“Jadi dia siapa?” tanya Ara mendesak. Banyak pertanyaan yang muncul di otaknya ketika Ara melihat Anin.
“Dia Rafa, anaknya temen nyokap gue.” Anin jawab sekenanya, karena ia juga bingung harus bercerita darimana. Terlalu rumit untuk Anin terima, apalagi untuk Ara.
Mata Ara memicing, “Beneran? Kok kemarin kaya serius banget yang jemput lo.”
Anin mengangguk, mungkin belum saatnya ia bercerita mengenai Rafa dan perjodohan ini pada Ara. Masih terlalu rumit untuk dijelaskan. Anin mengaduk mie ayam di depannya dengan tidak selera, entah lah apapun yang menyangkut Rafa sekarang membuatnya malas.
“Rafi mana?” tanya Anin, tumben sekali lelaki itu tidak memunculkan batang hidungnya di saat Ara ada disini. Biasanya, mereka selalu satu paket. Dimana ada Ara, di situ ada Rafi.
“Dia lagi ada kelas susulan.” Jawab Ara dengan mulut penuh dengan bakso. Anin hanya mengangguk paham.
“Lo kepilih jadi wakil ketua proker baru?” tanya Ara, Anin mengangguk. Program kerja yang Ara maksud adalah Sekolah Kepemimpinan, program kerja yang diadakan oleh organisasi yang Anin jalani.
“Si Aldifan kan ketuanya?” tanya Anin memastikan.
‘Ho’oh, gue aja tiba-tiba ditunjuk jadi sekretarisnya. Males banget anjir.” Rutuk Ara. Makanan mereka sudah ludes, hanya tersisa kuah berwarna merah saja karena mereka sangat gila pedas.
“Lo cocok sih, gue agak gak suka sama cara dia jadi pemimpin.” Ucap Anin.
“Why? Dia berwibawa gitu kok.” Sahut Ara menyuarakan pandangannya terhadap Aldifan.
“Gatau deh, gue emang gak pernah sreg sama dia.” Anin mengangkat bahunya, selagi mulutnya sibuk menyeruput jus mangga.
Ara menunjuk Anin menggunakan sedotan, “Hati-hati jadi sayang nanti.”
Anin melotot, “Hush, kemana aja lo kalau ngomong!” Anin membenarkan rambutnya yang teruntai menghalangi pandangan sebelum melanjutkan ucapannya, “Lo ikut rapat?”
Ara mengangguk, “Ikut, gue sekretaris wajib ikut ‘kan?”
“Iya sih.”
Percakapan mereka berdua terhenti ketika jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Keduanya bergegas untuk memasuki ruangan kelas. Kelas pun dimulai dengan Pak Andri sebagai dosen pengampu.
“Pakai jas labnya, kita akan praktik di laboratorium.”
* * *
Anin mengerutkan keningnya. Rasa panik mulai menyeruak dalam diri. Ia sudah yakin bahwa dirinya memarkirkan mobilnya tepat di samping pilar kedua. Namun kini lahan parkir itu kosong, mobilnya tidak ada disana.
Mana mobil gue anjir?
Anin dengan cepat mengeluarkan ponselnya dari saku celana, ia berniat untuk menghubungi Ara. Siapa tau ia melihat mobilnya. Belum sempat Anin memencet tombol call pada ponselnya, suara berat menginterupsi kegiatannya.
“Mobil anda sudah saya simpan di rumah.”
Anin menoleh dengan cepat, matanya melotot. Mengapa ada Rafa disini?
“Simpan dimana? Lo kok seenaknya gini?!” teriak Anin kesal.
“Mami saya menyuruh untuk menjemput anda.” Ucap Rafa tidak iklas. Rafa sudah seperti boneka mamanya. Rafa memang sangat tidak bisa menolak permintaan mamanya. Sekecil apapun itu. Karena menurut Rafa, mama adalah segalanya.
“Ya terus kenapa lo malah bawa mobil gue?!” Nada bicara Anin naik beberapa oktaf. Tubuhnya sudah lelah sekarang ditambah dengan urusan mobil.
Rafa tidak peduli dengan suara Anin yang terdengar sangat melengking, ia tetap meresponnya dengan tenang dan santai. “Agar nanti anda bisa satu mobil dengan saya, itu yang diinginkan mami saya.”
Sabar Anin, sabar.
“Kan mami lo nggak akan tau!” cerocos Anin.
Rafa mengangkat sebelah alisnya, “Mami saya akan mengetahui segalanya. Sekarang, anda masuk ke dalam mobil dan akan saya antar menuju kafe Bernoulli. Anda ada rapat, bukan?”
“Kok lo tau sih?” Anin masih saja nyolot. Sesekali jarinya membenarkan anak rambut yang sudah berjatuhan.
“Saya memang mengetahui segalanya mengenai anda, Anindita.” Ucap Rafa. Rafa tidak lagi menunggu jawaban Anin, ia melengos menuju mobilnya yang terletak di lahan seberang tempat Anin memarkirkan mobilnya. Mau tidak mau Anin mengikuti Rafa. Anin menghentakkan kaki di setiap langkahnya sebagai bentuk dari kekesalan diri.
So iye banget lo, mentang mentang tajir!
Kalau gue tajir juga gue gak bakal mau.
Mau langsung kabur aja gue!
Anin masih saja merutuk, mengutarakan kekesalannya walau dalam hati. Kakinya juga ikut menendang kerikil kecil sebelum akhirnya berhenti di samping mobil Rafa.
“Saya tidak mau menunggu anda lebih lama lagi. Silahkan masuk apabila mau saya antar, kalau tidak terserah anda saja.” Ucap Rafa sebelum selanjutnya ia masuk ke dalam kursi kemudi mobilnya.
Anin pun mengikuti Rafa dengan masuk ke dalam mobil dengan perasaan dongkol. Bersama Rafa sebentar saja sudah membuat Anin memproduksi banyak dosa baru, apalagi nanti menikah dengannya? Anin tidak bisa membayangkan akan masuk ke dalam neraka mana karena terlalu sering merutuk dan mengumpat terhadap Rafa.
Dalam perjalanan, tidak banyak percakapan yang terjadi. Hanya Anin yang mengomel ketika Rafa memacu kendaraannya dengan begitu cepat. Membuat jantung Anin seketika mau copot.
Tidak sampai tiga puluh menit, mereka sudah sampai di kafe Bernoulli. Tanpa berbicara apa apa, Rafa kembali memacu kendaraannya setelah Anin turun. Hal itu membuat Anin kembali merutuk dalam hati.
Dengan kesal Anin melangkahkan kakinya ke dalam kafe. Ia berjalan terus sampai bertemu dengan Aldifan yang sudah berkutat dengan laptopnya. Aldifan memilih meja di ujung dengan ruangan terbuka. Baru mereka yang datang dari sepuluh anggota inti.
“Hai, sorry gue lama.” Sapa Anin terlebih dahulu.
Aldifan mengangkat wajahnya dan langsung tersenyum saat menyadari Anin sudah sampai. “Halo Nin, gapapa kok. Lo mau pesen apa?”
Anin menempatkan tubuhnya di hadapan Aldifan. Ia tersenyum, seketika dirinya membandingkan Aldifan dengan Rafa. Mereka sangat berbeda. Aldifan sangat lembut dan perhatian, sangat berbanding terbalik dengan Rafa.
“Gue mau matcha latte aja Fan.” Jawab Anin.
“Nggak mau pesen makan?” tanya Aldifan lagi untuk memastikan. Memang jam sudah menunjukkan pukul lima sore, barangkali Anin lapar sehabis kuliah tadi.
Anin menggeleng pelan, “Gue belum begitu laper.”
Aldifan pun mengangguk paham, “Oke, gue pesenin ya.”
Belum sempat Anin mencegah Aldifan untuk memesan minuman untuknya, lelaki itu sudah melenggang berjalan ke kasir. Aldifan memesankan minuman yang tadi Anin sebutkan. Anin sendirian, pikirannya berkelana lagi. Apakah Aldifan lebih cocok untuk menjadi suaminya nanti?
Lo mikir apa sih, Nin? Tolol banget, baru dipesenin minuman udah mikir jadi suami.
Aldifan dating menghampiri Anin, ia langsung terkekeh ketika melihat Anin menggelengkan kepalanya. “Lo kenapa Nin? Pusing?” tanya Aldifan.
Anin tersentak, pipinya memerah. “Umm, gue gapapa.”
Aldifan tertawa ringan, menunjukkan lesung pipit yang terdapat di pipi kirinya.
“Lo lucu, Nin.”
Satu kalimat itu membuat Anin tersipu, padahal baru saja tadi siang ia mengatakan pada Ara bahwa ia tidak suka dengan Aldifan. Kenapa sore ini perasaannya begitu terbalik? Anin merasakan ketertarikan lebih pada Aldifan.
“Apaan deh.” Anin tidak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. Ia memilih untuk mengalihkan percakapan saja, percakapan mereka sudah tidak baik bagi perasaannya kali ini.
“Jadi, mau rekrut berapa orang?” tanya Anin.
“Mungkin untuk sekolah kepemimpinan kali ini tiga puluh lima orang cukup. Nggak usah terlalu banyak. Kita kasih kuota ke setiap jurusan, kalau dari jurusan itu nggak ada yang mau join berarti kuotanya kasih ke jurusan lain.” Jelas Aldifan, Anin hanya manggut-manggut saja mendengarkan ucapan dari sang ketua pelaksana.
Tak lama pesanan Anin datang diikuti dengan datangnya Ara beserta anggota lainnya. Ada Faisal, Nadea, dan juga Dyan. Memang sore ini hanya enam orang yang akan rapat, yang lainnya izin karena ada keperluan mendadak. Aldifan dan Anin memakluminya karena memang namanya mahasiswa, suka ada keperluan mendadak.
“Sorry telat guys!” seru Dyan.
“It’s okay. Kita juga belum lama kok.” Sahut Anin.
“By the way, sambil kalian pesen makanan, rapatnya gue buka aja kali ya. Biar ga terlalu malam juga, kasian yang cewek kalau pulang terlalu malam.” Ucap Aldifan dengan tegas.
Akhir kalimat Aldifan membuat Anin tersenyum, Aldifan begitu peduli pada rekan kerjanya. Namun, lagi lagi ia sadar dengan pikirannya. Apakah ia menyukai Aldifan? Secepat itu?
* * *
Are you #TeamRafa or #TeamAldifan?
Anin mengeryitkan dahinya ketika melihat Rafa bersandar di mobilnya yang terparkir di samping kafe. Niatnya untuk pulang bersama Aldifan musnah sudah. Ia pasti harus pulang Bersama Rafa, dengan sangat terpaksa. Rafa dengan segala sifat otoriternya membuat Anin jengah. Selain itu, Anin juga perlu menjelaskan siapa Rafa sebenarnya kepada Ara karena Ara sudah menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan.Anin menghela napasnya kemudian berjalan mendekati Rafa, ia menyeret Rafa untuk mengikutinya menjauhi teman-teman Anin. Setelah dirasa sudah agak jauh dari jangkauan teman-temannya, Anin menghentikan langkah. Rafa hanya menurut saja mengikuti Anin.“Lo ngapain jemput gue?!” sentak Anin.“Mami saya menyuruh saya menjemput anda.” Jawab Rafa pelan dan tenang.Anin jengah, selalu saja Rafa menggunakan maminya sebagai alasan. Sebenarnya Rafa itu kenapa sih? Anin jadi bingung sendiri. Kemarin Rafa menyuruhnya untuk melakukan sandiwara dengan
Segelas matcha latte dan sepiring blueberry cheesecake menemani Anin di kafe ini. Di hadapannya ada laptop yang sedang terbuka, menantikan Anin menyentuhnya kembali. Iya, betul. Anin sedang berada di kafe favoritnya dan ia duduk di spot favoritnya—sudut ruangan dekat jendela besar yang mengarah ke pemandangan kota Bandung.Meskipun niatnya datang ke kafe ini untuk mengerjakan tugas, namun nyatanya Anin malah menikmati lamunannya. Memang kesendirian dan melamun adalah paket combo yang Anin suka. Ia bisa menghilangkan kerumitan hidup dalam beberapa menit, lalu kembali lagi pada kenyataan.Lamunan Anin buyar ketika ia menyadari ada seseorang yang duduk di hadapannya, dia adalah Aldifan. Lelaki sekaligus ketua pelaksana dari program kerja yang ia jalani bersama. Lelaki yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya. Anin terkejut sekaligus tersipu. Mengapa Aldifan tiba-tiba berada di hadapannya saat ini?“Hai.” Sapa Ald
"Sayang, kenapa diem aja? Ada pikiran?" Ucap wanita berumur 28 tahun dengan manjanya. Wanita itu menyandarkan kepalanya di dada bidang seorang lelaki yang tidak terbaut oleh pakaian, yang tidak lain adalah kekasihnya.Lelaki itu menggeleng pelan dan tersenyum. Ia menatap wanita cantik di depannya. Kekasihnya itu memiliki rambut berwarnaash blonde, mata berwarna hijau, dan kulit putih pucat--terlihat bahwa wanita itu adalah wanita blasteran. Lelaki itu tiba-tiba merasa tidak enak hati, tidak tega apabila wanita di hadapannya merasa tidak diperhatikan olehnya."Aku nggak kenapa kenapa sayang. Cuma lagi sedikit ada pikiran, masalah pekerjaan.But, it's okay. I can handle it." Dengan lembut, lelaki itu menjawab."Kalau ada apa-apa, cerita ya Raf."Rafa tersenyum pada wanitanya. Di hadapannya sekarang ada seorang wanita bernama Abelia Cantika Allen, wanita yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya setelah mereka
Suara gemericik air mancur dari kolam ikan di depannya menelusup ke dalam renung Anindita. Membuat ketenangan seakan hadir pada pagi hari, menemani Anindita yang sedang melamun di halaman belakang kampus. Banyak hal yang memenuhi isi kepala Anindita, membuat kepalanya seakan mau pecah saja. Sebuah buku yang sedari tadi ia genggam, ia simpan di bangku sampingnya. Buku yang selalu ia baca, meskipun sudah berulang kali. I wish you were here, Ma.. Anindita memejamkan mata, menghembuskan napasnya pelan. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kurusnya. Menunjukkan pukul delapan pagi, yang artinya kelas akan dimulai setengah jam lagi. "Oke, gue harus semangat!" ucapnya pelan, sekedar untuk menyemangati diri sendiri. Anindita beranjak dari bangku taman, menuju ke selasar ruangan kelas. Banyak yang menyapanya meskipun ia bukan anak populer di kampus. Sikap mudah bergaul yang dimiliki oleh Anindita membuatnya mud
Semburat oranye yang memasuki jendela kamar Anindita tidak membuatnya mengalihkan pandangan. Anindita sedang sibuk menatap langit-langit kamarnya. Ia masih mencerna apa yang baru saja dilakukannya bersama Rafa Aveeno. Iya, Rafa Aveeno. Lelaki tampan, berwibawa, dan tajir yang mengaku diberi amanah oleh orang tua Anin untuk menikah dengannya. Ini gila menurut Anin, apa yang direncanakan orang tuanya? Anin baru berumur 20 tahun dan harus sudah memiliki suami? Ia saja tidak mengenal Rafa, mengapa harus menikah? Mengapa harus dijodohkan? Ini sudah abad ke-20, apa perjodohan masih ada? "Argh!" Anin tidak tau harus berbuat apa, masalah akademiknya saja sudah membuat pikirannya terbebani dan sekarang ditambah dengan perjodohan gila ini. Mengapa bunda dan ayahnya tidak memberi tau Anin sebelumnya? Anin menghela napasnya, ia ingin mengistirahatkan otaknya yang sempit itu sekarang. Karena jujur, ia sudah cukup lelah dengan apa yang menimpanya belakangan ini. Mata Anin
Semuanya tertata rapi; appetizer, main course, dessert, berbagai varian minuman tersaji di meja makan. Seperti makan malam di restoran ternama, namun ini di rumah Rafa. Meja terbuat dari kayu dengan aksen emas tampak menarik mata Anin. Makan malam dihadiri oleh Sarah, Lucas, Dara, dan Emilio—tunangan Dara. Senyuman ramah tak henti tercetak di wajah kedua orang tua Rafa. Anin jadi tidak enak hati dengan sandiwara yang dibuat, namun bagaimana lagi? Ini memang harus ia lakukan. “Anin, kuliah lo gimana?” Dara dengan senyuman dan suara lembutnya bertanya. Anin kikuk sendiri, “Lancar Kak.” Jawab Anin sekenanya, tak lupa ia memperlihatkan senyumannya. Dara terkekeh, “Maksud gue, kalau lo nanti nikah. Kuliah lo mau lanjut?” Anin termenung sesaat. Belum sempat ia menjawab, Rafa sudah mengeluarkan suaranya. “Dia akan tetap kuliah.” Ucapnya tegas. Rafa menatap Anin yang hendak menambahkan ucapan Rafa, memberikan isyarat bahwa