"Raf, kau kenapa? Kenapa menutup mulutnya seperti itu?" tanya dokter Ken yang baru saja masuk ke ruangan Rafael. Dia sedang bersantai saat tugasnya sudah selesai. Niatnya datang untuk mengajak Rafael makan.
Memang, mereka berdua cukup dekat dari kuliah. Sudah hal biasa bagi Ken dan Rafael makan bersama. Meski ada beberapa yang menganggap kedekatan mereka seperti ada sesuatu. Mengingat kalau keduanya tidak pernah terlihat memiliki pasangan, tapi tentu saja itu tidak benar. Tanpa disuruh dan diizinkan sang pemilik ruangan, Ken dengan santainya duduk tepat di hadapan Rafael. Tempat yang tadi Kiana tempati. Menatap rekan kerja sekaligus temannya dengan tatapan seperti sedikit heran. "Bukan apa-apa. Ada apa ke sini?" tanya Rafael tanpa menurunkan tangannya dari mulut. Dia terus menutupinya seolah tidak mau Ken melihat kondisinya. "Ckk, aku tidak bisa mendengarmu, turunkan tanganmu," ucap Ken, dia jelas berbohong. Telinganya tentu bisa mendengar perkataan Rafael, tapi dia penasaran dengan sikap temannya. "Katakan atau pergi." Terlihat Rafael mulai sedikit terganggu, namun karena hal itu pula, Ken malah semakin tidak bisa menahan rasa penasarannya. Hingga dengan jahilnya, dia menarik tangan laki-laki itu hingga terlepas. Memperlihatkan bibir Rafael yang terluka karena ulah Kiana. Seketika itu juga, Ken dibuat terdiam dengan mata melotot kaget. Membuat Rafael lantas mendelik kesal dan mengomel. Namun dengan tidak tahu dirinya, laki-laki berlesung pipi itu malah tertawa terbahak-bahak melihat bibir Rafael yang berdarah dan bengkak saat bicara. Air mata tampak berderai saking tidak bisa menahan apa yang menurutnya sangat lucu. Pintu ruangan yang memang sedikit terbuka, membuat perawat dan dokter lain sedikit penasaran. Meski mereka tidak mau mengganggu waktu Rafael dan Ken. "Apa yang kaulakukan? Apa kau baru saja berciuman dengan seseorang? Siapa wanita itu? Lihatlah, bibirmu sampai seperti itu. Sepertinya, ciuman itu sangat berkesan," ejeknya tanpa menghentikan kekehannya sedikit pun. Sementara Rafael yang mendengarnya hanya bisa memasang wajah masam tanpa mau menanggapi pertanyaan Ken. Dia benar-benar kesal saat ditertawakan. Apalagi mengingat saat wanita itu menciumnya. Tanpa sadar, tangannya mengepal. Rafael berusaha melupakan kejadian memalukan itu. Meski sebenarnya, kejadian tadi cukup membekas. Mengingat Kiana satu-satunya wanita yang melakukan hal tersebut. Akibat kelakuan Kiana, bibirnya benar-benar sakit dan perih. Beberapa bagian ada juga yang bengkak meski sudah dikompres. Ya, Rafael tahu, ini juga salahnya karena memancing wanita itu duluan. "Jangan bicarakan itu. Katakan, apa tujuanmu ke sini?" "Kau terlalu sopan pada orang yang berusia lebih tua darimu, tapi, ya sudahlah, kau memang seperti itu. Aku datang karena mau mengajakmu makan," ujar Ken sambil mengangkat kedua bahunya. Berusaha untuk tidak tertawa. Ajakan itu, tentu langsung membuat mata Rafael memicing. Dia menatap laki-laki yang duduk di hadapannya dengan malas. "Aku tidak mau. Kau cari saja teman yang lain." Tidak langsung menanggapi, Ken malah menatap Rafael dengan tatapan dalam, membuat laki-laki itu sedikit risih. "Kau dalam masalah? Apa ini mengenai ibumu lagi atau wanita itu? Siapa namanya? Kiana?" "Jangan bahas wanita itu di sini. Tugasku sedang banyak, pergilah," usir Rafael dengan nada tidak sukanya. Spontan perkataannya membuat Ken langsung menaikkan alisnya. Dia tampak heran sekaligus penasaran. "Kenapa? Bukannya tadi wanita itu di sini? Mood-mu berubah buruk hanya karena wanita itu?" Sebelum masuk, Ken sempat melihat Kiana yang dibawa dalam kondisi tak sadarkan diri dari ruangan Rafael. Wanita itu dibawa oleh dua orang perawat laki-laki. Kalau tidak salah, ini memang waktu Kiana menjalani terapi, tapi kenapa wanita itu malah keluar dalam keadaan pingsan? Berbagai macam pertanyaan, bermunculan dalam kepalanya. Ken menebak apa yang terjadi, sampai sebuah kesimpulan tiba-tiba membuat mulutnya spontan membulat. Menatap penasaran ke arah bibir Rafael dan merangkai segala macam kebetulan. Jangan bilang, kalau .... "Jangan bilang, kalau kalian berciuman? Bibirmu itu, gara-gara dia? Benar, 'kan? Kau berciuman?" Karena terlalu semangat, Ken sampai menggebrak meja Rafael dan membuat laki-laki itu terkejut. "Astaga! Kubilang juga apa! Wanita itu memang cantik. Bahkan kau pun tergoda, tapi kalian tidak sampai melakukannya, 'kan?" "Kau mau tahu?" Wajah Rafael sudah tampak merah saking kesalnya dengan perkataan Ken, namun dengan polosnya, laki-laki itu malah mengangguk, membuat Rafael seketika itu juga lantas memukul kepalanya. "Pergi, jangan menggangguku!" "Sialan! Kau tidak ada sopan-sopannya pada kakakmu ini!" "Aku tidak sudi punya kakak sepertimu." Ken hanya membalasnya dengan cengiran khas, dia sama sekali tidak tersinggung akan perkataan Rafael. "Tapi aku benar-benar tidak menyangka, kau bisa tertarik pada pasienmu sendiri. Benar-benar diluar dugaan." "Teruslah bicara, dan kau akan kehilangan kariermu." *** "Kak, tolong Kiana. Tolong keluarkan dia dari sana," ucap Andrew sambil memohon di hadapan seorang laki-laki yang duduk di meja kebesarannya. Sementara dia berlutut di sana. Meminta belas kasih dan pengampunan untuk orang yang dia cinta. Demi Kiana, dia rela merendahkan dirinya di hadapan sang kakak yang tidak pernah dia akui sebelumnya. Orang yang selalu membuat hatinya diliputi rasa iri dan dengki, namun karena sebuah kejadian, pandangan itu berubah. Dia kini paham jika kakaknya sangat menyayanginya, meski dia sudah melakukan kesalahan yang tak termaafkan. "Tidak. Aku tidak bisa menuruti kemauanmu. Dia bersalah, kau tahu sendiri apa yang dia lakukan pada istriku. Aku harap, kau lupakan saja wanita itu. Dia buruk untukmu, masih banyak wanita baik-baik di luaran sana." "Tidak. Aku tidak bisa mencintai orang lain selain dia." Bahkan keberadaan Sashi yang kini menjadi kakak iparnya sendiri pun, hanya mampu mengisi hatinya untuk sesaat. Nyatanya, setelah kedatangan Kiana, dia kembali mencintai wanita itu. "Kalau begitu, jangan meminta hal yang jelas-jelas tidak akan aku kabulkan. Pergilah!" Kepala Andrew spontan tertunduk. Pada akhirnya, dia juga tetap tidak bisa membujuk Arkan untuk mengeluarkan Kiana. Posisinya yang memang dalam keadaan bersalah, sama sekali tidak bisa meminta lebih dari ini. Orang tuanya pun, pasti akan melakukan hal yang sama. Alhasil, dengan perasaan putus asa, Andrew bangkit dan berjalan keluar dari ruangan Arkan. Dia berjalan gontai menyusuri koridor kantor. Tampak beberapa karyawan menatapnya penasaran. Melihat penampilan Andrew yang sangat jauh berbeda saat masih bekerja di sana. Beberapa di antaranya ada yang menatap remeh juga. Mereka jelas mengetahui berita tentang dirinya yang pernah masuk penjara karena Arkan, namun tidak lama karena papanya membelanya mati-matian. Kakak dan ayahnya sempat berdebat panjang bahkan bersitegang soal dirinya, tapi pada akhirnya Arkan mengalah dan membiarkan Andrew bebas. Kali ini, Andrew juga tidak menyalahkan Arkan. Laki-laki itu jelas ingin melindungi harkat martabat Sashi sebagai istrinya dan jelas, tindakannya sudah melewati batas. Dia mendapatkan balasan setimpal. Andrew berjalan menuju motor bututnya untuk pulang ke rumah. Rumah yang Arkan berikan padanya. Dia tidak bisa lagi tinggal bersama orang tuanya. Perasaan malu itu tetap ada, meski mereka selalu menyuruhnya untuk tinggal bersama. Tidak ada yang bisa Andrew berikan pada orang tuanya, selain masalah-masalah yang semakin memperumit kehidupan mereka, karena itulah, dia belajar untuk hidup mandiri. Entah apa yang akan diakuinya nanti pada Kiana. Bagaimana Andrew menjelaskan kalau kehidupannya tidak seperti dulu. Dia tidak punya kuasa apa pun untuk membebaskan Kiana. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Andrew hanya bisa menatap bangunan tinggi di depan matanya dengan pandangan lesu, kemudian beralih menatap motornya. Semuanya mulai dari awal. Andrew mengepalkan tangannya. Dia akan bekerja keras dan bersungguh-sungguh untuk mencari jalan keluar bagi wanitanya, tapi tentunya, Andrew tidak akan lagi menggunakan cara yang salah. Dia tidak mau kehilangan lebih dari apa yang didapatnya saat ini. "Aku berjanji, aku akan mencari cara untuk membebaskanmu dan kita akan hidup bersama, Kiana."Lagi-lagi, Kiana terbangun di tempat yang sama, ranjang yang sama dan suasana yang sama. Meski sudah hampir dua minggu berada di dalam rumah sakit jiwa itu, tapi dia masih belum terbiasa. Semuanya terasa sangat asing, membuatnya begitu merindukan rumah. Tentu saja semua itu hanya angan belaka. Hal yang sulit untuk menjadi nyata. Meski beberapa hari terakhir, seperti ucapannya, Andrew selalu datang untuk menjenguknya. Laki-laki itu selalu bercerita tentang kehidupan yang akan mereka jalani nantinya. Senang? Entahlah, seperti biasa, Kiana hanya bisa terdiam mendengarnya. Dia juga berharap seperti itu, tapi bahkan untuk keluar dari ruangan ini pun terasa sangat sulit. Dia hanya diizinkan keluar jika dokter memanggilnya. Satu hal yang bisa Kiana lakukan hanya menatap para pasien lain dari balik jendela. Entahlah, itu terasa seperti kebiasaannya untuk saat ini. Bukan. Bukan Kiana mulai menerima
"Dia membuang semua obat?" tanya Rafael saat dia mendapat laporan dari seorang perawat, yang memberitahunya kalau perawat itu menemukan sebungkus obat yang masih utuh tergeletak di lantai kamar Kiana. "Benar, Dok." "Kenapa bisa terjadi? Kau tidak mengawasinya?" Rafael mengetatkan rahangnya. Menatap tajam perawat wanita yang tampak sedikit bergetar takut. Dia menganggap kalau perawat itu lalai dalam pekerjaannya dan itu artinya, Kiana tidak meminum apa pun selama ini? Shit! Rafael berusaha meredam kekesalannya dengan menutup mata. Membiarkan perawat wanita itu terdiam beberapa saat sampai dengan sedikit terbata-bata, perawat itu menjawab, "Maafkan kami, semua itu kesalahan kami." Sekali lagi, Rafael menghela napas kasar. Dia lantas mengusir perawat itu pergi dari ruangannya
Akhirnya, karena berbagai pertimbangan dan melihat kondisi Kiana yang tampak begitu frustasi berada terus-menerus di dalam ruangan, pihak rumah sakit mengizinkannya untuk keluar. Membiarkan Kiana mengikuti kegiatan seperti pasien lainnya. Senang? Ya, Kiana sangat senang. Akhirnya, setelah terkurung berminggu-minggu, dia bisa menghirup udara segar. Duduk di bawah rindangnya pohon setelah selesai melakukan kerja bakti, membersihkan halaman. Bersama-sama dengan para perawat dan pasien lainnya. Kiana dengan pelan, merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau yang biasa hanya bisa dia pandangi dari balik jendela. Mengabaikan pasien lain dan menatap langit biru yang cerah. Tersenyum lebar sambil memejamkan mata. Dari sana, dia bisa melihat bangunan rumah sakit yang begitu besar. Pagar-pagar kokoh yang menjulang tinggi. Ternyata, rumah sakit jiwa tempatnya
"Siapa wanita tua yang kau ajak bicara waktu itu?" tanya Kiana tanpa basa-basi saat Rafael memberikannya waktu untuk bicara. Sepuluh menit. Laki-laki itu mengizinkannya dan mengajak Kiana ke tempat yang lebih sepi. Di dekat sebuah pohon rindang yang cukup jauh dari posisi pasien lain. "Maksudmu? Apa kau meminta waktuku hanya untuk bertanya hal tak penting?" Ada nada kesal dalam suara Rafael. Kedua alisnya mengernyit, dia sangat amat tidak senang dengan pertanyaan Kiana. Jelas, karena Rafael tahu siapa orang yang dimaksud. Sementara Kiana malah menyelipkan helaian rambutnya ke telinga dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia merasa sedikit terintimidasi dengan tatapan tajam Jonathan. Ekspresi laki-laki itu bahkan terlihat marah. Memangnya apa yang salah dengan pertanyaannya? Dia hanya bertanya karena penasaran. Kiana hanya merasa aneh saat melihat sikap Rafael yang begitu baik pa
Rafael membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya yang telanjang. Otot-otot yang selama ini tertutup, terlihat. Begitu mengkilap oleh sabun dan busa yang mengelilinginya. Menggoda setiap mata untuk menyentuhnya. Siapa pun wanita yang melihatnya, pasti menginginkan Rafael menjadi teman tidur satu malamnya. Namun hal itu bagai sesuatu yang amat mustahil, Rafael tidak pernah tertarik dengan wanita. Bukan tidak, mungkin belum. "Ahh, shit!" umpat Rafael saat ingatannya kembali berputar pada kejadian tadi, ketika Kiana menggodanya di halaman belakang. Rafael jelas masih bisa merasakan tangan-tangan itu menyentuh tubuhnya. Tindakan Kiana yang kurang ajar bahkan disalahpahami oleh rekan dokternya yang lain. Rafael harap, masalah ini tidak sampai terdengar ke telinga kakeknya. Akan sangat gawat jika itu terjadi. Memikirkan hal itu, membuat Rafael kesal bukan main. Dia benar-benar marah, hingga
Brakkk .... Suara pintu didobrak kencang, mengagetkan Kiana dan Ken yang sedang sibuk dengan makanannya. Keduanya hampir melompat dari tempat mereka duduk saat melihat seseorang berdiri dengan tegap di ambang pintu. Laki-laki yang menyorot tajam ke arah Ken, saat sedang sibuk membersihkan wajahnya karena semburan Kiana tadi. "Mana makananku?" tanyanya, tanpa menatap Kiana yang duduk di samping Ken. Entah menyadari atau tidak, matanya terus tertuju hanya ke arah Ken saja. "Ah, Raf, kau datang? Duduklah, di sini kita makan bersama," ajak Ken sambil melambaikan tangannya, meminta orang yang ternyata adalah Rafael. Sayangnya, laki-laki itu hanya menatap Ken dengan mata memicing, tanpa beranjak satu langkah pun mendekat ke arah keduanya. Lalu beralih ke arah Kiana yang duduk di samping temannya. Sejak kapan Ken menja
"Akhh ... lebih cepat, Ndrew." Kiana mencengkeram erat punggung kokoh Andrew. Meringis menerima hujaman di bawah sana, saat Andrew bergerak dan mengisi kekosongannya selama ini. Seragam pasiennya basah oleh keringat dan sangat berantakan. Beberapa kancing depannya sudah berhamburan karena Andrew menariknya terlalu kencang, namun Kiana memilih tak peduli. Dia mencari kepuasan dengan kehadiran Andrew di sana. Sama halnya dengan Kiana, Andrew juga memilih tidak peduli. Dia tak lagi memikirkan di mana mereka berada saat ini dan hal tak pantas macam apa yang tengah diperbuatnya. Rasa nikmat karena kembali merasakan kehangatan Kiana, membuat Andrew lupa diri. "Kauhh sangatthh cantik, Kia ...." Tangan besarnya menyeka peluh dari wanita yang berbaring di bawahnya, tanpa sedikit pun mengurangi tempo gerakan yang justru semakin lama semakin liar. Lenguhan dan e
"MATI KAU ANAK DURHAKA!" Seorang wanita berpenampilan menakutkan perlahan mendekati Kiana. Darah tampak merembes di bagian perut dengan sorot mata penuh kebencian. Tubuh Kiana langsung bergetar takut dan mengkerut menjauh. Memeluk tubuhnya sampai saat tangan wanita itu terulur hendak menyentuhnya. "TIDAKKKK!!" Suara teriakan penuh ketakutan itu membangunkan Kiana yang tengah terlelap dalam tidurnya. Matanya seketika terbuka dalam kondisi melotot kaget. Menatap ke segala sudut kamar yang dingin dan hening. Deru napasnya terdengar keras. Jantungnya pun berdegup kencang seolah baru saja lari maraton. Terjadi lagi. "Apa? Mimpi?" gumamnya ketika Kiana tidak mendapati seorang pun di ruangan itu selain dirinya. Hanya matahari pagi yang menyorot melewati jendela kamar. Bagaimana bisa? Kiana benar-benar berpikir kalau semua itu nyata. Mamanya ada di sana dan menuntut balas dend
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal