Hujan deras masih terus mengguyur bumi sejak dia keluar dari rumah utama milik keluarga Harshad. Dia sudah melepaskan heels yang dibelikan oleh Ibu Harshad. Dia tak pernah berpikir akan ada kejadian seperti ini di dunianya.
Air mata yang sudah lama tidak keluar kini menunjukkan wujudnya. Dia tidak tahu mengapa dia bisa langsung pergi dari rumah itu tanpa memikirkan ibunya, keselamatannya dan bagaimana nanti jika anak buah ayahnya menemukannya.Anya mendongak, menadahkan tangannya menyentuh air hujan. Apa Harshad tidak mencarinya? Kenapa sampai sekarang belum ada anak buah Harshad? Dia tidak membawa ponselnya, benda canggih itu tertinggal di kamar Harshad. Karena memang dia tidak membawanya saat makan malam.“Hhhhh, Ibu.” Anya terus berpikir tentang ibunya, bagaimana keadaan dan perasaan ibunya sekarang.Lappp..Anya sedikit terkejut, lampu jalan menyala bersamaan. Menandakan hari sudah semakin malam. Dia meletakkan heels nya yang dari tadi dia pegang.Mobil Alphard putih yang ditumpangi Harshad dan Anya berhenti tepat si depan pintu utama mansion Harshad. Beberapa penjaga langsung menata posisi berdiri di sekitar mobil untuk menyambut Harshad. Bi Isah tergopoh menghampiri Harshad yang keluar dari mobil dengan keadaan basah kuyup. “Den Harshad, apa yang terjadi?” tanya Bi Isah. Laki-laki yang mengenakan pakaian tebal berwarna khaki itu menoleh dan memenangkan Bi Isah. “Tidak apa-apa, Bi. Apa Dokter Arya sudah datang?” tanya Harshad. “Sudah, Den. Dokter Arya ada di kamar, kamu,” jawab Bi Isah. Di pintu lain, seorang penjaga membuka pintu dan berusaha membawa Anya keluar. “Heh, tunggu. Biar aku saja, jangan sentuh Anya,” kata Harshad memperingatkan. Dua orang penjaga tersebut langsung mundur dan meminta maaf pada Harshad. Tak banyak berkata lagi, Harshad menutupkan jaket di tubuh Anya, sehingga menutupi tubuh Anya seluruhnya. Membopongnya ke kamar Harshad, Bi Isah menyarankan agar Anya dirawat di lantai
Gelap, dingin dan sunyi. Anya berdiri di antara dua hal itu, dia menyadari kalau di tempat berdirinya sekarang ada banyak bunga yang bermekaran dan indah jika bisa dilihat dengan cahaya yang cukup. Namun sayangnya, di sini tidak ada cahaya sama sekali. “Tempat apa, ini?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Kakinya terus melangkah untuk mencari pintu keluar atau apapun yang bisa dia gunakan untuk mencari cahaya. “Oh ya, ponsel. Mana ponsel gue?” masih bergumam untuk dirinya sendiri. Di mana dia? Kenapa dia bisa ada di sana? Apa yang terjadi padanya? Ada banyak pertanyaan berkeliling di kepala Anya, melihat dia yang mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga, ia menghentikan langkah. “Gue harus inget, di mana gue sebelum ini?” gumamnya memegang kepala. Terdiam berusaha mengingat, dan sudah berada di tempat lain saat membuka mata. “Ini di mana?” gumam Anya. Dia hendak bangkit dari berbaring, dan dia menyadari ada tangan yang memegangnya. Cklek.
“Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan itu. “Ahh, iya, Nyonya. Apa Anda adalah Nyonya Mia? Istri dari Tuan Enrique?” tanya Exel ganti.Mata perempuan tua itu terbelalak lebar, dia melambaikan tangannya pada beberapa orang yang ada di sana sebagai tanda mengusir mereka. Baru setelah beberapa orang itu pergi, perempuan yang bernama Mia itu mempersilahkan Exel duduk. “Anda siapa?” tanya Mia. Wajahnya benar-benar menunjukkan raut takut, tangannya juga saling meremas di pangkuannya. “Apa Anda juga salah satu orang yang akan menagih hutang suami saya?”“Hutang?” “Iya, Tuan. Suami saya meninggal dan meninggalkan beberapa hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan saya harus membayar itu semua,” jawabnya. “Ohh, bukan, Nyonya. Saya hanya ingin tahu, apakah benar mobil itu pernah dinaiki oleh Tuan Enrique dan ditinggal di daerah pertambangan?” tanya Exel to the point. Mia lebih terkejut lagi, dia terdiam dan berusaha mengangguk.
Anya menyusul Harshad yang sedang bermain dengan alat gym di lantai bawah. Dia melewati beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri berjajar di jalanan menuju ke ruang olahraga. Dua orang pelayan sampai mendongak melihat apa yang menggantung di punggung Anya. “Astaga,” bisik pelayan itu pada pelayan lainnya. Melihat baju Anya yang memang ada boneka menggantung di belakangnya. Membuatnya seperti menggendong boneka, padahal boneka tersebut menempel di baju Anya. Mereka terkikik pelan, tapi Anya tidak menyadari sama sekali. Ditambah lagi, warna baju itu seperti pelangi, juga Anya yang mengenakan kaos kaki berwarna senada dan rambut yang dikuncir tinggi. Para pelayan tersenyum gemas, mereka langsung bubar setelah Anya masuk ke ruang gym, Bi Isah yang baru datang melihat ke tempat Anya masuk, lalu mengikuti pelayan untuk menata sarapan. “Harshad,” panggil Anya langsung melingkarkan tangan di pinggang Harshad. Harshad menoleh dan mengamati baju Anya, tersenyum lalu menyent
Bryan hanya diam di depan layar laptopnya, masih seperti biasa, dia berusaha menemukan kejanggalan atau petunjuk dari video pendek yang telah Danu kirimkan ke dirinya. Dia tidak keluar dari kamar sejak sarapan tadi, Bryan merasa kalau dia bisa menemukan petunjuk untuk kasus pembunuhan tuan besarnya. Juga hasil yang mungkin bisa membuat Harshad melupakan trauma yang sempat dia alami. Drrrt.. Drrrt.. Ponselnya bergetar dengan nada dering khusus milik Harshad. Ternyata pewaris tunggal itu mengirim pesan sekaligus meminta izinnya. Harshad Gue ke kantor, kalo ada apa-apa kabarin aja. “Serah lu, gue mah mending di rumah, bodo amat sama elu,” jawab Bryan menggunakan voice note, dan pastinya itu dusta. Dia langsung menghubungi Sekretaris Frans, orang yang bisa memantau apa saja yang terjadi di kantor dengan aman. “Iya, Tuan Bryan,” jawab Frans setelah menerima panggilan dari Bryan. “Harshad mau ke kantor, Tuan.” “Iya, Tuan. Saya yang mengatur hal
Air mancur di rumah Arnold terlihat lebih menyenangkan dari pada harus keluar rumah untuk bersenang-senang, itu bagi Arnold sendiri. Dia sedang memberi makan ikan-ikan yang dia pelihara di sana, anjing kecil kesayangan Arnold juga menemani di sekitar kakinya. Tak jauh dari air mancur, terlihat Gala sedang menikmati kopinya dengan camilan yang disediakan pelayan untuknya. Selama beberapa hari ini senyumnya tak hilang dari bibirnya. Arnold menoleh saat menyadari ada anak buahnya datang ke taman itu. Setidaknya ada empat orang yang menghampiri Arnold, dia berdiri setelah meletakkan kotak makanan ikan di pinggiran kolam ikan. Laki-laki yang mengenakan pakaian santai itu memastikan ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi akhirnya dia tetap menyingkir dari taman. Dia beranjak pergi bersama dua anak buahnya, mencari tempat yang tidak bisa didengar ayahnya, sedangkan dua yang lain menemani Gala di kursi taman itu. “Ada apa?” tanya Arnold. Satu tangannya
Arose duduk sendiri di ruang meeting, menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya yang ada di ruang meeting. Dia sedang tidak ingin di ruangannya. Ada banyak hal yang bisa membuatnya menyesal di ruang itu, dan juga nanti ada meeting, sekalian dia menyiapkan diri untuk meeting. Sekretaris Frans sedang mengurus berkas di ruangannya, sejatinya, pergi ke perusahaan hanyalah sebuah alasannya agar tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa hari lalu. “Huftttttt, udah Arose, fokus. Kamu harus fokus, tidak hanya Harshad yang terluka di sini, tapi juga Helen dan Anya,” gumam Arose mengingatkan dirinya sendiri saat mulai merasa down. Karena ketika ingat tiga orang tadi, semangatnya kembali muncul, ide tentang permintaan maaf juga seolah sudah antri di benaknya. “Mom’s,” panggil Harshad yang masih di luar pintu kaca, melihat ibunya menoleh dia langsung masuk ke ruang meeting. “Makan siang yuk, Mom’s,” tambah Harshad. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari pe
Beberapa mobil berhenti bersamaan di depan rumah almarhum Tuan Enrique. Banyak laki-laki mengenakan pakaian hitam dengan pistol kecil di saku atau di balik baju mereka. Rumah bernuansa bangunan kuno tersebut langsung ramai dan membuat orang-orang yang ada di rumah itu kalang kabut. Mereka juga berteriak dan mengancam. Tiga orang masuk paksa ke rumah itu, walaupun sudah dikunci oleh pemiliknya. Arnold baru saja turun dari mobilnya karena anak buahnya sudah ada yang berhasil masuk ke rumah tersebut. “Bagaimana?” tanya Arnold. Orang kepercayaannya hanya menggeleng. Lalu Arnold berjalan ke beberapa orang yang sudah didudukkan sambil berlutut. “Ke mana Nyonya Pemilik Rumah?”“Tidak tahu, Tuan. Dia tidak memberi tahu kami. Dia hanya pamit mau keluar dan dia juga minta ke kami agar menjaga rumah ini selama dia pergi.” Jawab seorang laki-laki yang terlihat paling tua di antara semuanya. Arnold berusaha berpikir, apakah ada yang salah? Atau memang ini sudah direncanaka
Beberapa mobil berhenti bersamaan di depan rumah almarhum Tuan Enrique. Banyak laki-laki mengenakan pakaian hitam dengan pistol kecil di saku atau di balik baju mereka. Rumah bernuansa bangunan kuno tersebut langsung ramai dan membuat orang-orang yang ada di rumah itu kalang kabut. Mereka juga berteriak dan mengancam. Tiga orang masuk paksa ke rumah itu, walaupun sudah dikunci oleh pemiliknya. Arnold baru saja turun dari mobilnya karena anak buahnya sudah ada yang berhasil masuk ke rumah tersebut. “Bagaimana?” tanya Arnold. Orang kepercayaannya hanya menggeleng. Lalu Arnold berjalan ke beberapa orang yang sudah didudukkan sambil berlutut. “Ke mana Nyonya Pemilik Rumah?”“Tidak tahu, Tuan. Dia tidak memberi tahu kami. Dia hanya pamit mau keluar dan dia juga minta ke kami agar menjaga rumah ini selama dia pergi.” Jawab seorang laki-laki yang terlihat paling tua di antara semuanya. Arnold berusaha berpikir, apakah ada yang salah? Atau memang ini sudah direncanaka
Arose duduk sendiri di ruang meeting, menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya yang ada di ruang meeting. Dia sedang tidak ingin di ruangannya. Ada banyak hal yang bisa membuatnya menyesal di ruang itu, dan juga nanti ada meeting, sekalian dia menyiapkan diri untuk meeting. Sekretaris Frans sedang mengurus berkas di ruangannya, sejatinya, pergi ke perusahaan hanyalah sebuah alasannya agar tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa hari lalu. “Huftttttt, udah Arose, fokus. Kamu harus fokus, tidak hanya Harshad yang terluka di sini, tapi juga Helen dan Anya,” gumam Arose mengingatkan dirinya sendiri saat mulai merasa down. Karena ketika ingat tiga orang tadi, semangatnya kembali muncul, ide tentang permintaan maaf juga seolah sudah antri di benaknya. “Mom’s,” panggil Harshad yang masih di luar pintu kaca, melihat ibunya menoleh dia langsung masuk ke ruang meeting. “Makan siang yuk, Mom’s,” tambah Harshad. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari pe
Air mancur di rumah Arnold terlihat lebih menyenangkan dari pada harus keluar rumah untuk bersenang-senang, itu bagi Arnold sendiri. Dia sedang memberi makan ikan-ikan yang dia pelihara di sana, anjing kecil kesayangan Arnold juga menemani di sekitar kakinya. Tak jauh dari air mancur, terlihat Gala sedang menikmati kopinya dengan camilan yang disediakan pelayan untuknya. Selama beberapa hari ini senyumnya tak hilang dari bibirnya. Arnold menoleh saat menyadari ada anak buahnya datang ke taman itu. Setidaknya ada empat orang yang menghampiri Arnold, dia berdiri setelah meletakkan kotak makanan ikan di pinggiran kolam ikan. Laki-laki yang mengenakan pakaian santai itu memastikan ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi akhirnya dia tetap menyingkir dari taman. Dia beranjak pergi bersama dua anak buahnya, mencari tempat yang tidak bisa didengar ayahnya, sedangkan dua yang lain menemani Gala di kursi taman itu. “Ada apa?” tanya Arnold. Satu tangannya
Bryan hanya diam di depan layar laptopnya, masih seperti biasa, dia berusaha menemukan kejanggalan atau petunjuk dari video pendek yang telah Danu kirimkan ke dirinya. Dia tidak keluar dari kamar sejak sarapan tadi, Bryan merasa kalau dia bisa menemukan petunjuk untuk kasus pembunuhan tuan besarnya. Juga hasil yang mungkin bisa membuat Harshad melupakan trauma yang sempat dia alami. Drrrt.. Drrrt.. Ponselnya bergetar dengan nada dering khusus milik Harshad. Ternyata pewaris tunggal itu mengirim pesan sekaligus meminta izinnya. Harshad Gue ke kantor, kalo ada apa-apa kabarin aja. “Serah lu, gue mah mending di rumah, bodo amat sama elu,” jawab Bryan menggunakan voice note, dan pastinya itu dusta. Dia langsung menghubungi Sekretaris Frans, orang yang bisa memantau apa saja yang terjadi di kantor dengan aman. “Iya, Tuan Bryan,” jawab Frans setelah menerima panggilan dari Bryan. “Harshad mau ke kantor, Tuan.” “Iya, Tuan. Saya yang mengatur hal
Anya menyusul Harshad yang sedang bermain dengan alat gym di lantai bawah. Dia melewati beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri berjajar di jalanan menuju ke ruang olahraga. Dua orang pelayan sampai mendongak melihat apa yang menggantung di punggung Anya. “Astaga,” bisik pelayan itu pada pelayan lainnya. Melihat baju Anya yang memang ada boneka menggantung di belakangnya. Membuatnya seperti menggendong boneka, padahal boneka tersebut menempel di baju Anya. Mereka terkikik pelan, tapi Anya tidak menyadari sama sekali. Ditambah lagi, warna baju itu seperti pelangi, juga Anya yang mengenakan kaos kaki berwarna senada dan rambut yang dikuncir tinggi. Para pelayan tersenyum gemas, mereka langsung bubar setelah Anya masuk ke ruang gym, Bi Isah yang baru datang melihat ke tempat Anya masuk, lalu mengikuti pelayan untuk menata sarapan. “Harshad,” panggil Anya langsung melingkarkan tangan di pinggang Harshad. Harshad menoleh dan mengamati baju Anya, tersenyum lalu menyent
“Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan itu. “Ahh, iya, Nyonya. Apa Anda adalah Nyonya Mia? Istri dari Tuan Enrique?” tanya Exel ganti.Mata perempuan tua itu terbelalak lebar, dia melambaikan tangannya pada beberapa orang yang ada di sana sebagai tanda mengusir mereka. Baru setelah beberapa orang itu pergi, perempuan yang bernama Mia itu mempersilahkan Exel duduk. “Anda siapa?” tanya Mia. Wajahnya benar-benar menunjukkan raut takut, tangannya juga saling meremas di pangkuannya. “Apa Anda juga salah satu orang yang akan menagih hutang suami saya?”“Hutang?” “Iya, Tuan. Suami saya meninggal dan meninggalkan beberapa hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan saya harus membayar itu semua,” jawabnya. “Ohh, bukan, Nyonya. Saya hanya ingin tahu, apakah benar mobil itu pernah dinaiki oleh Tuan Enrique dan ditinggal di daerah pertambangan?” tanya Exel to the point. Mia lebih terkejut lagi, dia terdiam dan berusaha mengangguk.
Gelap, dingin dan sunyi. Anya berdiri di antara dua hal itu, dia menyadari kalau di tempat berdirinya sekarang ada banyak bunga yang bermekaran dan indah jika bisa dilihat dengan cahaya yang cukup. Namun sayangnya, di sini tidak ada cahaya sama sekali. “Tempat apa, ini?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Kakinya terus melangkah untuk mencari pintu keluar atau apapun yang bisa dia gunakan untuk mencari cahaya. “Oh ya, ponsel. Mana ponsel gue?” masih bergumam untuk dirinya sendiri. Di mana dia? Kenapa dia bisa ada di sana? Apa yang terjadi padanya? Ada banyak pertanyaan berkeliling di kepala Anya, melihat dia yang mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga, ia menghentikan langkah. “Gue harus inget, di mana gue sebelum ini?” gumamnya memegang kepala. Terdiam berusaha mengingat, dan sudah berada di tempat lain saat membuka mata. “Ini di mana?” gumam Anya. Dia hendak bangkit dari berbaring, dan dia menyadari ada tangan yang memegangnya. Cklek.
Mobil Alphard putih yang ditumpangi Harshad dan Anya berhenti tepat si depan pintu utama mansion Harshad. Beberapa penjaga langsung menata posisi berdiri di sekitar mobil untuk menyambut Harshad. Bi Isah tergopoh menghampiri Harshad yang keluar dari mobil dengan keadaan basah kuyup. “Den Harshad, apa yang terjadi?” tanya Bi Isah. Laki-laki yang mengenakan pakaian tebal berwarna khaki itu menoleh dan memenangkan Bi Isah. “Tidak apa-apa, Bi. Apa Dokter Arya sudah datang?” tanya Harshad. “Sudah, Den. Dokter Arya ada di kamar, kamu,” jawab Bi Isah. Di pintu lain, seorang penjaga membuka pintu dan berusaha membawa Anya keluar. “Heh, tunggu. Biar aku saja, jangan sentuh Anya,” kata Harshad memperingatkan. Dua orang penjaga tersebut langsung mundur dan meminta maaf pada Harshad. Tak banyak berkata lagi, Harshad menutupkan jaket di tubuh Anya, sehingga menutupi tubuh Anya seluruhnya. Membopongnya ke kamar Harshad, Bi Isah menyarankan agar Anya dirawat di lantai
Hujan deras masih terus mengguyur bumi sejak dia keluar dari rumah utama milik keluarga Harshad. Dia sudah melepaskan heels yang dibelikan oleh Ibu Harshad. Dia tak pernah berpikir akan ada kejadian seperti ini di dunianya. Air mata yang sudah lama tidak keluar kini menunjukkan wujudnya. Dia tidak tahu mengapa dia bisa langsung pergi dari rumah itu tanpa memikirkan ibunya, keselamatannya dan bagaimana nanti jika anak buah ayahnya menemukannya. Anya mendongak, menadahkan tangannya menyentuh air hujan. Apa Harshad tidak mencarinya? Kenapa sampai sekarang belum ada anak buah Harshad? Dia tidak membawa ponselnya, benda canggih itu tertinggal di kamar Harshad. Karena memang dia tidak membawanya saat makan malam. “Hhhhh, Ibu.” Anya terus berpikir tentang ibunya, bagaimana keadaan dan perasaan ibunya sekarang. Lappp.. Anya sedikit terkejut, lampu jalan menyala bersamaan. Menandakan hari sudah semakin malam. Dia meletakkan heels nya yang dari tadi dia pegang.