddy datang bersama Alex di sana, dan jelas itu mengejutkan Ivana. “A-apa maksudnya ini, Paman? Kenapa Paman membawanya?” tanya Ivana terlihat kebingungan. “Sudah aku katakan, kalau kita pasti akan bertemu lagi dan menjadi sering berinteraksi,” ucap Alex dengan senyuman manisnya. “Mengenai proposal yang Paman berikan padamu kemarin. Proyek itu di bawah tanggung jawab Alex,” ucap Freddy mengejutkan Ivana di
“Tidak. Aku tidak pernah sekalipun mencintainya.” “Iya, aku sudah duga sih, tapi toh rasanya tetap susah menerima kenyataan ini,” pikir Ivana sambil terus memutar rekaman suara Arsen mengungkapkan kejujurannya. Kata-kata tajam yang pria itu ucapkan, seolah berulang kali menghantam hati Ivana bagaikan gelombang yang tak mau surut. Di balik pintu yang terkunci, Ivana merasa seolah seluruh dunia sedang berputar, sementara dia terjebak di dalam rasa sakit yang seolah tiada akhir. Dia hanya ingin sendirian, untuk merenungkan semua yang telah terjadi. Hubungan yang dia anggap penuh cinta tiba-tiba saja hancur hanya karena sebuah pengakuan mengecewakan. Tatapan kosongnya menembus kaca jendela, melihat ke arah jalanan di luar yang tak jelas, di mana keramaian dan kebahagiaan orang lain seolah menjadi kontras yang menyedihkan dengan kesepiannya saat ini. Air mata mulai menetes perlahan, dia tidak tahu harus bagaimana mengatasi rasa sakit ini dan bertanya
Tok! Tok! Tok! “Ayah, ini aku.” Joseph yang sedang duduk di atas ranjang membaca buku pun menghentikan aktivitasnya. “Masuklah, Ivana. Pintunya tidak di kunci,” ucap Joseph. Pintu tiba-tiba terbuka, dan Joseph melihat sosok Ivana berdiri di sana. Meski hari sudah larut, kedatangan putrinya membuatnya penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi? Ivana melangkah mendekatinya dengan wajah yang tampaknya serius. Dengan rasa ingin tahu, Joseph meletakkan bukunya di atas meja nakas sambil dengan santai melepaskan kacamata bacanya. Mungkin ada sesuatu yang penting yang ingin Ivana sampaikan, pikirnya. “Ayah belum tidur?” tanya Ivana mengambil duduk di sisi ranjang berhadapan dengan Joseph. “Ayah masih membaca buku. Kamu sendiri, kenapa belum tidur?” tanya Joseph menatap putrinya yang terlihat sendu dan wajahnya terlihat pucat. “Ada apa, Nak? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Joseph. Ivana terdiam beberapa saat dan menar
“Kamu akan berangkat sekarang ke pengadilan?” tanya Joseph saat berpapasan dengan Ivana di mansion mereka. “Iya, Ayah,” jawab Ivana. “Ivana, apa kamu sungguh baik-baik saja?” tanya Joseph menatap putrinya dengan penuh kekhawatiran. “Ya, Ayah. Aku baik-baik saja,” jawab Ivana. “Sebenarnya, Ayah ingin bicara terlebih dulu dengan Arsen, ada apa sebenarnya dengan kalian. Tapi kamu terus melarang Ayah bicara dengannya,” ucap Joseph benar-benar bingung dan masih belum bisa memahami putrinya. “Ini yang terbaik, Ayah. Aku akan menjelaskannya suatu saat nanti. Ayah percaya padaku, bukan?” tanya Ivana. “Tentu saja. Ayah percaya padamu, Ayah hanya khawatir kamu akan terluka,” ucap Joseph menatap putrinya dengan tatapan sendu. “Aku yakin aku akan baik-baik saja,” jawab Ivana. “Baiklah, sepertinya pengacaramu sudah datang menjemput. Ayah akan tunggu kabar darimu,” ucap Joseph. “Iya. Aku berangkat sekarang.” Ivana pun beranjak pergi dari sana, dan Joseph hanya menatapnya dengan penuh kekha