“Um …. “ Ivana membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa sangat sakit. Dia melihat borgol di tangannya sudah di lepas entah sejak kapan.
Dia bergerak perlahan sambil memegang pergelangan tangannya yang memar dan terluka karena gesekan yang dilakukannya tadi untuk melepaskan borgol itu.
Tatapan Ivana tertuju pada sosok pria yang terlelap dengan nyenyak di hadapannya. Dia menatap sosok suaminya dengan tatapan nanar dan juga amarah yang seakan ingin meledak di dadanya.
Ivana bergerak perlahan menurunkan kedua kakinya ke lantai. “Isshh …. “ Ivana meringis merasa ngilu di area intimnya.
Dia menatap pakaiannya yang berserakan di lantai dan sudah koyak semua karena ulah Arsenio. Ivana pun bangkit perlahan dari posisinya dan masuk ke dalam kamar mandi.
Ivana keluar dari kamar mandi dengan pakaian milik Arsenio, memberikan sedikit rasa hangat di tengah dinginnya suasana pagi itu. Dia melangkah pelan sambil menatap sosok Arsenio yang terlelap di ranjang, tampak begitu damai, seolah tidak ada yang salah dengan dunia ini.
Namun, di dalam hati Ivana, keributan sedang terjadi, mengingat semua kenangan manis yang kini terasa pahit. Dengan tatapan nanar, Ivana merasakan perasaannya hancur lebur, seolah setiap detik yang mereka habiskan bersama kini menjadi beban yang terlalu berat untuk ditanggung. Keputusan untuk pergi sudah mengendap dalam pikirannya, bulat dan tegas, mengalahkan segala keraguan yang sempat muncul.
Dia mencintai Arsenio sepenuh hati, tapi kini hatinya terluka sedalam yang tak pernah dia bayangkan. Dalam sekejap, rasa cinta itu bertransformasi menjadi keinginan untuk membenci, dan dia tahu harus pergi dari ruang yang penuh dengan kenangan menyakitkan itu.
Ivana menghela napas dalam-dalam, merasa ada beban yang sedikit terangkat, dan dengan langkah mantap, dia beranjak meninggalkan pria yang pernah menjadi segalanya, berisi tekad untuk menemukan kembali dirinya sendiri dalam perjalanan yang belum pasti di depan.
***
“Bu Ivana?” Reno yang merupakan pengacara pribadi Ivana terkejut karena Ivana dating begitu saja tanpa membuat janji.
“Apa kamu bisa membantuku mengurus perceraian walau tanpa tanda tangan Arsenio?” tanya Ivana tanpa basa-basi.
“Ini-?”
“Tolong, percepat proses perceraiannya. Aku akan menghadiri sidangnya nanti,” ucap Ivana dengan tegas.
“Baik, Bu. Akan saya lakukan,” jawab Reno tidak bisa berkata apa-apa lagi. Apalagi melihat sorot mata Ivana yang seakan sudah sangat bulat dengan keputusannya tanpa merasa gentar sedikitpun.
Setelah mengatakan keputusannya, Ivana keluar dari ruangan Reno dengan perasaan yang sangat berat dan hancur. Wanita itu masuk ke dalam mobilnya dan termenung dengan memegang setir mobilnya. Air mata yang sejak tadi pagi dia tahan, akhirnya luruh membasahi pipinya. Wanita itu menangis, hatinya sakit bukan main. Selain karena perlakuan kasar Arsenio kemarin malam, Ivana juga mengingat apa yang terjadi di kehidupan sebelumnya. Masih ada rasa tidak percaya dan berharap semua ini hanya mimpi dan kebohongan. Kenyataanya, di lubuk hati paling dalam, dia masih percaya dan berharap Arsenio bukanlah orang jahat. Bahkan dia berharap kalau Arsenio juga mencintainya dengan tulus.
“Kamu sudah mengambil keputusan yang tepat, Ivana,” gumam Ivana. “Perceraian ini adalah jalan terbaik untuk bisa lepas dari pria jahat itu.”
Ivana hanya bisa menangis di sana dan meluapkan rasa sesak di dadanya yang tidak bisa ditahan lagi.
Setelah merasa lega, Ivana lalu menghubungi sekretarisnya.
“Iya, Bu?” tanya Anna dari Seberang sana.
“Ana, aku akan mengambil cuti cukup lama. Kamu tolong handle pekerjaanku dan batalkan semua janji buat ulang janji bertemu dengan beberapa klien penting,” ucap Ivana. “Dan bisakah kamu hubungi pihak Perusahaan keamanan. Aku membutuhkan bodyguard, sekitar lima orang, kalau sudah mendapatkan orangnya, aku akan menemui mereka nanti,” ucap Ivana ingin berjaga-jaga kalau Arsenio mulai bertindak.
“Oh dan satu lagi, Anna. Kalau Arsenio mencariku, katakan saja, aku ada pekerjaan di luar kota,” ucap Ivana.
“Baik, Bu.” Sebenarnya ada banyak hal yang membuat Anna bingung dengan perubahan sikap atasannya itu. Menurut Anna, Ivana berubah jadi aneh dan banyak hal yang dia lakukan secara mendadak. Tetapi, Anna tidak bisa bertanya apa-apa selain menuruti semua yang diminta atasannya itu.
Ivana menyudahi panggilannya dan meletakkan ponselnya begitu saja. Dia mengambil tissue dan menyeka wajahnya yang basah karena air mata.
Dia sudah memutuskan akan pergi menjauh dan menenangkan dirinya sendiri. Tetapi sebelum pergi, dia harus memastikan Ayahnya baik-baik saja dengan mengirimkan beberapa bodyguard untuk melindungi Ayahnya.
***
“Ivana … Ivana …. “ Arsenio berteriak memanggil nama istrinya di rumah besar keluarga Ivana tetapi tidak menemukan keberadaan istrinya.
Arsenio masuk ke dalam kamar mereka dan berjalan mencari keberadaan Ivana di kamar mandi juga tidak dia temukan.
“Kemana dia pergi,” gumam Arsenio menghela napasnya. Saat dia terbangun tadi, Ivana sudah tidak ada di sampingnya.
“Apa dia pergi ke kantor?” gumam Arsen hendak pergi. Tetapi, sebelum dia melangkah keluar dari sana, Arsenio melihat ke arah ruang pakaian yang di mana lemarinya terbuka sedikit. Dia langsung masuk ke ruangan itu dan membuka lemari, Sebagian pakaian Ivana tidak ada. Bahkan koper milik Ivana tidak ada di sana.
“Dia pergi?” gumam Arsenio merasa sangat kesal.
“Sialan! Sebenarnya apa yang terjadi dan dia pikirkan? Kenapa sikapnya berubah?” gumam Arsenio benar-benar kebingungan di sana.
Lalu pria itu menghubungi seseorang di sana.
“Anna, apa Ivana datang ke kantor?” tanya Arsenio.
“Tidak, Pak. Tetapi tadi dia menghubungiku dan memintaku untuk membatalkan semua janji pertemuan dan memintaku menghandle semua pekerjaan. Katanya dia ingin mengambil cuti,” jelas Anna di seberang sana.
“Cuti? Kenapa mendadak sekali?” tanya Arsenio.
“Aku juga tidak tau. Oh iya, dia juga memintaku menghubungi pihak keamanan untuk menyiapkan lima orang bodyguard, entah untuk melindungi siapa,” jelas Anna.
“Bodyguard? Dia sampai melakukan hal itu, setelah mencari detektif,” ucap Arsenio termenung menerka-nerka semua kemungkinan yang terjadi pada Ivana.
“Pak Ar, apa kemungkinan Ivana sudah mengetahui rencana kita?” tanya Anna dari seberang sana membuat Arsenio terdiam cukup lama.
“Dia tidak mungkin mengetahuinya,” gumam Arsen mengingat semua rencananya sudah dia susun dengan sangat rapi. “Anna, kamu awasi gerak-geriknya. Kalau kamu sudah mengetahui keberadaannya, segera kabari aku.”
“Baik, Pak Ar.”
Sambungan telepon terputus di sana. Arsenio mencengkeram kuat ponselnya. “Kamu tidak akan bisa lepas dariku, Ivana. Sampai kapanpun!”
***
“Nyonya,” panggil Brant yang merupakan detektif yang disewa oleh Ivana. Ivana berjalan mendekatinya dan mengambil duduk di hadapan pria itu. “Bagaimana, apa ada perkembangan dari penyelidikanmu?” tanya Ivana tanpa basa-basi. Brant terdiam beberapa saat di sana. “Entah hanya kecurigaanku atau apa. Tapi, pergerakanku seakan di awasi, bahkan aku datang ke sini pun harus dengan cara sembunyi-sembunyi,” jelas Brant membuat Ivana terdiam beberapa saat. Dia jadi teringat bagaimana Arsenio berkata mengenai detektif sewaannya. “Saya curiga kalau ada yang membocorkan atau mengawasi gerak-gerik anda, Nyonya. Makanya, orang itu langsung tau kalau sedang di selidiki latar belakangnya. Hingga saat ini, saya tidak mendapatkan bukti apa pun, termasuk orang tuanya yang beralamat di Alamat yang anda berikan saat itu. Rumah itu kosong,” ucap Brant membuat Ivana tertegun di sana. “Aku sudah menduga, ada mata-mata di dekatku. Kalau dia tau kamu y
“Akhirnya, aku tetap tidak bisa melakukan apa pun. Baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang,” gumam Ivana menatap nyalang keluar jendela. Ivana yakin, Arsen sudah mengendalikan semuanya dalam waktu dua tahun ini, dia pasti sudah mempersiapkan semuanya dengan matang untuk memetik hasilnya tahun depan, seperti yang terjadi di kehidupan sebelumnya. Ivana memejamkan matanya dan menarik napas di sana. “Kalau memang aku tetap jatuh dalam perangkap dan tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk apa aku kembali ke masa lalu? Kesempatan kedua ini sebenarnya untuk apa kalau aku masih tidak bisa melawan dan menghentikan rencana Arsen?” batin Ivana. Kepalanya berpikir dengan keras memikirkan semua hal yang terjadi padanya. Dia sendiri masih belum mendapat jawaban dari semua pertanyaannya. Kenapa Arsen melakukan semua ini padanya dan keluarganya. Kenapa Arsen berkata kalau keluarganya dibantai oleh Ayah Ivana. Padahal Ivana sangat mengenal Ayahnya lebih dari
“Dia sudah gila!” keluh Ivana saat masuk ke dalam kamarnya sambil menghembuskan napas kasar. “Bisa-bisanya dia berkata masalah bayi dan program hamil.” Kedua mata Ivana berkaca-kaca saat dia terduduk di sisi ranjang, mengingat kembali serangkaian peristiwa menyakitkan yang terjadi dalam hidupnya. Di kehidupan sebelumnya saat dia menjalani program hamil, harapannya begitu tinggi; merasakan jantung kecil yang berdetak di dalam perutnya adalah sebuah kebahagiaan yang tak ternilai. Namun, semua impian itu sirna dengan cepat ketika Arsen, meninggalkannya begitu saja di tengah keramaian sebuah pesta. Betapa hancurnya hati Ivana saat itu, merasa diabaikan dan ditinggalkan di saat-saat yang paling krusial. Saat itulah, kehidupan yang sudah penuh harapan itu harus runtuh, dan kehadiran janin dalam perutnya pun tak berdaya untuk bertahan. Keguguran itu menjadi lebih dari sekadar kehilangan; itu adalah perasaan dikhianati oleh orang-orang di sekelilingnya,
“Ivana, bagaimana keadaanmu?” tanya seorang pria paruh baya yang baru saja tiba di kediaman Clover. “Pa-paman?” Ivana cukup terkejut melihat Freddy Clover, adik dari Joseph Clover, ayah dari Ivana. “ … Apa kabar, Paman?” tanya Ivana tertegun melihat kepulangan Pamannya yang sangat mendadak. “Tentu saja, Paman selalu baik, seperti yang kamu lihat,” ucap Freddy terkekeh di sana. Ivana teringat saat menonton rekaman video saat Arsen dengan kejam membunuh Freddy setelah menyiksanya. “Hei, kenapa?” tanya Freddy saat melihat air mata Ivana luruh membasahi pipinya begitu saja. Freddy yang sebelumnya memang begitu dekat dengan Ivana. Bahkan Freddy sangat dekat dengan Ivana disbanding Joseph. Saat kecil, Freddy yang sering menghabiskan waktu dengan Ivana. “Oh?” dengan cepat, Ivana menyeka air matanya. “Sepertinya aku terlalu senang melihat Paman pulang,” jawab Ivana. “Kamu pasti sangat merindukan Paman, bukan?” kek
“Ana, aku akan makan siang diluar dan akan terlambat kembali ke kantor. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku,” ucap Ivana saat keluar dari ruangan nya. “Oh, apa anda akan kembali ke kantor, Bu?” tanya Ana. Ivana terdiam beberapa saat di sana. “Sepertinya, aku tidak kembali ke kantor. Kalau sudah tidak ada pekerjaan, kamu bisa langsung pulang,” jawab Ivana. “Baik, Bu.” Setelah mengatakan hal itu, Ivana pun berlalu pergi meninggalkan kantor. Ivana yakin, Ana akan langsung melaporkannya pada Arsenio. Ivana memandang sekeliling lobi kantor dengan hati-hati sebelum melangkah keluar. Jantungnya berdebar kencang, napasnya terasa berat. Ketika taksi yang dia pesan meluncur perlahan mendekat, dia segera masuk dan menutup pintu dengan cepat. “Ke restoran Bertand," ucapnya kepada sopir dengan suara yang berusaha terdengar tenang. “Baik, Bu.” Setelah memastikan tak ada yang mencurigakan, Ivana segera mer
“Lama tak bertemu, Ivana?” ucap Alex di mana mereka masih berdiri berhadapan. “... Ya,” jawab Ivana. Wanita itu menyangka kalau dia akan bertemu dengan Alex di sini. Setelah hampir 3 tahun tidak bertemu. “Bagaimana kabarmu?” tanya Alex. “Kabarku baik. Bagaimana denganmu?” tanya Ivana. “Ya, seperti yang kamu lihat. Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi di sini,” ucap Alex. “Sudah lama sekali sejak pembatalan itu. Kamu semakin cantik saja, Ivana.” Ivana tersenyum kecil di sana. “Terima kasih, Alex.” “Apa aku bisa menyimpan nomormu?” tanya Alex. “Untuk apa?” tanya Ivana masih menatap Alex dengan penuh kewaspadaan. Bukan karena takut Alex menyakitinya, dia hanya tidak ingin menyakiti pria itu lagi setelah apa yang pernah terjadi di masa lalu. Dan Ivana juga takut kalau mungkin Arsen sedang mengawasinya tanpa dia tahu. “Mungkin kita akan jadi sering bertemu ke depannya,” ucap Alex
“Aku mencintaimu .... “ Kalimat itu terus mengusik pikiran Ivana. Hatinya selalu saja bergetar setiap mendengar ungkapan cinta yang dilontarkan Arsen terhadapnya. “Huft!” dia menghembuskan napasnya kasar. “Apalagi yang kamu harapkan Ivana, sadarlah. Jangan lemah dan lengah lagi karena ungkapan perasaannya, dia hanya sedang mencoba mengambil hatimu kembali,” batinnya. “Aku tidak boleh terpancing,” gumamnya. “Ivana!” panggilan itu menyadarkan lamunan Ivana. Wanita itu menengadahkan kepalanya dan melihat Freddy datang bersama Alex di sana, dan jelas itu mengejutkan Ivana. “A-apa maksudnya ini, Paman? Kenapa Paman membawanya?” tanya Ivana terlihat kebingungan. “Sudah aku katakan, kalau kita pasti akan bertemu lagi dan menjadi sering berinteraksi,” ucap Alex dengan senyuman manisnya. “Mengenai proposal yang Paman berikan padamu kemarin. Proyek itu di bawah tanggung jawab Alex,” ucap Freddy mengejutkan Ivana di
“Tidak. Aku tidak pernah sekalipun mencintainya.” “Iya, aku sudah duga sih, tapi toh rasanya tetap susah menerima kenyataan ini,” pikir Ivana sambil terus memutar rekaman suara Arsen mengungkapkan kejujurannya. Kata-kata tajam yang pria itu ucapkan, seolah berulang kali menghantam hati Ivana bagaikan gelombang yang tak mau surut. Di balik pintu yang terkunci, Ivana merasa seolah seluruh dunia sedang berputar, sementara dia terjebak di dalam rasa sakit yang seolah tiada akhir. Dia hanya ingin sendirian, untuk merenungkan semua yang telah terjadi. Hubungan yang dia anggap penuh cinta tiba-tiba saja hancur hanya karena sebuah pengakuan mengecewakan. Tatapan kosongnya menembus kaca jendela, melihat ke arah jalanan di luar yang tak jelas, di mana keramaian dan kebahagiaan orang lain seolah menjadi kontras yang menyedihkan dengan kesepiannya saat ini. Air mata mulai menetes perlahan, dia tidak tahu harus bagaimana mengatasi rasa sakit ini dan bertanya