"Sayang, kenapa diem aja? Ada pikiran?" Ucap wanita berumur 28 tahun dengan manjanya. Wanita itu menyandarkan kepalanya di dada bidang seorang lelaki yang tidak terbaut oleh pakaian, yang tidak lain adalah kekasihnya.
Lelaki itu menggeleng pelan dan tersenyum. Ia menatap wanita cantik di depannya. Kekasihnya itu memiliki rambut berwarna ash blonde, mata berwarna hijau, dan kulit putih pucat--terlihat bahwa wanita itu adalah wanita blasteran. Lelaki itu tiba-tiba merasa tidak enak hati, tidak tega apabila wanita di hadapannya merasa tidak diperhatikan olehnya.
"Aku nggak kenapa kenapa sayang. Cuma lagi sedikit ada pikiran, masalah pekerjaan. But, it's okay. I can handle it." Dengan lembut, lelaki itu menjawab.
"Kalau ada apa-apa, cerita ya Raf."
Rafa tersenyum pada wanitanya. Di hadapannya sekarang ada seorang wanita bernama Abelia Cantika Allen, wanita yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya setelah mereka berpacaran selama tiga tahun lamanya.
Perhatian Abelia memang tidak pernah berubah sejak mereka pertama berpacaran. Abelia selalu lembut dan penuh kasih sayang. Hal itu yang membuat Rafa selalu menyayangi Abelia serta tidak memiliki niat untuk meninggalkannya.
Keduanya sedang berada di rumah pribadi Abelia, hadiah dari Rafa ketika ia berulang tahun ke-28 tahun. Terdengar berlebihan? Tentu tidak. Hal itu memang tidak sebanding dengan apa yang Abelia berikan juga pada Rafa. Mungkin kado dari Rafa tidak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang Abelia berikan.
Rafa mengelus punggung Abelia yang terbalut dengan lingerie berwarna merah maroon sambil sesekali mengecup pucuk kepala Abelia. Rafa memang terlihat sangat tenang dari luar, namun sebenarnya banyak hal yang sedang ia pikirkan. Terutama gadis yang belakangan ini selalu mengusik pikirannya.
***
"Kamu kenapa?" Tanya Abelia dengan berbahasa Inggris kepada seorang lelaki yang ia yakin berumur lebih tua darinya.
Abelia melirik jam yang melingkar di tangannya, menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Perasaannya menjadi tidak enak. Namun ia lebih tidak enak lagi apabila harus meninggalkan laki-laki yang baru ditemuinya begitu saja.
Lelaki di hadapannya terlihat menyedihkan, keadaan tubuhnya basah kuyup dengan luka di dahinya. Lelaki tampan itu mengadahkan kepalanya yang sebelumnya tertunduk, menatap Abelia dengan tatapan bingung.
"Kamu kenapa?" Abelia mengulang pertanyaannya. Menyembunyikan rasa takut dan khawatir yang secara bersamaan menyerang dirinya. Namun lelaki di depannya tetap bungkam, membuat Abelia kesal.
Abelia menghembuskan napasnya, "Yaudah, aku tinggal aja ya." Ucapnya pelan dan mulai mengubah posisinya dari semula berjongkok menjadi berdiri.
Gerakan Abelia terhenti ketika lelaki tadi mencekal tangannya, seolah menahan Abelia untuk tidak pergi dari hadapannya. Dan Abelia pun duduk, menemani lelaki yang bahkan tidak dikenalnya.
"Aku perlu membersihkan luka di dahimu." Ucap Abelia dengan prihatin. Sejujurnya ia merasa lemas ketika melihat darah, tetapi jiwa kemanusiaannya mengatakan bahwa ia harus membantu lelaki di hadapannya ini.
Setelah ucapan Abelia tadi, barulah lelaki tadi merasakan perih di dahinya. Ia menyadari bahwa dahinya terluka akibat benturan yang ia alami.
"Tunggu sebentar ya, aku mau cari apotek yang masih buka." tukas Abelia.
Ia sudah berdiri dan berniat untuk mencari apotek yang masih buka pada tengah malam ini. Namun lagi lagi gerakannya terhenti, kali ini bukan karena lelaki tadi mencekal tangannya, tetapi karena lelaki itu mulai bersuara.
"Tetap di sini, saya butuh pelukan."
Abelia mengernyit, apa lelaki ini tidak merasakan sakit di dahinya? Atau dia menjadi gila karena luka di dahinya? Tetapi dengan ragu, Abelia tetap menuruti keinginan lelaki itu. Ini memang di Bali, tidak seharusnya Abelia percaya kepada lelaki yang tidak ia kenal seperti di negara asalnya. Namun, Abelia tidak tega.
Dengan penuh perasaan waswas, Abelia memeluk lelaki itu dan langsung dibalasnya. Lelaki di hadapannya membalas pelukan Abelia dengan erat. Abelia tidak menolak. Ia membiarkan tubuhnya ikut basah.
Dalam hati, Abelia merutuki kebodohannya. Memeluk orang tidak dikenal pada tengah malam. Namun, ia tidak menyesalinya. Seakan terhanyut oleh suasana, Abelia mulai menikmati pelukan ini. Di pesisir pantai, tengah malam, diiringi oleh deru ombak dan angin.
Setelah hampir lima menit berpelukan, lelaki di hadapan Abelia mulai meregangkan pelukannya. Memberi jarak untuk menatap wajah satu sama lain. Dan tatapan Abelia terkunci pada mata lelaki di hadapannya. Seakan terhipnotis.
Mereka berdua pun duduk berdampingan, belum ada yang memulai percakapan. Rasa canggung memenuhi atmosfer di antara keduanya. Membiarkan angin malam menusuk tubuh mereka.
"Saya Rafa Aveeno dan saya bukan turis." Sahut lelaki di samping Abelia, lelaki yang ia peluk beberapa menit tadi. Abelia menoleh pada Rafa, namun Rafa tetap menjaga pandangannya agar lurus ke depan. Menatap ombak tinggi yang indah baginya.
Abelia memang sempat menyangkanya Rafa adalah turis yang tersesat atau ketinggalan rombongan. Karena sudah banyak kasus seperti itu yang terjadi. Namun perkataan Rafa tadi membuatnya berpikir bahwa Rafa adalah lelaki yang tampan.
"Aku Abelia Cantika, senang kenal denganmu." Balas Abelia dengan ramah, tidak peduli dengan Rafa yang menurutnya kaku.
Keduanya kembali terdiam. Rafa tidak berniat melanjutkan percakapan, begitupun dengan Abelia. Abelia memilih untuk mengeratkan kardigan tipisnya karena ia tau angin malam tidak baik untuk dirinya. Namun ia masih enggan untuk meninggalkan Rafa. Ada perasaan aneh yang mulai menelusup pada relungnya.
"Lukanya harus dibersihkan dan diobati, nanti bisa infeksi Raf." Ucap Abelia penuh perhatian.
Rafa menoleh, "Saya tau."
Bibir Abelia mengerucut, Rafa ini kaku sekali. Memang kaku atau hanya dengan orang baru ya? Atau Rafa memang tidak pandai bergaul?
Sembari diam, Abelia memikirkan percakapan apa yang harus ia lakukan. Kenapa kali ini mencari topik percakapan terasa sangat sulit? Otaknya sibuk berpikir, sementara tangannya sibuk mengeratkan kardigan. Sedangkan Rafa masih melamun dan tidak terlihat peduli pada Abelia.
Bruk..
Rafa terkejut ketika mendapati Abelia tergeletak di pasir. Abelia pingsan karena tubuhnya tidak sanggup menahan rasa dingin yang terus menusuk, seakan berniat membunuh Abelia. Rafa kelimpungan, namun berusaha untuk tetap tenang. Rafa menepuk pipi Abelia dengan pelan namun tidak ada respon.
Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, berniat untuk menghubungi Bisma. Sialnya ponsel Rafa mati karena kehabisan daya.
"Sial!" Rafa mengumpat.
Cara terakhir yang ia pikirkan adalah membawa Abelia ke penginapannya. Ia sadar, wanita di depannya pingsan seperti ini karena ulah dirinya. Meminta Abelia untuk tetap di sampingnya, demi memeluknya. Dan dengan bodohnya, wanita yang bahkan tidak mengenal dirinya menuruti permintaan Rafa.
Rafa bangkit dari duduknya, mengangkat tubuh Abelia dengan bridal style. Ia berniat membawa Abelia ke penginapannya. Seketika ia panik sendiri. Kepalanya sangat sibuk berpikir kali ini. Rasa galaunya hilang seketika. Yang ada di otaknya adalah cara untuk membuat Abelia bangun.
Ketika Rafa menyentuh kulit Abelia, terasa sangat dingin. Rasa bersalah semakin menyeruak. Ia jadi menyesal ketika menyuruh Bisma untuk diam saja di penginapan. Sepanjang jalan, Rafa merutuki kebodohannya kali ini. Tidak biasanya ia bersikap ceroboh.
Tidak sampai sepuluh menit, Rafa sampai di hotel tempatnya menginap. Ia langsung berjalan cepat menuju lift. Ia berusaha untuk memencet tombol angka 19 pada dinding lift.
Ting!
Bersamaan dengan suara itu, pintu lift terbuka. Rafa berjalan dengan tergesa menuju kamarnya. Ia membuka pintu kamar menggunakan kartu akses. Setelah terbuka, Rafa kemudian menidurkan Abelia di ranjangnya yang sialnya hanya satu. Rafa tidak berpikiran untuk memesan extra bed ketika ia akan menginap.
Rafa kemudian mencari charger untuk ponselnya dan menghubungkannya. Ia bergerak dengan cepat untuk menghubungi dokter dan Bisma guna membelikan pakaian untuk Abelia. Ia tidak tenang. Wanita baik ini harus pingsan akibat ulahnya.
Rafa menyelimuti Abelia dan menaikan suhu AC. Setelah ia memastikan Abelia dalam kondisi hangat, ia mengganti pakaiannya yang basah. Hatinya tidak tenang, namun Rafa harus berusaha tenang.
Tepat dengan Rafa selesai berganti pakaian, Bisma datang dengan Ida Ayu dan Made Raka--dokter yang tadi Rafa hubungi. Rafa langsung mempersilahkan Made Raka untuk mengecek kondisi Abelia.
Setelah mengecek kondisi Abelia, Made Raka menghampiri Raka dan membiarkan Ida Ayu untuk mengganti pakaian Abelia.
"Dia mengalami hipotermia, saya sudah menyuntikkan obatnya dan meninggalkan obat yang harus ia minum." Ucap dokter Made, Rafa mengangguk paham.
"Terima kasih, Dok."
"Saya pamit." Made Raka berpamitan dengan Rafa.
Rafa mengantar kepergian Made Raka yang disusul oleh Ida Ayu dan Bisma. Kini tinggal tersisa dirinya dan Abelia di dalam president suit. Rafa bisa saja memesan kamar lagi untuk dirinya, namun ia khawatir akan kondisi Abelia.
Ia lagi lagi memastikan bahwa Abelia sudah hangat. Rafa menutup jendela, mengecek kembali suhu AC, menyelimuti Abelia hingga sebatas dadanya. Rafa kemudian duduk di single chair yang tersedia. Ia memerhatikan Abelia dalam diam. Deru napas yang teratur mengiringi tidurnya. Rafa berdoa dalam hati, semoga tidak terjadi hal yang lebih serius pada Abelia.
"Cepat sembuh, terima kasih."
Entah dorongan darimana, Rafa beranjak dari duduknya dan mendekati Abelia. Ia mengecup kening Abelia dan langsung berlalu menuju toilet untuk mengobati luka di dahinya yang mulai terasa kembali perih.
***
Here it is! Sorry for really late update! I hope you enjoy it! <3
Suara gemericik air mancur dari kolam ikan di depannya menelusup ke dalam renung Anindita. Membuat ketenangan seakan hadir pada pagi hari, menemani Anindita yang sedang melamun di halaman belakang kampus. Banyak hal yang memenuhi isi kepala Anindita, membuat kepalanya seakan mau pecah saja. Sebuah buku yang sedari tadi ia genggam, ia simpan di bangku sampingnya. Buku yang selalu ia baca, meskipun sudah berulang kali. I wish you were here, Ma.. Anindita memejamkan mata, menghembuskan napasnya pelan. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kurusnya. Menunjukkan pukul delapan pagi, yang artinya kelas akan dimulai setengah jam lagi. "Oke, gue harus semangat!" ucapnya pelan, sekedar untuk menyemangati diri sendiri. Anindita beranjak dari bangku taman, menuju ke selasar ruangan kelas. Banyak yang menyapanya meskipun ia bukan anak populer di kampus. Sikap mudah bergaul yang dimiliki oleh Anindita membuatnya mud
Semburat oranye yang memasuki jendela kamar Anindita tidak membuatnya mengalihkan pandangan. Anindita sedang sibuk menatap langit-langit kamarnya. Ia masih mencerna apa yang baru saja dilakukannya bersama Rafa Aveeno. Iya, Rafa Aveeno. Lelaki tampan, berwibawa, dan tajir yang mengaku diberi amanah oleh orang tua Anin untuk menikah dengannya. Ini gila menurut Anin, apa yang direncanakan orang tuanya? Anin baru berumur 20 tahun dan harus sudah memiliki suami? Ia saja tidak mengenal Rafa, mengapa harus menikah? Mengapa harus dijodohkan? Ini sudah abad ke-20, apa perjodohan masih ada? "Argh!" Anin tidak tau harus berbuat apa, masalah akademiknya saja sudah membuat pikirannya terbebani dan sekarang ditambah dengan perjodohan gila ini. Mengapa bunda dan ayahnya tidak memberi tau Anin sebelumnya? Anin menghela napasnya, ia ingin mengistirahatkan otaknya yang sempit itu sekarang. Karena jujur, ia sudah cukup lelah dengan apa yang menimpanya belakangan ini. Mata Anin
Semuanya tertata rapi; appetizer, main course, dessert, berbagai varian minuman tersaji di meja makan. Seperti makan malam di restoran ternama, namun ini di rumah Rafa. Meja terbuat dari kayu dengan aksen emas tampak menarik mata Anin. Makan malam dihadiri oleh Sarah, Lucas, Dara, dan Emilio—tunangan Dara. Senyuman ramah tak henti tercetak di wajah kedua orang tua Rafa. Anin jadi tidak enak hati dengan sandiwara yang dibuat, namun bagaimana lagi? Ini memang harus ia lakukan. “Anin, kuliah lo gimana?” Dara dengan senyuman dan suara lembutnya bertanya. Anin kikuk sendiri, “Lancar Kak.” Jawab Anin sekenanya, tak lupa ia memperlihatkan senyumannya. Dara terkekeh, “Maksud gue, kalau lo nanti nikah. Kuliah lo mau lanjut?” Anin termenung sesaat. Belum sempat ia menjawab, Rafa sudah mengeluarkan suaranya. “Dia akan tetap kuliah.” Ucapnya tegas. Rafa menatap Anin yang hendak menambahkan ucapan Rafa, memberikan isyarat bahwa
“Jadi dia siapa?” tanya Ara mendesak. Banyak pertanyaan yang muncul di otaknya ketika Ara melihat Anin.“Dia Rafa, anaknya temen nyokap gue.” Anin jawab sekenanya, karena ia juga bingung harus bercerita darimana. Terlalu rumit untuk Anin terima, apalagi untuk Ara.Mata Ara memicing, “Beneran? Kok kemarin kaya serius banget yang jemput lo.”Anin mengangguk, mungkin belum saatnya ia bercerita mengenai Rafa dan perjodohan ini pada Ara. Masih terlalu rumit untuk dijelaskan. Anin mengaduk mie ayam di depannya dengan tidak selera, entah lah apapun yang menyangkut Rafa sekarang membuatnya malas.“Rafi mana?” tanya Anin, tumben sekali lelaki itu tidak memunculkan batang hidungnya di saat Ara ada disini. Biasanya, mereka selalu satu paket. Dimana ada Ara, di situ ada Rafi.“Dia lagi ada kelas susulan.” Jawab Ara dengan mulut penuh dengan bakso. Anin hanya mengangguk paham.“Lo kepilih
Anin mengeryitkan dahinya ketika melihat Rafa bersandar di mobilnya yang terparkir di samping kafe. Niatnya untuk pulang bersama Aldifan musnah sudah. Ia pasti harus pulang Bersama Rafa, dengan sangat terpaksa. Rafa dengan segala sifat otoriternya membuat Anin jengah. Selain itu, Anin juga perlu menjelaskan siapa Rafa sebenarnya kepada Ara karena Ara sudah menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan.Anin menghela napasnya kemudian berjalan mendekati Rafa, ia menyeret Rafa untuk mengikutinya menjauhi teman-teman Anin. Setelah dirasa sudah agak jauh dari jangkauan teman-temannya, Anin menghentikan langkah. Rafa hanya menurut saja mengikuti Anin.“Lo ngapain jemput gue?!” sentak Anin.“Mami saya menyuruh saya menjemput anda.” Jawab Rafa pelan dan tenang.Anin jengah, selalu saja Rafa menggunakan maminya sebagai alasan. Sebenarnya Rafa itu kenapa sih? Anin jadi bingung sendiri. Kemarin Rafa menyuruhnya untuk melakukan sandiwara dengan
Segelas matcha latte dan sepiring blueberry cheesecake menemani Anin di kafe ini. Di hadapannya ada laptop yang sedang terbuka, menantikan Anin menyentuhnya kembali. Iya, betul. Anin sedang berada di kafe favoritnya dan ia duduk di spot favoritnya—sudut ruangan dekat jendela besar yang mengarah ke pemandangan kota Bandung.Meskipun niatnya datang ke kafe ini untuk mengerjakan tugas, namun nyatanya Anin malah menikmati lamunannya. Memang kesendirian dan melamun adalah paket combo yang Anin suka. Ia bisa menghilangkan kerumitan hidup dalam beberapa menit, lalu kembali lagi pada kenyataan.Lamunan Anin buyar ketika ia menyadari ada seseorang yang duduk di hadapannya, dia adalah Aldifan. Lelaki sekaligus ketua pelaksana dari program kerja yang ia jalani bersama. Lelaki yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya. Anin terkejut sekaligus tersipu. Mengapa Aldifan tiba-tiba berada di hadapannya saat ini?“Hai.” Sapa Ald