Lagi-lagi, Kiana terbangun di tempat yang sama, ranjang yang sama dan suasana yang sama. Meski sudah hampir dua minggu berada di dalam rumah sakit jiwa itu, tapi dia masih belum terbiasa. Semuanya terasa sangat asing, membuatnya begitu merindukan rumah. Tentu saja semua itu hanya angan belaka. Hal yang sulit untuk menjadi nyata. Meski beberapa hari terakhir, seperti ucapannya, Andrew selalu datang untuk menjenguknya. Laki-laki itu selalu bercerita tentang kehidupan yang akan mereka jalani nantinya.
Senang? Entahlah, seperti biasa, Kiana hanya bisa terdiam mendengarnya. Dia juga berharap seperti itu, tapi bahkan untuk keluar dari ruangan ini pun terasa sangat sulit. Dia hanya diizinkan keluar jika dokter memanggilnya. Satu hal yang bisa Kiana lakukan hanya menatap para pasien lain dari balik jendela. Entahlah, itu terasa seperti kebiasaannya untuk saat ini. Bukan. Bukan Kiana mulai menerima dirinya, dia hanya terlalu bosan dan apakah memang begini cara merawat orang yang terkena gangguan mental? Bukankah, dengan terkurung sendirian di ruang pengap hanya akan menambah rasa stressnya saja? Kenapa mereka tidak kunjung membiarkannya keluar? Kiana sudah tidak lagi menyerang atau berteriak. Dia tidak membuat kegaduhan yang bisa membuat mereka takut, kecuali ... mungkin kejadian beberapa hari lalu saat dia membuat bibir dokter sialan itu terluka. Mengingat kejadian tersebut, bibirnya spontan tersenyum. Itu adalah kejadian yang tidak akan pernah bisa dia lupakan. Dia puas memberi pelajaran untuk dokter itu. Harusnya, Rafael mendapat lebih dari apa yang dilakukannya. Rafael adalah seorang dokter yang sombong dan memiliki mulut berbisa. Kiana juga tidak suka dengan sikap dan tatapan meremehkan Rafael padanya. Laki-laki itu selalu menunjukkan ekspresi jijik atau terkadang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Apa salahnya? Apa Kiana melakukan atau mengusik laki-laki itu? Dia rasa, sebaliknya. Rafael sendiri yang memulainya. Kiana kembali termenung sambil menatap pemandangan luar. Mengetuk-ngetuk jarinya. Di sini, tidak ada sesuatu yang bisa dia mainkan. Ruangan tempatnya dirawat juga terlalu kosong. Lemarinya hanya berisi pakaian yang sama, seolah dia tidak pernah ganti. Ponsel miliknya pun tidak ada, apalagi TV. Alat-alat tulis atau hal lainnya. Warna putih seolah menjadi ciri khas identik yang Kiana lihat di sana. Meski ruangannya yang kebetulan berada di mana arah matahari terbit, membuatnya sedikit hidup tidak terlalu suram dan hangat saat siang. Hingga di tengah lamunannya itu, sebuah ketukan pintu terdengar, mengalihkan perhatian Kiana yang asyik menonton keadaan luar. Rupanya, dua orang perawat datang membawa makan siang untuknya. Tampak keduanya berjalan takut-takut. Mungkin mereka masih ngeri dengan kejadian dulu, saat Kiana menyerang salah satu perawat. Kalau dia tidak salah dengar, perawat itu sampai mengundurkan diri. "Apa itu makan siang untukku?" tanya Kiana sembari berjalan mendekat. "Iya, makanlah. Kami harus segera kembali. Dokter Rafael juga menitipkan obat," jawab salah satu dari mereka saat Kiana berada di depannya. 'Dokter sialan itu?' gumam Kiana, namun pertanyaannya itu tidak dia suarakan. "Oh, apa tidak ada perintah lain? Kapan aku bisa keluar? Maksudku, aku ingin seperti mereka. Keluar dari ruangan ini!" Kiana melirik ke arah jendela, di mana masih terlihat sekumpulan pasien lain yang bermain. Tampak setelah mendengar pertanyaan Kiana, kedua perawat itu terdiam beberapa saat, sebelum kemudian saling berpandangan. Mereka seolah mendiskusikan sesuatu. "Kami tidak tahu. Semua itu keputusan atasan kami. Kami permisi." Kedua orang itu buru-buru keluar dan mengunci pintu Kiana dari luar tanpa Kiana sempat bertanya lebih lanjut. Dia mendengkus kesal. Mengepalkan tangannya sembari mengumpat. Memangnya siapa atasan mereka itu? Apa ada yang salah dengannya hingga dia mendapat diskriminasi seperti ini! BERENGSEK! Kiana benar-benar dipenjara! Apa bedanya berada di balik jeruji besi dengan berada di kamar dan tidur di atas kasur, jika sama-sama tidak memiliki izin untuk keluar? Apalagi dia diberi obat yang entah apa fungsi dan kegunaannya. Kiana segera berjalan dan mengambil beberapa bungkus obat yang dibawakan perawat tadi. Menatap, lalu meremasnya dengan kuat dan langsung menginjaknya. Kiana tidak akan memakannya. Dia tidak perlu obat. *** "Hei, kau lihat wanita itu? Dia sexy, Raf. Sepertinya, dia juga menyukaimu," celetuk Ken saat melihat seorang wanita tampak mencuri-curi pandang ke arah mereka. Lebih tepatnya, ke arah di mana Rafael dengan santainya meminum coffee miliknya, namun sang empunya justru tampak acuh. Rafael tak begitu memedulikan perkataan Ken. Jas putih yang sudah tanggal dari tubuhnya, menyisakan kemeja hitam polos yang tampak membentuk tubuh kekar Rafael. Rambut hitamnya yang tersisir rapi, juga menambah kesan baik pada setiap orang yang melihatnya pertama kali. Garis wajah aristokrat-nya juga membuat Rafael terlihat sangat manly. "Raf, dia terus melihatmu. Kau tidak ingin mendekatinya?" tanya Ken lagi. Dia terus mengganggu Rafael, sampai terdengar geraman suara penuh kekesalan dari laki-laki itu. "Berhenti mengoceh dan diamlah!" Seandainya saja, seandainya kakeknya tidak mendatangi rumah sambil membawa calon istri untuknya, Rafael tidak akan mau pergi ke kafe bersama Ken. Dia akan lebih senang merebahkan tubuhnya setelah rasa lelah merongrongnya seharian ini. Dari pada mendengar perkataan tidak bermutu temannya. Sayangnya, semua itu hanya bayangan. Si kakek tua itu malah semakin berani mengaturnya dan kembali menjodoh-jodohkan dia. Hal tersebut tentu adalah sesuatu yang paling dia tidak sukai. Rafael sangat tidak suka saat Guzman ikut campur dalam masalah pribadi. Kurang tegas apalagi penolakan yang dia lakukan selama ini? "Seminggu ini, sepertinya kau sedang dalam masalah. Selalu saja memarahiku." Rafael langsung memutar bola matanya malas. Dia tidak merasa perlu untuk menanggapi perkataan itu. Rafael malah memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menatap keadaan kafe yang terlihat lebih ramai dari biasanya. Wajar saja, mengingat besok adalah weekend. Banyak pasangan muda-mudi yang menghabiskan waktu bersama. Namun, di saat Rafael sibuk mengedarkan pandangannya, tanpa sengaja matanya berhenti di satu titik. Di arah di mana seorang pelayan pria tampak berdiri sembari memegang papan menu pada pelanggan. Matanya sontak memicing melihat laki-laki itu. Posisinya yang saat itu tengah menyamping, membuat Rafael hanya bisa menatap punggungnya, tapi sepertinya, dia mengenali laki-laki tersebut. Hingga akhirnya, Rafael bisa melihat wajah pelayan itu dengan jelas saat berbalik. Itu, adalah laki-laki yang sama dengan laki-laki yang sering mendatangi Kiana. Laki-laki yang berniat melakukan hal tak senonoh di ruang rawat, jika dia tidak segera datang dan menghentikan mereka. Rafael tidak sengaja melihatnya saat sedang memeriksa ruang pantau CCTV. "Lho, itu 'kan Andrew? Sedang apa dia di sini?" Rafael yang mendengar celetukan Ken, spontan menatap temannya. Rupanya, laki-laki itu juga memerhatikan orang yang dia lihat. "Kau mengenalnya?" "Tidak, kami hanya pernah berbincang sebentar tentang Kiana. Waktu itu, dia sempat mengancam karena pihak rumah sakit memborgol temannya dan tidak membiarkan dia menemui wanita itu," jawab Ken dengan jujur. Alis Rafael spontan mengernyit. Dia tertarik dengan penuturan laki-laki itu. Rafael memang tidak begitu mengenal siapa Andrew. Teman katanya? Dia rasa, hubungan mereka lebih dari itu. "Kau tidak mengatakan semuanya, 'kan? Tentang kondisi wanita itu?" "Tidak, aku hanya menjelaskan kalau pasienmu sempat beberapa kali membuat masalah," ucap Ken dengan wajah berpikir. Mengingat-ingat kejadian waktu itu. Sementara Rafael terdiam sambil terus memerhatikan Andrew yang tampak berjalan ke sana-kemari, mencatat pesanan. "Sebenarnya ada apa? Apa laki-laki itu membuat masalah?" Rafael tanpa ragu langsung menggeleng. Mereka memang tidak bermasalah, tapi .... Ingatan Rafael berputar pada kejadian saat dia melihat Kiana dan Andrew berciuman. Meski Ken mengatakan kalau mereka teman, tapi jelas rasanya terlalu tidak mungkin. Dia merasakan ada berbagai macam kemungkinan. "Laki-laki itu mencurigakan.""Dia membuang semua obat?" tanya Rafael saat dia mendapat laporan dari seorang perawat, yang memberitahunya kalau perawat itu menemukan sebungkus obat yang masih utuh tergeletak di lantai kamar Kiana. "Benar, Dok." "Kenapa bisa terjadi? Kau tidak mengawasinya?" Rafael mengetatkan rahangnya. Menatap tajam perawat wanita yang tampak sedikit bergetar takut. Dia menganggap kalau perawat itu lalai dalam pekerjaannya dan itu artinya, Kiana tidak meminum apa pun selama ini? Shit! Rafael berusaha meredam kekesalannya dengan menutup mata. Membiarkan perawat wanita itu terdiam beberapa saat sampai dengan sedikit terbata-bata, perawat itu menjawab, "Maafkan kami, semua itu kesalahan kami." Sekali lagi, Rafael menghela napas kasar. Dia lantas mengusir perawat itu pergi dari ruangannya
Akhirnya, karena berbagai pertimbangan dan melihat kondisi Kiana yang tampak begitu frustasi berada terus-menerus di dalam ruangan, pihak rumah sakit mengizinkannya untuk keluar. Membiarkan Kiana mengikuti kegiatan seperti pasien lainnya. Senang? Ya, Kiana sangat senang. Akhirnya, setelah terkurung berminggu-minggu, dia bisa menghirup udara segar. Duduk di bawah rindangnya pohon setelah selesai melakukan kerja bakti, membersihkan halaman. Bersama-sama dengan para perawat dan pasien lainnya. Kiana dengan pelan, merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau yang biasa hanya bisa dia pandangi dari balik jendela. Mengabaikan pasien lain dan menatap langit biru yang cerah. Tersenyum lebar sambil memejamkan mata. Dari sana, dia bisa melihat bangunan rumah sakit yang begitu besar. Pagar-pagar kokoh yang menjulang tinggi. Ternyata, rumah sakit jiwa tempatnya
"Siapa wanita tua yang kau ajak bicara waktu itu?" tanya Kiana tanpa basa-basi saat Rafael memberikannya waktu untuk bicara. Sepuluh menit. Laki-laki itu mengizinkannya dan mengajak Kiana ke tempat yang lebih sepi. Di dekat sebuah pohon rindang yang cukup jauh dari posisi pasien lain. "Maksudmu? Apa kau meminta waktuku hanya untuk bertanya hal tak penting?" Ada nada kesal dalam suara Rafael. Kedua alisnya mengernyit, dia sangat amat tidak senang dengan pertanyaan Kiana. Jelas, karena Rafael tahu siapa orang yang dimaksud. Sementara Kiana malah menyelipkan helaian rambutnya ke telinga dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia merasa sedikit terintimidasi dengan tatapan tajam Jonathan. Ekspresi laki-laki itu bahkan terlihat marah. Memangnya apa yang salah dengan pertanyaannya? Dia hanya bertanya karena penasaran. Kiana hanya merasa aneh saat melihat sikap Rafael yang begitu baik pa
Rafael membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya yang telanjang. Otot-otot yang selama ini tertutup, terlihat. Begitu mengkilap oleh sabun dan busa yang mengelilinginya. Menggoda setiap mata untuk menyentuhnya. Siapa pun wanita yang melihatnya, pasti menginginkan Rafael menjadi teman tidur satu malamnya. Namun hal itu bagai sesuatu yang amat mustahil, Rafael tidak pernah tertarik dengan wanita. Bukan tidak, mungkin belum. "Ahh, shit!" umpat Rafael saat ingatannya kembali berputar pada kejadian tadi, ketika Kiana menggodanya di halaman belakang. Rafael jelas masih bisa merasakan tangan-tangan itu menyentuh tubuhnya. Tindakan Kiana yang kurang ajar bahkan disalahpahami oleh rekan dokternya yang lain. Rafael harap, masalah ini tidak sampai terdengar ke telinga kakeknya. Akan sangat gawat jika itu terjadi. Memikirkan hal itu, membuat Rafael kesal bukan main. Dia benar-benar marah, hingga
Brakkk .... Suara pintu didobrak kencang, mengagetkan Kiana dan Ken yang sedang sibuk dengan makanannya. Keduanya hampir melompat dari tempat mereka duduk saat melihat seseorang berdiri dengan tegap di ambang pintu. Laki-laki yang menyorot tajam ke arah Ken, saat sedang sibuk membersihkan wajahnya karena semburan Kiana tadi. "Mana makananku?" tanyanya, tanpa menatap Kiana yang duduk di samping Ken. Entah menyadari atau tidak, matanya terus tertuju hanya ke arah Ken saja. "Ah, Raf, kau datang? Duduklah, di sini kita makan bersama," ajak Ken sambil melambaikan tangannya, meminta orang yang ternyata adalah Rafael. Sayangnya, laki-laki itu hanya menatap Ken dengan mata memicing, tanpa beranjak satu langkah pun mendekat ke arah keduanya. Lalu beralih ke arah Kiana yang duduk di samping temannya. Sejak kapan Ken menja
"Akhh ... lebih cepat, Ndrew." Kiana mencengkeram erat punggung kokoh Andrew. Meringis menerima hujaman di bawah sana, saat Andrew bergerak dan mengisi kekosongannya selama ini. Seragam pasiennya basah oleh keringat dan sangat berantakan. Beberapa kancing depannya sudah berhamburan karena Andrew menariknya terlalu kencang, namun Kiana memilih tak peduli. Dia mencari kepuasan dengan kehadiran Andrew di sana. Sama halnya dengan Kiana, Andrew juga memilih tidak peduli. Dia tak lagi memikirkan di mana mereka berada saat ini dan hal tak pantas macam apa yang tengah diperbuatnya. Rasa nikmat karena kembali merasakan kehangatan Kiana, membuat Andrew lupa diri. "Kauhh sangatthh cantik, Kia ...." Tangan besarnya menyeka peluh dari wanita yang berbaring di bawahnya, tanpa sedikit pun mengurangi tempo gerakan yang justru semakin lama semakin liar. Lenguhan dan e
"MATI KAU ANAK DURHAKA!" Seorang wanita berpenampilan menakutkan perlahan mendekati Kiana. Darah tampak merembes di bagian perut dengan sorot mata penuh kebencian. Tubuh Kiana langsung bergetar takut dan mengkerut menjauh. Memeluk tubuhnya sampai saat tangan wanita itu terulur hendak menyentuhnya. "TIDAKKKK!!" Suara teriakan penuh ketakutan itu membangunkan Kiana yang tengah terlelap dalam tidurnya. Matanya seketika terbuka dalam kondisi melotot kaget. Menatap ke segala sudut kamar yang dingin dan hening. Deru napasnya terdengar keras. Jantungnya pun berdegup kencang seolah baru saja lari maraton. Terjadi lagi. "Apa? Mimpi?" gumamnya ketika Kiana tidak mendapati seorang pun di ruangan itu selain dirinya. Hanya matahari pagi yang menyorot melewati jendela kamar. Bagaimana bisa? Kiana benar-benar berpikir kalau semua itu nyata. Mamanya ada di sana dan menuntut balas dend
"Rafael, kenalkan, dia Mili," ucap Guzman pada sang cucu seraya memperkenalkan seorang wanita cantik dengan pakaian glamornya. Tersenyum anggun saat matanya saling bertatapan dengan Rafael. Mili tampak tersipu dan tertarik ketika melihat penampilan Rafael yang mengenakan kemeja biru tua dan rambut hitam yang tampak acak-acakan. Kesan seksi dan nakal terpancar jelas, terlebih saat kemeja itu membungkus tubuh Rafael begitu ketat, memperlihatkan otot-otot lengan dan perutnya. "Salam kenal, aku Mili." Sambil tersenyum, Mili menyodorkan tangannya pada Rafael. Bermaksud untuk bersalaman, namun Rafael dengan tatapan datarnya, hanya menatap tajam Mili tanpa mau menyambutnya. Mendengkus, lalu mengalihkan perhatiannya ke arah Guzman. "Kau menyuruhku datang hanya untuk ini? Membuang-buang waktu saja," ucap Rafael dengan kesal, dia bangkit dan berniat meninggalkan rumah kakeknya. "Rafael, yang sopan! Duduk kembali
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal