Tiga hari setelah kejadian itu, tidak ada seorang pun perawat yang berani mendatangi tempat Kiana berada. Jika bukan karena Kiana ingin buang air, mereka tidak akan datang. Kalaupun datang, mereka hanya mau Kiana tetap diborgol dan tentunya, ditemani oleh satu orang lainnya. Menjaga jarak sejauh mungkin sebelum wanita itu mengamuk. Ketimbang seperti pasien gila, Kiana lebih mirip seperti seorang tahanan. Hanya saja, tempatnya dikurung berbeda dari para penjahat lain.
Saat waktu makan pun, Kiana sama sekali tidak dilepas. Dia tetap diborgol. Demi keselamatan, para perawat hanya membiarkan salah satu borgol tangan kanan Kiana yang dibuka, sedangkan tangan lain dan kedua kakinya terus diborgol. Mereka menganggap, jika Kiana adalah pasien yang paling berbahaya. Apalagi saat mengetahui catatan hitam tentang wanita itu juga peristiwa menggemparkan beberapa hari lalu. Ketakutan menyusup ke dalam hati mereka. Tidak ada kemungkinan, kalau Kiana tidak akan menyerang mereka. Untuk itulah, satu-satunya cara memberi makan Kiana adalah dengan membuka borgol sebelah kanan. Tentu saja, hal itu cukup membuat Kiana sendiri tersiksa. Dia tidak bisa makan seperti biasanya. Sebenarnya, selama tiga hari ini ada hal yang berbeda dari Kiana. Dia menjadi sedikit lebih tenang dan tidak menyerang perawat lagi, meski bibirnya selalu berucap ingin dibebaskan. Tentu, perkataannya hanya dianggap angin lalu oleh para perawat. Kiana sudah divonis sakit mental dan putusan pengadilan tidak bisa diganggu gugat. "Apa tidak ada seseorang yang datang melihatku?" Untuk pertama kalinya, Kiana bertanya tanpa membentak dan menatap seorang perawat dengan tatapan sinisnya. Hanya nada lemah yang terdengar sampai ucapannya mampu membuat orang yang ditanyai sedikit terkejut. Mereka heran mendengar pertanyaan normal Kiana. "Tidak ada," jawab perawat itu sambil tersenyum canggung. Bohong. Tentu saja semua itu bohong. Kenyataannya, ada seorang laki-laki yang memang sempat datang dan memaksa untuk bertemu Kiana. Hanya saja, emosi Kiana yang masih naik-turun tidak diizinkan bertemu orang lain untuk sementara waktu. Itu juga merupakan perintah dari Rafael, selaku yang bertanggung jawab atas Kiana. "Pergilah," usir Kiana tanpa mau menatap kedua perawat yang tadi membantunya makan dan dengan senang hati, mereka segera berlalu. Tidak mau berlama-lama berada dekat dengan Kiana. Takut, jika seandainya wanita itu kembali kumat. Sepeninggal para perawat, Kiana hanya bisa menghela napas dengan wajah yang berubah murung. Dia sudah berharap kalau setidaknya Andrew akan datang melihat. Mengingat jika Arkan sudah pasti tidak mungkin, tapi Andrew, laki-laki itu harusnya datang, 'kan? Apa mungkin, karena tahu kalau Kiana hanya memanfaatkannya saja, Andrew juga berbalik membencinya? Padahal ini adalah hari tepat Andrew bebas dari penjara. Arkan memberikan hukuman ringan untuk Andrew karena laki-laki itu mau mengakui kesalahannya, tapi tidak dengan Kiana. Dia yang menolak mengakui kesalahannya harus mendapat ganjaran hukuman yang lebih berat dari kematian. Kiana menghembuskan napas frustrasi. Mengalihkan perhatiannya pada obat berbentuk tablet yang kini berada dalam genggaman tangannya. Hanya menatap lekat tanpa berniat meminumnya. Untuk apa? Kiana tidak mau. Dia juga tidak tahu, obat apa ini? Beruntunglah, para perawat itu tidak memaksanya meminumkan langsung dan Kiana hanya berpura-pura menelannya. Kenyataannya, obat itu dia sembunyikan di tangannya. "Aku ingin mati saja." Sebuah pisau yang tadi sempat dia ambil dari tempat makan siang, kini ada dalam genggamannya. Pisau yang berguna untuk mengakhiri hidupnya. Kiana tidak perlu lagi merasa frustrasi. Dia tidak perlu lagi tinggal di rumah sakit jiwa itu. Kiana akan mati sekarang. Sambil tersenyum, Kiana mengarahkan ujung mata pisau yang tajam tepat ke urat nadinya berada. Cukup kesusahan karena dia harus menggunakan satu tangannya saja, namun bukan Kiana jika langsung menyerah tanpa ada kenekatan yang mengiringinya. Hingga akhirnya, wanita itu berhasil mengoyak kulitnya dengan pisau. Membiarkan darah yang perlahan menetes. *** "Bagaimana keadaannya? Apa yang terjadi?" tanya Rafael pada salah seorang perawat yang bertugas memantau Kiana. Dia kaget bukan main saat mendapat kabar kalau wanita itu berniat melakukan percobaan bunuh diri, namun beruntungnya semua itu berhasil digagalkan. "Pasien baik-baik saja, tapi dia sedang diperiksa dokter Ken." Rafael sedikit tenang saat mendengar Kiana sudah ditangani ahlinya. Meski dia sedikit tidak senang dengan pemikiran wanita itu. Bukan karena Rafael khawatir, melainkan karena Kiana belum boleh mati, setidaknya untuk saat ini. Rumah sakit itu, selain merawat pasien-pasien gangguan jiwa, di sana juga menyediakan sebuah tempat khusus untuk menangani kondisi tak terduga seperti pasien yang mengalami kecelakaan. Peralatan dan tenaga medis yang ada, bisa terbilang lengkap dan cukup mumpuni. Tap ... tap ... tap ... Suara langkah sepatu terdengar saat Rafael memasuki ruang tempat. Bau obat-obatan langsung merasuk ke dalam hidungnya. Selang oksigen dan infus juga terlihat. Monitor kecil yang memeriksa tekanan denyut jantung juga ada dan tampak, Kiana tengah berbaring dengan wajah amat pucat. Pergelangan tangannya dibalut oleh perban. Tak terlalu jauh darinya, seorang dokter dengan kacamatanya menatap Rafael heran. "Apa kita perlu membawanya ke rumah sakit?" "Tidak perlu. Wanita ini tidak boleh dibawa ke mana-mana. Dia sedang dalam masa pengawasan," tuturnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Kiana. "Baiklah, tapi Raf, sepertinya wanita itu benar-benar depresi sampai mencoba melakukan bunuh diri. Kau harus menyembuhkannya, Sobat. Kasihan dia. Aku yakin, di tanganmu dia akan sembuh," ucap dokter Ken, yang merupakan salah satu rekan kerja sekaligus kakak tingkatnya sewaktu kuliah. "Tentu saja, aku tahu apa yang akan kulakukan," jawab Rafael sambil melirik sekilas Ken. "Ya, aku percaya kau tidak akan melanggar sumpahmu sebagai dokter, tapi kurahap kau jangan sampai tertarik. Meski dia sangat cantik," ucap Ken lagi sambil mengedipkan salah satu matanya yang dibalas tatapan datar oleh Rafael. "Baiklah, karena tugasku sudah selesai, sebaiknya aku pergi dulu." Setelah mengucapkan itu, Ken segera pergi meninggalkan Rafael berdua di ruangan. Mendengus dingin saat ucapan temannya terngiang kembali di telinga. Menyembuhkan? Ya, itu adalah tugas sekaligus mandat untuknya, namun, bagaimana kalau dia tidak mau? Mata Rafael menatap lekat tubuh Kiana yang berbaring lemah. Menelusurinya dari ujung kepala hingga kaki. Bibir yang biasanya terlihat merah bak kelopak mawar, kini tampak pucat tak berwarna. Kelopak mata yang besar dan cantik ketika berkedip juga tertutup rapat. Rambut panjang kecoklatan dengan ujungnya yang sedikit ikal dan tubuh yang cukup berlekuk. Cantik. Kiana cantik, sayangnya wanita itu terlalu jahat dan Rafael TIDAK tertarik. "Kau sangat menyusahkanku," ucap Rafael sembari menyentuh wajah Kiana dengan perlahan. Sangat amat lembut, hingga tangan itu mendarat di leher Kiana. Mengusapnya. Tidak, tapi mencengkeramnya. Tatapan penuh kemarahan terlihat jelas dari sorot mata Rafael hingga cengkeraman itu berubah menjadi lebih kuat dan nyaris mencekik Kiana. Kiana tampak bereaksi akibat tindakan Rafael, menolak dan memberontak meski matanya masih terpejam rapat. Hanya sebuah nama yang keluar dari mulutnya, namun bukan nama Rafael yang disebut sebagai orang yang sedang berusaha membunuhnya, melainkan .... "Kak Arkan ...." Suara yang amat lemah keluar dari bibir pucat Kiana. Memegang lengan Rafael dan membuat laki-laki itu seketika langsung tersadar. Tersadar dari apa yang baru saja akan dilakukannya. Dia hampir berpikir untuk membunuh Kiana. "Kak Arkan, m-maafkan aku. Aku m-minta maaf. Jangan h-hukum aku ... aku salah, aku salah." Kepala Kiana bergerak ke kiri dan kanan. Wanita itu tampak gelisah dan Rafael hanya menatapnya tanpa berniat membantu. Tubuhnya masih membatu karena terkejut. Hingga dia kemudian teringat tentang perbuatan jahat Kiana sebelumnya. Bukan tentang pembunuhan dua orang sekaligus, melainkan tentang sebuah fakta kalau wanita itu berusaha menghancurkan rumah tangga laki-laki yang dicintainya. Laki-laki itu, kalau tidak salah bernama Arkan.Mata yang tadi terpejam itu, perlahan mulai terbuka. Berkedip menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Suara lenguhan terdengar sangat lirih saat rasa sakit di kepala menghantamnya. Memaksanya untuk bangun seketika, hingga saat matanya terbuka secara penuh, tatapan pertama matanya langsung jatuh pada seorang laki-laki yang berada di sisi kanannya. Dia adalah Rafael. Melihat kehadiran orang tersebut, dahinya sontak berkerut dalam. Masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi? Tak hanya sampai sana, dia juga menyadari sesuatu. Menyadari saat tangannya dipasangi sebuah infus dan dia berada di ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Tergugu di tempat, hanya itu yang terjadi padanya. Sampai akhirnya, laki-laki yang dia lihat pertama kali mulai membuka suara. "Percobaan bunuh diri. Apa yang ada dalam pikiran dangkalmu? Kaupikir, semua akan selesai saat kau mati?" Ucapan bernada dingin dan sarkas itu ter
"Rafael, Kakek harap kamu segera keluar dari rumah sakit itu dan bantu Kakek mengurus perusahan. Kau tahu, 'kan, Kakek sudah sangat tua dan tidak ada lagi yang bisa mengurusnya selain kamu," ucap seorang pria paruh baya yang berusia sekitar delapan puluh tahunan. Menatap cucunya yang tampak selalu memasang wajah enggan. Mereka tengah duduk saling berhadapan di ruang tengah, namun tidak ada satu pun makanan atau minuman yang tersaji di meja. Atmosfer yang mengelilingi mereka juga terasa dingin. Tatapan tajam bak sinar laser tampak menyorot pria tua berkemeja rapi dengan dasi di lehernya. Semua rambutnya tampak beruban, tak menyisakan satu pun yang berwarna hitam. Dialah Guzman, kakek kandung dari Rafael sekaligus pemilik dari rumah sakit jiwa yang Rafael urus. "Aku tidak bisa. Suruh saja Om Mario untuk mengurusnya," balas Rafael dengan nada acuh. Bersandar dan melepas jas putih yang selalu m
Kiana menatap Andrew dengan senyum manisnya. Menggenggam tangan hangat itu dan menciumnya. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah satu minggu lebih berdiam diri di rumah sakit jiwa, akhirnya sekarang Kiana bisa melihat seseorang yang dia kenal, temannya. "Andrew, maafkan aku. Maaf aku membohongimu selama ini, aku hanya memanfaatkanmu," ucap Kiana dengan nada lirih. Tenggorokannya terasa tercekat oleh sesuatu, membuat Kiana sulit menjelaskan, betapa dia amat sangat bersalah pada laki-laki itu. Rasa malu dan penyesalan yang harusnya dia rasakan dulu, kini malah dia rasakan sekarang. "Aku menipumu. Apa kamu membenciku?" Tatapan Kiana terlihat serius, namun terlihat ada ketakutan dalam sorot matanya. Dia takut, jika Andrew akan kecewa dan meninggalkannya sendiri. Sungguh, seumpamanya itu terjadi, dia akan benar-benar sendiri. Kiana akan hidup sendiri, tanpa orang-orang yang menemani dan
Pemandangan taman yang dipenuhi oleh bunga dan rumput hijau, juga pepohonan yang cukup tinggi menjadi satu-satunya pemandangan luar biasa bagi Kiana yang kini masih terjebak di ruangannya. Ruangan yang pertama kali dia tempati. Mereka sudah memindahkannya kembali ke ruangan asalnya. Semua itu karena beberapa hari ini, kondisi tubuh Kiana sudah jauh lebih baik dan yang paling penting dari semua itu adalah saat dirinya kini tak lagi diborgol. Dia dibebaskan. Tentu apa yang Kiana rasakan sekarang, tak terlepas dari hasil protes Andrew beberapa hari lalu yang meminta untuk jangan memborgol atau laki-laki itu akan melaporkan masalah ini. Alhasil, mereka pun setuju. Hal itu juga diizinkan saat melihat Kiana tidak lagi menyerang siapa pun beberapa hari terakhir selama dirawat. Menurut dan meminum obat sesuai anjuran dokter. Meski saat ini, mulutnya justru lebih sering terkunci rapat. Tidak lagi be
"Katakan, apa yang kau alami dan rasakan sebelumnya. Apa kau memiliki trauma?" Rafael menatap Kiana yang duduk di hadapannya dengan tidak nyaman. Semua terlihat dari tatapan Kiana yang seperti enggan melihatnya. Wanita itu berkali-kali menatap pintu keluar dan menatapnya takut. Saat ini, mereka tengah menjalankan sesi psikoterapi untuk Kiana, berdua di ruang kerja Rafael dengan sebuah meja yang menjadi pembatas. Rafael perlu memeriksa kondisi mental wanita itu untuk catatan medis. Apakah Kiana sudah baik-baik saja atau tidak. "Apa itu penting? Tidak ada yang perlu kejelaskan lagi, kau sudah tahu semuanya." Meski tatapannya terlihat enggan dan tak nyaman, namun Kiana masih tetap bisa membantah. Dia tidak bisa lagi percaya pada Rafael setelah laki-laki itu mengatakan kalau dia memiliki gangguan mental. Kiana merasa, dia akan dalam masalah jika mengataka
"Raf, kau kenapa? Kenapa menutup mulutnya seperti itu?" tanya dokter Ken yang baru saja masuk ke ruangan Rafael. Dia sedang bersantai saat tugasnya sudah selesai. Niatnya datang untuk mengajak Rafael makan. Memang, mereka berdua cukup dekat dari kuliah. Sudah hal biasa bagi Ken dan Rafael makan bersama. Meski ada beberapa yang menganggap kedekatan mereka seperti ada sesuatu. Mengingat kalau keduanya tidak pernah terlihat memiliki pasangan, tapi tentu saja itu tidak benar. Tanpa disuruh dan diizinkan sang pemilik ruangan, Ken dengan santainya duduk tepat di hadapan Rafael. Tempat yang tadi Kiana tempati. Menatap rekan kerja sekaligus temannya dengan tatapan seperti sedikit heran. "Bukan apa-apa. Ada apa ke sini?" tanya Rafael tanpa menurunkan tangannya dari mulut. Dia terus menutupinya seolah tidak mau Ken melihat kondisinya.
Lagi-lagi, Kiana terbangun di tempat yang sama, ranjang yang sama dan suasana yang sama. Meski sudah hampir dua minggu berada di dalam rumah sakit jiwa itu, tapi dia masih belum terbiasa. Semuanya terasa sangat asing, membuatnya begitu merindukan rumah. Tentu saja semua itu hanya angan belaka. Hal yang sulit untuk menjadi nyata. Meski beberapa hari terakhir, seperti ucapannya, Andrew selalu datang untuk menjenguknya. Laki-laki itu selalu bercerita tentang kehidupan yang akan mereka jalani nantinya. Senang? Entahlah, seperti biasa, Kiana hanya bisa terdiam mendengarnya. Dia juga berharap seperti itu, tapi bahkan untuk keluar dari ruangan ini pun terasa sangat sulit. Dia hanya diizinkan keluar jika dokter memanggilnya. Satu hal yang bisa Kiana lakukan hanya menatap para pasien lain dari balik jendela. Entahlah, itu terasa seperti kebiasaannya untuk saat ini. Bukan. Bukan Kiana mulai menerima
"Dia membuang semua obat?" tanya Rafael saat dia mendapat laporan dari seorang perawat, yang memberitahunya kalau perawat itu menemukan sebungkus obat yang masih utuh tergeletak di lantai kamar Kiana. "Benar, Dok." "Kenapa bisa terjadi? Kau tidak mengawasinya?" Rafael mengetatkan rahangnya. Menatap tajam perawat wanita yang tampak sedikit bergetar takut. Dia menganggap kalau perawat itu lalai dalam pekerjaannya dan itu artinya, Kiana tidak meminum apa pun selama ini? Shit! Rafael berusaha meredam kekesalannya dengan menutup mata. Membiarkan perawat wanita itu terdiam beberapa saat sampai dengan sedikit terbata-bata, perawat itu menjawab, "Maafkan kami, semua itu kesalahan kami." Sekali lagi, Rafael menghela napas kasar. Dia lantas mengusir perawat itu pergi dari ruangannya
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal