"MATI KAU ANAK DURHAKA!"
Seorang wanita berpenampilan menakutkan perlahan mendekati Kiana. Darah tampak merembes di bagian perut dengan sorot mata penuh kebencian. Tubuh Kiana langsung bergetar takut dan mengkerut menjauh. Memeluk tubuhnya sampai saat tangan wanita itu terulur hendak menyentuhnya. "TIDAKKKK!!" Suara teriakan penuh ketakutan itu membangunkan Kiana yang tengah terlelap dalam tidurnya. Matanya seketika terbuka dalam kondisi melotot kaget. Menatap ke segala sudut kamar yang dingin dan hening. Deru napasnya terdengar keras. Jantungnya pun berdegup kencang seolah baru saja lari maraton. Terjadi lagi. "Apa? Mimpi?" gumamnya ketika Kiana tidak mendapati seorang pun di ruangan itu selain dirinya. Hanya matahari pagi yang menyorot melewati jendela kamar. Bagaimana bisa? Kiana benar-benar berpikir kalau semua itu nyata. Mamanya ada di sana dan menuntut balas dend"Rafael, kenalkan, dia Mili," ucap Guzman pada sang cucu seraya memperkenalkan seorang wanita cantik dengan pakaian glamornya. Tersenyum anggun saat matanya saling bertatapan dengan Rafael. Mili tampak tersipu dan tertarik ketika melihat penampilan Rafael yang mengenakan kemeja biru tua dan rambut hitam yang tampak acak-acakan. Kesan seksi dan nakal terpancar jelas, terlebih saat kemeja itu membungkus tubuh Rafael begitu ketat, memperlihatkan otot-otot lengan dan perutnya. "Salam kenal, aku Mili." Sambil tersenyum, Mili menyodorkan tangannya pada Rafael. Bermaksud untuk bersalaman, namun Rafael dengan tatapan datarnya, hanya menatap tajam Mili tanpa mau menyambutnya. Mendengkus, lalu mengalihkan perhatiannya ke arah Guzman. "Kau menyuruhku datang hanya untuk ini? Membuang-buang waktu saja," ucap Rafael dengan kesal, dia bangkit dan berniat meninggalkan rumah kakeknya. "Rafael, yang sopan! Duduk kembali
Rafael memasuki ruangan tempat Kiana berada. Mencari keberadaan wanita itu di sana, namun sayangnya, dia sama sekali tidak menemukan siapa pun. Ruangan itu kosong. Terlihat selimut yang bahkan ada di lantai, membuat Rafael yang melihat hal tersebut segera kembali keluar. Berjalan dengan langkah tegap dan lebar. Matanya tampak memerhatikan sekeliling. Kiana, di mana wanita itu? Sudah beberapa hari ini, Kiana tidak lagi mau keluar ruangan. Wanita itu bahkan dengan tak tahu dirinya, meminta makanan dibawakan ke ruangannya. Menyuruh ini itu pada setiap perawat yang datang ke ruangannya. Rafael tentu tidak keberatan, tapi sekarang, ke mana perginya wanita itu? Rafael sama sekali tidak menemukan keberadaan Kiana di ruangan mana pun. Tempat kegiatan yang biasanya pasien lain lakukan untuk melatih diri. Memberi mereka semangat untuk sembuh. Di tengah kebingungan yang melandanya, sebuah tempat tiba-tiba terlintas begitu saja da
"Halo, Dokter Ken? Apa kau ada di dalam?" seru Kiana sembari mengintip ke dalam ruang kerja Ken. Melihat sekeliling ruangan laki-laki itu yang terbuka. Anehnya, di sana Kiana sama sekali tidak menemukan siapa pun. Sang pemilik, tidak ada di sana. Lantas, kenapa pintunya bisa terbuka? Hal tersebut membuat Kiana berpikir ulang untuk masuk. Dia bisa dituduh mencuri sesuatu jika ketahuan, meski saat ini sedang jam istirahat. Alhasil, karena tidak mau seseorang melihatnya, Kiana memilih untuk kembali ke ruangannya saja, tanpa bisa bertemu dengan Ken. Sayang sekali, padahal ada sesuatu yang ingin Kiana bicarakan dengan laki-laki itu. Firasatnya mengatakan, kalau Ken adalah laki-laki baik, jauh berbeda dengan Rafael yang sering kali membuatnya susah. Katanya psikiater? Tapi, laki-laki itu justru terlihat lebih seperti seorang tukang jagal. Auranya sangat menyeramkan dan kadang, bisa membuat Kiana takut sekaligus tak nyaman. &n
PRANG .... Gelas yang tengah dipegang Kiana tiba-tiba terjatuh dan pecah, bersamaan dengan dia yang mendengar berita kalau ternyata Andrew dipukuli serta terluka. Untuk sementara waktu, kakinya tidak bisa berjalan. Berita itu disampaikan oleh Ken yang mencari tahu tentang kondisi Andrew, setelah Kiana terus merengek meminta bantuannya. Tentu saja, itu dilakukan tanpa sepengetahuan Rafael. "Apa? Lalu, bagaimana keadaannya? Apa sekarang dia baik-baik saja?" tanya Kiana sembari menatap Ken dengan mata berkaca-kaca. Dia cukup terguncang dan tak menyangka kalau sesuatu yang buruk terjadi pada temannya. Kiana tidak pernah secemas ini dulu, tapi sekarang Andrew adalah satu-satunya orang yang paling penting untuk hidupnya. Dia sangat tidak ingin melihat laki-laki itu terluka. Spontan, tangannya menggenggam erat kedua tangan Ken. Air mata yang keluar, membuat pandangan Kiana menjadi sedikit kabur. "Kumohon, kat
"Kapan aku akan keluar? Aku sudah normal. Kaulihat? Aku tidak gila, 'kan?" tanya Kiana usai sesi psikoterapi yang dilakukan oleh Rafael berakhir. Kali ini, semuanya berjalan lancar. Tidak ada lagi perdebatan antara keduanya, atau mungkin, baru akan dimulai? Kiana sebenarnya sudah cukup muak bertatap muka dengan Rafael. Dia malas, meski wajah laki-laki itu memang sangat tampan. Namun karena Rafael penanggung jawabnya, Kiana tidak bisa berbuat banyak. Dia akan mendapat masalah jika harus membantah perkataan Rafael. Ya, walaupun hal itu sering kali dia lakukan saat sudah lupa diri. "Tidak. Kau tidak terlihat baik-baik saja," balas Rafael saat merasakan, betapa tertekannya Kiana selama ini. Masih ada hal lain selain masalahnya dengan Arkan. Ada trauma mendalam yang cukup sulit untuk Rafael gali, karena Kiana tetap tidak mau membukanya. Wanita itu justru menutupnya rapat-rapat. Alam bawah sadar Kiana, seperti berusaha untuk menghilangkan se
"Kiana, kenapa kau terus melamun? Kau tidak senang aku datang?" tanya Andrew saat keduanya duduk di bawah pohon. Seperti kata Ken beberapa hari lalu, Andrew akhirnya datang. Lebam di wajah laki-laki itu sudah menghilang dan Andrew sudah bisa berjalan seperti biasa. Tentu tidak menimbulkan rasa khawatir berlebih pada Kiana ketika melihatnya. Mungkin, karena rasa khawatirnya yang berkurang, Kiana justru terkesan seperti mengabaikan Andrew. Entah mengapa, pikirannya tertuju pada kejadian memalukan kemarin. Saat dia dan Rafael terjatuh, saling bertindih dalam posisi yang begitu intim. Menggelikannya lagi, Kiana tidak sengaja membuat 'sesuatu' milik Rafael terbangun. Tentu saja hal itu sama sekali tidak disengaja. Dia tidak berniat menggoda Rafael. Itu diluar dugaan. "Kiana? Kau sedang melamunkan apa?" Andrew menepuk pundak Kiana secara spontan saat melihat wanita itu terus-menerus melamun, sampai Kiana terkejut.
Hari ini, perasaan Kiana menjadi lebih baik setelah bertemu dengan Andrew dua hari yang lalu. Dia bahkan lebih sering tersenyum dan mengerjakan semuanya dengan semangat. Tidak ada omelan atau perdebatan yang keluar dari mulut Kiana. Dia juga menghiraukan saat pasien lain berlari dan tak sengaja menyenggol tubuhnya hingga nyaris jatuh. Benar-benar tenang tanpa keributan. Wajahnya bahkan menjadi lebih cantik dan bercahaya. Membuat heran para perawat akan tingkah tenang Kiana. Sampai saat Kiana mengikuti kegiatan menanam yang membuat tangannya kotor pun, wanita itu tidak menolak. Kiana tidak menolak seperti biasanya, dia malah dengan senang hati mengikutinya. Meski setelahnya, Kiana harus mencuci tangannya yang kotor. Tanah yang juga ternyata tanpa sengaja mengotori cincin pemberian Andrew. "Astaga, bagaimana mungkin dia melupakan itu?" Kiana memekik ketika melihat cincin yang terpasang di jari manisnya menjadi kotor. Merutuki kebod
"Rafael, akhh ... lagi, lebih dalamhh ...." Seorang wanita terus mendesah dan melenguh saat laki-laki di belakangnya menggerakkan pinggulnya. Menarik sejumput rambutnya ke belakang seperti memacu kuda. Bergerak semakin cepat dan membuat tubuh wanita itu terhentak-hentak. Gairah yang menggebu dan permainan kasar sang lelaki, membuatnya terlena. Rafael menyukainya. Dia menyukai setiap desahan yang keluar dari mulut Kiana. Menolak tentu tidak bisa wanita itu lakukan. Satu-satunya pilihan adalah menikmati setiap sentuhannya. Untuk saat ini, Kiana harus melayaninya. Wanita itu harus jatuh dalam kuasanya, karena demi apa pun, Rafael tidak bisa berhenti. Tubuh Kiana terlalu sayang untuk dia biarkan begitu saja. Kulit lembut dan halus, membuat siapa pun laki-laki akan bergairah jika melihatnya. Apalagi bagian-bagian tubuh yang menonjol di area tertentu. Pantas saja Andrew tergila-gila pada wanita ini. "Kau memang wanita
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal