Anya terbangun dari tidurnya pukul sembilan malam. Dia tadi sempat menyadari ada Harshad yang tidur di sampingnya, tapi sekarang laki-laki itu sudah menghilang entah kemana. Dia celingukan mencari sosok yang sudah dia tunggu itu.
Tidak menemukan Harshad, dia melangkah ke kamar mandi membersihkan badannya yang terasa lengket karena belum mandi semenjak sampai di Indonesia. Dia mengabaikan apapun yang terjadi di luar, menikmati mandinya adalah hal yang sangat dia sukai.Ada yang sangat menyenangkan di dalam hatinya, tapi dia tidak tahu apa itu. Mungkin salah satunya adalah bisa lolos dari penjagaan orang bayaran ayahnya di bandara New York.Ritual mandinya sudah selesai, seperti biasa, rumah Harshad selalu tenang layaknya hanya dia yang tinggal di sana. Karena merasa lapar, dia berniat turun untuk makan malam dan mencari Harshad adalah tujuan utamanya. Semoga tidak terjadi apa-apa padanya.Anya turun, di tangga melingkar itu dia disapa oleh dua pelayan, persisHelen dan ayahnya berjalan tenang menuju taman rumah. Mereka sudah pindah dari hotel yang pertama kali menjadi tempat mereka bersembunyi. Kini mereka berada di salah satu apartemen milik tuan besar. “Ayah merasa baikkan?” tanya Helen. Laki-laki yang menjadi ayahnya itu tersenyum sembari menepuk tangan putrinya, “Ayah berhutang banyak pada kalian, aku tidak mengira akan bertemu denganmu lagi, Helen. Ayah tidak tahu apa yang akan terjadi pada ayah kalau tidak ada Doni,” ujar Arga mendongak melihat hamparan langit yang luas. Mata Helen berair, dia menggenggam tangan keriput milik ayahnya, “Ayah, aku yang seharusnya berterima kasih, tidak ada orang yang mencintaiku setulus cinta ayah,” balas Helen. Dia menyeka air matanya yang luruh. “Benar kata orang, kalau cinta pertama seorang putri adalah cinta ayahnya, dan aku sudah merasakannya, Ayah,” tambah Helen lagi. Arga menghela nafasnya panjang. Dia tersenyum. “Tapi mungkin kalimat itu tidak berlaku untuk Cryst
Ruangan berwarna cokelat dengan kombinasi warna hitam itu sangat mencekam bagi para penghuninya. Ada yang sedang memainkan mouse dan komputer, ada yang menghadap layar besar berisi seluruh rekaman CCTV di daerah itu. Jane berdiri di belakang orang yang mengoperasikan komputer yang khusus menangani CCTV. Tangannya mengepal erat terlebih lagi setelah ia mendapat kabar dari Gala bahwa Anya sudah tidak ada di New York, kalau anaknya bisa lolos, berarti memang penjagaan yang dia siapkan sudah tidak bekerja dengan baik. “Tuan, ponsel Nona Crystal bisa dilacak untuk terakhir kalinya. Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi, Tuan.” Anak buah Jane datang memberi laporan, Jane menoleh semangat. “Tapi sudah tidak bisa dilacak lagi?” tanya Jane tidak jadi bersemangat, Anton mengangguk pelan. “Kenapa tidak bisa?”“Mungkin ponsel kehabisan daya, Tuan.”“Baiklah, di mana lokasi terakhir ponsel itu?”“New York, Tuan.” Mendengar jawaban Anton, tanpa Jane kontrol,
Anya berpamitan pada ibunya, dia benar-benar pulang ke mansion Harshad hanya untuk berenang. Sekarang, berenang di malam hari sudah bukan hal yang asing bagi mereka berdua. Harshad mengemudikan sendiri mobil sport hitam kesayangannya. Ada banyak hal yang harus dia selesaikan setelah ini. “Shad?” panggil Anya. “Hmmm.”“Kamu nggak pengen ngajak aku belanja, gitu?” tanya Anya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan di depannya. “Belanja?” tanya Harshad tak percaya. “He'eh. Kapan-kapan belanja ya, Shad?” ujar Anya melingkarkan tangannya ke lengan Harshad. “Enak kali dikau,” balas Harshad sambil tertawa. “Iya, kasihani aku lah, Shad. Kalo nggak minta ke kamu, aku minta ke siapa, dong? Masa ibu? So impossible, kan?”Bibir Harshad manyun menahan tawa sambil kepalanya masih mengangguk-angguk mendengar ocehan Anya. “Atau gini aja wes, kalau kamu nggak mau nanggung kepengenan aku, kasih aku kerjaan, gimana?” tanya Anya. Harshad lan
“Ya sudah, Ayo!” Harshad mengiyakan ajakan ibunya berbelanja. Anya dan Harshad saling diam di meja makan. Fokus menghabiskan makanan mereka masing-masing. Bi Isah melirik Anya berkali-kali, pastinya Bi Isah berpikir apa Anya berhasil membujuk Harshad untuk bertemu dengan Nyonya Arose. Menyadari apa yang dilakukan oleh Bi Isah, Anya menunjukkan tangannya pada Bi Isah sebagai tanda Oke. Senyum Bi Isah segera lahir. “Ajak ibu, kamu?” tanya Harshad. “Hah? Apa?” dia terkejut, Anya sedang melihat Bi Isah. “Kamu pengen ibumu diajak apa tidak?” tanya Harshad memperjelas pertanyaannya. “Emangnya boleh aku ngajak ibuku?”“Boleh, lah. Siapa yang ngelarang? Nanti biar ibumu menemani ibuku belanja, terus kita jalan-jalan, haha,” jawab Harshad membuat Anya berdecak. “Mana bisa?” gumam Anya. Sebenarnya dia sangat bersemangat kalau ibunya diajak, sudah lumayan lama mereka tidak berbelanja bareng. “Loh aku seriusan, Nya. Kalau kamu pengen ngajak ibu ka
Perjalanan Anya dan Harshad diisi dengan tawa, bagaimana tidak, Anya selalu saja mempermainkan mood Harshad. Anya bukanlah perempuan yang ribet, palingan ribetnya Anya kalau mau workout itu saja. Kalau diajak olahraga sama Harshad pasti ada aja alasannya. Bahkan Anya rela memutari kamar luas Harshad hanya untuk memperlambat berangkat mereka olahraga. “Tapi sekarang udah enggak, ya?” balas Anya sedikit tidak terima. Dia meminum minuman dingin milik Harshad yang ada di mobil.“Heh, heh, apa itu main minum-minum aja, lu?” tanya Harshad panik sembari merebut botol minumnya. “Enak,” kata Anya polos sambil meminta lagi. “Jangan! Ngawur! Nanti aja beli coklat di mall,” balas Harshad membuat bibir Anya menciut. “Apa, sih? Enak loh itu,” tanya Anya lagi, dia berusaha mengambil minuman di samping Harshad. “Enggak, Nya. Itu minumannya khusus buat aku, kamu nggak boleh.”“Lah kenapa?”“Ya karena itu buat laki-laki, buat kamu ada juga, tapi aku
Sampai di mall, keinginan Harshad untuk membiarkan ibunya berbelanja dengan Helen terwujud. Anya hanya tertawa melihat Harshad dengan polosnya meminta izin pada ibunya untuk membiarkan Helen bersama ibunya. “Bu?” panggil Harshad. Arose yang sedang membenarkan rambut dan melepas maskernya hanya menjawab dengan gumaman. “Ibu belanja sama Nyonya Helen aja, ya? Harshad mau keluar sama sekretaris Harshad,” tambah Harshad. Helen menoleh dan melihat dia perempuan yang berdiri di samping putranya. “Mereka siapa?” tanya Helen. “Ini Anya, temen Harshad di New York. Dan ini Nyonya Helen, ibunya Anya,” jawab Harshad. Arose segera mengulurkan tangan menyalami Helen. “Halo, saya Arose, ibunya Harshad,” kata Arose. “Saya Helen, Nyonya.”“Ya sudah, Bu. Harshad sama Anya pergi dulu,” pamit Harshad. “Iya, nanti langsung ke rumah utama, kita makan malam,” pesan Arose sambil melambaikan tangan pada putranya. “Oke, mom’s,” jawab Harshad melengang semb
Gala dan Arnold berdiri di depan orang yang duduk bersila di kursi ruang tamu rumah mereka. Gala menundukkan kepala, sedangkan Arnold yang tak tau apa-apa mengangkat kepalanya dengan tenang. Suasana rumah itu sunyi senyap tak ada suara kecuali suara tutup korek api yang dimainkan oleh Jane. Arnold tak menunjukkan ekspresi apapun. Dia memainkan rokok di tangannya. Jane suka melihat wajah tak berdosa yang ditunjukkan oleh Arnold. Sejak dia mengenal Arnold, memang ekspresi seperti itu yang selalu ditunjukkan Arnold, seolah tak takut oleh apapun dan siapapun. “Sepertinya kau sudah mengira ini akan terjadi, Arnold,” kata Jane. Dia senang sekarang, Arnold langsung membuang pandangannya ke beberapa anjing peliharaannya yang dikurung oleh anak buah Jane. “Iya, dan aku juga sudah tau kenapa kau terus-terusan menggangguku,” sahut Arnold berjalan menghampiri hewan kesayangannya itu dan melepasnya dari kandang besi. Arnold menoleh melihat reaksi Jane sebentar, laki-laki itu me
Bryan menghabiskan makanannya di pinggir kolam renang, dia sedang memikirkan sesuatu tentang pembunuhan ayah Harshad yang sampai sekarang tidak ditemukan bukti. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba muncul pikiran seperti itu, tapi memang pembunuhan tuan besarnya adalah sebuah rahasia besar yang belum terpecahkan. Jika saja Harshad sudah tahu siapa yang membunuh ayahnya, Harshad tidak akan membiarkan pembunuh itu hidup dengan tenang. Itu sudah menjadi janji Harshad sedari dulu. Bryan mencari ponselnya yang bergetar, pastinya getaran ponsel itu berasal dari pesan Harshad. Walaupun nada dering nya lirih, tapi dia bisa mendengar nada pesan masuk yang berbeda itu. HarshaGue ke perusahaan, gue tunggu tiga menit, jawab boleh apa nggak! Bryan mendengus, lalu mengetik tulisan iya di kolom pesan untuk Harshad. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Jane sedang berada di New York mengurusi orang yang akan dia jadikan otak rencananya. Ting.. Ting.. Bryan sedik
Beberapa mobil berhenti bersamaan di depan rumah almarhum Tuan Enrique. Banyak laki-laki mengenakan pakaian hitam dengan pistol kecil di saku atau di balik baju mereka. Rumah bernuansa bangunan kuno tersebut langsung ramai dan membuat orang-orang yang ada di rumah itu kalang kabut. Mereka juga berteriak dan mengancam. Tiga orang masuk paksa ke rumah itu, walaupun sudah dikunci oleh pemiliknya. Arnold baru saja turun dari mobilnya karena anak buahnya sudah ada yang berhasil masuk ke rumah tersebut. “Bagaimana?” tanya Arnold. Orang kepercayaannya hanya menggeleng. Lalu Arnold berjalan ke beberapa orang yang sudah didudukkan sambil berlutut. “Ke mana Nyonya Pemilik Rumah?”“Tidak tahu, Tuan. Dia tidak memberi tahu kami. Dia hanya pamit mau keluar dan dia juga minta ke kami agar menjaga rumah ini selama dia pergi.” Jawab seorang laki-laki yang terlihat paling tua di antara semuanya. Arnold berusaha berpikir, apakah ada yang salah? Atau memang ini sudah direncanaka
Arose duduk sendiri di ruang meeting, menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya yang ada di ruang meeting. Dia sedang tidak ingin di ruangannya. Ada banyak hal yang bisa membuatnya menyesal di ruang itu, dan juga nanti ada meeting, sekalian dia menyiapkan diri untuk meeting. Sekretaris Frans sedang mengurus berkas di ruangannya, sejatinya, pergi ke perusahaan hanyalah sebuah alasannya agar tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa hari lalu. “Huftttttt, udah Arose, fokus. Kamu harus fokus, tidak hanya Harshad yang terluka di sini, tapi juga Helen dan Anya,” gumam Arose mengingatkan dirinya sendiri saat mulai merasa down. Karena ketika ingat tiga orang tadi, semangatnya kembali muncul, ide tentang permintaan maaf juga seolah sudah antri di benaknya. “Mom’s,” panggil Harshad yang masih di luar pintu kaca, melihat ibunya menoleh dia langsung masuk ke ruang meeting. “Makan siang yuk, Mom’s,” tambah Harshad. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari pe
Air mancur di rumah Arnold terlihat lebih menyenangkan dari pada harus keluar rumah untuk bersenang-senang, itu bagi Arnold sendiri. Dia sedang memberi makan ikan-ikan yang dia pelihara di sana, anjing kecil kesayangan Arnold juga menemani di sekitar kakinya. Tak jauh dari air mancur, terlihat Gala sedang menikmati kopinya dengan camilan yang disediakan pelayan untuknya. Selama beberapa hari ini senyumnya tak hilang dari bibirnya. Arnold menoleh saat menyadari ada anak buahnya datang ke taman itu. Setidaknya ada empat orang yang menghampiri Arnold, dia berdiri setelah meletakkan kotak makanan ikan di pinggiran kolam ikan. Laki-laki yang mengenakan pakaian santai itu memastikan ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi akhirnya dia tetap menyingkir dari taman. Dia beranjak pergi bersama dua anak buahnya, mencari tempat yang tidak bisa didengar ayahnya, sedangkan dua yang lain menemani Gala di kursi taman itu. “Ada apa?” tanya Arnold. Satu tangannya
Bryan hanya diam di depan layar laptopnya, masih seperti biasa, dia berusaha menemukan kejanggalan atau petunjuk dari video pendek yang telah Danu kirimkan ke dirinya. Dia tidak keluar dari kamar sejak sarapan tadi, Bryan merasa kalau dia bisa menemukan petunjuk untuk kasus pembunuhan tuan besarnya. Juga hasil yang mungkin bisa membuat Harshad melupakan trauma yang sempat dia alami. Drrrt.. Drrrt.. Ponselnya bergetar dengan nada dering khusus milik Harshad. Ternyata pewaris tunggal itu mengirim pesan sekaligus meminta izinnya. Harshad Gue ke kantor, kalo ada apa-apa kabarin aja. “Serah lu, gue mah mending di rumah, bodo amat sama elu,” jawab Bryan menggunakan voice note, dan pastinya itu dusta. Dia langsung menghubungi Sekretaris Frans, orang yang bisa memantau apa saja yang terjadi di kantor dengan aman. “Iya, Tuan Bryan,” jawab Frans setelah menerima panggilan dari Bryan. “Harshad mau ke kantor, Tuan.” “Iya, Tuan. Saya yang mengatur hal
Anya menyusul Harshad yang sedang bermain dengan alat gym di lantai bawah. Dia melewati beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri berjajar di jalanan menuju ke ruang olahraga. Dua orang pelayan sampai mendongak melihat apa yang menggantung di punggung Anya. “Astaga,” bisik pelayan itu pada pelayan lainnya. Melihat baju Anya yang memang ada boneka menggantung di belakangnya. Membuatnya seperti menggendong boneka, padahal boneka tersebut menempel di baju Anya. Mereka terkikik pelan, tapi Anya tidak menyadari sama sekali. Ditambah lagi, warna baju itu seperti pelangi, juga Anya yang mengenakan kaos kaki berwarna senada dan rambut yang dikuncir tinggi. Para pelayan tersenyum gemas, mereka langsung bubar setelah Anya masuk ke ruang gym, Bi Isah yang baru datang melihat ke tempat Anya masuk, lalu mengikuti pelayan untuk menata sarapan. “Harshad,” panggil Anya langsung melingkarkan tangan di pinggang Harshad. Harshad menoleh dan mengamati baju Anya, tersenyum lalu menyent
“Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan itu. “Ahh, iya, Nyonya. Apa Anda adalah Nyonya Mia? Istri dari Tuan Enrique?” tanya Exel ganti.Mata perempuan tua itu terbelalak lebar, dia melambaikan tangannya pada beberapa orang yang ada di sana sebagai tanda mengusir mereka. Baru setelah beberapa orang itu pergi, perempuan yang bernama Mia itu mempersilahkan Exel duduk. “Anda siapa?” tanya Mia. Wajahnya benar-benar menunjukkan raut takut, tangannya juga saling meremas di pangkuannya. “Apa Anda juga salah satu orang yang akan menagih hutang suami saya?”“Hutang?” “Iya, Tuan. Suami saya meninggal dan meninggalkan beberapa hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan saya harus membayar itu semua,” jawabnya. “Ohh, bukan, Nyonya. Saya hanya ingin tahu, apakah benar mobil itu pernah dinaiki oleh Tuan Enrique dan ditinggal di daerah pertambangan?” tanya Exel to the point. Mia lebih terkejut lagi, dia terdiam dan berusaha mengangguk.
Gelap, dingin dan sunyi. Anya berdiri di antara dua hal itu, dia menyadari kalau di tempat berdirinya sekarang ada banyak bunga yang bermekaran dan indah jika bisa dilihat dengan cahaya yang cukup. Namun sayangnya, di sini tidak ada cahaya sama sekali. “Tempat apa, ini?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Kakinya terus melangkah untuk mencari pintu keluar atau apapun yang bisa dia gunakan untuk mencari cahaya. “Oh ya, ponsel. Mana ponsel gue?” masih bergumam untuk dirinya sendiri. Di mana dia? Kenapa dia bisa ada di sana? Apa yang terjadi padanya? Ada banyak pertanyaan berkeliling di kepala Anya, melihat dia yang mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga, ia menghentikan langkah. “Gue harus inget, di mana gue sebelum ini?” gumamnya memegang kepala. Terdiam berusaha mengingat, dan sudah berada di tempat lain saat membuka mata. “Ini di mana?” gumam Anya. Dia hendak bangkit dari berbaring, dan dia menyadari ada tangan yang memegangnya. Cklek.
Mobil Alphard putih yang ditumpangi Harshad dan Anya berhenti tepat si depan pintu utama mansion Harshad. Beberapa penjaga langsung menata posisi berdiri di sekitar mobil untuk menyambut Harshad. Bi Isah tergopoh menghampiri Harshad yang keluar dari mobil dengan keadaan basah kuyup. “Den Harshad, apa yang terjadi?” tanya Bi Isah. Laki-laki yang mengenakan pakaian tebal berwarna khaki itu menoleh dan memenangkan Bi Isah. “Tidak apa-apa, Bi. Apa Dokter Arya sudah datang?” tanya Harshad. “Sudah, Den. Dokter Arya ada di kamar, kamu,” jawab Bi Isah. Di pintu lain, seorang penjaga membuka pintu dan berusaha membawa Anya keluar. “Heh, tunggu. Biar aku saja, jangan sentuh Anya,” kata Harshad memperingatkan. Dua orang penjaga tersebut langsung mundur dan meminta maaf pada Harshad. Tak banyak berkata lagi, Harshad menutupkan jaket di tubuh Anya, sehingga menutupi tubuh Anya seluruhnya. Membopongnya ke kamar Harshad, Bi Isah menyarankan agar Anya dirawat di lantai
Hujan deras masih terus mengguyur bumi sejak dia keluar dari rumah utama milik keluarga Harshad. Dia sudah melepaskan heels yang dibelikan oleh Ibu Harshad. Dia tak pernah berpikir akan ada kejadian seperti ini di dunianya. Air mata yang sudah lama tidak keluar kini menunjukkan wujudnya. Dia tidak tahu mengapa dia bisa langsung pergi dari rumah itu tanpa memikirkan ibunya, keselamatannya dan bagaimana nanti jika anak buah ayahnya menemukannya. Anya mendongak, menadahkan tangannya menyentuh air hujan. Apa Harshad tidak mencarinya? Kenapa sampai sekarang belum ada anak buah Harshad? Dia tidak membawa ponselnya, benda canggih itu tertinggal di kamar Harshad. Karena memang dia tidak membawanya saat makan malam. “Hhhhh, Ibu.” Anya terus berpikir tentang ibunya, bagaimana keadaan dan perasaan ibunya sekarang. Lappp.. Anya sedikit terkejut, lampu jalan menyala bersamaan. Menandakan hari sudah semakin malam. Dia meletakkan heels nya yang dari tadi dia pegang.