Mata yang tadi terpejam itu, perlahan mulai terbuka. Berkedip menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Suara lenguhan terdengar sangat lirih saat rasa sakit di kepala menghantamnya. Memaksanya untuk bangun seketika, hingga saat matanya terbuka secara penuh, tatapan pertama matanya langsung jatuh pada seorang laki-laki yang berada di sisi kanannya. Dia adalah Rafael.
Melihat kehadiran orang tersebut, dahinya sontak berkerut dalam. Masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi? Tak hanya sampai sana, dia juga menyadari sesuatu. Menyadari saat tangannya dipasangi sebuah infus dan dia berada di ruangan yang berbeda dari sebelumnya.
Tergugu di tempat, hanya itu yang terjadi padanya. Sampai akhirnya, laki-laki yang dia lihat pertama kali mulai membuka suara.
"Percobaan bunuh diri. Apa yang ada dalam pikiran dangkalmu? Kaupikir, semua akan selesai saat kau mati?" Ucapan bernada dingin dan sarkas itu terlontar dari mulut Rafael. Dia sudah tidak bisa lagi menahan mulutnya yang gatal untuk merutuki kebodohan Kiana. Wanita yang kini tampak tertegun dengan mata yang nyaris melotot.
Sebuah ingatan berputar di dalam kepalanya. Membuat Kiana mengingat saat dirinya menyayat urat nadi di pergelangan tangan sebagai upaya bunuh diri. Dia kira, semua usahanya berhasil, tapi sepertinya, dia salah besar. Kiana tidak mati, dia masih hidup.
Sadar dengan keadaannya, Kiana hanya bisa menatap Rafael dengan tatapan tak suka. Menyangka, jika laki-laki itu yang menyelamatkan nyawanya sebelum dia mati. "Kenapa? Kenapa aku di sini? Kenapa kau tidak biarkan aku mati?"
"Apa kau mengalami halusinasi? Apa yang kau rasakan saat menyayat nadimu sendiri?" Rafael tidak menjawab rasa penasaran Kiana, dia hanya tertarik dengan sesuatu yang melatarbelakangi wanita itu memutuskan bunuh diri. Meski sebenarnya, sudah jelas dan bisa tertebak, kalau Kiana begitu depresi ketika menyadari dirinya harus tinggal di dalam rumah sakit jiwa.
"Tidak ada gunanya aku hidup, lalu kenapa aku tidak boleh mati?" Kiana menatap Rafael dengan tatapan sengit. Dia masih sedikit kesal dengan laki-laki itu. Tentunya, setelah Rafael memvonisnya gila dan memberinya obat kemarin.
Entahlah, apa ini hanya pikirannya yang negatif atau memang Kiana merasa ada yang tidak beres dengan obat yang diberikan Rafael beberapa hari lalu. Sayangnya, Kiana tidak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan. Dia hanya merasa aneh."Sebaiknya kau minum obat, aku akan mengatur jadwal untuk pemeriksaanmu nanti" ucap Rafael yang tak mau lagi menanggapi perkataan Kiana. Hingga dia kembali mengeluarkan obat yang diberikannya pada Kiana beberapa waktu lalu.
Sayangnya, Kiana yang terlalu curiga hanya menatap obat itu dengan datar. Menepis tangan Rafael hingga menyebabkan obat tersebut jatuh. "Aku tidak butuh. Aku sehat! Aku tidak butuh obat! Jangan anggap aku gila! Kau harusnya tahu, kalau aku ini sehat! S-E-H-A-T!"
"Tidak ada orang sakit yang mau mengakui dirinya sakit. Mereka akan menganggap dirinya baik-baik saja. Satu-satunya cara agar kau bisa lepas dari sini, kau harus sembuh dan rutin meminum obat," ujar Rafael, membujuk Kiana agar menurut padanya.
"Aku tidak percaya! Kau berbohong. Kau salah kalau berpikir aku mudah dibodohi," sentak Kiana dengan emosi.
Rafael yang melihat sikap keras kepala Kiana harus menahan emosinya berkali-kali. Berusaha untuk sabar dan tidak terbawa emosi yang bisa saja membuat masalah berbuntut panjang. "Aku tidak memintamu untuk percaya. Kau seorang pasien di sini, dan tugasku adalah menyembuhkanmu. Jadi, cepat minum."
Baru saja Rafael akan memberikan obat lainnya untuk Kiana, tiba-tiba seorang perawat masuk ke dalam ruangan. Menginterupsi percakapan antara Kiana dan Rafael. Dia dengan cepat menghampiri Rafael dan membisikkan sesuatu padanya, membuat Rafael mengangguk paham.
"Baiklah, aku akan pergi. Kau, tolong awasi dia, jangan sampai dia kembali melakukan hal bodoh. Kau boleh membiusnya kalau dia kembali mengamuk," pesan Rafael sambil melirik ke arah Kiana yang memasang wajah masam dan kesal. Sindiran yang jelas-jelas ditujukan untuknya.
Tepat setelah mengucapkan kalimat itu, Rafael lantas berlalu meninggalkan Kiana tanpa sempat memberikan wanita itu obat. Ada urusan mendesak yang harus segera dia selesaikan.
"Pergi, aku ingin sendiri," usir Kiana yang merasa tak nyaman saat harus bersama perawat itu, namun perawat tersebut hanya diam seolah tak mendengar perkataan Kiana. Duduk di sebuah kursi tak jauh dari posisi Kiana berada.
Reaksi tersebut, tentu membuat Kiana sedikit jengkel. Dia menatap perawat dengan tatapan tajam, sampai suara gaduh tiba-tiba terdengar dari arah luar. Mengalihkan perhatian Kiana saat suara teriakan seseorang memanggil namanya.
"Andrew?" Binar cerah, terlihat di matanya saat Kiana mendengar suara Andrew. Laki-laki itu ada di sini. Dia ada untuk menjemputnya. Perasaan senang tak lagi terhindarkan, membuat Kiana yang antusias, berusaha melepas infus dan turun dari ranjang tempatnya dibaringkan.
Sontak saja, tindakannya membuat perawat yang sejak tadi ditugaskan mengawasi Kiana, perlahan berjalan mendekat dan mencegah Kiana yang turun dari ranjang. Tentu saja yang terjadi selanjutnya adalah perseteruan. Kiana dengan tubuhnya yang masih lemah karena kekurangan darah, berusaha membebaskan diri dengan mendorong perawat wanita yang memegangi kedua tangannya.
"Lepas! Aku ingin menemui temanku! Aku ingin bertemu dengannya!"
"Anda masih sakit dan harus tetap berada di sini."
"Dia temanku! Aku ingin bertemu dengannya! Kenapa kalian melarangku? Aku ingin melihatnya." Kiana terus memberontak. Dia juga bisa mendengar perdebatan antara Andrew di luar ruangan. Semua perawat dan dokter di sini, pasti mencegah pertemuan mereka.
"ANDREW! TOLONG AKU! MEREKA MENGURUNGKU! TOLONG AKU!"
Kiana yang tidak bisa diam dan terus bergerak, menyebabkan perawat tadi terdorong dan selang infus terlepas. Menyebabkan darah keluar dari kulitnya yang tak sempat tertutup. Membasahi lantai keramik putih dengan darahnya, namun, Kiana tetaplah Kiana, meski rasa sakit itu mengganggunya, tapi dia sama sekali tidak peduli. Kiana dengan gilanya malah berlari ke luar dan mencari keberadaan Andrew. Mendapati punggung laki-laki yang dibawa menjauh.
"ANDREW!" Seruan itu akhirnya berhasil membuat Andrew berbalik.
"Kiana?"Andrew yang berusaha dibawa paksa untuk kembali, oleh beberapa orang karena menerobos masuk mencari Kiana, kini terdiam dan tanpa basa-basi melepaskan dirinya begitu saja. Berjalan menghampiri Kiana yang berdiri dalam kondisi lemah dan pakaian pasien. Darah segar terlihat mengalir dari tangannya.
Untuk beberapa saat, Andrew seolah tercengang. Dia tak percaya melihat wajah pucat dan pakaian Kiana yang terlihat sedikit berdarah. Wanita itu juga seolah tak bernyawa. Sangat amat berbeda seperti Kiana yang dia kenal selama ini. Apa yang terjadi? Padahal Andrew tahu, belum lama Kiana tinggal di rumah sakit jiwa itu, tapi kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.
"Kia, aku sangat merindukanmu." Baru saja dia akan memeluk Kiana, sebuah tarikan tiba-tiba terasa dari arah belakang. Kedua petugas keamanan menjauhkan Andrew dari Kiana.
"Maaf, Pak, Anda tidak boleh menemuinya. Pasien ini sangat berbahaya," ungkap salah seorang dari mereka, namun bukannya menurut, Andrew justru marah mendengarnya.
"Apa? Berbahaya? Mana mungkin! Dia temanku! Aku tahu dia tidak akan melukaiku! Berani sekali kau mengatakan itu! Apa kalian sengaja merahasiakan semua ini, dengan meradang semua orang yang ingin melihatnya? Bagaimana bisa kalian membiarkan temanku dalam kondisi seperti ini?"
Kiana hanya tertegun melihat kemarahan yang Andrew tunjukkan pada para petugas keamanan. Dia bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau petugas itu langsung tertunduk takut melihat tatapan tajam yang Andrew perlihatkan.
Laki-laki yang sejak dulu Kiana abaikan. Bahkan manfaatkan untuk mendapatkan cinta dari laki-laki yang tak lain adalah kakak dari Andrew, tapi kini, Andrew adalah orang satu-satunya yang datang dan melihatnya. Matanya sontak saja berkaca-kaca.
"Kalian sangat tidak becus! Aku bisa melaporkan masalah ini!" tambah Andrew lagi sambil mengelus rambut Kiana dengan sayang.
"Kau tidak bisa melaporkannya. Ini kesalahan temanmu, dia yang melakukan percobaan bunuh diri," ucap seseorang yang tiba-tiba datang, menyela percakapan antara Andrew dan penjaga. Hingga dengan lirikan mata, dia mengusir para penjaga itu dan membiarkan mereka bertiga di sana.
"Apa maksudmu?" tanya Andrew kebingungan. Sementara Kiana hanya diam dan memegangi tangan Andrew dengan sangat erat.
"Ah, maaf, saya belum memperkenalkan diri. Perkenalkan, saya Ken, doker yang menangani teman Anda. Seperti yang saya katakan sebelumnya, teman Anda melakukan percobaan bunuh diri. Bukan hanya itu, dia juga hampir mencelakai seorang perawat kami. Jadi, Anda tidak bisa menuntut kami sembarangan. Kami sudah menjalankan tugas sesuai prosedur. Kalau Anda masih memiliki pertanyaan mengenai kondisi teman Anda, saya bisa menjelaskan, tapi saya tidak menyarankan untuk pasien berada dalam kondisi seperti ini tanpa perawatan."
Tatapan sang dokter tertuju pada wajah Kiana yang semakin pucat dengan darah yang lagi-lagi keluar dan Andrew jelas memahami perkataan sang dokter. Dia terdiam beberapa saat dan memikirkan perkataan dokter Ken. Namun tidak dengan Kiana yang menganggap hal itu sebagai sesuatu yang buruk.
"Tidak, aku mau bersamamu, Andrew. Jangan pergi, jangan tinggalkan aku."
Cengkeraman tangannya semakin kuat, membuat Andrew yang melihatnya sedikit prihatin. "Kamu harus istirahat, Kia. Aku janji, aku akan menemuimu setelah bicara sebentar dengan dokter Ken."
Sayangnya, Kiana yang mendapat jawaban seperti itu, langsung berteriak histeris dan nyaris menyerang Andrew jika dokter Ken tidak segera menyuntikkan obat bius untuk Kiana, sampai akhirnya wanita itu langsung jatuh pingsan.
"KIANA!"
"Rafael, Kakek harap kamu segera keluar dari rumah sakit itu dan bantu Kakek mengurus perusahan. Kau tahu, 'kan, Kakek sudah sangat tua dan tidak ada lagi yang bisa mengurusnya selain kamu," ucap seorang pria paruh baya yang berusia sekitar delapan puluh tahunan. Menatap cucunya yang tampak selalu memasang wajah enggan. Mereka tengah duduk saling berhadapan di ruang tengah, namun tidak ada satu pun makanan atau minuman yang tersaji di meja. Atmosfer yang mengelilingi mereka juga terasa dingin. Tatapan tajam bak sinar laser tampak menyorot pria tua berkemeja rapi dengan dasi di lehernya. Semua rambutnya tampak beruban, tak menyisakan satu pun yang berwarna hitam. Dialah Guzman, kakek kandung dari Rafael sekaligus pemilik dari rumah sakit jiwa yang Rafael urus. "Aku tidak bisa. Suruh saja Om Mario untuk mengurusnya," balas Rafael dengan nada acuh. Bersandar dan melepas jas putih yang selalu m
Kiana menatap Andrew dengan senyum manisnya. Menggenggam tangan hangat itu dan menciumnya. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah satu minggu lebih berdiam diri di rumah sakit jiwa, akhirnya sekarang Kiana bisa melihat seseorang yang dia kenal, temannya. "Andrew, maafkan aku. Maaf aku membohongimu selama ini, aku hanya memanfaatkanmu," ucap Kiana dengan nada lirih. Tenggorokannya terasa tercekat oleh sesuatu, membuat Kiana sulit menjelaskan, betapa dia amat sangat bersalah pada laki-laki itu. Rasa malu dan penyesalan yang harusnya dia rasakan dulu, kini malah dia rasakan sekarang. "Aku menipumu. Apa kamu membenciku?" Tatapan Kiana terlihat serius, namun terlihat ada ketakutan dalam sorot matanya. Dia takut, jika Andrew akan kecewa dan meninggalkannya sendiri. Sungguh, seumpamanya itu terjadi, dia akan benar-benar sendiri. Kiana akan hidup sendiri, tanpa orang-orang yang menemani dan
Pemandangan taman yang dipenuhi oleh bunga dan rumput hijau, juga pepohonan yang cukup tinggi menjadi satu-satunya pemandangan luar biasa bagi Kiana yang kini masih terjebak di ruangannya. Ruangan yang pertama kali dia tempati. Mereka sudah memindahkannya kembali ke ruangan asalnya. Semua itu karena beberapa hari ini, kondisi tubuh Kiana sudah jauh lebih baik dan yang paling penting dari semua itu adalah saat dirinya kini tak lagi diborgol. Dia dibebaskan. Tentu apa yang Kiana rasakan sekarang, tak terlepas dari hasil protes Andrew beberapa hari lalu yang meminta untuk jangan memborgol atau laki-laki itu akan melaporkan masalah ini. Alhasil, mereka pun setuju. Hal itu juga diizinkan saat melihat Kiana tidak lagi menyerang siapa pun beberapa hari terakhir selama dirawat. Menurut dan meminum obat sesuai anjuran dokter. Meski saat ini, mulutnya justru lebih sering terkunci rapat. Tidak lagi be
"Katakan, apa yang kau alami dan rasakan sebelumnya. Apa kau memiliki trauma?" Rafael menatap Kiana yang duduk di hadapannya dengan tidak nyaman. Semua terlihat dari tatapan Kiana yang seperti enggan melihatnya. Wanita itu berkali-kali menatap pintu keluar dan menatapnya takut. Saat ini, mereka tengah menjalankan sesi psikoterapi untuk Kiana, berdua di ruang kerja Rafael dengan sebuah meja yang menjadi pembatas. Rafael perlu memeriksa kondisi mental wanita itu untuk catatan medis. Apakah Kiana sudah baik-baik saja atau tidak. "Apa itu penting? Tidak ada yang perlu kejelaskan lagi, kau sudah tahu semuanya." Meski tatapannya terlihat enggan dan tak nyaman, namun Kiana masih tetap bisa membantah. Dia tidak bisa lagi percaya pada Rafael setelah laki-laki itu mengatakan kalau dia memiliki gangguan mental. Kiana merasa, dia akan dalam masalah jika mengataka
"Raf, kau kenapa? Kenapa menutup mulutnya seperti itu?" tanya dokter Ken yang baru saja masuk ke ruangan Rafael. Dia sedang bersantai saat tugasnya sudah selesai. Niatnya datang untuk mengajak Rafael makan. Memang, mereka berdua cukup dekat dari kuliah. Sudah hal biasa bagi Ken dan Rafael makan bersama. Meski ada beberapa yang menganggap kedekatan mereka seperti ada sesuatu. Mengingat kalau keduanya tidak pernah terlihat memiliki pasangan, tapi tentu saja itu tidak benar. Tanpa disuruh dan diizinkan sang pemilik ruangan, Ken dengan santainya duduk tepat di hadapan Rafael. Tempat yang tadi Kiana tempati. Menatap rekan kerja sekaligus temannya dengan tatapan seperti sedikit heran. "Bukan apa-apa. Ada apa ke sini?" tanya Rafael tanpa menurunkan tangannya dari mulut. Dia terus menutupinya seolah tidak mau Ken melihat kondisinya.
Lagi-lagi, Kiana terbangun di tempat yang sama, ranjang yang sama dan suasana yang sama. Meski sudah hampir dua minggu berada di dalam rumah sakit jiwa itu, tapi dia masih belum terbiasa. Semuanya terasa sangat asing, membuatnya begitu merindukan rumah. Tentu saja semua itu hanya angan belaka. Hal yang sulit untuk menjadi nyata. Meski beberapa hari terakhir, seperti ucapannya, Andrew selalu datang untuk menjenguknya. Laki-laki itu selalu bercerita tentang kehidupan yang akan mereka jalani nantinya. Senang? Entahlah, seperti biasa, Kiana hanya bisa terdiam mendengarnya. Dia juga berharap seperti itu, tapi bahkan untuk keluar dari ruangan ini pun terasa sangat sulit. Dia hanya diizinkan keluar jika dokter memanggilnya. Satu hal yang bisa Kiana lakukan hanya menatap para pasien lain dari balik jendela. Entahlah, itu terasa seperti kebiasaannya untuk saat ini. Bukan. Bukan Kiana mulai menerima
"Dia membuang semua obat?" tanya Rafael saat dia mendapat laporan dari seorang perawat, yang memberitahunya kalau perawat itu menemukan sebungkus obat yang masih utuh tergeletak di lantai kamar Kiana. "Benar, Dok." "Kenapa bisa terjadi? Kau tidak mengawasinya?" Rafael mengetatkan rahangnya. Menatap tajam perawat wanita yang tampak sedikit bergetar takut. Dia menganggap kalau perawat itu lalai dalam pekerjaannya dan itu artinya, Kiana tidak meminum apa pun selama ini? Shit! Rafael berusaha meredam kekesalannya dengan menutup mata. Membiarkan perawat wanita itu terdiam beberapa saat sampai dengan sedikit terbata-bata, perawat itu menjawab, "Maafkan kami, semua itu kesalahan kami." Sekali lagi, Rafael menghela napas kasar. Dia lantas mengusir perawat itu pergi dari ruangannya
Akhirnya, karena berbagai pertimbangan dan melihat kondisi Kiana yang tampak begitu frustasi berada terus-menerus di dalam ruangan, pihak rumah sakit mengizinkannya untuk keluar. Membiarkan Kiana mengikuti kegiatan seperti pasien lainnya. Senang? Ya, Kiana sangat senang. Akhirnya, setelah terkurung berminggu-minggu, dia bisa menghirup udara segar. Duduk di bawah rindangnya pohon setelah selesai melakukan kerja bakti, membersihkan halaman. Bersama-sama dengan para perawat dan pasien lainnya. Kiana dengan pelan, merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau yang biasa hanya bisa dia pandangi dari balik jendela. Mengabaikan pasien lain dan menatap langit biru yang cerah. Tersenyum lebar sambil memejamkan mata. Dari sana, dia bisa melihat bangunan rumah sakit yang begitu besar. Pagar-pagar kokoh yang menjulang tinggi. Ternyata, rumah sakit jiwa tempatnya
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal