Pukul 22.20 Harshad dan Bryan baru sampai di penthouse nya. Bryan langsung masuk ruang kerja karena ada beberapa hal yang perlu dia bereskan. Sedangkan Harshad langsung naik ke kamarnya untuk mandi dan meluruskan otot-otot tubuhnya yang menegang akibat seharian duduk.
Lampu rumah itu tidak pernah padam, meskipun malam telah larut, rumah itu tetap terang benderang seperti ada pesta. Danu belum bisa istirahat, dia yang bertugas memastikan rencana Bryan berjalan dengan lancar. Dia sedang berada di markas tersembunyi intel Akandra grup.
Harshad melepaskan jas yang menempel di badannya, dia ingin segera mengguyur tubuhnya dengan air hangat dan membilasnya dengan sabun kesukaannya. Setelah masuk kamarnya, matanya menyipit. Sejak kapan lampu di kamarnya tidak berfungsi? Kenapa bisa mati?
Laki-laki itu menyampirkan jasnya di lengan kirinya. “Kok bisa mati, sih?” ucap Harshad sambil bertepuk tangan dua kali. Dan lampu menyala otomatis.
Harshad langsung
Keberangkatan dan kepulangan Harshad memang sudah ditunggu oleh para musuhnya. Bahkan tidak hanya sekali mata Harshad bertemu dengan pandangan orang yang mengintainya.Namun dengan tenang Harshad berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Karena memang sudah dia duga sebelumnya. Dan jika dilihat lagi dengan teliti, mana mungkin petugas bandara menggunakan jasa yang berlambang pedang dan trisula. Bukankah seharusnya gambar pesawat, ya?“Take off 15 menit lagi, Shad.” Bryan memberi tahu. Harshad mendongak dan mengangguk.“Danu ada di sini, gue tinggal dulu,” tambah Bryan.“Iya, be careful.”“Trust me.” Selanjutnya Bryan mengganti pakaian resminya dengan kaos hitam dan manset berwarna navy. Tak lupa dengan topi dan masker hitam untuk menutupi dirinya. Dan benar saja, dia bisa menghindari awasan para anak buah Gala.Bryan kembali ke penthouse, sedangkan Harshad, dia baru saja mengirim pesan pada Anya
Anya menenteng tasnya dengan bahagia, di belakangnya ada Bryan yang senantiasa waspada dengan keadaan sekitar dan dalam kondisi apapun. Dulu dia sangat ingin menegur Bryan yang terlalu waspada pada pada apapun, tapi ternyata sekarang dia juga menjadi hal yang benar-benar dijaga oleh Bryan. “Gue titip Anya, Bro,” ucap Harshad sembari menepuk bahu Bryan. “Lu jaga dia baik-baik kayak lu jaga gue, understand?”“Iye, Shad. Bisa ngelindungin Anya sampe Indonesia adalah sebuah hal baru untuk gue, mana ada selama ini gue jagain cewek orang, iya, kan?” jawab Bryan serius tapi melucu di akhirnya. “Bego, lagian kapan elu punya cewek?”“Sebenernya gue mampu cari cewek, secara gue itu tampan, kaya, mapan, kan idaman banget gue, ye kan?”“Iye, songong terus sono!”“Ya lagian elu, gue itu udah nutup telinga lama-lama gara-gara gue mesti dibilang pacar elu. Cuman buat ngelindungin elu dan buat elu sembuh dari trauma elu. Semua ini buat elu, Boys,” cecar Bryan mengang
Perjalanan Gala ke penthouse Harshad dilingkupi harapan yang besar, dia enggan diperalat lagi oleh Jane. Semua yang ada di hidupnya sekarang adalah pemberian Jane, tapi jika dia bisa memilih, ia akan lebih bahagia dengan apa yang bisa dia dapatkan sendiri, bukan dengan mengabdi pada orang lain. Danu menunggu kedatangan seseorang di dalam penthouse tersebut, kakinya menyilang dan dia mengetuk-ngetuk pelan jarinya di lutut. Sudah tiga kali dia melirik jam tangannya, tebakan Bryan tidak mungkin meleset. “Mereka sudah datang, Tuan.” Seorang penjaga menghampiri Danu dan melaporkan. “Kalian bersiap, jangan lakukan apapun pada mereka. Ingat pesan Tuan Muda!” pinta Danu. “Baik, Tuan.”“Saya awasi dari atas.”“Baik, Tuan.” Danu mengantar kepergian penjaga tersebut sampai hilang dari pandangannya. Lalu dia naik ke lantai dua, berdiri sambil menjejalkan tangannya ke saku celana. Dua orang bertubuh kekar turun dari mobil Alphard hitam, mereka mendekati pi
Bryan membawa Anya ke mansion Harshad. Rumah yang pernah dia dan Harshad tinggali sementara karena kejaran pembunuh bayaran yang disuruh oleh orang misterius. Rumah itu selalu menyediakan kenyamanan yang tidak bertanding, seorang Bryan yang tidak bisa jauh dari pusat kota. Jika sudah berada di sana malah lebih baik dia mengurung diri di dalam rumah. Pintu gerbang besar berwarna hitam menyambut mereka, Bryan tersenyum menoleh pada Anya. “Selamat datang di Mansion rahasia Tuan Muda, Nona Anya,” ucap Bryan melebarkan tangan layaknya sedang mempersilahkan seseorang. “Mansion rahasia?” “Yap, ini Mansion hanya aku dan Harshad yang tahu, Tuan Besar menghadiahkan dan mewariskan rumah ini pada Tuan Muda tanpa sepengetahuan siapapun,” jawab Bryan sambil merebut tas yang ada di tangan Anya, dia menjelaskan sambil berjalan masuk. “Jadi aku adalah orang ketiga yang tahu tempat ini?” “Mmm, bukan, sih. Lebih tepatnya, orang asing yang pertama kali datang dan tahu tempat
Harshad tiba di Mansion nya disambut oleh Bryan, dia mendekati Bryan yang berdiri di pintu setelah membantu Bi Isah turun dari mobil. Senyum Bryan terkembang lebar, dia senang melihat Harshad baik-baik saja. Setidaknya tugas menjaga Harshad dan Anya sampai Indonesia sudah selesai. Tinggal bagaimana nanti di Indonesia nanti. Apakah masih berlanjut atau tidak teror dari ayah Anya. “Bi Isah? Apa kabar, Bi?” tanya Bryan menyalami tangan Bi Isah layaknya seorang ibu. “Bibi baik, Den. Den Bryan tambah ganteng saja,” puji Bi Isah, Harshad yang mendengar langsung menoleh sembari menunjukkan ekspresi mengejek. “Apanya yang tambah ganteng, Bi?” cibir Harshad. Dia melangkah masuk membiarkan Bi Isah dan Bryan berbincang-bincang di ruang tengah. “Shad, Anya tadi udah naik,” teriak Bryan. Harshad diam saja tak merespon. Selanjutnya seorang pelayan menghampiri Harshad. “Anda ingin makan malam apa, Tuan?” tanyanya. “Ah, tanya Bryan dan Bi Isah saja,” jawab Harsha
Anya terbangun dari tidurnya pukul sembilan malam. Dia tadi sempat menyadari ada Harshad yang tidur di sampingnya, tapi sekarang laki-laki itu sudah menghilang entah kemana. Dia celingukan mencari sosok yang sudah dia tunggu itu. Tidak menemukan Harshad, dia melangkah ke kamar mandi membersihkan badannya yang terasa lengket karena belum mandi semenjak sampai di Indonesia. Dia mengabaikan apapun yang terjadi di luar, menikmati mandinya adalah hal yang sangat dia sukai. Ada yang sangat menyenangkan di dalam hatinya, tapi dia tidak tahu apa itu. Mungkin salah satunya adalah bisa lolos dari penjagaan orang bayaran ayahnya di bandara New York. Ritual mandinya sudah selesai, seperti biasa, rumah Harshad selalu tenang layaknya hanya dia yang tinggal di sana. Karena merasa lapar, dia berniat turun untuk makan malam dan mencari Harshad adalah tujuan utamanya. Semoga tidak terjadi apa-apa padanya. Anya turun, di tangga melingkar itu dia disapa oleh dua pelayan, persis
Helen dan ayahnya berjalan tenang menuju taman rumah. Mereka sudah pindah dari hotel yang pertama kali menjadi tempat mereka bersembunyi. Kini mereka berada di salah satu apartemen milik tuan besar. “Ayah merasa baikkan?” tanya Helen. Laki-laki yang menjadi ayahnya itu tersenyum sembari menepuk tangan putrinya, “Ayah berhutang banyak pada kalian, aku tidak mengira akan bertemu denganmu lagi, Helen. Ayah tidak tahu apa yang akan terjadi pada ayah kalau tidak ada Doni,” ujar Arga mendongak melihat hamparan langit yang luas. Mata Helen berair, dia menggenggam tangan keriput milik ayahnya, “Ayah, aku yang seharusnya berterima kasih, tidak ada orang yang mencintaiku setulus cinta ayah,” balas Helen. Dia menyeka air matanya yang luruh. “Benar kata orang, kalau cinta pertama seorang putri adalah cinta ayahnya, dan aku sudah merasakannya, Ayah,” tambah Helen lagi. Arga menghela nafasnya panjang. Dia tersenyum. “Tapi mungkin kalimat itu tidak berlaku untuk Cryst
Ruangan berwarna cokelat dengan kombinasi warna hitam itu sangat mencekam bagi para penghuninya. Ada yang sedang memainkan mouse dan komputer, ada yang menghadap layar besar berisi seluruh rekaman CCTV di daerah itu. Jane berdiri di belakang orang yang mengoperasikan komputer yang khusus menangani CCTV. Tangannya mengepal erat terlebih lagi setelah ia mendapat kabar dari Gala bahwa Anya sudah tidak ada di New York, kalau anaknya bisa lolos, berarti memang penjagaan yang dia siapkan sudah tidak bekerja dengan baik. “Tuan, ponsel Nona Crystal bisa dilacak untuk terakhir kalinya. Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi, Tuan.” Anak buah Jane datang memberi laporan, Jane menoleh semangat. “Tapi sudah tidak bisa dilacak lagi?” tanya Jane tidak jadi bersemangat, Anton mengangguk pelan. “Kenapa tidak bisa?”“Mungkin ponsel kehabisan daya, Tuan.”“Baiklah, di mana lokasi terakhir ponsel itu?”“New York, Tuan.” Mendengar jawaban Anton, tanpa Jane kontrol,