"Rafael, Kakek harap kamu segera keluar dari rumah sakit itu dan bantu Kakek mengurus perusahan. Kau tahu, 'kan, Kakek sudah sangat tua dan tidak ada lagi yang bisa mengurusnya selain kamu," ucap seorang pria paruh baya yang berusia sekitar delapan puluh tahunan. Menatap cucunya yang tampak selalu memasang wajah enggan.
Mereka tengah duduk saling berhadapan di ruang tengah, namun tidak ada satu pun makanan atau minuman yang tersaji di meja. Atmosfer yang mengelilingi mereka juga terasa dingin. Tatapan tajam bak sinar laser tampak menyorot pria tua berkemeja rapi dengan dasi di lehernya. Semua rambutnya tampak beruban, tak menyisakan satu pun yang berwarna hitam. Dialah Guzman, kakek kandung dari Rafael sekaligus pemilik dari rumah sakit jiwa yang Rafael urus. "Aku tidak bisa. Suruh saja Om Mario untuk mengurusnya," balas Rafael dengan nada acuh. Bersandar dan melepas jas putih yang selalu menjadi ciri khasnya sebagai dokter serta menyampirkannya di atas sofa. Rasa lelah tak menyurutkan dia untuk menerima kedatangan kakeknya yang tiba-tiba meminta bertemu di rumah, membuat Rafael diperintahkan pulang setelah memeriksa kondisi mamanya yang sempat kumat. Rafael pikir, ada sesuatu yang sangat mendesak hingga kakeknya meminta waktu untuk bertemu. Meski beberapa kali pertemuannya pun, Guzman hanya membicarakan masalah sepele atau kadang membujuknya menikah. Tidak ada pembicaraan yang benar-benar berbobot, seperti menanyakan bagaimana tentang pekerjaannya atau kondisi ibunya, tapi Rafael juga tidak terlalu memedulikannya, asal kakeknya sudah memberi izin untuknya melakukan apa yang dia mau, Rafael sudah cukup puas. Sayangnya, kenapa saat dia sedang menikmati kehidupannya, kakeknya malah memintanya untuk mengurus perusahaan? Hal yang jelas-jelas akan dia tolak. Rafael jelas tidak suka, dia hanya mau di sini. Mengurus rumah sakit jiwa dan ibunya. "Kau sendiri tahu, kalau pamanmu itu tidak bisa diandalkan. Kakek tidak tahu siapa yang bisa mengurus perusahaan selain kamu dan ayahmu. Andai saja Darren masih ada ...." "Andai saja si berengsek itu masih ada, aku sendiri yang akan membunuhnya," sambung Rafael dengan tatapan marah yang begitu ketara. Kedua tangannya tampak mengepal sempurna. Rafael sangat tidak suka seseorang membicarakan ayahnya, apalagi soal kebaikan. Dia amat sangat muak. "Kalau kau ke sini hanya untuk memuji anak berengsekmu itu, lebih baik kau pergi." Usiran bernada sinis tak tanggung-tanggung keluar dari mulut Rafael. Meski Guzman adalah satu-satunya kakeknya yang masih hidup dan sangat amat menyayangi Rafael, tapi dia tetap tidak suka dengan sikap kakeknya yang selalu mengelu-elukan ayahnya. "Kau masih tidak mau memaafkan ayahmu? Dia bahkan sudah tidak ada di dunia ini." Berbeda dengan sikap kasar yang Rafael berikan, Guzman justru tampak bicara dengan nada santai. Dia menerima kenyataan bahwa anaknya tetaplah bersalah atas apa yang terjadi pada menantu juga cucunya. Darren pantas mendapat kebencian dari Rafael, tapi sayangnya, anaknya sudah tidak ada. Apakah itu sudah cukup untuk menghukum anaknya? Tidak seharusnya Rafael memelihara perasaan benci itu sampai saat ini. Semua percuma, karena orang yang pantas dibenci sudah tidak ada. Satu-satunya harapan Guzman saat ini, Rafael mau bangkit dan menjalani hidupnya sendiri. Membina rumah tangga di umurnya yang hampir kepala tiga dan tentunya melanjutkan bisnis turun-temurun miliknya yang sekarang berada di tangan yang salah. Bukannya tidak ingin Guzman mempercayakan perusahaan pada anak keduanya Mario, tapi, dia tahu jelas sifat tamak dari anaknya itu. Berbeda dengan Darren yang masih bisa dia toleransi. Meski dibanding semua anaknya, dia berkeinginan kuat untuk membuat Rafael yang meneruskan perusahaannya. Melihat sifat dan karakter cucunya yang begitu mirip dengannya waktu masih muda. Keras kepala dan tegas namun juga cerdik. Rafael pandai mengelabui lawannya dan membuat mereka terintimidasi. "Jangan harap aku sudi memaafkannya, setelah apa yang dia lakukan pada ibuku." Mata Rafael tampak lebih berapi-api saat mengingat tentang kondisi mamanya sekarang semakin memprihatinkan. "Baiklah, Kakek tidak akan komentar apa pun, tapi, asal kau tahu, apa pun akan Kakek berikan asal kau mau menjalankan bisnis perusahaan. Hanya kau satu-satunya cucu yang Kakek akui, Rafael." Guzman bangkit dari duduknya dan menatap lama ke arah Rafael sebelum menghembuskan napas kasar. Kali ini, dia kembali gagal membujuk cucu kesayangannya, membuatnya harus pulang dengan tangan kosong. "Ah, iya, segera cari calon istrimu sendiri sebelum Kakek mencarikannya untukmu. Jangan menebar benih sembarangan." "Berhenti mencampuri urusan pribadiku! Kau tahu, aku tidak seperti itu," sinis Rafael sebelum Guzman benar-benar menghilang dari pandangan matanya. Kakek tua itu sangat mengganggu waktunya sampai rasanya, Rafael harus menahan sabar saat berkali-kali berhadapan dengan sang Kakek. Dia tidak suka saat kakeknya menyamakan dia dengan laki-laki mata keranjang. Kelakuan yang menjijikkan dan mengingatkannya pada kelakuan brengsek ayahnya. Dia adalah Rafael dan dia tidaklah sama dengan Darren. Sepeninggal Guzman, Rafael lantas beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamar. Dia melepaskan semua pakaiannya dan membiarkan tubuh telanjangnya terekspos. Berjalan menuju sebuah lemari untuk mengambil pakaian dari sana. Memakainya dan kembali berjalan keluar kamar. Langkah kakinya, menuntun Rafael menuju sebuah ruangan di mana dia menenangkan diri setelah pulang kerja. Tempat bersantai sekaligus ruang kerjanya. Tempat di mana beberapa data pasien yang ditanganinya ada di sana, termasuk Kiana dan ibunya. Ruang kerja. Dengan perasaan tak menentu, Rafael membuka lemari berisi berkas-berkas perihal Kiana. Riwayat kejiwaan dan data diri wanita itu yang dia dapat dari orang-orang kepercayaannya. Semua informasi tentang Kiana ada di sini, meski Rafael sendiri tidak bisa mengetahui secara detail kehidupan wanita itu. Dia hanya mendapat informasi dari beberapa warga sekitar yang bertetangga dengan Kiana. Diusapnya selembar foto yang memperlihatkan Kiana memasang wajah murung. Rafael bisa melihat tatapan mata yang sarat akan kesedihan di dalam sana. Nyaris menimbulkan rasa iba dalam hatinya jika dia tidak mengingat kejadian menyakitkan itu. Ada juga beberapa foto yang memperlihatkan beberapa bekas luka di tangan dan kaki Kiana. Entah siapa yang membuatnya, tapi Rafael mendapat informasi kalau banyak anak yang mem-bully Kiana dan melukainya. Tak hanya anak kecil saja, orang dewasa pun ada beberapa yang terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka terhadap Kiana dan juga ibu kandungnya yang kini sudah tewas. Jelas semua itu karena mereka tahu bahwa Selina-ibu Kiana-adalah seorang wanita malam yang menjajakan dirinya pada pria hidung belang bahkan kerap kali membawa pulang banyak lelaki ke rumah. Padahal saat itu, Kiana ada di sana. Beberapa fakta lainnya juga Rafael ketahui, kalau Kiana sempat mengalami kecelakaan yang menyebabkan dirinya koma selama dua tahun lebih. Alasannya? Dia tidak tahu. Rafael hanya tahu kalau wanita itu tidak hati-hati dalam menyebrang. Menganggap enteng nyawanya sendiri. Ya, semua itu bisa Rafael lihat sekarang. Tindakan Kiana terlalu impulsif dan selalu membahayakan keselamatan dirinya juga orang lain. Tingkat depresi wanita itu juga tampaknya semakin parah. Meski memang, Kiana melakukannya dalam keadaan sangat sadar. Sekali membaca, Rafael sudah bisa menduga kalau pola asuh dan lingkungan yang buruk sepertinya menjadi penyebab utama Kiana mengalami depresi sampai dua kali melakukan percobaan bunuh diri, namun masih terlihat sinar di mata Kiana. Menandakan kalau masih ada kesempatan untuk membuatnya sembuh dan kembali hidup normal tanpa rasa takut akan apa pun. Jika ditangani oleh orang yang tepat, Kiana tentu bisa bangkit dan memperbaiki dirinya. Sementara sebaliknya, jika tidak, kemungkinan depresi wanita itu akan semakin parah hingga dia benar-benar kehilangan kewarasan. Fakta yang diketahuinya itu, membuat senyum miring di bibir Rafael muncul. "Kiana."Kiana menatap Andrew dengan senyum manisnya. Menggenggam tangan hangat itu dan menciumnya. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah satu minggu lebih berdiam diri di rumah sakit jiwa, akhirnya sekarang Kiana bisa melihat seseorang yang dia kenal, temannya. "Andrew, maafkan aku. Maaf aku membohongimu selama ini, aku hanya memanfaatkanmu," ucap Kiana dengan nada lirih. Tenggorokannya terasa tercekat oleh sesuatu, membuat Kiana sulit menjelaskan, betapa dia amat sangat bersalah pada laki-laki itu. Rasa malu dan penyesalan yang harusnya dia rasakan dulu, kini malah dia rasakan sekarang. "Aku menipumu. Apa kamu membenciku?" Tatapan Kiana terlihat serius, namun terlihat ada ketakutan dalam sorot matanya. Dia takut, jika Andrew akan kecewa dan meninggalkannya sendiri. Sungguh, seumpamanya itu terjadi, dia akan benar-benar sendiri. Kiana akan hidup sendiri, tanpa orang-orang yang menemani dan
Pemandangan taman yang dipenuhi oleh bunga dan rumput hijau, juga pepohonan yang cukup tinggi menjadi satu-satunya pemandangan luar biasa bagi Kiana yang kini masih terjebak di ruangannya. Ruangan yang pertama kali dia tempati. Mereka sudah memindahkannya kembali ke ruangan asalnya. Semua itu karena beberapa hari ini, kondisi tubuh Kiana sudah jauh lebih baik dan yang paling penting dari semua itu adalah saat dirinya kini tak lagi diborgol. Dia dibebaskan. Tentu apa yang Kiana rasakan sekarang, tak terlepas dari hasil protes Andrew beberapa hari lalu yang meminta untuk jangan memborgol atau laki-laki itu akan melaporkan masalah ini. Alhasil, mereka pun setuju. Hal itu juga diizinkan saat melihat Kiana tidak lagi menyerang siapa pun beberapa hari terakhir selama dirawat. Menurut dan meminum obat sesuai anjuran dokter. Meski saat ini, mulutnya justru lebih sering terkunci rapat. Tidak lagi be
"Katakan, apa yang kau alami dan rasakan sebelumnya. Apa kau memiliki trauma?" Rafael menatap Kiana yang duduk di hadapannya dengan tidak nyaman. Semua terlihat dari tatapan Kiana yang seperti enggan melihatnya. Wanita itu berkali-kali menatap pintu keluar dan menatapnya takut. Saat ini, mereka tengah menjalankan sesi psikoterapi untuk Kiana, berdua di ruang kerja Rafael dengan sebuah meja yang menjadi pembatas. Rafael perlu memeriksa kondisi mental wanita itu untuk catatan medis. Apakah Kiana sudah baik-baik saja atau tidak. "Apa itu penting? Tidak ada yang perlu kejelaskan lagi, kau sudah tahu semuanya." Meski tatapannya terlihat enggan dan tak nyaman, namun Kiana masih tetap bisa membantah. Dia tidak bisa lagi percaya pada Rafael setelah laki-laki itu mengatakan kalau dia memiliki gangguan mental. Kiana merasa, dia akan dalam masalah jika mengataka
"Raf, kau kenapa? Kenapa menutup mulutnya seperti itu?" tanya dokter Ken yang baru saja masuk ke ruangan Rafael. Dia sedang bersantai saat tugasnya sudah selesai. Niatnya datang untuk mengajak Rafael makan. Memang, mereka berdua cukup dekat dari kuliah. Sudah hal biasa bagi Ken dan Rafael makan bersama. Meski ada beberapa yang menganggap kedekatan mereka seperti ada sesuatu. Mengingat kalau keduanya tidak pernah terlihat memiliki pasangan, tapi tentu saja itu tidak benar. Tanpa disuruh dan diizinkan sang pemilik ruangan, Ken dengan santainya duduk tepat di hadapan Rafael. Tempat yang tadi Kiana tempati. Menatap rekan kerja sekaligus temannya dengan tatapan seperti sedikit heran. "Bukan apa-apa. Ada apa ke sini?" tanya Rafael tanpa menurunkan tangannya dari mulut. Dia terus menutupinya seolah tidak mau Ken melihat kondisinya.
Lagi-lagi, Kiana terbangun di tempat yang sama, ranjang yang sama dan suasana yang sama. Meski sudah hampir dua minggu berada di dalam rumah sakit jiwa itu, tapi dia masih belum terbiasa. Semuanya terasa sangat asing, membuatnya begitu merindukan rumah. Tentu saja semua itu hanya angan belaka. Hal yang sulit untuk menjadi nyata. Meski beberapa hari terakhir, seperti ucapannya, Andrew selalu datang untuk menjenguknya. Laki-laki itu selalu bercerita tentang kehidupan yang akan mereka jalani nantinya. Senang? Entahlah, seperti biasa, Kiana hanya bisa terdiam mendengarnya. Dia juga berharap seperti itu, tapi bahkan untuk keluar dari ruangan ini pun terasa sangat sulit. Dia hanya diizinkan keluar jika dokter memanggilnya. Satu hal yang bisa Kiana lakukan hanya menatap para pasien lain dari balik jendela. Entahlah, itu terasa seperti kebiasaannya untuk saat ini. Bukan. Bukan Kiana mulai menerima
"Dia membuang semua obat?" tanya Rafael saat dia mendapat laporan dari seorang perawat, yang memberitahunya kalau perawat itu menemukan sebungkus obat yang masih utuh tergeletak di lantai kamar Kiana. "Benar, Dok." "Kenapa bisa terjadi? Kau tidak mengawasinya?" Rafael mengetatkan rahangnya. Menatap tajam perawat wanita yang tampak sedikit bergetar takut. Dia menganggap kalau perawat itu lalai dalam pekerjaannya dan itu artinya, Kiana tidak meminum apa pun selama ini? Shit! Rafael berusaha meredam kekesalannya dengan menutup mata. Membiarkan perawat wanita itu terdiam beberapa saat sampai dengan sedikit terbata-bata, perawat itu menjawab, "Maafkan kami, semua itu kesalahan kami." Sekali lagi, Rafael menghela napas kasar. Dia lantas mengusir perawat itu pergi dari ruangannya
Akhirnya, karena berbagai pertimbangan dan melihat kondisi Kiana yang tampak begitu frustasi berada terus-menerus di dalam ruangan, pihak rumah sakit mengizinkannya untuk keluar. Membiarkan Kiana mengikuti kegiatan seperti pasien lainnya. Senang? Ya, Kiana sangat senang. Akhirnya, setelah terkurung berminggu-minggu, dia bisa menghirup udara segar. Duduk di bawah rindangnya pohon setelah selesai melakukan kerja bakti, membersihkan halaman. Bersama-sama dengan para perawat dan pasien lainnya. Kiana dengan pelan, merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau yang biasa hanya bisa dia pandangi dari balik jendela. Mengabaikan pasien lain dan menatap langit biru yang cerah. Tersenyum lebar sambil memejamkan mata. Dari sana, dia bisa melihat bangunan rumah sakit yang begitu besar. Pagar-pagar kokoh yang menjulang tinggi. Ternyata, rumah sakit jiwa tempatnya
"Siapa wanita tua yang kau ajak bicara waktu itu?" tanya Kiana tanpa basa-basi saat Rafael memberikannya waktu untuk bicara. Sepuluh menit. Laki-laki itu mengizinkannya dan mengajak Kiana ke tempat yang lebih sepi. Di dekat sebuah pohon rindang yang cukup jauh dari posisi pasien lain. "Maksudmu? Apa kau meminta waktuku hanya untuk bertanya hal tak penting?" Ada nada kesal dalam suara Rafael. Kedua alisnya mengernyit, dia sangat amat tidak senang dengan pertanyaan Kiana. Jelas, karena Rafael tahu siapa orang yang dimaksud. Sementara Kiana malah menyelipkan helaian rambutnya ke telinga dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia merasa sedikit terintimidasi dengan tatapan tajam Jonathan. Ekspresi laki-laki itu bahkan terlihat marah. Memangnya apa yang salah dengan pertanyaannya? Dia hanya bertanya karena penasaran. Kiana hanya merasa aneh saat melihat sikap Rafael yang begitu baik pa
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal