Anin mengeryitkan dahinya ketika melihat Rafa bersandar di mobilnya yang terparkir di samping kafe. Niatnya untuk pulang bersama Aldifan musnah sudah. Ia pasti harus pulang Bersama Rafa, dengan sangat terpaksa. Rafa dengan segala sifat otoriternya membuat Anin jengah. Selain itu, Anin juga perlu menjelaskan siapa Rafa sebenarnya kepada Ara karena Ara sudah menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan.
Anin menghela napasnya kemudian berjalan mendekati Rafa, ia menyeret Rafa untuk mengikutinya menjauhi teman-teman Anin. Setelah dirasa sudah agak jauh dari jangkauan teman-temannya, Anin menghentikan langkah. Rafa hanya menurut saja mengikuti Anin.
“Lo ngapain jemput gue?!” sentak Anin.
“Mami saya menyuruh saya menjemput anda.” Jawab Rafa pelan dan tenang.
Anin jengah, selalu saja Rafa menggunakan maminya sebagai alasan. Sebenarnya Rafa itu kenapa sih? Anin jadi bingung sendiri. Kemarin Rafa menyuruhnya untuk melakukan sandiwara dengan baik, tetapi sekarang dirinya malah menjemputnya. Membuat Anin harus menceritakan perihal perjodohan ini kepada Ara.
“Nggak ada alesan selain itu? Mami terus alesan lo!” cerocos Anin.
Rafa mengedikkan bahunya, “Memang itu alasan saya.”
Anin mendengus, tidak ingin membalas Rafa karena sekeras apapun Anin membalasnya, Rafa akan tetap menjawab Anin dengan tenang dan cuek. Antara tidak peduli dan malas untuk menghadapi Anin.
“Lo masuk duluan ke mobil, gue pamitan dulu.” Ucap Anin pada Rafa. Rafa hanya diam tanpa respon kecuali berjalan mendahului Anin menuju mobilnya.
Lah, dia ngambek?
Anin menggelengkan kepalanya, tidak mengerti dengan sikap Rafa. Tidak mau memikirkannya lebih lanjut, Anin memilih untuk meninggalkan tempat itu menuju teman-temannya.
“Fan, sorry banget ternyata gue dijemput.” Sahut Anin dengan penuh penyesalan. Anin memang menyesal tidak jadi pulang bersama Aldifan. Padahal, dalam hatinya ia sangat ingin pulang bersama Aldifan dibandingkan dengan Rafa.
Aldifan tersenyum simpul, “It’s okay, maybe next time.” Ucapnya sembari mengacak rambut Anin. Hal kecil itu membuat jantung Anin berdebar dan pipinya merona. Namun Anin tak ingin semakin memperlihatkan reaksi tubuhnya yang norak itu, ia langsung berdeham untuk menetralkan perasaannya.
“Ra, besok gue cerita.” Ucap Anin pada Ara, pandangannya menyiratkan permohonan maaf. Ara meresponnya dengan mengangguk paham. Banyak yang harus Anin pertimbangkan saat ini. Anin menghela napas sebelum memasuki mobil, untung saja Ara mengerti keadaannya kali ini.
Setelah berpamitan, langsung saja Anin masuk ke dalam mobil. Suasana canggung langsung menyeruak, Rafa terdiam tanpa menoleh sedikit pun pada Anin. Anin tidak peduli, ia juga tidak ingin memulai percakapan.
Perjalanan ini terasa sepi, hanya terdengar deru kendaraan lain. Rafa sibuk dengan kemudinya, Anin sibuk dengan pikirannya. Memulai percakapan dengan Rafa bukanlah hal yang benar untuk Anin lakukan kali ini. Otak kecilnya menyusun kata-kata untuk menjelaskan siapa Rafa sebenarnya kepada Ara.
Tak terasa mobil yang ia tumpangi sudah sampai di depan apartemen Anin, mobilnya berhenti di tempat drop off penumpang. Rupanya Rafa tidak lagi mengajak Anin ke rumahnya. Tanpa berkata apapun, Anin keluar dari mobil. Rafa pun tidak mengatakan apa-apa, langsung menancap gas tanpa melihat Anin.
* * *
From: Aldifan
Lo udah sampe?
Anin tersenyum kala mendapati notifikasi pesan dari Aldifan. Dirinya baru saja selesai mandi dan perasaannya membaik begitu membaca pesan dari Aldifan. Dengan cepat Anin mengetikkan balasan untuk Aldifan. Senyumnya belum luntur dari wajah Anin.
To: Aldifan
Udah nih, lo udah sampe?
Sambil menunggu balasan dari Aldifan, Anin mengeringkan rambutnya menggunakan hair-dryer. Entah mengapa Anin merasa dirinya sedang berbunga-bunga, apakah karena Aldifan? Padahal sebelumnya Anin mengatakan bahwa ia tidak menyukai Aldifan pada Ara. Apa yang dikatakan Ara ada benarnya?
Masa gue suka sama día? Secepat ini?
Anin tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dirinya sejak tadi tidak fokus rapat, ia terlalu sering membandingkan antara Aldifan dan Rafa. Membuat Anin mengunggulkan Aldifan tentunya. Karena Aldifan memiliki pribadi yang lembut dan care, untuk masalah tampang juga tidak terlalu timpang. Aldifan tampan dengan gayanya. Mungkin Aldifan hanya kalah dari segi keuangan saja. Aldifan tidak setajir Rafa dengan hasil kerjanya sendiri. Wajar saja sih, Aldifan kan masih kuliah sama seperti Anin.
Ponsel Anin bergetar, dengan cepat Anin mengeceknya. Anin menghembuskan napasnya kecewa ketika mendapati notifikasi yang bukan berasal dari Aldifan, melainkan dari Ara. Namun, Anin tetap membuka pesannya. Ara bisa ngamuk apabila Anin tidak membalas pesannya, apalagi mengingat kejadian di kafe tadi.
From: Ara <3
Lo jangan lupa besok, datang lebih pagi!
Anin terkekeh, Ara memang Ara dengan segala rasa penasarannya. Ia akan terus meneror Anin apabila Anin tidak memberi tahu siapa Rafa sebenarnya dan apa hubungan mereka sebenarnya. Dengan cepat Anin mengetikkan balasan untuk Ara.
To: Ara <3
Iya, lo tenang aja.
Belum sempat Anin mengunci layar ponselnya, notifikasi pesan masuk dari Aldifan muncul membuat Anin mengembangkan senyumnya.
From: Aldifan
Bagus kalau gitu, gue juga udah sampe. Jangan lupa istirahat Nin, jangan begadang.
Yang dilakukan Aldifan hanya hal kecil, hal kecil yang mampu membuat Anin tersenyum dan merasa diperhatikan olehnya. Aldifan memang manis dan lembut, dan Anin baru menyadarinya hari ini. Padahal mereka sudah bersama sebagai rekan kerja hampir dua tahun lamanya, kemana saja ia selama ini? Anin tidak membalas pesan Aldifan. Ia merasa sedikit malu apabila terlalu terlihat agresif, seperti bukan Anin banget.
Setelah melakukan ritual malamnya—memakai skincare, Anin merebahkan tubuhnya yang terbalut piyama panjang berwarna cokelat muda. Ia mencoba memikirkan kembali rencana kaburnya. Apabila ia kabur dalam waktu dekat, apakah ia tidak akan bertemu Aldifan lagi? Apakah Ara akan marah? Apakah keluarga Rafa terutama maminya akan membenci Anin?
Terlalu banyak yang Anin pertimbangkan. Anin bahkan memikirkan hati seseorang yang menyebalkan yang kemungkinan akan menjadi calon suaminya nanti. Melihat sikapnya tadi saja membuat Anin tidak enak hati. Rafa memang seperti hanya boneka maminya saja, menjemput Anin tanpa iklas.
Kalau saja Rafa memiliki sifat yang sedikit lembut dan perhatian, mungkin Anin bisa mempertimbangkan dan membujuk dirinya sendiri untuk menyetujui perjodohan ini. Namun, sifat Rafa sama sekali tidak ada dalam tipe calon suami ideal Anin. Berarti memang Rafanya saja yang salah, karena Anin tidak pernah salah.
* * *
“Hallo?”
“Hi, sweety.”
Wanita di ujung telepon itu tersenyum kala mendengar sebutan sayang dari sang kekasih. Sweety, meskipun mainstream tetapi tetap saja ia merasa special ketika kekasih yang ia cinta memanggilnya dengan sebutan itu.
“Kamu dimana, sayang?” Tanya wanita tersebut. Senyumnya mengembang, sudah lama kekasihnya itu tidak menghubungi. Pekerjaan selalu menjadi musuh terbesar dalam hubungan mereka.
Keduanya memang memiliki pekerjaan yang membuat mereka sama sama sibuk. Mereka penganut long distance relationship, sudah ldr; sibuk oleh pekerjaan pula.
“At the airport, on the way to you. I miss you so much, Mrs, Aveeno.”
* * *
Ssstt, who’s Mrs. Aveeno?
Segelas matcha latte dan sepiring blueberry cheesecake menemani Anin di kafe ini. Di hadapannya ada laptop yang sedang terbuka, menantikan Anin menyentuhnya kembali. Iya, betul. Anin sedang berada di kafe favoritnya dan ia duduk di spot favoritnya—sudut ruangan dekat jendela besar yang mengarah ke pemandangan kota Bandung.Meskipun niatnya datang ke kafe ini untuk mengerjakan tugas, namun nyatanya Anin malah menikmati lamunannya. Memang kesendirian dan melamun adalah paket combo yang Anin suka. Ia bisa menghilangkan kerumitan hidup dalam beberapa menit, lalu kembali lagi pada kenyataan.Lamunan Anin buyar ketika ia menyadari ada seseorang yang duduk di hadapannya, dia adalah Aldifan. Lelaki sekaligus ketua pelaksana dari program kerja yang ia jalani bersama. Lelaki yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya. Anin terkejut sekaligus tersipu. Mengapa Aldifan tiba-tiba berada di hadapannya saat ini?“Hai.” Sapa Ald
"Sayang, kenapa diem aja? Ada pikiran?" Ucap wanita berumur 28 tahun dengan manjanya. Wanita itu menyandarkan kepalanya di dada bidang seorang lelaki yang tidak terbaut oleh pakaian, yang tidak lain adalah kekasihnya.Lelaki itu menggeleng pelan dan tersenyum. Ia menatap wanita cantik di depannya. Kekasihnya itu memiliki rambut berwarnaash blonde, mata berwarna hijau, dan kulit putih pucat--terlihat bahwa wanita itu adalah wanita blasteran. Lelaki itu tiba-tiba merasa tidak enak hati, tidak tega apabila wanita di hadapannya merasa tidak diperhatikan olehnya."Aku nggak kenapa kenapa sayang. Cuma lagi sedikit ada pikiran, masalah pekerjaan.But, it's okay. I can handle it." Dengan lembut, lelaki itu menjawab."Kalau ada apa-apa, cerita ya Raf."Rafa tersenyum pada wanitanya. Di hadapannya sekarang ada seorang wanita bernama Abelia Cantika Allen, wanita yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya setelah mereka
Suara gemericik air mancur dari kolam ikan di depannya menelusup ke dalam renung Anindita. Membuat ketenangan seakan hadir pada pagi hari, menemani Anindita yang sedang melamun di halaman belakang kampus. Banyak hal yang memenuhi isi kepala Anindita, membuat kepalanya seakan mau pecah saja. Sebuah buku yang sedari tadi ia genggam, ia simpan di bangku sampingnya. Buku yang selalu ia baca, meskipun sudah berulang kali. I wish you were here, Ma.. Anindita memejamkan mata, menghembuskan napasnya pelan. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kurusnya. Menunjukkan pukul delapan pagi, yang artinya kelas akan dimulai setengah jam lagi. "Oke, gue harus semangat!" ucapnya pelan, sekedar untuk menyemangati diri sendiri. Anindita beranjak dari bangku taman, menuju ke selasar ruangan kelas. Banyak yang menyapanya meskipun ia bukan anak populer di kampus. Sikap mudah bergaul yang dimiliki oleh Anindita membuatnya mud
Semburat oranye yang memasuki jendela kamar Anindita tidak membuatnya mengalihkan pandangan. Anindita sedang sibuk menatap langit-langit kamarnya. Ia masih mencerna apa yang baru saja dilakukannya bersama Rafa Aveeno. Iya, Rafa Aveeno. Lelaki tampan, berwibawa, dan tajir yang mengaku diberi amanah oleh orang tua Anin untuk menikah dengannya. Ini gila menurut Anin, apa yang direncanakan orang tuanya? Anin baru berumur 20 tahun dan harus sudah memiliki suami? Ia saja tidak mengenal Rafa, mengapa harus menikah? Mengapa harus dijodohkan? Ini sudah abad ke-20, apa perjodohan masih ada? "Argh!" Anin tidak tau harus berbuat apa, masalah akademiknya saja sudah membuat pikirannya terbebani dan sekarang ditambah dengan perjodohan gila ini. Mengapa bunda dan ayahnya tidak memberi tau Anin sebelumnya? Anin menghela napasnya, ia ingin mengistirahatkan otaknya yang sempit itu sekarang. Karena jujur, ia sudah cukup lelah dengan apa yang menimpanya belakangan ini. Mata Anin
Semuanya tertata rapi; appetizer, main course, dessert, berbagai varian minuman tersaji di meja makan. Seperti makan malam di restoran ternama, namun ini di rumah Rafa. Meja terbuat dari kayu dengan aksen emas tampak menarik mata Anin. Makan malam dihadiri oleh Sarah, Lucas, Dara, dan Emilio—tunangan Dara. Senyuman ramah tak henti tercetak di wajah kedua orang tua Rafa. Anin jadi tidak enak hati dengan sandiwara yang dibuat, namun bagaimana lagi? Ini memang harus ia lakukan. “Anin, kuliah lo gimana?” Dara dengan senyuman dan suara lembutnya bertanya. Anin kikuk sendiri, “Lancar Kak.” Jawab Anin sekenanya, tak lupa ia memperlihatkan senyumannya. Dara terkekeh, “Maksud gue, kalau lo nanti nikah. Kuliah lo mau lanjut?” Anin termenung sesaat. Belum sempat ia menjawab, Rafa sudah mengeluarkan suaranya. “Dia akan tetap kuliah.” Ucapnya tegas. Rafa menatap Anin yang hendak menambahkan ucapan Rafa, memberikan isyarat bahwa
“Jadi dia siapa?” tanya Ara mendesak. Banyak pertanyaan yang muncul di otaknya ketika Ara melihat Anin.“Dia Rafa, anaknya temen nyokap gue.” Anin jawab sekenanya, karena ia juga bingung harus bercerita darimana. Terlalu rumit untuk Anin terima, apalagi untuk Ara.Mata Ara memicing, “Beneran? Kok kemarin kaya serius banget yang jemput lo.”Anin mengangguk, mungkin belum saatnya ia bercerita mengenai Rafa dan perjodohan ini pada Ara. Masih terlalu rumit untuk dijelaskan. Anin mengaduk mie ayam di depannya dengan tidak selera, entah lah apapun yang menyangkut Rafa sekarang membuatnya malas.“Rafi mana?” tanya Anin, tumben sekali lelaki itu tidak memunculkan batang hidungnya di saat Ara ada disini. Biasanya, mereka selalu satu paket. Dimana ada Ara, di situ ada Rafi.“Dia lagi ada kelas susulan.” Jawab Ara dengan mulut penuh dengan bakso. Anin hanya mengangguk paham.“Lo kepilih