Suara gemericik air mancur dari kolam ikan di depannya menelusup ke dalam renung Anindita. Membuat ketenangan seakan hadir pada pagi hari, menemani Anindita yang sedang melamun di halaman belakang kampus. Banyak hal yang memenuhi isi kepala Anindita, membuat kepalanya seakan mau pecah saja.
Sebuah buku yang sedari tadi ia genggam, ia simpan di bangku sampingnya. Buku yang selalu ia baca, meskipun sudah berulang kali.
I wish you were here, Ma..
Anindita memejamkan mata, menghembuskan napasnya pelan. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kurusnya. Menunjukkan pukul delapan pagi, yang artinya kelas akan dimulai setengah jam lagi.
"Oke, gue harus semangat!" ucapnya pelan, sekedar untuk menyemangati diri sendiri.
Anindita beranjak dari bangku taman, menuju ke selasar ruangan kelas. Banyak yang menyapanya meskipun ia bukan anak populer di kampus. Sikap mudah bergaul yang dimiliki oleh Anindita membuatnya mudah memiliki teman, hanya teman bukan sahabat. Bahkan dirinya pun tidak tau, apakah ia memiliki teman sungguhan atau teman palsu. Sungguh miris.
Sebelum menuju kelas, Anindita atau yang biasa disebut Anin mampir ke kantin. Ia butuh air mineral untuk menyejukkan kerongkongannya, lagipula ia rindu bertemu dengan Bu Asih--Ibu kantin langganannya.
"Eh, teh Anin. Kemana aja atuh kok baru nongol?" dengan aksen Sunda yang khas, Bu Asih menyapa Anin.
"Ada ko Ibu, cuma baru masuk lagi. Kemarin ambil cuti." Anin menjawab dengan senyuman di wajahnya. Tangannya sibuk mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, dan segera membayarnya.
"Ibu sehat? Anin kangen jajan siomay Ibu!" Anin merengek lucu. Rambutnya yang ia kuncir kuda bergerak seiring Anin menggerakan kepalanya.
Bu Asih terkekeh, "Sehat atuh, alhamdulillah. Teh Anin gimana? Nanti istirahat, siomaynya ready ya. Teh Anin jajan bareng yang lain di sini."
Anin mengangguk, "Sehat juga dong Bu. Siap! Nanti Anin ajak Ara sama Rafi kesini. Anin masuk kelas dulu ya, Bu!"
"Iya teh Anin, semangat kuliahnya." Bu Asih memberi senyuman tulus, Anin pun membalas senyuman itu dengan tulus sebelum berlalu.
Senyuman Anin masih belum luntur, ia senang hatinya bisa sedikit menghangat hanya karena percakapan sederhana dengan Bu Asih.
Tak lama ia berjalan, Anin pun sampai di kelasnya. Pagi ini Anin mendapat mata kuliah geoteknik, memang rumit namun Anin harus menghadapi mata kuliah ini dengan senyuman. Hanya itu yang bisa Anin lakukan sekarang. Setidaknya untuk membuat harinya berseri.
* * *
"Nin, lo kurusan deh. Lo okay?" Ara bertanya di sela aktivitasnya mengunyah siomay buatan Bu Asih.
Pernyataan Ara membuat Rafi pun ikut menoleh kepada Anin. Rafi mengangguk pelan, "Iya Nin, lo kurusan."
Sejujurnya, Anin merasa kurang nyaman dengan pertanyaan ini. Anin ingin teman temannya memiliki perasaan yang biasa saja setelah kejadian itu. Dengan pasti, Anin mengangguk untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak apa-apa.
"Gue gak kenapa kenapa. Gue cuma banyak pikiran, biasa lah kan tugas banyak. Belum lagi gue kemarin ambil cuti, jadi tugas gue numpuk gitu." ucap Anin dengan yakin.
Ara dan Rafi mengangguk pelan. "Yaudah kalau ada apa apa, lo kabarin kita aja." kata Rafi.
Anin tersenyum simpul, melanjutkan kegiatannya memakan siomay. Ara dan Rafi memang teman Anin, namun mereka adalah sepasang kekasih. Makan bersama mereka seperti nyamuk, namun Ara dan Rafi tidak masalah. Lagipula, mereka berteman cukup dekat walaupun tidak sedekat itu.
Setelah makan siomay, Anin niatnya ingin pergi ke toko buku untuk self healing. Jam kuliah sudah selesai karena dosen mata kuliah yang seharusnya mengajar mengabari tidak akan masuk. Banyak mata kuliah yang perlu Anin kejar namun ia tidak ingin seambis itu, rasa malas kadang masih memenuhi jiwanya.
"Anindita Queenzy?" pertanyaan itu membuat Anin menghentikan suapan siomaynya. Mereka bertiga sontak menoleh ke lelaki yang memanggil nama Anin dengan lengkap. Lelaki bertubuh tinggi, menggunakan setelan jas berwarna hitam lengkap dengan kacamata hitamnya berdiri di sebelah Anin.
"Siapa?" Ara berbisik pada Anin. Anin hanya mengangkat bahu tanda tidak mengetahui siapa lelaki ini.
"Iya itu gue, lo siapa?" tanya Anin dengan mengerutkan alisnya.
"Saya Bisma, saya diminta oleh Pak Rafa untuk menjemput Anda." ucapnya dengan tenang tanpa menghiraukan tatapan kebingungan dari mereka bertiga.
"Pak Rafa, siapa?" Nada bicara Anin tentu menunjukkan ekspresi kebingungan. Rafa siapa? Bisma siapa?
"Anda akan mengetahuinya apabila Anda ikut dengan saya sekarang."
"Lah, gak jelas lo. Gue gak kenal lo, mana mau gue ikut." dengan ketus Anin menjawab sembari menggelengkan kepalanya.
"Nin, siapa tau penting." ucap Rafi, ia melihatkan deretan giginya. Anin tau isi pikiran Rafi.
"Iya Nin, mending lo ikut aja dulu." Ara ikut mendukung Rafi, menyuruh Anin ikut dengan Bisma. Anin menggelengkan kepalanya. Temannya ini kenapa sih?
"Pak Rafa tidak suka menunggu, jadi sebaiknya Anda segera ikut dengan saya." Bisma sedikit memaksa, ia menarik pelan lengan Anin. Anin tidak suka dengan ini, ia memaksa Bisma untuk melepaskan tangannya dari lengan Anin.
"Iya, iya gue ikut. Tapi jangan lo sentuh gue!" ketus Anin.
Dengan cemberut, Anin membereskan tasnya. Ia mulai beranjak dari kursi dan berjalan keluar dari area kantin.
"Nin, kalau butuh apa-apa telfon gue ya! Good luck!" teriak Ara sambil melambaikan tangan.
Anin merutuk dalam hati, teman macam apa yang terlihat seperti menjual temannya?
* * *
Bisma membuka pintu mobil untuk Anin. Anin mengerjap, dari mobilnya saja sudah terlihat mewah. Apa Rafa seorang yang tajir dan bergelimang harta?
"Silahkan masuk, Pak Rafa menunggu di dalam."
Dengan tidak iklas, Anin masuk ke dalam mobil. Aroma kopi dan vanila menyeruak di dalam indra penciumannya. Aroma yang Anin suka. Betul yang tadi Bisma ucapkan, ada seseorang yang duduk di samping Anin. Mungkin ini Rafa?
Tak lama setelah Anin masuk, Bisma pun ikut masuk dan mulai menjalankan mobilnya. Anin merasakan kecanggungan yang luar biasa. Apalagi saat Rafa tidak mengajaknya ngobrol hanya untuk berkenalan. Mata lelaki yang Anin anggap itu sebagai Rafa terus fokus pada I-padnya, jarinya pun terus berselancar pada layar tablet tersebut.
Anin hanya bisa menggigit bibir dan memainkan jarinya. Ia merutuki dirinya sendiri mengapa mau mengikuti Bisma. Bagaimana jika mereka adalah penculik yang berpenampilan baik saja? Duh, bodo banget gue!
"Saya Rafa Aveeno." Anin menoleh saat suara berat itu terdengar. Anin memujanya dalam hati, suara berat namun sangat terdengar lembut di telinga Anin. Wajah Rafa pun terlihat sangat tampan. Namun Anin tidak boleh dengan mudah tertipu oleh penampilan.
Anin berdeham pelan, "Lo ngapain jemput gue?" tanya Anin langsung pada intinya. Suara ketus Anin tidak bisa ia tahan. Anin kesal.
"Kami akan fitting baju pengantin, Anindita." ucap Rafa singkat, padat dan jelas namun besar efeknya untuk Anin. Apa katanya? Fitting baju pengantin?
"Gila lo!"
* * *
Hi! I think it's enough for the prologue, thank you! <3
Semburat oranye yang memasuki jendela kamar Anindita tidak membuatnya mengalihkan pandangan. Anindita sedang sibuk menatap langit-langit kamarnya. Ia masih mencerna apa yang baru saja dilakukannya bersama Rafa Aveeno. Iya, Rafa Aveeno. Lelaki tampan, berwibawa, dan tajir yang mengaku diberi amanah oleh orang tua Anin untuk menikah dengannya. Ini gila menurut Anin, apa yang direncanakan orang tuanya? Anin baru berumur 20 tahun dan harus sudah memiliki suami? Ia saja tidak mengenal Rafa, mengapa harus menikah? Mengapa harus dijodohkan? Ini sudah abad ke-20, apa perjodohan masih ada? "Argh!" Anin tidak tau harus berbuat apa, masalah akademiknya saja sudah membuat pikirannya terbebani dan sekarang ditambah dengan perjodohan gila ini. Mengapa bunda dan ayahnya tidak memberi tau Anin sebelumnya? Anin menghela napasnya, ia ingin mengistirahatkan otaknya yang sempit itu sekarang. Karena jujur, ia sudah cukup lelah dengan apa yang menimpanya belakangan ini. Mata Anin
Semuanya tertata rapi; appetizer, main course, dessert, berbagai varian minuman tersaji di meja makan. Seperti makan malam di restoran ternama, namun ini di rumah Rafa. Meja terbuat dari kayu dengan aksen emas tampak menarik mata Anin. Makan malam dihadiri oleh Sarah, Lucas, Dara, dan Emilio—tunangan Dara. Senyuman ramah tak henti tercetak di wajah kedua orang tua Rafa. Anin jadi tidak enak hati dengan sandiwara yang dibuat, namun bagaimana lagi? Ini memang harus ia lakukan. “Anin, kuliah lo gimana?” Dara dengan senyuman dan suara lembutnya bertanya. Anin kikuk sendiri, “Lancar Kak.” Jawab Anin sekenanya, tak lupa ia memperlihatkan senyumannya. Dara terkekeh, “Maksud gue, kalau lo nanti nikah. Kuliah lo mau lanjut?” Anin termenung sesaat. Belum sempat ia menjawab, Rafa sudah mengeluarkan suaranya. “Dia akan tetap kuliah.” Ucapnya tegas. Rafa menatap Anin yang hendak menambahkan ucapan Rafa, memberikan isyarat bahwa
“Jadi dia siapa?” tanya Ara mendesak. Banyak pertanyaan yang muncul di otaknya ketika Ara melihat Anin.“Dia Rafa, anaknya temen nyokap gue.” Anin jawab sekenanya, karena ia juga bingung harus bercerita darimana. Terlalu rumit untuk Anin terima, apalagi untuk Ara.Mata Ara memicing, “Beneran? Kok kemarin kaya serius banget yang jemput lo.”Anin mengangguk, mungkin belum saatnya ia bercerita mengenai Rafa dan perjodohan ini pada Ara. Masih terlalu rumit untuk dijelaskan. Anin mengaduk mie ayam di depannya dengan tidak selera, entah lah apapun yang menyangkut Rafa sekarang membuatnya malas.“Rafi mana?” tanya Anin, tumben sekali lelaki itu tidak memunculkan batang hidungnya di saat Ara ada disini. Biasanya, mereka selalu satu paket. Dimana ada Ara, di situ ada Rafi.“Dia lagi ada kelas susulan.” Jawab Ara dengan mulut penuh dengan bakso. Anin hanya mengangguk paham.“Lo kepilih
Anin mengeryitkan dahinya ketika melihat Rafa bersandar di mobilnya yang terparkir di samping kafe. Niatnya untuk pulang bersama Aldifan musnah sudah. Ia pasti harus pulang Bersama Rafa, dengan sangat terpaksa. Rafa dengan segala sifat otoriternya membuat Anin jengah. Selain itu, Anin juga perlu menjelaskan siapa Rafa sebenarnya kepada Ara karena Ara sudah menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan.Anin menghela napasnya kemudian berjalan mendekati Rafa, ia menyeret Rafa untuk mengikutinya menjauhi teman-teman Anin. Setelah dirasa sudah agak jauh dari jangkauan teman-temannya, Anin menghentikan langkah. Rafa hanya menurut saja mengikuti Anin.“Lo ngapain jemput gue?!” sentak Anin.“Mami saya menyuruh saya menjemput anda.” Jawab Rafa pelan dan tenang.Anin jengah, selalu saja Rafa menggunakan maminya sebagai alasan. Sebenarnya Rafa itu kenapa sih? Anin jadi bingung sendiri. Kemarin Rafa menyuruhnya untuk melakukan sandiwara dengan
Segelas matcha latte dan sepiring blueberry cheesecake menemani Anin di kafe ini. Di hadapannya ada laptop yang sedang terbuka, menantikan Anin menyentuhnya kembali. Iya, betul. Anin sedang berada di kafe favoritnya dan ia duduk di spot favoritnya—sudut ruangan dekat jendela besar yang mengarah ke pemandangan kota Bandung.Meskipun niatnya datang ke kafe ini untuk mengerjakan tugas, namun nyatanya Anin malah menikmati lamunannya. Memang kesendirian dan melamun adalah paket combo yang Anin suka. Ia bisa menghilangkan kerumitan hidup dalam beberapa menit, lalu kembali lagi pada kenyataan.Lamunan Anin buyar ketika ia menyadari ada seseorang yang duduk di hadapannya, dia adalah Aldifan. Lelaki sekaligus ketua pelaksana dari program kerja yang ia jalani bersama. Lelaki yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya. Anin terkejut sekaligus tersipu. Mengapa Aldifan tiba-tiba berada di hadapannya saat ini?“Hai.” Sapa Ald
"Sayang, kenapa diem aja? Ada pikiran?" Ucap wanita berumur 28 tahun dengan manjanya. Wanita itu menyandarkan kepalanya di dada bidang seorang lelaki yang tidak terbaut oleh pakaian, yang tidak lain adalah kekasihnya.Lelaki itu menggeleng pelan dan tersenyum. Ia menatap wanita cantik di depannya. Kekasihnya itu memiliki rambut berwarnaash blonde, mata berwarna hijau, dan kulit putih pucat--terlihat bahwa wanita itu adalah wanita blasteran. Lelaki itu tiba-tiba merasa tidak enak hati, tidak tega apabila wanita di hadapannya merasa tidak diperhatikan olehnya."Aku nggak kenapa kenapa sayang. Cuma lagi sedikit ada pikiran, masalah pekerjaan.But, it's okay. I can handle it." Dengan lembut, lelaki itu menjawab."Kalau ada apa-apa, cerita ya Raf."Rafa tersenyum pada wanitanya. Di hadapannya sekarang ada seorang wanita bernama Abelia Cantika Allen, wanita yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya setelah mereka