Segelas matcha latte dan sepiring blueberry cheesecake menemani Anin di kafe ini. Di hadapannya ada laptop yang sedang terbuka, menantikan Anin menyentuhnya kembali. Iya, betul. Anin sedang berada di kafe favoritnya dan ia duduk di spot favoritnya—sudut ruangan dekat jendela besar yang mengarah ke pemandangan kota Bandung.
Meskipun niatnya datang ke kafe ini untuk mengerjakan tugas, namun nyatanya Anin malah menikmati lamunannya. Memang kesendirian dan melamun adalah paket combo yang Anin suka. Ia bisa menghilangkan kerumitan hidup dalam beberapa menit, lalu kembali lagi pada kenyataan.
Lamunan Anin buyar ketika ia menyadari ada seseorang yang duduk di hadapannya, dia adalah Aldifan. Lelaki sekaligus ketua pelaksana dari program kerja yang ia jalani bersama. Lelaki yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya. Anin terkejut sekaligus tersipu. Mengapa Aldifan tiba-tiba berada di hadapannya saat ini?
“Hai.” Sapa Aldifan dengan senyuman manisnya.
Anin seketika tersipu, ia dengan malu malu membalas Aldifan. “Halo!” Lalu, Anin menyadari ada getaran dalam suaranya. Mengapa ia harus gugup?!
“Nugas, Nin?” tanya Aldifan ramah.
Anin berdeham guna menetralkan suaranya, “Iya. Lo ngapain disini?”
Aldifan mengangkat bahunya, lalu kembali tersenyum. “Nggak tau, gue ingin aja kesini. Kali aja nemu cewek cantik.”
Pipi Anin seketika bersemu, namun ia tidak ingin Aldifan mengetahui bahwa dirinya sedang salah tingkah. Padahal, cewek yang Aldifan maksud belum tentu Anin.
“Siapa Fan?”
Aldifan terkekeh, “Ya lo lah, gimana sih?”
“Apaan sih?” Jujur, Anin tidak bisa menahan diri untuk berhenti salah tingkah. Dirinya tersipu, pipinya sudah semerah udang rebus.
“Iya, kan lo cantik Nin!” Aldifan memperjelas.
Pelayan yang mengantarkan pesanan Aldifan menyelamatkan Anin. Ternyata Aldifan memesan Americano coffee dan spaghetti aglio olio. Setelah Aldifan menghaturkan terima kasih pada pelayan, pelayan itu langsung meninggalkan mereka berdua, memberi space untuk Aldifan dan Anin.
Sore ini Bandung sedang mendung, menghadirkan udara sejuk dan dingin. Selanjutnya, Anin tak banyak bicara. Ia lebih banyak memperhatikan Aldifan yang sedang menyantap makanannya dengan tenang tanpa terburu-buru.
Aldifan memang menarik perhatiannya akhir-akhir ini. Wajahnya, sikapnya, sifatnya, dan segala perhatian kecilnya. Dan Anin baru menyadarinya sekarang. Di saat dirinya sudah memiliki calon suami. Calon suami katanya.
“Nin, gue ganteng ya?”
Pandangan Anin teralihkan, ia tak lagi menatap Aldifan yang sedang makan. Karena kini berbalik, Aldifan lah yang sedang memandanginya dengan senyum mengejek. Oh iya Anin lupa, bahwa Aldifan juga kadang rese. Anin mendengus, tidak membalas Aldifan. Kini ia lebih memilih untuk melanjutkan tugasnya dibandingkan harus meladeni Aldifan yang sifat aslinya mulai keluar.
“Abis makan gue bantuin dah tugasnya, gampang gitu mah!”
Walaupun jurusan mereka berbeda, namun jangan lupakan status Aldifan yang pernah menjadi mapres atau Mahasiswa Beprestasi di kampusnya. Aldifan juga beberapa kali mengikuti kejuaraan tingkat nasional dan menjuarainya. Seperti, lelaki itu memiliki segalanya. Dan Anin juga tersadar, bahwa hampir tidak ada celah dan alasan untuk Anin menolak Aldifan apabila Aldifan mendekatinya.
Belum apa apa gue udah geer duluan, kebiasaan buruk banget.
“Yaudah lo makannya cepet, keburu kemaleman nanti!” cerocos Anin.
“Iya iya, gue anter pulang nanti.”
* * *
“Nin, neduh aja kali ya?” seru Aldifan sedikit berteriak.
“Ah, tanggung Fan!” Anin menjawab tak kalah kencang.
Aldifan benar-benar menepati omongannya. Ia mengantar Anin pulang ke apartemennya. Anin merasa beruntung ketika Rafa tidak tiba-tiba muncul seperti dua hari yang lalu untuk menjemput Anin. Jadi, Anin bisa pulang bersama Aldifan.
Belum sampai sepuluh menit setelah percakapan singkat mereka, hujan mengguyur kota Bandung. Membuat Aldifan tidak enak hati, Anin kehujanan karena dirinya membawa motor bukan mobil. Namun, Anin juga memaksa Aldifan untuk tidak berteduh terlebih dahulu.
Anin memeluk Aldifan, blouse berwarna hitam dan celananya sudah basah kuyup begitu pun Aldifan. Rasa dingin semakin menusuk tubuh Anin, ia baru menyadari bahwa dirinya tidak memakai jaket. Aduh anjir bodo ih, pantes aja dingin banget!
Walaupun dingin, Anin mencoba menikmati rasa dingin ini dengan memeluk Aldifan lebih erat. Aldifan pun tersenyum di balik helmnya. Ternyata, dari gerakan yang Anin lakukan Aldifan bisa menebak bahwa Anin memiliki sedikit rasa yang sama dengannya. Mungkin tidak banyak, tetapi setidaknya ada.
Setelah lima belas menit mereka hujan-hujanan, akhirnya mereka pun sampai di apartemen Anin. Anin turun dari motor besar Aldifan dengan bantuan Aldifan tentunya.
"Lo mampir dulu ya, minum yang anget anget." Ucap Anin yang tidak tega melihat Aldifan basah kuyup. Menurutnya, hanya orang yang tidak punya hati yang tega membiarkan seseorang kedinginan setelah mengantarkannya pulang.
Seperti mendapat kesempatan emas, Aldifan pun langsung setuju tanpa menolak. Selain itu, Aldifan memang sudah kedinginan akibat kehujanan tadi. Aldifan memarkirkan motornya di basement apartemen. Setelahnya, mereka berdua berjalan memasuki lobby apartemen dengan keadaan semuanya basah. Tidak banyak percakapan yang terjadi di antara mereka karena keduanya sama sama kedinginan.
Tidak sampai lima menit, mereka sudah sampai di lantai tujuh; tempat apartemen Anin. Tanpa ragu, Anin mempersilahkan Aldifan masuk ke dalam apartemennya.
"Jangan dulu duduk! Gue ambil anduk dulu, bentar ya!" Titah Anin, Aldifan menurut saja.
Sambil menunggu Anin, Aldifan mengedarkan pandangannya. Ia memperhatikan seisi apartemen Anin yang furniturenya mayoritas berwarna beige. Terlihat sangat estetik. Dua menit kemudian, Anin datang dengan handuk berwarna hijau mint di tangannya. Ia membantu Aldifan mengeringkan tubuhnya walau tubuh Anin pun masih basah. Setelah dirasa tubuh Aldifan sudah sedikit kering, ia menyuruh Aldifan untuk mengganti pakaiannya.
"Ini baju punya almarhum ayah gue, pake di kamar mandi sini. Gue juga mau ganti di kamar mandi dalem kamar." Ucap Anin panjang lebar. Lagi lagi, Aldifan mengangguk mengikuti perintah Anin.
Ia dan Anin berjalan menuju kamar mandi masing-masing. Hampir sepuluh menit Anin mengganti bajunya. Saat ia keluar dari kamar, ternyata Aldifan belum selesai. Jadi Anin berniat membuat hot chocolate untuk menghangatkan tubuh mereka berdua.
Anin berjalan menuju pantry, mengeluarkan chocolate instan untuk diseduh. Sudut matanya menangkap Aldifan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Kaus polo berwarna biru dan celana pendek berwarna krem milik almarhum ayahnya terlihat begitu cocok di tubuh Aldifan yang tinggi. Sedangkan Anin mengenakan celana hotpants dan oversized sweater berwarna hijau tua.
"Lo ada kantung kresek nggak buat baju basah gue?" Tanya Aldifan seraya berjalan mendekat pada Anin.
Anin menggeleng, karena ia tidak suka menyimpan kantung kresek. Ia mendukung program go green, jadi ia memiliki banyak kantung kain untuk belanja.
"Simpen aja di laundry bag, nanti gue yang laundry." Ucap Anin.
Seperti apa kata Anin, Aldifan berjalan mendekati laundry bag. Ia menyimpan baju basahnya di sana. Ia membalikkan tubuhnya, menatap Anin yang terlihat cantik dan juga seksi dengan pakaian yang Anin kenakan. Apalagi rambutnya yang Anin cepol membuat leher jenjangnya semakin terlihat jelas. Membuat Aldifan berpikir yang tidak-tidak terhadap Anin. Apalagi mereka hanya berdua di apartemen ini. Menyadari pikirannya yang tidak benar, Aldifan segera menyadarkan diri.
Chocolate panas sudah siap Anin sajikan. Anin berjalan menuju sofa dan diikuti oleh Aldifan. Aldifan tersenyum, rasanya seperti sepasang kekasih yang sudah berpacaran bertahun-tahun. Mereka duduk bersampingan di sofa. Anin memberikan gelas berisi chocolate panas pada Aldifan.
Seraya menikmati minuman instan buatan Anin, mereka larut dalam percakapan sederhana yang mampu membuat Anin maupun Aldifan terkekeh. Obrolan mereka hanya seputar kepanitiaan dan program kerja yang mereka lakoni. Memang belum ada peningkatan dalam segi pembicaraan, belum menjurus kepada hal hal yang berbau romantis atau cinta. Namun, perlakuan kecil Aldifan seperti menggambarkan semuanya. Aldifan membenarkan anak rambut Anin yang berjatuhan, Aldifan membantu menyuci gelas bekas mereka, Aldifan membereskan dapur Anin, Sampai Aldifan membantu tugas Anin.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Aldifan melihat Anin sudah memejamkan matanya, kepala Anin menjadikan meja sebagai tumpuan. Anin terlelap di saat Aldifan menjelaskan mengenai tugas Anin. Aldifan lagi lagi tersenyum. Kini Anin begitu menarik di matanya.
Dengan perlahan, Aldifan mengangkat tubuh kecil Anin ke atas sofa. Ia berjalan menuju kamar Anin, meminta izin dalam hati untuk membawa selimut dari kamarnya. Setelah menyelimuti Anin, ia ikut membaringkan diri di sebelah Anin. Mereka berdua terlelap di sofa yang sempit. Anin tidak terusik, seperti menikmati dinginnya Bandung malam dalam dekapan Aldifan.
* * *
Anin terkejut ketika mendapati dirinya memeluk Aldifan. Dirinya berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Mengapa ia bisa tertidur di sofa bersama Aldifan? Namun Aldifan masih tertidur pulas. Seperti tidak terganggu dengan gerakan tiba-tiba Anin.
Ia melirik ke sekitar, masih terdapat buku dan laptop yang belum dibereskan di atas meja. Barulah ia menyadari bahwa semalam ia ketiduran saat Aldifan menerangkan materi.
Bisa-bisanya gue tidur bareng dia. Bodoh banget!
Nyawa Anin belum sepenuhnya terkumpul ketika ia mendengar suara bel apartemennya berbunyi. Dengan sedikit berlari, ia berniat membuka pintu. Dan lagi lagi ia terkejut ketika mendapati Rafa dengan setelan khasnya berada di hadapan Anin sekarang.
Rafa menampilkan wajah tidak sukanya, seperti biasa. Matanya menelisik ke dalam apartemen, dan langsung menyipit ketika melihat lelaki sedang tertidur di sofa apartemen Anin. Anin tiba-tiba menjadi tidak enak, ia bingung sendiri harus bagaimana. Seperti ketahuan berselingkuh! Padahal ia yakin jika Aldifan tidak melakukan hal aneh kepadanya.
"Anda tidur bersama lelaki lain? Bahkan ketika anda sudah memiliki calon suami?"
Belum sempat Anin membela diri, Rafa sudah melanjutkan kalimat pedasnya.
"Saya tidak menyangka, wanita yang orang tua saya jodohkan dengan saya adalah wanita yang suka membawa lelaki lain ke tempat tinggalnya."
* * *
Sorry for late updates, I’m gonna update as fast as possible! See you soon! <3
"Sayang, kenapa diem aja? Ada pikiran?" Ucap wanita berumur 28 tahun dengan manjanya. Wanita itu menyandarkan kepalanya di dada bidang seorang lelaki yang tidak terbaut oleh pakaian, yang tidak lain adalah kekasihnya.Lelaki itu menggeleng pelan dan tersenyum. Ia menatap wanita cantik di depannya. Kekasihnya itu memiliki rambut berwarnaash blonde, mata berwarna hijau, dan kulit putih pucat--terlihat bahwa wanita itu adalah wanita blasteran. Lelaki itu tiba-tiba merasa tidak enak hati, tidak tega apabila wanita di hadapannya merasa tidak diperhatikan olehnya."Aku nggak kenapa kenapa sayang. Cuma lagi sedikit ada pikiran, masalah pekerjaan.But, it's okay. I can handle it." Dengan lembut, lelaki itu menjawab."Kalau ada apa-apa, cerita ya Raf."Rafa tersenyum pada wanitanya. Di hadapannya sekarang ada seorang wanita bernama Abelia Cantika Allen, wanita yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya setelah mereka
Suara gemericik air mancur dari kolam ikan di depannya menelusup ke dalam renung Anindita. Membuat ketenangan seakan hadir pada pagi hari, menemani Anindita yang sedang melamun di halaman belakang kampus. Banyak hal yang memenuhi isi kepala Anindita, membuat kepalanya seakan mau pecah saja. Sebuah buku yang sedari tadi ia genggam, ia simpan di bangku sampingnya. Buku yang selalu ia baca, meskipun sudah berulang kali. I wish you were here, Ma.. Anindita memejamkan mata, menghembuskan napasnya pelan. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kurusnya. Menunjukkan pukul delapan pagi, yang artinya kelas akan dimulai setengah jam lagi. "Oke, gue harus semangat!" ucapnya pelan, sekedar untuk menyemangati diri sendiri. Anindita beranjak dari bangku taman, menuju ke selasar ruangan kelas. Banyak yang menyapanya meskipun ia bukan anak populer di kampus. Sikap mudah bergaul yang dimiliki oleh Anindita membuatnya mud
Semburat oranye yang memasuki jendela kamar Anindita tidak membuatnya mengalihkan pandangan. Anindita sedang sibuk menatap langit-langit kamarnya. Ia masih mencerna apa yang baru saja dilakukannya bersama Rafa Aveeno. Iya, Rafa Aveeno. Lelaki tampan, berwibawa, dan tajir yang mengaku diberi amanah oleh orang tua Anin untuk menikah dengannya. Ini gila menurut Anin, apa yang direncanakan orang tuanya? Anin baru berumur 20 tahun dan harus sudah memiliki suami? Ia saja tidak mengenal Rafa, mengapa harus menikah? Mengapa harus dijodohkan? Ini sudah abad ke-20, apa perjodohan masih ada? "Argh!" Anin tidak tau harus berbuat apa, masalah akademiknya saja sudah membuat pikirannya terbebani dan sekarang ditambah dengan perjodohan gila ini. Mengapa bunda dan ayahnya tidak memberi tau Anin sebelumnya? Anin menghela napasnya, ia ingin mengistirahatkan otaknya yang sempit itu sekarang. Karena jujur, ia sudah cukup lelah dengan apa yang menimpanya belakangan ini. Mata Anin
Semuanya tertata rapi; appetizer, main course, dessert, berbagai varian minuman tersaji di meja makan. Seperti makan malam di restoran ternama, namun ini di rumah Rafa. Meja terbuat dari kayu dengan aksen emas tampak menarik mata Anin. Makan malam dihadiri oleh Sarah, Lucas, Dara, dan Emilio—tunangan Dara. Senyuman ramah tak henti tercetak di wajah kedua orang tua Rafa. Anin jadi tidak enak hati dengan sandiwara yang dibuat, namun bagaimana lagi? Ini memang harus ia lakukan. “Anin, kuliah lo gimana?” Dara dengan senyuman dan suara lembutnya bertanya. Anin kikuk sendiri, “Lancar Kak.” Jawab Anin sekenanya, tak lupa ia memperlihatkan senyumannya. Dara terkekeh, “Maksud gue, kalau lo nanti nikah. Kuliah lo mau lanjut?” Anin termenung sesaat. Belum sempat ia menjawab, Rafa sudah mengeluarkan suaranya. “Dia akan tetap kuliah.” Ucapnya tegas. Rafa menatap Anin yang hendak menambahkan ucapan Rafa, memberikan isyarat bahwa
“Jadi dia siapa?” tanya Ara mendesak. Banyak pertanyaan yang muncul di otaknya ketika Ara melihat Anin.“Dia Rafa, anaknya temen nyokap gue.” Anin jawab sekenanya, karena ia juga bingung harus bercerita darimana. Terlalu rumit untuk Anin terima, apalagi untuk Ara.Mata Ara memicing, “Beneran? Kok kemarin kaya serius banget yang jemput lo.”Anin mengangguk, mungkin belum saatnya ia bercerita mengenai Rafa dan perjodohan ini pada Ara. Masih terlalu rumit untuk dijelaskan. Anin mengaduk mie ayam di depannya dengan tidak selera, entah lah apapun yang menyangkut Rafa sekarang membuatnya malas.“Rafi mana?” tanya Anin, tumben sekali lelaki itu tidak memunculkan batang hidungnya di saat Ara ada disini. Biasanya, mereka selalu satu paket. Dimana ada Ara, di situ ada Rafi.“Dia lagi ada kelas susulan.” Jawab Ara dengan mulut penuh dengan bakso. Anin hanya mengangguk paham.“Lo kepilih
Anin mengeryitkan dahinya ketika melihat Rafa bersandar di mobilnya yang terparkir di samping kafe. Niatnya untuk pulang bersama Aldifan musnah sudah. Ia pasti harus pulang Bersama Rafa, dengan sangat terpaksa. Rafa dengan segala sifat otoriternya membuat Anin jengah. Selain itu, Anin juga perlu menjelaskan siapa Rafa sebenarnya kepada Ara karena Ara sudah menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan.Anin menghela napasnya kemudian berjalan mendekati Rafa, ia menyeret Rafa untuk mengikutinya menjauhi teman-teman Anin. Setelah dirasa sudah agak jauh dari jangkauan teman-temannya, Anin menghentikan langkah. Rafa hanya menurut saja mengikuti Anin.“Lo ngapain jemput gue?!” sentak Anin.“Mami saya menyuruh saya menjemput anda.” Jawab Rafa pelan dan tenang.Anin jengah, selalu saja Rafa menggunakan maminya sebagai alasan. Sebenarnya Rafa itu kenapa sih? Anin jadi bingung sendiri. Kemarin Rafa menyuruhnya untuk melakukan sandiwara dengan