"Katakan, apa yang kau alami dan rasakan sebelumnya. Apa kau memiliki trauma?"
Rafael menatap Kiana yang duduk di hadapannya dengan tidak nyaman. Semua terlihat dari tatapan Kiana yang seperti enggan melihatnya. Wanita itu berkali-kali menatap pintu keluar dan menatapnya takut. Saat ini, mereka tengah menjalankan sesi psikoterapi untuk Kiana, berdua di ruang kerja Rafael dengan sebuah meja yang menjadi pembatas. Rafael perlu memeriksa kondisi mental wanita itu untuk catatan medis. Apakah Kiana sudah baik-baik saja atau tidak. "Apa itu penting? Tidak ada yang perlu kejelaskan lagi, kau sudah tahu semuanya." Meski tatapannya terlihat enggan dan tak nyaman, namun Kiana masih tetap bisa membantah. Dia tidak bisa lagi percaya pada Rafael setelah laki-laki itu mengatakan kalau dia memiliki gangguan mental. Kiana merasa, dia akan dalam masalah jika mengatakan semuanya pada Rafael. "Maksudmu, tentang masalahmu yang membunuh orang atau tentang kenekatanmu yang menjebak dan membuat masalah untuk laki-laki yang berambisi memenjarakanmu? Siapa namanya? Arkan? Kau melakukan hal gila itu untuk mendapatkannya?" tebak Rafael sambil tersenyum miring. Dia bisa melihat tubuh Kiana yang membeku dan tatapan yang terbelalak kaget. "K-KAU!!" Kiana mengepalkan tangannya kuat. Wajahnya berubah tegang. Dadanya bergemuruh hebat. Tidak. Jangan Arkan. Dia tidak bisa jika harus kembali membahas laki-laki itu. Kiana tidak bisa menahan rasa sakit karena tidak bisa memiliki apa yang dia mau. Jangan dia. Sayangnya, Rafael yang menyadari perubahan sikap Kiana saat membahas Arkan, tersenyum tipis. Dia semakin tertarik untuk membuat wanita itu jujur atas semuanya. "Sebenarnya apa alasanmu mengincar laki-laki yang sudah beristri? Kekayaan atau ambisimu? Beberapa tahun lalu, di mana ibumu meninggal, kau juga mengalami kecelakaan dan membuat orang itu merasa bersalah. Kiana, kau wanita yang sangat jahat. Kau depresi karena tidak bisa memiliki apa yang kauinginkan." "A-apa? Itu t-tidak benar! A-aku tidak s-seperti itu!" "Mengelak. Kau tahu benar apa yang kaulakukan waktu itu. Kau terlalu serakah sampai membuatmu harus kehilangan segalanya. Bahkan kebebasanmu. Apa itu yang selalu orang tuamu ajarkan? Wanita yang merendahkan harga dirinya hanya untuk menggoda suami orang. Sayangnya, kau harus frustrasi saat tidak bisa memilikinya. Kiana, sebenarnya apa yang membuatmu melakukan itu? Aku yakin, kau tidak benar-benar berpikir ini karena cinta, 'kan?" Ada nada mengejek terdengar dalam kalimat Rafael. Laki-laki itu dengan lugasnya membeberkan semua kelakuan memalukan bagi Kiana demi memancing wanita itu untuk membuka mulut. Rafael tahu, kata-katanya sedikit kejam dan ini sedikit melenceng dari tujuannya melakukan psikoterapi, tapi untuk Kiana, dia rasa tidak masalah. Wanita itu pantas mendapatkannya. Lagi pula, Rafael tidak benar-benar berniat untuk menyembuhkan Kiana atau membuat wanita itu nyaman. Sementara Kiana hanya menggeleng. Wajahnya sedikit pucat. Dia tidak bisa mendengar perkataan Rafael yang seperti menyalahkannya. Dia tidak bisa melihat tatapan jijik Rafael padanya. Hal tersebut malah membuat Kiana kembali mengingat kenangan buruknya, saat orang-orang mencemooh dan mengatainya anak haram. Saat tidak ada seorang pun yang mau berteman dengannya, begitu juga dengan Arkan dan orang tua laki-laki itu yang kecewa padanya. Orang tua? Kiana tidak punya orang tua. Dia tidak tahu siapa mereka. Dia hanya tahu, ibunya yang kejam dan suka menyiksanya yang mungkin lebih cocok dipanggil iblis ketimbang manusia, tapi tentu, jawaban itu tidak bisa Kiana katakan. Dia hanya menatap Rafael sambil menggeleng, Kiana tidak bisa membuka luka lamanya. "Hentikan. Aku tidak mau melakukan ini. Aku ingin kembali." "Tidak, kau harus melakukannya--" "TIDAK MAU! JANGAN MEMAKSAKU! KAU DOKTER JAHAT! KAU JAHAT!" Kiana berteriak sambil menggebrak meja. Tubuhnya bergetar hebat karena bayang-bayang menakutkan yang terkubur bertahun-tahun, harus kembali bermunculan saat Rafael mengingatkannya. Entah dari mana Rafael bisa tahu masalahnya dengan Arkan hingga sedetail itu. Meski mungkin, sebagian didapat dari sidang. Dari pengakuan-pengakuan Arkan saat dia berusaha menjebak laki-laki itu untuk tidur bersamanya atau saat dia mendapat tuduhan berusaha meracuni Sashi dalam minumannya. Padahal, dia tidak melakukan itu. Kiana hanya memasukkan obat tidur, bukan racun. Arkan berbohong untuk membuatnya mendekam di penjara dan hal itu cukup membuat Kiana frustrasi. "Jadi benar, itu masalahmu. Kau merasa depresi karena tidak bisa meraih apa yang menjadi ambisimu." Rafael menatap Kiana dengan gaya berpikir. Menebak apa yang wanita itu pikirkan. Kadang pikiran Kiana mudah terbaca, kadang juga tidak. "Apa ucapan seperti itu pantas diucapkan olehmu!" "Apa yang salah dari ucapanku? Apa itu membuatmu tersinggung? Kau tidak ingin memberitahuku, karena kau tahu, itu adalah hal yang cukup memalukan. Aku semakin yakin, ada yang salah dengan otakmu." Wajah Kiana berubah merah padam. Kata-kata penuh provokasi Rafael, berhasil membuatnya bangkit dan langsung menerjang Rafael yang tengah duduk di kursinya. Duduk di pangkuannya sembari memegang kerah jas putih kebesarannya. Menatap Rafael dengan tatapan penuh ancaman. "Kau tahu, aku sangat muak melihat wajahmu. Aku ingin sekali membunuhmu!" Rasa tak nyaman yang tadi terlihat dalam sorot mata Kiana, kini sudah tidak ada lagi, yang ada hanya tatapan emosi karena merasa Rafael terlalu turut campur dalam masalahnya. Kiana kesal saat laki-laki itu seolah tahu kehidupan macam apa yang dia jalani selama ini. Meski kenyataannya, Rafael hanya orang asing yang bahkan sama sekali tidak tahu apa yang dia rasakan selama ini. Akan tetapi, diluar dugaan, Rafael justru terkekeh kecil mendengar ancaman Kiana yang bisa kapan saja membunuhnya. Dia menanggapi itu sebagai lelucon seorang anak kecil yang sedang bertengkar. Tidak berarti apa pun padanya. "Apa kau menganggap ini lelucon! Kau akan mati ditanganku!" Kiana dengan cepat meraih vas bunga dan berniat untuk melemparkannya di kepala Rafael. Sayangnya, niatnya itu sama sekali tidak berhasil, karena Rafael bisa dengan cepat mencengkeram erat lengannya dan membuang vas bunga itu hingga terdengar suara pecahan keramik. Hingga tanpa disangka, Rafael langsung mendorong wanita itu ke belakang sampai tubuhnya menabrak meja kerja dan secepat itu pula, Rafael menyingkirkan semua barang-barang di mejanya. Mendesak Kiana yang ingin bangkit, dan membuat posisi wanita itu menjadi tak berkutik. Kiana terdengar meringis, dia sedikit kesakitan saat dengan dorongan kuat yang Rafael lakukan. Untuk sekadar bangun dari posisinya pun, sangat susah. Tubuh Rafael mendesaknya terlalu dekat. Tubuh mereka bahkan terlihat menempel satu sama salin dengan kedua tangannya yang digenggam oleh laki-laki itu. "Lepas! Atau aku akan membunuhmu!" Rafael menatap mata Kiana sebentar, sebelum kemudian menjawab dengan nada dingin, "Harusnya, kau tahu siapa yang berada posisi dalam bahaya." Kiana tampak menunjukkan ekspresi terkejut, tapi kemudian malah tertawa, "Kau akan membunuhku?" "Tidak. Aku masih waras untuk melakukan hal itu. Dibandingkan itu, aku lebih tertarik ... dengan tubuhmu," lirih Rafael sambil mendekatkan bibirnya ke arah telinga Kiana. Membuat wanita itu tersentak kaku. Kiana sama sekali tidak bisa bergerak. Pikirannya mendadak buntu setelah mendengar perkataan Rafael. Dia sulit mempercayai apa yang didengarnya. Akhirnya, laki-laki itu menunjukkan jati diri yang sebenarnya. "Apa kau akan melecehkan pasienmu sendiri? Aku bisa melaporkan tindakanmu sebagai pelecehan seksual!" ancam Kiana dengan sedikit suara bergetar. Dia merasa gugup saat hembusan napas Rafael mengenai lehernya. "Kau pikir, orang waras macam apa yang mau percaya pada wanita jahat dan gila sepertimu?" "KAU ... dasar sialan! Aku akan merobek mulutmu." Kiana berusaha memberontak, namun sekuat tenaga, Rafael menahan kedua lengannya. Tak memberikan Kiana ruang sedikit pun untuk bergerak. Seriously? Sesi yang harusnya menjadi waktu bagi Rafael melakukan psikoterapi, malah berubah jadi ajang perdebatan dan tindakan kurang ajar? Rafael bahkan tidak mau beranjak menjauh dari Kiana. "Katakan, bukankah ini sudah biasa untukmu? Laki-laki itu, kau juga memuaskannya, 'kan? Bagaimana kalau kau melakukan hal yang sama padaku? Mungkin saja, aku akan berubah pikiran dan membantumu keluar dari sini, tapi tidak, aku berubah pikiran. Aku sama sekali tidak tertarik dengan wanita sepertimu." Wajah Kiana tampah merah mendengar perkataan itu. Dia sangat marah. Kiana tahu, dibanding sebuah negoisasi, itu terdengar seperti penghinaan baginya. Rafael sedang menghinanya. Laki-laki itu ingin merendahkan harga dirinya. Terbukti, beberapa saat kemudian, Rafael kembali menjauhkan diri dan menatapnya jijik. Selalu seperti itu. Harga dirinya terluka. Kiana sangat tidak suka dengan orang yang meremehkannya. Hingga dia tanpa basa-basi, menarik tangan Rafael dan mencium paksa bibir laki-laki itu saat akan pergi. Bukan ciuman seperti yang sering dilakukannya pada Andrew, tapi Kiana menggigit bibir Rafael yang menyebabkan bibir laki-laki itu terluka dan berdarah."Raf, kau kenapa? Kenapa menutup mulutnya seperti itu?" tanya dokter Ken yang baru saja masuk ke ruangan Rafael. Dia sedang bersantai saat tugasnya sudah selesai. Niatnya datang untuk mengajak Rafael makan. Memang, mereka berdua cukup dekat dari kuliah. Sudah hal biasa bagi Ken dan Rafael makan bersama. Meski ada beberapa yang menganggap kedekatan mereka seperti ada sesuatu. Mengingat kalau keduanya tidak pernah terlihat memiliki pasangan, tapi tentu saja itu tidak benar. Tanpa disuruh dan diizinkan sang pemilik ruangan, Ken dengan santainya duduk tepat di hadapan Rafael. Tempat yang tadi Kiana tempati. Menatap rekan kerja sekaligus temannya dengan tatapan seperti sedikit heran. "Bukan apa-apa. Ada apa ke sini?" tanya Rafael tanpa menurunkan tangannya dari mulut. Dia terus menutupinya seolah tidak mau Ken melihat kondisinya.
Lagi-lagi, Kiana terbangun di tempat yang sama, ranjang yang sama dan suasana yang sama. Meski sudah hampir dua minggu berada di dalam rumah sakit jiwa itu, tapi dia masih belum terbiasa. Semuanya terasa sangat asing, membuatnya begitu merindukan rumah. Tentu saja semua itu hanya angan belaka. Hal yang sulit untuk menjadi nyata. Meski beberapa hari terakhir, seperti ucapannya, Andrew selalu datang untuk menjenguknya. Laki-laki itu selalu bercerita tentang kehidupan yang akan mereka jalani nantinya. Senang? Entahlah, seperti biasa, Kiana hanya bisa terdiam mendengarnya. Dia juga berharap seperti itu, tapi bahkan untuk keluar dari ruangan ini pun terasa sangat sulit. Dia hanya diizinkan keluar jika dokter memanggilnya. Satu hal yang bisa Kiana lakukan hanya menatap para pasien lain dari balik jendela. Entahlah, itu terasa seperti kebiasaannya untuk saat ini. Bukan. Bukan Kiana mulai menerima
"Dia membuang semua obat?" tanya Rafael saat dia mendapat laporan dari seorang perawat, yang memberitahunya kalau perawat itu menemukan sebungkus obat yang masih utuh tergeletak di lantai kamar Kiana. "Benar, Dok." "Kenapa bisa terjadi? Kau tidak mengawasinya?" Rafael mengetatkan rahangnya. Menatap tajam perawat wanita yang tampak sedikit bergetar takut. Dia menganggap kalau perawat itu lalai dalam pekerjaannya dan itu artinya, Kiana tidak meminum apa pun selama ini? Shit! Rafael berusaha meredam kekesalannya dengan menutup mata. Membiarkan perawat wanita itu terdiam beberapa saat sampai dengan sedikit terbata-bata, perawat itu menjawab, "Maafkan kami, semua itu kesalahan kami." Sekali lagi, Rafael menghela napas kasar. Dia lantas mengusir perawat itu pergi dari ruangannya
Akhirnya, karena berbagai pertimbangan dan melihat kondisi Kiana yang tampak begitu frustasi berada terus-menerus di dalam ruangan, pihak rumah sakit mengizinkannya untuk keluar. Membiarkan Kiana mengikuti kegiatan seperti pasien lainnya. Senang? Ya, Kiana sangat senang. Akhirnya, setelah terkurung berminggu-minggu, dia bisa menghirup udara segar. Duduk di bawah rindangnya pohon setelah selesai melakukan kerja bakti, membersihkan halaman. Bersama-sama dengan para perawat dan pasien lainnya. Kiana dengan pelan, merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau yang biasa hanya bisa dia pandangi dari balik jendela. Mengabaikan pasien lain dan menatap langit biru yang cerah. Tersenyum lebar sambil memejamkan mata. Dari sana, dia bisa melihat bangunan rumah sakit yang begitu besar. Pagar-pagar kokoh yang menjulang tinggi. Ternyata, rumah sakit jiwa tempatnya
"Siapa wanita tua yang kau ajak bicara waktu itu?" tanya Kiana tanpa basa-basi saat Rafael memberikannya waktu untuk bicara. Sepuluh menit. Laki-laki itu mengizinkannya dan mengajak Kiana ke tempat yang lebih sepi. Di dekat sebuah pohon rindang yang cukup jauh dari posisi pasien lain. "Maksudmu? Apa kau meminta waktuku hanya untuk bertanya hal tak penting?" Ada nada kesal dalam suara Rafael. Kedua alisnya mengernyit, dia sangat amat tidak senang dengan pertanyaan Kiana. Jelas, karena Rafael tahu siapa orang yang dimaksud. Sementara Kiana malah menyelipkan helaian rambutnya ke telinga dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia merasa sedikit terintimidasi dengan tatapan tajam Jonathan. Ekspresi laki-laki itu bahkan terlihat marah. Memangnya apa yang salah dengan pertanyaannya? Dia hanya bertanya karena penasaran. Kiana hanya merasa aneh saat melihat sikap Rafael yang begitu baik pa
Rafael membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya yang telanjang. Otot-otot yang selama ini tertutup, terlihat. Begitu mengkilap oleh sabun dan busa yang mengelilinginya. Menggoda setiap mata untuk menyentuhnya. Siapa pun wanita yang melihatnya, pasti menginginkan Rafael menjadi teman tidur satu malamnya. Namun hal itu bagai sesuatu yang amat mustahil, Rafael tidak pernah tertarik dengan wanita. Bukan tidak, mungkin belum. "Ahh, shit!" umpat Rafael saat ingatannya kembali berputar pada kejadian tadi, ketika Kiana menggodanya di halaman belakang. Rafael jelas masih bisa merasakan tangan-tangan itu menyentuh tubuhnya. Tindakan Kiana yang kurang ajar bahkan disalahpahami oleh rekan dokternya yang lain. Rafael harap, masalah ini tidak sampai terdengar ke telinga kakeknya. Akan sangat gawat jika itu terjadi. Memikirkan hal itu, membuat Rafael kesal bukan main. Dia benar-benar marah, hingga
Brakkk .... Suara pintu didobrak kencang, mengagetkan Kiana dan Ken yang sedang sibuk dengan makanannya. Keduanya hampir melompat dari tempat mereka duduk saat melihat seseorang berdiri dengan tegap di ambang pintu. Laki-laki yang menyorot tajam ke arah Ken, saat sedang sibuk membersihkan wajahnya karena semburan Kiana tadi. "Mana makananku?" tanyanya, tanpa menatap Kiana yang duduk di samping Ken. Entah menyadari atau tidak, matanya terus tertuju hanya ke arah Ken saja. "Ah, Raf, kau datang? Duduklah, di sini kita makan bersama," ajak Ken sambil melambaikan tangannya, meminta orang yang ternyata adalah Rafael. Sayangnya, laki-laki itu hanya menatap Ken dengan mata memicing, tanpa beranjak satu langkah pun mendekat ke arah keduanya. Lalu beralih ke arah Kiana yang duduk di samping temannya. Sejak kapan Ken menja
"Akhh ... lebih cepat, Ndrew." Kiana mencengkeram erat punggung kokoh Andrew. Meringis menerima hujaman di bawah sana, saat Andrew bergerak dan mengisi kekosongannya selama ini. Seragam pasiennya basah oleh keringat dan sangat berantakan. Beberapa kancing depannya sudah berhamburan karena Andrew menariknya terlalu kencang, namun Kiana memilih tak peduli. Dia mencari kepuasan dengan kehadiran Andrew di sana. Sama halnya dengan Kiana, Andrew juga memilih tidak peduli. Dia tak lagi memikirkan di mana mereka berada saat ini dan hal tak pantas macam apa yang tengah diperbuatnya. Rasa nikmat karena kembali merasakan kehangatan Kiana, membuat Andrew lupa diri. "Kauhh sangatthh cantik, Kia ...." Tangan besarnya menyeka peluh dari wanita yang berbaring di bawahnya, tanpa sedikit pun mengurangi tempo gerakan yang justru semakin lama semakin liar. Lenguhan dan e
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal