Anya menunggu Harshad dengan tidak tenang. Tangannya sibuk menghancurkan camilam di sebelahnya. Berubah menjadi butiran-butiran kecil. Tidak tahu apa yang dia khawatirkan, tapi dia memang sangat khawatir kalau nanti tiba-tiba Harshad kehilangan moodnya.
Menurutnya, Harshad itu jarang sekali badmood. Tapi sekali badmood pasti meruntuhkan pertahanan dia buat songong di depan Harshad. Karena dia panik saat Harshad mendiamkan dirinya.
***
Dua orang sudah tersungkur di belakang Jane karena bogem yang dilemparkan oleh Anton. Yang paling kesal saat ini adalah Anton. Karena dia sudah yakin dan membanggakan kinerjanya pada Jane. Tapi nyatanya, anak buah yang dia bangga-banggakan malah membuatnya kecewa.
Sedangkan Jane hanya melipat tangannya tanpa ekspresi apapun di wajahnya. “Aku benci kegagalan!” ucap Jane lirih tapi tajam. Dia mendongak menatap Anton, Sekretaris yang mengatur semua ini.
“Saya minta maaf, Tuan. Saya tidak mengira kalau N
“Tidak, Bu. Kalau Ibu ingin Harshad pulang, setidaknya beri alasan yang jelas. Karena di sini Harshad bukan sedang bermain-main,” ucap Harshad di telepon.“Ibu tidak mau tahu, Harshad. Kamu harus pulang segera!!”Tuuut... Tuuut...Harshad mendecak, tangan kirinya menghantam keras tembok di sampingnya. Juga mengacak rambutnya frustasi.“Harshad,” panggil Anya setelah lumayan lama laki-laki itu belum kembali. Dia berjalan dari ruang tengah tempat mereka nonton film tadi sampai kolam renang, tapi benar-benar tidak menemukan siapa-siapa.Hanya ada beberapa penjaga yang mendapat bagian malam. Anya sebal, dia mendongak melihat balkon lantai dua. Lampu di sana baru saja mati, bisa saja Harshad berada di sana.Dia memilih diam berdiri di pinggiran kolam renang. Anya selesai mengganti bajunya karena ketumpahan cokelat panas tadi. Dan sekarang dia hanya mengenakan hot pants pendek berwarna hitam dan kemeja putih ked
Anya tersenyum saat bangun tidur tadi, matanya langsung terbuka lebar mengingat kejadian tadi malam. Dia membuka selimutnya dan berlalu mandi.Kolam renang yang dihiasi lampu warna-warni sebagai maskotnya itu tampak hangat. Terlebih lagi di dalamnya ada dua insan yang tidak tahu waktu.Tepat pukul sebelas malam, Anya dan Harshad berencana masuk ke kolam renang untuk bermain air. Jika saja Bryan melihat ulah mereka, bisa dipastikan kalau Bryan akan menyebut dua orang itu sebagai musuhnya.Bagaimana tidak. Sudah lama Harshad menghindari kolam renang karena setiap berada di kolam renang dia selalu dihantui rasa bersalah pada ayahnya. Tapi sekarang, mereka bermain air seperti tidak ada waktu lain saja.“Sini!” ujar Harshad menarik Anya agar mendekat ke arahnya. Lampu pinggir kolam sudah dimatikan oleh anak buah Harshad yang bertugas jaga, itu memang instruksi dari sang tuan muda.“Bukankah kau sudah lama tak menyentuh kolam renang?&rd
Bryan keluar dari kamar Harshad dengan pandangan kosong, Danu segera bertanya."Apa semua baik-baik saja, Tuan?" tanya Danu. Bryan hanya mengubah pandangan matanya yang kosong."Kenapa kamu nggak bilang kalau ada Anya di dalam?" jawaban Bryan membuat Danu yakin kalau sekretaris Bryan baru saja melihat adegan baru."Maaf, Tuan. Saya kira tidak akan terjadi masalah meskipun Nona Anya ada di kamarTuan Muda.""Ah sudahlah. Lagipula memang Harshad belum pernah seperti itu, ayo turun!"Selama perjalanan turun dari lantai atas Bryan terus berpikir kalau Harshad sudah benar-benar bisa melupakan semua yang pernah terjadi di masa lalu. Kalau memang iya seperti itu berarti bagus, mengingat Harshad yang sangat sulit untuk diajak bertemu dokter berkonsultasi tentang traumanya.Harshad juga tidak pernah menceritakan traumanya kepada ibunya dan siapapun kecuali orang-orang yang ada di New York menemaninya. Bryan tahu semuanya tentang Ha
Setelah menyelesaikan sarapannya, Harshad langsung keluar dari ruang makan untuk mencari Bryan. Melihat ruang kerjanya yang kosong, dia berpikir Danu sudah berangkat ke kantor. Di depan pintu utama Harshad berdiri sembari membenarkan kancing kemejanya, beberapa penjaga sudah berdiri di tempat mereka seperti biasa, hanya saja ada satu kejanggalan yang mengganggu mata Harshad sampai bibirnya tertarik ke atas sedikit.Bryan mengelap kaca spion mobilnya sambil bernyanyi kecil, bukannya menyuruh orang lain malah Bryan sendiri yang melakukan. Kalau saja Doni ada di sini pasti Doni adalah orang yang pertama kali tidak setuju melihat Bryan melakukan itu."Loh, masih belum berangkat?" tanya Anya melihat bayangan Harshad dari kaca batas ruang tamu dan ruang tengah."Bentar lagi, nunggu Bryan selesaiin kerjaannya," balas Harshad sambil sedikit memelankan suaranya."Owhh, aku pengen keluar, Shad."Harshad menoleh ikut duduk di samping Anya, "Aku nggak ngelaran
Pagi hari di Indonesia, sudah dua tahun ini Doni tidak pulang ke Indonesia. Ada yang harus dia selesaikan di New York bersama dengan sekretaris Bryan dan kepala keamanan. Dua tahun ini merupakan tahun yang berat bagi tuan muda mereka, banyak yang harus mereka urus untuk menjaga keamanan dan kenyamanan Harshad.Sebenarnya dia tahu maksud tuan muda meminta dia yang lebih dulu pergi ke Indonesia. Di Tanah Air masih ada ibunya yang harus dia jaga, dan juga Harshad sudah menganggap ibu Doni sebagai keluarga barunya.“Selamat pagi, Tuan Doni,” sapa Helen yang baru keluar dari kamarnya.“Pagi, Nyonya.” Doni tersenyum, dia mengambil alih kopi di tangan Helen.“Saya dengar putri saya sedang bersama Tuan Muda Akandra, Tuan. Apa benar?” tanya Helen.“Benar, Nyonya. Apa anda sudah mengetahui siapa itu Tuan Muda Akandra?” tanya Doni. Helen menggeleng pelan. Dia memang pernah mendengar tentang Akandra Grup. Tapi ju
Pukul 22.20 Harshad dan Bryan baru sampai di penthouse nya. Bryan langsung masuk ruang kerja karena ada beberapa hal yang perlu dia bereskan. Sedangkan Harshad langsung naik ke kamarnya untuk mandi dan meluruskan otot-otot tubuhnya yang menegang akibat seharian duduk.Lampu rumah itu tidak pernah padam, meskipun malam telah larut, rumah itu tetap terang benderang seperti ada pesta. Danu belum bisa istirahat, dia yang bertugas memastikan rencana Bryan berjalan dengan lancar. Dia sedang berada di markas tersembunyi intel Akandra grup.Harshad melepaskan jas yang menempel di badannya, dia ingin segera mengguyur tubuhnya dengan air hangat dan membilasnya dengan sabun kesukaannya. Setelah masuk kamarnya, matanya menyipit. Sejak kapan lampu di kamarnya tidak berfungsi? Kenapa bisa mati?Laki-laki itu menyampirkan jasnya di lengan kirinya. “Kok bisa mati, sih?” ucap Harshad sambil bertepuk tangan dua kali. Dan lampu menyala otomatis.Harshad langsung
Keberangkatan dan kepulangan Harshad memang sudah ditunggu oleh para musuhnya. Bahkan tidak hanya sekali mata Harshad bertemu dengan pandangan orang yang mengintainya.Namun dengan tenang Harshad berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Karena memang sudah dia duga sebelumnya. Dan jika dilihat lagi dengan teliti, mana mungkin petugas bandara menggunakan jasa yang berlambang pedang dan trisula. Bukankah seharusnya gambar pesawat, ya?“Take off 15 menit lagi, Shad.” Bryan memberi tahu. Harshad mendongak dan mengangguk.“Danu ada di sini, gue tinggal dulu,” tambah Bryan.“Iya, be careful.”“Trust me.” Selanjutnya Bryan mengganti pakaian resminya dengan kaos hitam dan manset berwarna navy. Tak lupa dengan topi dan masker hitam untuk menutupi dirinya. Dan benar saja, dia bisa menghindari awasan para anak buah Gala.Bryan kembali ke penthouse, sedangkan Harshad, dia baru saja mengirim pesan pada Anya
Anya menenteng tasnya dengan bahagia, di belakangnya ada Bryan yang senantiasa waspada dengan keadaan sekitar dan dalam kondisi apapun. Dulu dia sangat ingin menegur Bryan yang terlalu waspada pada pada apapun, tapi ternyata sekarang dia juga menjadi hal yang benar-benar dijaga oleh Bryan. “Gue titip Anya, Bro,” ucap Harshad sembari menepuk bahu Bryan. “Lu jaga dia baik-baik kayak lu jaga gue, understand?”“Iye, Shad. Bisa ngelindungin Anya sampe Indonesia adalah sebuah hal baru untuk gue, mana ada selama ini gue jagain cewek orang, iya, kan?” jawab Bryan serius tapi melucu di akhirnya. “Bego, lagian kapan elu punya cewek?”“Sebenernya gue mampu cari cewek, secara gue itu tampan, kaya, mapan, kan idaman banget gue, ye kan?”“Iye, songong terus sono!”“Ya lagian elu, gue itu udah nutup telinga lama-lama gara-gara gue mesti dibilang pacar elu. Cuman buat ngelindungin elu dan buat elu sembuh dari trauma elu. Semua ini buat elu, Boys,” cecar Bryan mengang
Beberapa mobil berhenti bersamaan di depan rumah almarhum Tuan Enrique. Banyak laki-laki mengenakan pakaian hitam dengan pistol kecil di saku atau di balik baju mereka. Rumah bernuansa bangunan kuno tersebut langsung ramai dan membuat orang-orang yang ada di rumah itu kalang kabut. Mereka juga berteriak dan mengancam. Tiga orang masuk paksa ke rumah itu, walaupun sudah dikunci oleh pemiliknya. Arnold baru saja turun dari mobilnya karena anak buahnya sudah ada yang berhasil masuk ke rumah tersebut. “Bagaimana?” tanya Arnold. Orang kepercayaannya hanya menggeleng. Lalu Arnold berjalan ke beberapa orang yang sudah didudukkan sambil berlutut. “Ke mana Nyonya Pemilik Rumah?”“Tidak tahu, Tuan. Dia tidak memberi tahu kami. Dia hanya pamit mau keluar dan dia juga minta ke kami agar menjaga rumah ini selama dia pergi.” Jawab seorang laki-laki yang terlihat paling tua di antara semuanya. Arnold berusaha berpikir, apakah ada yang salah? Atau memang ini sudah direncanaka
Arose duduk sendiri di ruang meeting, menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya yang ada di ruang meeting. Dia sedang tidak ingin di ruangannya. Ada banyak hal yang bisa membuatnya menyesal di ruang itu, dan juga nanti ada meeting, sekalian dia menyiapkan diri untuk meeting. Sekretaris Frans sedang mengurus berkas di ruangannya, sejatinya, pergi ke perusahaan hanyalah sebuah alasannya agar tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa hari lalu. “Huftttttt, udah Arose, fokus. Kamu harus fokus, tidak hanya Harshad yang terluka di sini, tapi juga Helen dan Anya,” gumam Arose mengingatkan dirinya sendiri saat mulai merasa down. Karena ketika ingat tiga orang tadi, semangatnya kembali muncul, ide tentang permintaan maaf juga seolah sudah antri di benaknya. “Mom’s,” panggil Harshad yang masih di luar pintu kaca, melihat ibunya menoleh dia langsung masuk ke ruang meeting. “Makan siang yuk, Mom’s,” tambah Harshad. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari pe
Air mancur di rumah Arnold terlihat lebih menyenangkan dari pada harus keluar rumah untuk bersenang-senang, itu bagi Arnold sendiri. Dia sedang memberi makan ikan-ikan yang dia pelihara di sana, anjing kecil kesayangan Arnold juga menemani di sekitar kakinya. Tak jauh dari air mancur, terlihat Gala sedang menikmati kopinya dengan camilan yang disediakan pelayan untuknya. Selama beberapa hari ini senyumnya tak hilang dari bibirnya. Arnold menoleh saat menyadari ada anak buahnya datang ke taman itu. Setidaknya ada empat orang yang menghampiri Arnold, dia berdiri setelah meletakkan kotak makanan ikan di pinggiran kolam ikan. Laki-laki yang mengenakan pakaian santai itu memastikan ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi akhirnya dia tetap menyingkir dari taman. Dia beranjak pergi bersama dua anak buahnya, mencari tempat yang tidak bisa didengar ayahnya, sedangkan dua yang lain menemani Gala di kursi taman itu. “Ada apa?” tanya Arnold. Satu tangannya
Bryan hanya diam di depan layar laptopnya, masih seperti biasa, dia berusaha menemukan kejanggalan atau petunjuk dari video pendek yang telah Danu kirimkan ke dirinya. Dia tidak keluar dari kamar sejak sarapan tadi, Bryan merasa kalau dia bisa menemukan petunjuk untuk kasus pembunuhan tuan besarnya. Juga hasil yang mungkin bisa membuat Harshad melupakan trauma yang sempat dia alami. Drrrt.. Drrrt.. Ponselnya bergetar dengan nada dering khusus milik Harshad. Ternyata pewaris tunggal itu mengirim pesan sekaligus meminta izinnya. Harshad Gue ke kantor, kalo ada apa-apa kabarin aja. “Serah lu, gue mah mending di rumah, bodo amat sama elu,” jawab Bryan menggunakan voice note, dan pastinya itu dusta. Dia langsung menghubungi Sekretaris Frans, orang yang bisa memantau apa saja yang terjadi di kantor dengan aman. “Iya, Tuan Bryan,” jawab Frans setelah menerima panggilan dari Bryan. “Harshad mau ke kantor, Tuan.” “Iya, Tuan. Saya yang mengatur hal
Anya menyusul Harshad yang sedang bermain dengan alat gym di lantai bawah. Dia melewati beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri berjajar di jalanan menuju ke ruang olahraga. Dua orang pelayan sampai mendongak melihat apa yang menggantung di punggung Anya. “Astaga,” bisik pelayan itu pada pelayan lainnya. Melihat baju Anya yang memang ada boneka menggantung di belakangnya. Membuatnya seperti menggendong boneka, padahal boneka tersebut menempel di baju Anya. Mereka terkikik pelan, tapi Anya tidak menyadari sama sekali. Ditambah lagi, warna baju itu seperti pelangi, juga Anya yang mengenakan kaos kaki berwarna senada dan rambut yang dikuncir tinggi. Para pelayan tersenyum gemas, mereka langsung bubar setelah Anya masuk ke ruang gym, Bi Isah yang baru datang melihat ke tempat Anya masuk, lalu mengikuti pelayan untuk menata sarapan. “Harshad,” panggil Anya langsung melingkarkan tangan di pinggang Harshad. Harshad menoleh dan mengamati baju Anya, tersenyum lalu menyent
“Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan itu. “Ahh, iya, Nyonya. Apa Anda adalah Nyonya Mia? Istri dari Tuan Enrique?” tanya Exel ganti.Mata perempuan tua itu terbelalak lebar, dia melambaikan tangannya pada beberapa orang yang ada di sana sebagai tanda mengusir mereka. Baru setelah beberapa orang itu pergi, perempuan yang bernama Mia itu mempersilahkan Exel duduk. “Anda siapa?” tanya Mia. Wajahnya benar-benar menunjukkan raut takut, tangannya juga saling meremas di pangkuannya. “Apa Anda juga salah satu orang yang akan menagih hutang suami saya?”“Hutang?” “Iya, Tuan. Suami saya meninggal dan meninggalkan beberapa hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan saya harus membayar itu semua,” jawabnya. “Ohh, bukan, Nyonya. Saya hanya ingin tahu, apakah benar mobil itu pernah dinaiki oleh Tuan Enrique dan ditinggal di daerah pertambangan?” tanya Exel to the point. Mia lebih terkejut lagi, dia terdiam dan berusaha mengangguk.
Gelap, dingin dan sunyi. Anya berdiri di antara dua hal itu, dia menyadari kalau di tempat berdirinya sekarang ada banyak bunga yang bermekaran dan indah jika bisa dilihat dengan cahaya yang cukup. Namun sayangnya, di sini tidak ada cahaya sama sekali. “Tempat apa, ini?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Kakinya terus melangkah untuk mencari pintu keluar atau apapun yang bisa dia gunakan untuk mencari cahaya. “Oh ya, ponsel. Mana ponsel gue?” masih bergumam untuk dirinya sendiri. Di mana dia? Kenapa dia bisa ada di sana? Apa yang terjadi padanya? Ada banyak pertanyaan berkeliling di kepala Anya, melihat dia yang mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga, ia menghentikan langkah. “Gue harus inget, di mana gue sebelum ini?” gumamnya memegang kepala. Terdiam berusaha mengingat, dan sudah berada di tempat lain saat membuka mata. “Ini di mana?” gumam Anya. Dia hendak bangkit dari berbaring, dan dia menyadari ada tangan yang memegangnya. Cklek.
Mobil Alphard putih yang ditumpangi Harshad dan Anya berhenti tepat si depan pintu utama mansion Harshad. Beberapa penjaga langsung menata posisi berdiri di sekitar mobil untuk menyambut Harshad. Bi Isah tergopoh menghampiri Harshad yang keluar dari mobil dengan keadaan basah kuyup. “Den Harshad, apa yang terjadi?” tanya Bi Isah. Laki-laki yang mengenakan pakaian tebal berwarna khaki itu menoleh dan memenangkan Bi Isah. “Tidak apa-apa, Bi. Apa Dokter Arya sudah datang?” tanya Harshad. “Sudah, Den. Dokter Arya ada di kamar, kamu,” jawab Bi Isah. Di pintu lain, seorang penjaga membuka pintu dan berusaha membawa Anya keluar. “Heh, tunggu. Biar aku saja, jangan sentuh Anya,” kata Harshad memperingatkan. Dua orang penjaga tersebut langsung mundur dan meminta maaf pada Harshad. Tak banyak berkata lagi, Harshad menutupkan jaket di tubuh Anya, sehingga menutupi tubuh Anya seluruhnya. Membopongnya ke kamar Harshad, Bi Isah menyarankan agar Anya dirawat di lantai
Hujan deras masih terus mengguyur bumi sejak dia keluar dari rumah utama milik keluarga Harshad. Dia sudah melepaskan heels yang dibelikan oleh Ibu Harshad. Dia tak pernah berpikir akan ada kejadian seperti ini di dunianya. Air mata yang sudah lama tidak keluar kini menunjukkan wujudnya. Dia tidak tahu mengapa dia bisa langsung pergi dari rumah itu tanpa memikirkan ibunya, keselamatannya dan bagaimana nanti jika anak buah ayahnya menemukannya. Anya mendongak, menadahkan tangannya menyentuh air hujan. Apa Harshad tidak mencarinya? Kenapa sampai sekarang belum ada anak buah Harshad? Dia tidak membawa ponselnya, benda canggih itu tertinggal di kamar Harshad. Karena memang dia tidak membawanya saat makan malam. “Hhhhh, Ibu.” Anya terus berpikir tentang ibunya, bagaimana keadaan dan perasaan ibunya sekarang. Lappp.. Anya sedikit terkejut, lampu jalan menyala bersamaan. Menandakan hari sudah semakin malam. Dia meletakkan heels nya yang dari tadi dia pegang.