Semburat oranye yang memasuki jendela kamar Anindita tidak membuatnya mengalihkan pandangan. Anindita sedang sibuk menatap langit-langit kamarnya. Ia masih mencerna apa yang baru saja dilakukannya bersama Rafa Aveeno. Iya, Rafa Aveeno. Lelaki tampan, berwibawa, dan tajir yang mengaku diberi amanah oleh orang tua Anin untuk menikah dengannya. Ini gila menurut Anin, apa yang direncanakan orang tuanya?
Anin baru berumur 20 tahun dan harus sudah memiliki suami? Ia saja tidak mengenal Rafa, mengapa harus menikah? Mengapa harus dijodohkan? Ini sudah abad ke-20, apa perjodohan masih ada?
"Argh!" Anin tidak tau harus berbuat apa, masalah akademiknya saja sudah membuat pikirannya terbebani dan sekarang ditambah dengan perjodohan gila ini. Mengapa bunda dan ayahnya tidak memberi tau Anin sebelumnya?
Anin menghela napasnya, ia ingin mengistirahatkan otaknya yang sempit itu sekarang. Karena jujur, ia sudah cukup lelah dengan apa yang menimpanya belakangan ini. Mata Anin menatap nyalang langit-langit kamar, ia mengatur napasnya.
“Saya harap anda menyetujui perjodohan ini karena ini merupakan perjanjian antara orang tua kami.” Rafa berucap dengan tenang. Berbanding terbalik dengan Anin yang menatapnya tajam dengan napas memburu.
Mereka sudah sampai di butik milik Anne Ayila, perancang busana yang karyanya sudah mendunia. Orang tua Rafa sudah menyiapkan segalanya, dari mulai busana pengantin, venue, wedding organizer, catering, sampai dengan seserahan. Keluarga Rafa memang memiliki channel dengan banyak orang terkenal di Indonesia, salah satunya dengan Anne Ayila. Maka dari itu, bukan hal yang sulit untuk Rafa agar bisa menggunakan jasa Anne Ayila.
“Lo nggak usah ngada-ngada. Mana mungkin orang tua gue ngejodohin gue! Mereka tau sendiri kalau gue itu nggak suka diatur-atur.” Ucap Anin. Ia masih menyangkal bahwa perjodohan ini adalah perjanjian orang tuanya.
“Nanti orang tua saya yang akan membuktikannya. Sekarang, anda cukup melakukan apa yang saya perintahkan.”
Tidak ada percakapan lain sejak kalimat terakhir Rafa itu, Anin terdiam. Matanya sibuk memandangi gaun gaun berwarna putih yang terlihat elegan dan mahal. Pikirannya berkeliaran. Berdasarkan pernyataan Rafa, ada dua kemungkinan; yang pertama adalah perjodohan ini memang betul merupakan perjanjian kedua orang tua mereka dan yang kedua adalah perjodohan ini hanya manipulasi yang dibuat oleh Rafa namun melibatkan orang tuanya.
Tapi logika Anin menolak kemungkinan kedua, karena memang tidak masuk akal. Mengapa Rafa ingin membuat perjodohan palsu sedangkan mereka saja baru bertemu hari ini? Anin takut bila kemungkinan pertama yang ia pikirkan adalah kenyataan yang harus ia terima.
Drrt
Getaran ponsel menyadarkan Anin dari lamunannya. Anin melirik ponselnya yang bergetar. Ia bangkit dari posisinya untuk mengambil ponsel yang terletak di nakas samping ranjang. Keningnya berkerut, nomor tidak dikenal tertera pada layar ponselnya.
From: +62 81213456789
Saya Rafa. Apakah bisa makan malam di rumah saya?
Ya Tuhan! Apalagi ini? Makan malam di rumah Rafa katanya? Anin tidak mau! Ia saja baru akan memikirkan rencana kaburnya, bagaimana mungkin ia harus makan malam bersama di rumah Rafa? Dengan cepat jemari Anin mengetikan sesuatu di ponselnya, membalas pesan dari Rafa.
To: +62 81213456789
Gak! Gila lo.
Baiklah, Anin tidak perlu memikirkan perasaan Rafa. Karena Rafa saja tidak memikirkan perasaan Anin. Tidak ada untungnya bagi Anin untuk menjaga perasaan Rafa.
From: +62 81213456789
Tetapi ini merupakan suruhan mami saya.
Sh*t! Mengapa Rafa menggunakan kata kata itu untuk membujuknya? Iya, meskipun attitude Anin bisa dikatakan minim, namun Anin mana mungkin bisa menolak orang tua? Anin menghela napasnya dan mulai mengetikkan pesan untuk Rafa.
To: +62 81213456789
Yaudah.
Anin mengerang, ia tidak boleh menyerah. Anin harus tetap memikirkan rencana yang matang untuk menggagalkan perjodohan ini. Anin tidak boleh kalah.
From: +62 81213456789
Saya akan menjemput anda jam 7 malam ini. Saya tidak suka menunggu.
Cih! Memangnya día siapa bisa mengatur Anin dengan seenak jidat? Mengapa bukannya bersikap baik agar Anin luluh dan mau menyetujui perjodohan ini? Memang niat menggagalkan perjodohan ini adalah jalan terbaik.
* * *
Rafa benar benar menepati omongannya. Ia sudah sampai di lobby apartemen Anin jam tujuh malam. Pandangan Rafa terfokus pada ponselnya ketika pintu lift yang Anin tumpangi terbuka. Anin berjalan melangkah keluar dari lift, pandangannya terkunci pada sosok Rafa Aveeno. Dengan balutan kaus berkerah warna hitam dan celana chinos, Rafa terlihat memesona.
Anin menunduk, menatap pakaian yang ia pakai malam ini. Dress berlengan warna hitam polos sebawah lutut ia padankan dengan kalung dan high heels berwarna silver. Anin menyadari, mengapa pakaiannya dengan pakaian Rafa terlihat senada?
“Telat lima belas menit.” Kalimat pertama yang mengawali percakapan mereka. Rafa tidak menatap Anin yang berada tepat di depannya, ia langsung beranjak dan berjalan menuju pintu utama apartemen.
Anin menggeram, dirinya sudah berusaha untuk menghargai acara makan malam ini. Namun Rafa dengan mudahnya bersikap seperti itu karena Anin hanya telat turun ke lobby lima belas menit? Tidak dapat dipercaya!
Dengan langkah kecilnya Anin berusaha menyamai langkah Rafa yang lebar. Heels dengan tinggi 17 cm itu membuatnya sedikit kesusahan mengejar Rafa.
“Lo niat jemput gue gak sih?” cecar Anin ketika sampai tepat di samping mobil Rafa. Rafa tidak menjawab, ia hanya membukakan pintu untuk dirinya dan masuk ke kursi kemudi.
Dengan emosi yang memuncak, Anin mengikuti kegiatan Rafa masuk ke dalam mobil. Mobil mewah, tentu saja. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, Anin yakin Rafa menggunakan barang mewah dan mahal.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, tidak ada percakapan yang terjadi. Anin diam dengan kekesalan yang berada di kepala, Rafa pun hanya fokus menyetir. Sebetulnya jarak antara apartemen Anin dan rumah Rafa tidak sejauh itu, hanya sekitar 30 menit apabila ditempuh dengan mobil. Namun entah mengapa, perjalanan kali ini terasa lama bagi Rafa. Rasa canggung memenuhi mobilnya kali ini.
Anin mengedarkan pandangannya ke arah samping kiri, mulai terlihat perumahan elit, taman yang terawat, dan lampu jalan yang menerangi perjalanan mereka. Dada Anin bergemuruh kencang, ia nervous akan bertemu dengan orang tua Rafa. Harus banyak sandiwara yang ia lakukan malam ini.
Beberapa menit berikutnya, mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di pekarangan rumah Rafa. Gerbang tinggi menjulang menarik perhatian Anin.
Gerbangnya aja tinggi banget, apalagi rumahnya!
Terlihat norak, namun Anin memang tidak pernah memiliki hubungan yang dekat dengan petinggi perusahaan. Selama hampir tiga tahun belakangan, Anin tinggal di apartemen.
Melihat Rafa turun dari mobil, Anin pun bergegas mengikuti Rafa karena sadar Rafa tidak akan membukakan pintu untuknya. Anin melangkahkan kakinya mengikuti Rafa. Rumah Rafa memiliki aksen klasik dengan pintu kayu besar terpampang di depan. Terlihat dua orang wanita yang Anin yakini adalah asisten rumah tangga itu berdiri di depan pintu, bersiap untuk membukakan pintu.
“Lakukan sandiwara yang baik, saya yakin anda paham apa yang saya maksud.” Kalimat Rafa terdengar dan dicerna dengan baik oleh Anin. Baiklah jika itu yang Rafa inginkan, Anin akan membuat sandiwara ini terlihat nyata dan semulus mungkin.
Dengan senyum tidak ikhlas, Anin berjalan menyamai langkah Rafa. Ia mengalungkan tangannya pada tangan Rafa. Rafa tentu terkejut dengan perlakuan Anin. Anin hanya mengangkat bahunya tak peduli.
“Sandiwara yang baik, bukan?” Anin menyeringai.
* * *
That’s the first chapter! I hope you like it! <3
Semuanya tertata rapi; appetizer, main course, dessert, berbagai varian minuman tersaji di meja makan. Seperti makan malam di restoran ternama, namun ini di rumah Rafa. Meja terbuat dari kayu dengan aksen emas tampak menarik mata Anin. Makan malam dihadiri oleh Sarah, Lucas, Dara, dan Emilio—tunangan Dara. Senyuman ramah tak henti tercetak di wajah kedua orang tua Rafa. Anin jadi tidak enak hati dengan sandiwara yang dibuat, namun bagaimana lagi? Ini memang harus ia lakukan. “Anin, kuliah lo gimana?” Dara dengan senyuman dan suara lembutnya bertanya. Anin kikuk sendiri, “Lancar Kak.” Jawab Anin sekenanya, tak lupa ia memperlihatkan senyumannya. Dara terkekeh, “Maksud gue, kalau lo nanti nikah. Kuliah lo mau lanjut?” Anin termenung sesaat. Belum sempat ia menjawab, Rafa sudah mengeluarkan suaranya. “Dia akan tetap kuliah.” Ucapnya tegas. Rafa menatap Anin yang hendak menambahkan ucapan Rafa, memberikan isyarat bahwa
“Jadi dia siapa?” tanya Ara mendesak. Banyak pertanyaan yang muncul di otaknya ketika Ara melihat Anin.“Dia Rafa, anaknya temen nyokap gue.” Anin jawab sekenanya, karena ia juga bingung harus bercerita darimana. Terlalu rumit untuk Anin terima, apalagi untuk Ara.Mata Ara memicing, “Beneran? Kok kemarin kaya serius banget yang jemput lo.”Anin mengangguk, mungkin belum saatnya ia bercerita mengenai Rafa dan perjodohan ini pada Ara. Masih terlalu rumit untuk dijelaskan. Anin mengaduk mie ayam di depannya dengan tidak selera, entah lah apapun yang menyangkut Rafa sekarang membuatnya malas.“Rafi mana?” tanya Anin, tumben sekali lelaki itu tidak memunculkan batang hidungnya di saat Ara ada disini. Biasanya, mereka selalu satu paket. Dimana ada Ara, di situ ada Rafi.“Dia lagi ada kelas susulan.” Jawab Ara dengan mulut penuh dengan bakso. Anin hanya mengangguk paham.“Lo kepilih
Anin mengeryitkan dahinya ketika melihat Rafa bersandar di mobilnya yang terparkir di samping kafe. Niatnya untuk pulang bersama Aldifan musnah sudah. Ia pasti harus pulang Bersama Rafa, dengan sangat terpaksa. Rafa dengan segala sifat otoriternya membuat Anin jengah. Selain itu, Anin juga perlu menjelaskan siapa Rafa sebenarnya kepada Ara karena Ara sudah menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan.Anin menghela napasnya kemudian berjalan mendekati Rafa, ia menyeret Rafa untuk mengikutinya menjauhi teman-teman Anin. Setelah dirasa sudah agak jauh dari jangkauan teman-temannya, Anin menghentikan langkah. Rafa hanya menurut saja mengikuti Anin.“Lo ngapain jemput gue?!” sentak Anin.“Mami saya menyuruh saya menjemput anda.” Jawab Rafa pelan dan tenang.Anin jengah, selalu saja Rafa menggunakan maminya sebagai alasan. Sebenarnya Rafa itu kenapa sih? Anin jadi bingung sendiri. Kemarin Rafa menyuruhnya untuk melakukan sandiwara dengan
Segelas matcha latte dan sepiring blueberry cheesecake menemani Anin di kafe ini. Di hadapannya ada laptop yang sedang terbuka, menantikan Anin menyentuhnya kembali. Iya, betul. Anin sedang berada di kafe favoritnya dan ia duduk di spot favoritnya—sudut ruangan dekat jendela besar yang mengarah ke pemandangan kota Bandung.Meskipun niatnya datang ke kafe ini untuk mengerjakan tugas, namun nyatanya Anin malah menikmati lamunannya. Memang kesendirian dan melamun adalah paket combo yang Anin suka. Ia bisa menghilangkan kerumitan hidup dalam beberapa menit, lalu kembali lagi pada kenyataan.Lamunan Anin buyar ketika ia menyadari ada seseorang yang duduk di hadapannya, dia adalah Aldifan. Lelaki sekaligus ketua pelaksana dari program kerja yang ia jalani bersama. Lelaki yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya. Anin terkejut sekaligus tersipu. Mengapa Aldifan tiba-tiba berada di hadapannya saat ini?“Hai.” Sapa Ald
"Sayang, kenapa diem aja? Ada pikiran?" Ucap wanita berumur 28 tahun dengan manjanya. Wanita itu menyandarkan kepalanya di dada bidang seorang lelaki yang tidak terbaut oleh pakaian, yang tidak lain adalah kekasihnya.Lelaki itu menggeleng pelan dan tersenyum. Ia menatap wanita cantik di depannya. Kekasihnya itu memiliki rambut berwarnaash blonde, mata berwarna hijau, dan kulit putih pucat--terlihat bahwa wanita itu adalah wanita blasteran. Lelaki itu tiba-tiba merasa tidak enak hati, tidak tega apabila wanita di hadapannya merasa tidak diperhatikan olehnya."Aku nggak kenapa kenapa sayang. Cuma lagi sedikit ada pikiran, masalah pekerjaan.But, it's okay. I can handle it." Dengan lembut, lelaki itu menjawab."Kalau ada apa-apa, cerita ya Raf."Rafa tersenyum pada wanitanya. Di hadapannya sekarang ada seorang wanita bernama Abelia Cantika Allen, wanita yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya setelah mereka
Suara gemericik air mancur dari kolam ikan di depannya menelusup ke dalam renung Anindita. Membuat ketenangan seakan hadir pada pagi hari, menemani Anindita yang sedang melamun di halaman belakang kampus. Banyak hal yang memenuhi isi kepala Anindita, membuat kepalanya seakan mau pecah saja. Sebuah buku yang sedari tadi ia genggam, ia simpan di bangku sampingnya. Buku yang selalu ia baca, meskipun sudah berulang kali. I wish you were here, Ma.. Anindita memejamkan mata, menghembuskan napasnya pelan. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kurusnya. Menunjukkan pukul delapan pagi, yang artinya kelas akan dimulai setengah jam lagi. "Oke, gue harus semangat!" ucapnya pelan, sekedar untuk menyemangati diri sendiri. Anindita beranjak dari bangku taman, menuju ke selasar ruangan kelas. Banyak yang menyapanya meskipun ia bukan anak populer di kampus. Sikap mudah bergaul yang dimiliki oleh Anindita membuatnya mud