Keberangkatan dan kepulangan Harshad memang sudah ditunggu oleh para musuhnya. Bahkan tidak hanya sekali mata Harshad bertemu dengan pandangan orang yang mengintainya.
Namun dengan tenang Harshad berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Karena memang sudah dia duga sebelumnya. Dan jika dilihat lagi dengan teliti, mana mungkin petugas bandara menggunakan jasa yang berlambang pedang dan trisula. Bukankah seharusnya gambar pesawat, ya?
“Take off 15 menit lagi, Shad.” Bryan memberi tahu. Harshad mendongak dan mengangguk.
“Danu ada di sini, gue tinggal dulu,” tambah Bryan.
“Iya, be careful.”
“Trust me.” Selanjutnya Bryan mengganti pakaian resminya dengan kaos hitam dan manset berwarna navy. Tak lupa dengan topi dan masker hitam untuk menutupi dirinya. Dan benar saja, dia bisa menghindari awasan para anak buah Gala.
Bryan kembali ke penthouse, sedangkan Harshad, dia baru saja mengirim pesan pada Anya
Anya menenteng tasnya dengan bahagia, di belakangnya ada Bryan yang senantiasa waspada dengan keadaan sekitar dan dalam kondisi apapun. Dulu dia sangat ingin menegur Bryan yang terlalu waspada pada pada apapun, tapi ternyata sekarang dia juga menjadi hal yang benar-benar dijaga oleh Bryan. “Gue titip Anya, Bro,” ucap Harshad sembari menepuk bahu Bryan. “Lu jaga dia baik-baik kayak lu jaga gue, understand?”“Iye, Shad. Bisa ngelindungin Anya sampe Indonesia adalah sebuah hal baru untuk gue, mana ada selama ini gue jagain cewek orang, iya, kan?” jawab Bryan serius tapi melucu di akhirnya. “Bego, lagian kapan elu punya cewek?”“Sebenernya gue mampu cari cewek, secara gue itu tampan, kaya, mapan, kan idaman banget gue, ye kan?”“Iye, songong terus sono!”“Ya lagian elu, gue itu udah nutup telinga lama-lama gara-gara gue mesti dibilang pacar elu. Cuman buat ngelindungin elu dan buat elu sembuh dari trauma elu. Semua ini buat elu, Boys,” cecar Bryan mengang
Perjalanan Gala ke penthouse Harshad dilingkupi harapan yang besar, dia enggan diperalat lagi oleh Jane. Semua yang ada di hidupnya sekarang adalah pemberian Jane, tapi jika dia bisa memilih, ia akan lebih bahagia dengan apa yang bisa dia dapatkan sendiri, bukan dengan mengabdi pada orang lain. Danu menunggu kedatangan seseorang di dalam penthouse tersebut, kakinya menyilang dan dia mengetuk-ngetuk pelan jarinya di lutut. Sudah tiga kali dia melirik jam tangannya, tebakan Bryan tidak mungkin meleset. “Mereka sudah datang, Tuan.” Seorang penjaga menghampiri Danu dan melaporkan. “Kalian bersiap, jangan lakukan apapun pada mereka. Ingat pesan Tuan Muda!” pinta Danu. “Baik, Tuan.”“Saya awasi dari atas.”“Baik, Tuan.” Danu mengantar kepergian penjaga tersebut sampai hilang dari pandangannya. Lalu dia naik ke lantai dua, berdiri sambil menjejalkan tangannya ke saku celana. Dua orang bertubuh kekar turun dari mobil Alphard hitam, mereka mendekati pi
Bryan membawa Anya ke mansion Harshad. Rumah yang pernah dia dan Harshad tinggali sementara karena kejaran pembunuh bayaran yang disuruh oleh orang misterius. Rumah itu selalu menyediakan kenyamanan yang tidak bertanding, seorang Bryan yang tidak bisa jauh dari pusat kota. Jika sudah berada di sana malah lebih baik dia mengurung diri di dalam rumah. Pintu gerbang besar berwarna hitam menyambut mereka, Bryan tersenyum menoleh pada Anya. “Selamat datang di Mansion rahasia Tuan Muda, Nona Anya,” ucap Bryan melebarkan tangan layaknya sedang mempersilahkan seseorang. “Mansion rahasia?” “Yap, ini Mansion hanya aku dan Harshad yang tahu, Tuan Besar menghadiahkan dan mewariskan rumah ini pada Tuan Muda tanpa sepengetahuan siapapun,” jawab Bryan sambil merebut tas yang ada di tangan Anya, dia menjelaskan sambil berjalan masuk. “Jadi aku adalah orang ketiga yang tahu tempat ini?” “Mmm, bukan, sih. Lebih tepatnya, orang asing yang pertama kali datang dan tahu tempat
Harshad tiba di Mansion nya disambut oleh Bryan, dia mendekati Bryan yang berdiri di pintu setelah membantu Bi Isah turun dari mobil. Senyum Bryan terkembang lebar, dia senang melihat Harshad baik-baik saja. Setidaknya tugas menjaga Harshad dan Anya sampai Indonesia sudah selesai. Tinggal bagaimana nanti di Indonesia nanti. Apakah masih berlanjut atau tidak teror dari ayah Anya. “Bi Isah? Apa kabar, Bi?” tanya Bryan menyalami tangan Bi Isah layaknya seorang ibu. “Bibi baik, Den. Den Bryan tambah ganteng saja,” puji Bi Isah, Harshad yang mendengar langsung menoleh sembari menunjukkan ekspresi mengejek. “Apanya yang tambah ganteng, Bi?” cibir Harshad. Dia melangkah masuk membiarkan Bi Isah dan Bryan berbincang-bincang di ruang tengah. “Shad, Anya tadi udah naik,” teriak Bryan. Harshad diam saja tak merespon. Selanjutnya seorang pelayan menghampiri Harshad. “Anda ingin makan malam apa, Tuan?” tanyanya. “Ah, tanya Bryan dan Bi Isah saja,” jawab Harsha
Anya terbangun dari tidurnya pukul sembilan malam. Dia tadi sempat menyadari ada Harshad yang tidur di sampingnya, tapi sekarang laki-laki itu sudah menghilang entah kemana. Dia celingukan mencari sosok yang sudah dia tunggu itu. Tidak menemukan Harshad, dia melangkah ke kamar mandi membersihkan badannya yang terasa lengket karena belum mandi semenjak sampai di Indonesia. Dia mengabaikan apapun yang terjadi di luar, menikmati mandinya adalah hal yang sangat dia sukai. Ada yang sangat menyenangkan di dalam hatinya, tapi dia tidak tahu apa itu. Mungkin salah satunya adalah bisa lolos dari penjagaan orang bayaran ayahnya di bandara New York. Ritual mandinya sudah selesai, seperti biasa, rumah Harshad selalu tenang layaknya hanya dia yang tinggal di sana. Karena merasa lapar, dia berniat turun untuk makan malam dan mencari Harshad adalah tujuan utamanya. Semoga tidak terjadi apa-apa padanya. Anya turun, di tangga melingkar itu dia disapa oleh dua pelayan, persis
Helen dan ayahnya berjalan tenang menuju taman rumah. Mereka sudah pindah dari hotel yang pertama kali menjadi tempat mereka bersembunyi. Kini mereka berada di salah satu apartemen milik tuan besar. “Ayah merasa baikkan?” tanya Helen. Laki-laki yang menjadi ayahnya itu tersenyum sembari menepuk tangan putrinya, “Ayah berhutang banyak pada kalian, aku tidak mengira akan bertemu denganmu lagi, Helen. Ayah tidak tahu apa yang akan terjadi pada ayah kalau tidak ada Doni,” ujar Arga mendongak melihat hamparan langit yang luas. Mata Helen berair, dia menggenggam tangan keriput milik ayahnya, “Ayah, aku yang seharusnya berterima kasih, tidak ada orang yang mencintaiku setulus cinta ayah,” balas Helen. Dia menyeka air matanya yang luruh. “Benar kata orang, kalau cinta pertama seorang putri adalah cinta ayahnya, dan aku sudah merasakannya, Ayah,” tambah Helen lagi. Arga menghela nafasnya panjang. Dia tersenyum. “Tapi mungkin kalimat itu tidak berlaku untuk Cryst
Ruangan berwarna cokelat dengan kombinasi warna hitam itu sangat mencekam bagi para penghuninya. Ada yang sedang memainkan mouse dan komputer, ada yang menghadap layar besar berisi seluruh rekaman CCTV di daerah itu. Jane berdiri di belakang orang yang mengoperasikan komputer yang khusus menangani CCTV. Tangannya mengepal erat terlebih lagi setelah ia mendapat kabar dari Gala bahwa Anya sudah tidak ada di New York, kalau anaknya bisa lolos, berarti memang penjagaan yang dia siapkan sudah tidak bekerja dengan baik. “Tuan, ponsel Nona Crystal bisa dilacak untuk terakhir kalinya. Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi, Tuan.” Anak buah Jane datang memberi laporan, Jane menoleh semangat. “Tapi sudah tidak bisa dilacak lagi?” tanya Jane tidak jadi bersemangat, Anton mengangguk pelan. “Kenapa tidak bisa?”“Mungkin ponsel kehabisan daya, Tuan.”“Baiklah, di mana lokasi terakhir ponsel itu?”“New York, Tuan.” Mendengar jawaban Anton, tanpa Jane kontrol,
Anya berpamitan pada ibunya, dia benar-benar pulang ke mansion Harshad hanya untuk berenang. Sekarang, berenang di malam hari sudah bukan hal yang asing bagi mereka berdua. Harshad mengemudikan sendiri mobil sport hitam kesayangannya. Ada banyak hal yang harus dia selesaikan setelah ini. “Shad?” panggil Anya. “Hmmm.”“Kamu nggak pengen ngajak aku belanja, gitu?” tanya Anya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan di depannya. “Belanja?” tanya Harshad tak percaya. “He'eh. Kapan-kapan belanja ya, Shad?” ujar Anya melingkarkan tangannya ke lengan Harshad. “Enak kali dikau,” balas Harshad sambil tertawa. “Iya, kasihani aku lah, Shad. Kalo nggak minta ke kamu, aku minta ke siapa, dong? Masa ibu? So impossible, kan?”Bibir Harshad manyun menahan tawa sambil kepalanya masih mengangguk-angguk mendengar ocehan Anya. “Atau gini aja wes, kalau kamu nggak mau nanggung kepengenan aku, kasih aku kerjaan, gimana?” tanya Anya. Harshad lan
Beberapa mobil berhenti bersamaan di depan rumah almarhum Tuan Enrique. Banyak laki-laki mengenakan pakaian hitam dengan pistol kecil di saku atau di balik baju mereka. Rumah bernuansa bangunan kuno tersebut langsung ramai dan membuat orang-orang yang ada di rumah itu kalang kabut. Mereka juga berteriak dan mengancam. Tiga orang masuk paksa ke rumah itu, walaupun sudah dikunci oleh pemiliknya. Arnold baru saja turun dari mobilnya karena anak buahnya sudah ada yang berhasil masuk ke rumah tersebut. “Bagaimana?” tanya Arnold. Orang kepercayaannya hanya menggeleng. Lalu Arnold berjalan ke beberapa orang yang sudah didudukkan sambil berlutut. “Ke mana Nyonya Pemilik Rumah?”“Tidak tahu, Tuan. Dia tidak memberi tahu kami. Dia hanya pamit mau keluar dan dia juga minta ke kami agar menjaga rumah ini selama dia pergi.” Jawab seorang laki-laki yang terlihat paling tua di antara semuanya. Arnold berusaha berpikir, apakah ada yang salah? Atau memang ini sudah direncanaka
Arose duduk sendiri di ruang meeting, menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya yang ada di ruang meeting. Dia sedang tidak ingin di ruangannya. Ada banyak hal yang bisa membuatnya menyesal di ruang itu, dan juga nanti ada meeting, sekalian dia menyiapkan diri untuk meeting. Sekretaris Frans sedang mengurus berkas di ruangannya, sejatinya, pergi ke perusahaan hanyalah sebuah alasannya agar tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa hari lalu. “Huftttttt, udah Arose, fokus. Kamu harus fokus, tidak hanya Harshad yang terluka di sini, tapi juga Helen dan Anya,” gumam Arose mengingatkan dirinya sendiri saat mulai merasa down. Karena ketika ingat tiga orang tadi, semangatnya kembali muncul, ide tentang permintaan maaf juga seolah sudah antri di benaknya. “Mom’s,” panggil Harshad yang masih di luar pintu kaca, melihat ibunya menoleh dia langsung masuk ke ruang meeting. “Makan siang yuk, Mom’s,” tambah Harshad. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari pe
Air mancur di rumah Arnold terlihat lebih menyenangkan dari pada harus keluar rumah untuk bersenang-senang, itu bagi Arnold sendiri. Dia sedang memberi makan ikan-ikan yang dia pelihara di sana, anjing kecil kesayangan Arnold juga menemani di sekitar kakinya. Tak jauh dari air mancur, terlihat Gala sedang menikmati kopinya dengan camilan yang disediakan pelayan untuknya. Selama beberapa hari ini senyumnya tak hilang dari bibirnya. Arnold menoleh saat menyadari ada anak buahnya datang ke taman itu. Setidaknya ada empat orang yang menghampiri Arnold, dia berdiri setelah meletakkan kotak makanan ikan di pinggiran kolam ikan. Laki-laki yang mengenakan pakaian santai itu memastikan ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi akhirnya dia tetap menyingkir dari taman. Dia beranjak pergi bersama dua anak buahnya, mencari tempat yang tidak bisa didengar ayahnya, sedangkan dua yang lain menemani Gala di kursi taman itu. “Ada apa?” tanya Arnold. Satu tangannya
Bryan hanya diam di depan layar laptopnya, masih seperti biasa, dia berusaha menemukan kejanggalan atau petunjuk dari video pendek yang telah Danu kirimkan ke dirinya. Dia tidak keluar dari kamar sejak sarapan tadi, Bryan merasa kalau dia bisa menemukan petunjuk untuk kasus pembunuhan tuan besarnya. Juga hasil yang mungkin bisa membuat Harshad melupakan trauma yang sempat dia alami. Drrrt.. Drrrt.. Ponselnya bergetar dengan nada dering khusus milik Harshad. Ternyata pewaris tunggal itu mengirim pesan sekaligus meminta izinnya. Harshad Gue ke kantor, kalo ada apa-apa kabarin aja. “Serah lu, gue mah mending di rumah, bodo amat sama elu,” jawab Bryan menggunakan voice note, dan pastinya itu dusta. Dia langsung menghubungi Sekretaris Frans, orang yang bisa memantau apa saja yang terjadi di kantor dengan aman. “Iya, Tuan Bryan,” jawab Frans setelah menerima panggilan dari Bryan. “Harshad mau ke kantor, Tuan.” “Iya, Tuan. Saya yang mengatur hal
Anya menyusul Harshad yang sedang bermain dengan alat gym di lantai bawah. Dia melewati beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri berjajar di jalanan menuju ke ruang olahraga. Dua orang pelayan sampai mendongak melihat apa yang menggantung di punggung Anya. “Astaga,” bisik pelayan itu pada pelayan lainnya. Melihat baju Anya yang memang ada boneka menggantung di belakangnya. Membuatnya seperti menggendong boneka, padahal boneka tersebut menempel di baju Anya. Mereka terkikik pelan, tapi Anya tidak menyadari sama sekali. Ditambah lagi, warna baju itu seperti pelangi, juga Anya yang mengenakan kaos kaki berwarna senada dan rambut yang dikuncir tinggi. Para pelayan tersenyum gemas, mereka langsung bubar setelah Anya masuk ke ruang gym, Bi Isah yang baru datang melihat ke tempat Anya masuk, lalu mengikuti pelayan untuk menata sarapan. “Harshad,” panggil Anya langsung melingkarkan tangan di pinggang Harshad. Harshad menoleh dan mengamati baju Anya, tersenyum lalu menyent
“Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan itu. “Ahh, iya, Nyonya. Apa Anda adalah Nyonya Mia? Istri dari Tuan Enrique?” tanya Exel ganti.Mata perempuan tua itu terbelalak lebar, dia melambaikan tangannya pada beberapa orang yang ada di sana sebagai tanda mengusir mereka. Baru setelah beberapa orang itu pergi, perempuan yang bernama Mia itu mempersilahkan Exel duduk. “Anda siapa?” tanya Mia. Wajahnya benar-benar menunjukkan raut takut, tangannya juga saling meremas di pangkuannya. “Apa Anda juga salah satu orang yang akan menagih hutang suami saya?”“Hutang?” “Iya, Tuan. Suami saya meninggal dan meninggalkan beberapa hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan saya harus membayar itu semua,” jawabnya. “Ohh, bukan, Nyonya. Saya hanya ingin tahu, apakah benar mobil itu pernah dinaiki oleh Tuan Enrique dan ditinggal di daerah pertambangan?” tanya Exel to the point. Mia lebih terkejut lagi, dia terdiam dan berusaha mengangguk.
Gelap, dingin dan sunyi. Anya berdiri di antara dua hal itu, dia menyadari kalau di tempat berdirinya sekarang ada banyak bunga yang bermekaran dan indah jika bisa dilihat dengan cahaya yang cukup. Namun sayangnya, di sini tidak ada cahaya sama sekali. “Tempat apa, ini?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Kakinya terus melangkah untuk mencari pintu keluar atau apapun yang bisa dia gunakan untuk mencari cahaya. “Oh ya, ponsel. Mana ponsel gue?” masih bergumam untuk dirinya sendiri. Di mana dia? Kenapa dia bisa ada di sana? Apa yang terjadi padanya? Ada banyak pertanyaan berkeliling di kepala Anya, melihat dia yang mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga, ia menghentikan langkah. “Gue harus inget, di mana gue sebelum ini?” gumamnya memegang kepala. Terdiam berusaha mengingat, dan sudah berada di tempat lain saat membuka mata. “Ini di mana?” gumam Anya. Dia hendak bangkit dari berbaring, dan dia menyadari ada tangan yang memegangnya. Cklek.
Mobil Alphard putih yang ditumpangi Harshad dan Anya berhenti tepat si depan pintu utama mansion Harshad. Beberapa penjaga langsung menata posisi berdiri di sekitar mobil untuk menyambut Harshad. Bi Isah tergopoh menghampiri Harshad yang keluar dari mobil dengan keadaan basah kuyup. “Den Harshad, apa yang terjadi?” tanya Bi Isah. Laki-laki yang mengenakan pakaian tebal berwarna khaki itu menoleh dan memenangkan Bi Isah. “Tidak apa-apa, Bi. Apa Dokter Arya sudah datang?” tanya Harshad. “Sudah, Den. Dokter Arya ada di kamar, kamu,” jawab Bi Isah. Di pintu lain, seorang penjaga membuka pintu dan berusaha membawa Anya keluar. “Heh, tunggu. Biar aku saja, jangan sentuh Anya,” kata Harshad memperingatkan. Dua orang penjaga tersebut langsung mundur dan meminta maaf pada Harshad. Tak banyak berkata lagi, Harshad menutupkan jaket di tubuh Anya, sehingga menutupi tubuh Anya seluruhnya. Membopongnya ke kamar Harshad, Bi Isah menyarankan agar Anya dirawat di lantai
Hujan deras masih terus mengguyur bumi sejak dia keluar dari rumah utama milik keluarga Harshad. Dia sudah melepaskan heels yang dibelikan oleh Ibu Harshad. Dia tak pernah berpikir akan ada kejadian seperti ini di dunianya. Air mata yang sudah lama tidak keluar kini menunjukkan wujudnya. Dia tidak tahu mengapa dia bisa langsung pergi dari rumah itu tanpa memikirkan ibunya, keselamatannya dan bagaimana nanti jika anak buah ayahnya menemukannya. Anya mendongak, menadahkan tangannya menyentuh air hujan. Apa Harshad tidak mencarinya? Kenapa sampai sekarang belum ada anak buah Harshad? Dia tidak membawa ponselnya, benda canggih itu tertinggal di kamar Harshad. Karena memang dia tidak membawanya saat makan malam. “Hhhhh, Ibu.” Anya terus berpikir tentang ibunya, bagaimana keadaan dan perasaan ibunya sekarang. Lappp.. Anya sedikit terkejut, lampu jalan menyala bersamaan. Menandakan hari sudah semakin malam. Dia meletakkan heels nya yang dari tadi dia pegang.