Kedua mata itu berkedip. Rafael dengan pelan membuka matanya. Ruangan serba putihlah hal yang pertama kali dia lihat dan seorang wanita yang kini tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Rafael mengira ini hanyalah mimpi. Semua tidak nyata dan tidak mungkin ada bidadari yang turun serta duduk di sampingnya.
"Akhirnya kau sudah sadar." Tatapan cemas jelas terlihat di wajah cantik itu. Beranjak mendekat dan membuat Rafael sadar kalau itu bukan mimpi. Dia juga sadar kalau ibunya tidak ada. Padahal rasanya, baru beberapa menit lalu mereka berbicara. Dia nyaris tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana yang hanya mimpi. "Kiana." Suara Rafael terdengar serak. Tenggorokannya terasa kering hingga Kiana dengan gesit segera mengambil air minum yang berada tak jauh darinya. Memberikan gelas itu dengan hati-hati padanya. "Terima kasih." Rafael sampai menahan napas saat melihat jaraknya denganKiana menatap Rafael dengan malu. Tangannya dengan cepat membenahi dress miliknya dan mendorong tubuh laki-laki itu menjauh. Hampir saja, dia melakukan hal yang memalukan. Padahal ayahnya juga sedang ada di luar. "Ehm, itu ... aku juga salah. Maaf." "Tidak. Ini salahku yang tidak bisa menahan diri karena melihatmu sangat cantik." Rafael memilih memalingkan muka dan berdehem pelan. Tidak sadar kalau ucapannya membuat Kiana terbelalak. Pujian yang mungkin hampir tidak pernah keluar dari mulut yang selama ini hanya bisa menghinanya. Kata 'cantik' seolah sesuatu yang mustahil dikatakan oleh Rafael. Kiana sendiri tidak pernah ingat apakah laki-laki di depannya pernah mengatakan itu sebelumnya atau tidak? "Terima kasih, ini pertama kalinya kau memujiku." Debaran di dada Kiana kian mengencang. Matanya menatap Rafael sambil tersenyum manis. Bagaimana ini? Kiana tidak bisa mengendalikan diri dan menginginkan Rafael
Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain terduduk di ranjang. Dalam diamnya, tampak air mata menetes melewati pipinya yang bersih. Luka akibat goresan sudah ditutup, namun justru luka di hatinya kembali terbuka. Kiana telah memaafkan segala kesalahan Rafael, tapi dengan kesalahan terakhir laki-laki itu, dia sangat amat berat memaafkannya. Bagaimana mungkin Rafael bisa setega itu padanya? Membunuh calon anaknya hanya karena membencinya? Apa jadinya jika laki-laki itu tahu kalau dia tengah hamil? Apakah calon anaknya yang sekarang, juga akan bernasib sama? "Kiana, makan siang sudah siap. Ayo kita makan!" seru Garry yang berjalan masuk ke kamar Kiana. Menyentak Kiana dari lamunannya. Posisi Kiana yang memang sedang membelakangi, sama sekali tidak bisa membuat Garry melihatnya menangis. Sampai saat Garry mendekat, barulah dia menyadari kalau putrinya tengah bersedih. "Ya, Ayah." "Kamu baik-baik saja?"  
Rafael menatap pusara ibunya dengan lekat. Sebuket bunga dia letakkan di atas pemakaman itu. Wajahnya tampak murung. Tak ada senyum sedikit pun terlihat di sana. Meski hatinya sudah ikhlas dengan meninggalnya sang ibu di tangan pamannya sendiri. "Semoga Mama tenang di sana. Maafkan semua kesalahan Rafael." Hatinya sesak, tapi Rafael tahu kalau semuanya telah berakhir. Dia tidak bisa melanjutkan balas dendamnya karena mungkin, itu juga bukan hal yang diinginkan oleh sang ibu. Balas dendam yang pada kenyataannya malah menghancurkan dirinya sendiri. Dia menyesal. Matanya kemudian menoleh ke arah lain. Melihat makam ayahnya yang ada di sebelah ibunya. Kakinya ragu untuk mendekat, tapi teringat akan perbuatannya pada sang ayah, Rafael melangkah pelan. Makam itu tampak sangat tidak terawat. Berbeda dengan makam ibunya yang memang masih baru. Semua karena baik dia atau pun kakeknya, tidak hampir tidak pernah datang ke sini. &n
Kiana mengelus perutnya dengan penuh kasih sayang. Hari ini, Kiana akan memulai mengecek kehamilan dengan ditemani oleh ayahnya ke rumah sakit. Garry rela meninggalkan pekerjaannya sehari hanya untuk menemani sang putri. Tidak, bukan meninggalkan melainkan mengalihkan pekerjaannya ke rumah. "Tunggu, apa kau melihat Ayah?" Kiana menghentikan seorang pelayan yang melintas di depannya. Seorang wanita muda seumurannya. Mungkin beberapa tahun lebih tua di atasnya. "Beliau ada di ruang kerjanya, Nona." "Baiklah, terima kasih." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Kiana melangkah dengan pelan sambil bersenandung. Berjalan dan tersenyum pada para pelayan yang melewatinya. Dia senang karena semua orang di rumah ayahnya bersikap sangat baik. Tidak ada yang bersikap buruk. Begitu juga dengan sang ayah yang bahkan tahu kalau saat ini dirinya tengah hamil. Hingga dirinya tiba di depan ru
Rafael menatap pria tua di hadapannya dengan gugup. Dia tidak percaya kalau dirinya ketahuan dengan sangat mudah oleh ayah Kiana. Apa yang akan dirinya lakukan sekarang? Garry membawanya menuju halaman samping rumah sakit. Meninggalkan Kiana bersama Andrew. Padahal dia ingin sekali melihat wanita itu. "Jadi, katakan apa tujuanmu mengikuti kami?" Tatapan Garry begitu menusuk, sampai-sampai Rafael sedikit tak nyaman. Akan tetapi, dia tidak boleh mundur. "Saya ... hanya ingin melihat Kiana." "Apa kau berniat menculik anakku lagi? Kaumau menjadikannya gila atau mau membuatnya tersiksa sampai bunuh diri? Atau kau hanya ingin menjadikannya mainan yang bisa kau setubuhi setiap waktu?" Kata-kata yang dilontarkan Garry cukup untuk membuat Rafael merasa tertohok. Wajahnya berubah murung dan kepala yang tadinya menatap lurus penuh keyakinan, kini tampak tertunduk malu. Apa dirinya memang sejahat itu? Akan
"Apa pernikahan itu sangat penting, Ken? Aku tidak mengerti kenapa Kiana menamparku," ucap Rafael saat berada di kamar temannya. Ken melirik ke arah Rafael sekilas, sebelum dia fokus kembali pada gadget di tangannya. Tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan konyol temannya. Laki-laki itu terlihat masih sangat kesal karena Rafael menghilang di rumah sakit sedang dia mencari-carinya setelah memarkirkan mobil. Sialnya, temannya juga tidak mau mengangkat telepon. Sampai setelah tiga puluh menit lebih, dia baru menemukan laki-laki itu yang tengah berjalan di lorong koridor dengan wajah kusut. Persis seperti orang yang kehilangan arah. Berjalan sempoyongan dan tampak seperti memiliki banyak pikiran. Rafael bahkan tak menjawab semua pertanyaan atau gerutuannya. Hanya diam sampai mereka pulang ke apartemen. Kini, baru kalimat tersebut yang meluncur lolos dari mulut laki-laki itu. Siapa yang tidak kesal jika s
"Rafael? Kau ... bagaimana bisa?" Kiana berusaha melepaskan pelukannya. Dia menatap Rafael dengan bingung, sampai matanya menatap ke arah jendela yang terbuka. Apa mungkin laki-laki ini masuk melalui jendela tersebut? Belum sempat pertanyaannya keluar, Rafael sudah kembali memeluknya erat. Hingga Kiana sedikit sesak karenanya. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuh itu menjauh. "Se-sak. L-lepash." "Maaf, maafkan aku." Serta merta, pelukannya terlepas. Raut khawatir terlihat di wajah Rafael saat Kiana memegangi dadanya, yang tanpa sadar juga ikut dipegangnya. Kiana hanya melongo menatap Rafael. Dia seketika menepis tangan laki-laki itu dengan semburat merah terlihat di pipinya. "Jangan menyentuhku sembarangan." Barulah Rafael tersadar dengan apa yang dilakukannya dan seketika dia menyembunyikan kedua tangannya. Berpaling ke arah lain karena gugup. Dia tidak bermaksud m
"Ayah, jadi Ayah mengawasi Kiana selama ini?" Kiana menatap Garry dengan sorot menuntut jawaban. Dia melihat pigura dirinya yang dipasangi kamera kecil. Kamera pengintai yang bisa melihat apa pun yang Kiana lakukan di dalam kamar. "Maaf, Ayah hanya takut kalau kamu melarikan diri atau seorang penyusup masuk." Garry menekankan kata 'penyusup' sambil melirik ke arah Rafael. Akan tetapi, orang yang disinggung sama sekali tak bereaksi dan hanya tersenyum seolah-olah tidak melakukan sesuatu yang salah. Di tangannya sudah ada cincin yang tadi hendak digunakan untuk melamar Kiana. "Tapi apa yang Ayah lakukan sangat mengganggu! Dan lagi, apa benar Ayah melihat semuanya dari awal?" Garry tidak punya alasan untuk menyangkal tudingan putrinya. Dia mengangguk dan membenarkan perkataan Rafael. Dia tentu tidak setiap waktu me