Semuanya tertata rapi; appetizer, main course, dessert, berbagai varian minuman tersaji di meja makan. Seperti makan malam di restoran ternama, namun ini di rumah Rafa. Meja terbuat dari kayu dengan aksen emas tampak menarik mata Anin.
Makan malam dihadiri oleh Sarah, Lucas, Dara, dan Emilio—tunangan Dara. Senyuman ramah tak henti tercetak di wajah kedua orang tua Rafa. Anin jadi tidak enak hati dengan sandiwara yang dibuat, namun bagaimana lagi? Ini memang harus ia lakukan.
“Anin, kuliah lo gimana?” Dara dengan senyuman dan suara lembutnya bertanya.
Anin kikuk sendiri, “Lancar Kak.” Jawab Anin sekenanya, tak lupa ia memperlihatkan senyumannya.
Dara terkekeh, “Maksud gue, kalau lo nanti nikah. Kuliah lo mau lanjut?”
Anin termenung sesaat. Belum sempat ia menjawab, Rafa sudah mengeluarkan suaranya.
“Dia akan tetap kuliah.” Ucapnya tegas. Rafa menatap Anin yang hendak menambahkan ucapan Rafa, memberikan isyarat bahwa tidak usah berbicara terlalu banyak.
“Oh, bagus kalau gitu Anin. Lanjutkan dulu pendidikan, tidak usah terburu-buru punya momongan.” Timpal Sarah.
Anin mengangguk, siapa juga yang mau punya anak?
Selanjutnya mereka benar benar larut dalam makan malam yang diselingi dengan percakapan ringan. Anin menyukai keluarga ini, rasanya hangat. Namun tidak menyukai Rafa dengan sikap arogannya.
Dalam suapan terakhir, Anin termenung. Ia harus memikirkan rencana kabur dari perjodohan ini dengan matang. Karena apabila ia sudah melangkah terlalu jauh, akan banyak hati yang mungkin tersakiti. Terutama orang tua Rafa dan Dara. Makan malam sebetulnya sudah selesai, Dara dan Emilio pun sudah meninggalkan ruangan makan. Hanya tersisa mereka berempat di ruangan ini.
Lamunan singkatnya buyar. Anin menegang ketika merasakan tangan Rafa di pinggangnya. Pandangannya sontak menurun ke arah pinggangnya, mendapati tangan Rafa merangkul pinggangnya dengan posesif. Jantungnya berdetak kencang, mengapa perasaannya seperti ini?
Rafa memandang Anin, lalu mengalihkan pandangannya. “Mi, Rafa anter Anin pulang dulu.”
Sarah memberenggut, “Anin nginep di sini aja, ya? Kan Mami juga mau ngobrol banyak.” Ucapnya dengan penuh rayuan. Rafa menatap mamanya tidak percaya, sedangkan Anin cengo, menginap katanya?
“Ah Tante,” belum sempat Anin melanjutkan perkataannya, Sarah sudah menyela.
“Kok Tante? Panggil Mami aja sayang, kan bentar lagi juga kalian nikah.” Sela Sarah.
“Iya Nak, anggap kami orang tua kamu saja. Tidak usah dibeda-bedakan.” Lanjut Lucas.
Anin tersenyum tidak enak, “Umm, Anin pulang aja ya Mi? Nggak enak kalau nginep.” Anin menatap Rafa, meminta pertolongan. Ini tidak bisa terjadi, bagaimana jika ia sudah terlalu dekat dengan keluarga Rafa?
“Mi, Anin belum terbiasa. Lain kali, día akan menginap.” Sanggah Rafa, ia juga tidak ingin Anin sedekat itu dengan keluarganya. Urusannya bisa lebih sulit lagi.
Sarah bangkit dari kursinya, mendekati Anin. Tangannya memeluk bahu Anin, “Sekali ini ya sayang? Mami ingin mengobrol lebih lama.”
Kalau sudah seperti ini, akan susah bagi Rafa untuk membujuk mamanya. Apalagi papanya pun sudah setuju apabila Anin menginap di rumah. Rafa menghela napas, semoga saja berjalan sesuai rencana.
Anin bingung sendiri. Dengan terpaksa dan berat hati ia mengangguk, “Iya Mi, Anin akan menginap.” Ucapnya pelan.
* * *
“Tidak tidur?”
Anin menoleh ketika suara berat milik Rafa terdengar oleh telinganya. Anin menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Memang ini sudah hampir tengah malam dan Anin belum bisa memejamkan matanya. Jadi, Anin memutuskan untuk pergi ke balkon untuk sejenak mendinginkan kepalanya yang sudah penuh oleh pikiran. Balkonnya mengarah ke kolam pribadi dan taman belakang rumah Rafa. Indah dan sejuk.
Rafa menyandarkan tubuhnya di pintu. Rafa memang menawan bahkan hanya dengan piyamanya, Anin tidak menyangkal itu. Namun Anin hanya tidak ingin menikah dengan lelaki yang baru ia temui. Anin hanya tidak ingin membohongi perasaannya sendiri.
Angin malam terasa menusuk tubuh Anin yang hanya terbalut piyama tipis. Piyama yang dipakai oleh Anin adalah piyama baru yang Sarah pesan secara mendadak karena calon menantunya akan menginap. Sarah memang begitu senang ketika Anin memutuskan untuk menginap di rumahnya. Seperti yang ia katakan, mereka banyak mengobrol. Percakapan mereka selesai pada pukul sepuluh, ketika Sarah sudah merasa mengantuk.
“Lo gak serius kan sama perjodohan ini?” Anin mencoba memulai percakapan dengan tanpa emosi. Setidaknya, ia harus memastikan bahwa Rafa berada di pihaknya.
Rafa mengangguk, “Saya tidak tertarik pada anak kecil.” Singkat, pelan, dan jelas. Anin geram, sombong sekali.
Baiklah, memang Anin tidak boleh masuk ke dalam perangkap pesona Rafa. Sikapnya saja membuat Anin mual, sangat arogan. Padahal keluarganya begitu ramah, berbanding terbalik.
“Tetap lakukan sandiwara yang baik, jangan sampai keluarga saya curiga.”
Setelah mengatakan kalimat itu, Rafa berbalik ke dalam menuju kamarnya. Anin tidak peduli. Ia hanya perlu melakukan rencana melarikan diri dari perjodohan ini secepatnya. Karena udara semakin dingin dan Anin tidak ingin menyiksa tubuhnya lebih lama, Anin pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah Rafa.
Kamar yang Anin tempati, memang sepertinya sudah disiapkan. Sprei berwarna hijau pastel kesukaan Anin membalut ranjang, pakaian untuk Anin memenuhi lemari, dan jangan lupakan skincare dan make up branded tertata rapi di meja rias. Anin harus bersyukur atau bagaimana?
Anin mengunci pintu kamar dan langsung merebahkan diri di ranjang yang empuk. Setelah orang tuanya meninggal, hadir masalah baru. Dari mulai akademik, hingga perjodohan ini. Namun Anin sadar, keluarga Rafa menerimanya dengan terbuka. Mungkin jika Anin menerima perjodohan ini dengan hati yang ikhlas, hidupnya akan membaik dan terjamin?
Namun, lagi lagi hati Anin menolak. Ia tidak mau menikah dengan seorang lelaki yang tidak ia cinta. Bagaimana nasib pernikahannya nanti apabila ia memaksakan perjodohan ini? Prinsipnya adalah menikah sekali seumur hidup, dengan pasangan yang ia cintai.
Anin menghela napas panjang, mencoba memejamkan matanya. Ia ingin tertidur dan melupakan tentang perjodohan ini. Tetapi Anin teringat satu hal, yaitu rencana kaburnya. Baiklah, Anin tidak jadi terlelap. Ia membalik tubuhnya menjadi tengkurap dan mulai membuka ponselnya.
Jemarinya mengetikkan sebuah negara pada aplikasi travel. Ia harus melarikan diri dalam waktu dekat. Spanyol adalah negara tujuan Anin. Selain negara itu indah, Anin memang memiliki cita-cita untuk tinggal disana.
Setelah memastikan harga tiket dan biaya hidup disana sesuai dengan budget tabungan Anin, Anin memilih untuk memesan tiket pesawat pada dua minggu ke depan. Anin kira waktu dua minggu akan cukup untuk persiapannya disini.
Tinggal mengurus visa, apartemen, dan juga kampus atau pekerjaan. Gue harus cari kerja disana, biaya hidupnya lumayan mahal.
Anin tersenyum puas, semoga rencananya tidak gagal. Sekarang Anin hanya tinggal memikirkan bagaimana caranya ia kabur tanpa dicurigai oleh keluarga Rafa. Itu hal terpenting. Karena Anin sadar, selain akan menyakiti hati kedua orang tua Rafa, Anin juga akan menyakiti perasaan orang tuanya di surga sana.
Aku harap mama dan papa ngerti.
* * *
Yeay! Second chapter is up! How about your opinion? I hope you like it! <3
“Jadi dia siapa?” tanya Ara mendesak. Banyak pertanyaan yang muncul di otaknya ketika Ara melihat Anin.“Dia Rafa, anaknya temen nyokap gue.” Anin jawab sekenanya, karena ia juga bingung harus bercerita darimana. Terlalu rumit untuk Anin terima, apalagi untuk Ara.Mata Ara memicing, “Beneran? Kok kemarin kaya serius banget yang jemput lo.”Anin mengangguk, mungkin belum saatnya ia bercerita mengenai Rafa dan perjodohan ini pada Ara. Masih terlalu rumit untuk dijelaskan. Anin mengaduk mie ayam di depannya dengan tidak selera, entah lah apapun yang menyangkut Rafa sekarang membuatnya malas.“Rafi mana?” tanya Anin, tumben sekali lelaki itu tidak memunculkan batang hidungnya di saat Ara ada disini. Biasanya, mereka selalu satu paket. Dimana ada Ara, di situ ada Rafi.“Dia lagi ada kelas susulan.” Jawab Ara dengan mulut penuh dengan bakso. Anin hanya mengangguk paham.“Lo kepilih
Anin mengeryitkan dahinya ketika melihat Rafa bersandar di mobilnya yang terparkir di samping kafe. Niatnya untuk pulang bersama Aldifan musnah sudah. Ia pasti harus pulang Bersama Rafa, dengan sangat terpaksa. Rafa dengan segala sifat otoriternya membuat Anin jengah. Selain itu, Anin juga perlu menjelaskan siapa Rafa sebenarnya kepada Ara karena Ara sudah menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan.Anin menghela napasnya kemudian berjalan mendekati Rafa, ia menyeret Rafa untuk mengikutinya menjauhi teman-teman Anin. Setelah dirasa sudah agak jauh dari jangkauan teman-temannya, Anin menghentikan langkah. Rafa hanya menurut saja mengikuti Anin.“Lo ngapain jemput gue?!” sentak Anin.“Mami saya menyuruh saya menjemput anda.” Jawab Rafa pelan dan tenang.Anin jengah, selalu saja Rafa menggunakan maminya sebagai alasan. Sebenarnya Rafa itu kenapa sih? Anin jadi bingung sendiri. Kemarin Rafa menyuruhnya untuk melakukan sandiwara dengan
Segelas matcha latte dan sepiring blueberry cheesecake menemani Anin di kafe ini. Di hadapannya ada laptop yang sedang terbuka, menantikan Anin menyentuhnya kembali. Iya, betul. Anin sedang berada di kafe favoritnya dan ia duduk di spot favoritnya—sudut ruangan dekat jendela besar yang mengarah ke pemandangan kota Bandung.Meskipun niatnya datang ke kafe ini untuk mengerjakan tugas, namun nyatanya Anin malah menikmati lamunannya. Memang kesendirian dan melamun adalah paket combo yang Anin suka. Ia bisa menghilangkan kerumitan hidup dalam beberapa menit, lalu kembali lagi pada kenyataan.Lamunan Anin buyar ketika ia menyadari ada seseorang yang duduk di hadapannya, dia adalah Aldifan. Lelaki sekaligus ketua pelaksana dari program kerja yang ia jalani bersama. Lelaki yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya. Anin terkejut sekaligus tersipu. Mengapa Aldifan tiba-tiba berada di hadapannya saat ini?“Hai.” Sapa Ald
"Sayang, kenapa diem aja? Ada pikiran?" Ucap wanita berumur 28 tahun dengan manjanya. Wanita itu menyandarkan kepalanya di dada bidang seorang lelaki yang tidak terbaut oleh pakaian, yang tidak lain adalah kekasihnya.Lelaki itu menggeleng pelan dan tersenyum. Ia menatap wanita cantik di depannya. Kekasihnya itu memiliki rambut berwarnaash blonde, mata berwarna hijau, dan kulit putih pucat--terlihat bahwa wanita itu adalah wanita blasteran. Lelaki itu tiba-tiba merasa tidak enak hati, tidak tega apabila wanita di hadapannya merasa tidak diperhatikan olehnya."Aku nggak kenapa kenapa sayang. Cuma lagi sedikit ada pikiran, masalah pekerjaan.But, it's okay. I can handle it." Dengan lembut, lelaki itu menjawab."Kalau ada apa-apa, cerita ya Raf."Rafa tersenyum pada wanitanya. Di hadapannya sekarang ada seorang wanita bernama Abelia Cantika Allen, wanita yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya setelah mereka
Suara gemericik air mancur dari kolam ikan di depannya menelusup ke dalam renung Anindita. Membuat ketenangan seakan hadir pada pagi hari, menemani Anindita yang sedang melamun di halaman belakang kampus. Banyak hal yang memenuhi isi kepala Anindita, membuat kepalanya seakan mau pecah saja. Sebuah buku yang sedari tadi ia genggam, ia simpan di bangku sampingnya. Buku yang selalu ia baca, meskipun sudah berulang kali. I wish you were here, Ma.. Anindita memejamkan mata, menghembuskan napasnya pelan. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kurusnya. Menunjukkan pukul delapan pagi, yang artinya kelas akan dimulai setengah jam lagi. "Oke, gue harus semangat!" ucapnya pelan, sekedar untuk menyemangati diri sendiri. Anindita beranjak dari bangku taman, menuju ke selasar ruangan kelas. Banyak yang menyapanya meskipun ia bukan anak populer di kampus. Sikap mudah bergaul yang dimiliki oleh Anindita membuatnya mud
Semburat oranye yang memasuki jendela kamar Anindita tidak membuatnya mengalihkan pandangan. Anindita sedang sibuk menatap langit-langit kamarnya. Ia masih mencerna apa yang baru saja dilakukannya bersama Rafa Aveeno. Iya, Rafa Aveeno. Lelaki tampan, berwibawa, dan tajir yang mengaku diberi amanah oleh orang tua Anin untuk menikah dengannya. Ini gila menurut Anin, apa yang direncanakan orang tuanya? Anin baru berumur 20 tahun dan harus sudah memiliki suami? Ia saja tidak mengenal Rafa, mengapa harus menikah? Mengapa harus dijodohkan? Ini sudah abad ke-20, apa perjodohan masih ada? "Argh!" Anin tidak tau harus berbuat apa, masalah akademiknya saja sudah membuat pikirannya terbebani dan sekarang ditambah dengan perjodohan gila ini. Mengapa bunda dan ayahnya tidak memberi tau Anin sebelumnya? Anin menghela napasnya, ia ingin mengistirahatkan otaknya yang sempit itu sekarang. Karena jujur, ia sudah cukup lelah dengan apa yang menimpanya belakangan ini. Mata Anin