Kiana menatap Andrew dengan senyum manisnya. Menggenggam tangan hangat itu dan menciumnya. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah satu minggu lebih berdiam diri di rumah sakit jiwa, akhirnya sekarang Kiana bisa melihat seseorang yang dia kenal, temannya.
"Andrew, maafkan aku. Maaf aku membohongimu selama ini, aku hanya memanfaatkanmu," ucap Kiana dengan nada lirih. Tenggorokannya terasa tercekat oleh sesuatu, membuat Kiana sulit menjelaskan, betapa dia amat sangat bersalah pada laki-laki itu. Rasa malu dan penyesalan yang harusnya dia rasakan dulu, kini malah dia rasakan sekarang. "Aku menipumu. Apa kamu membenciku?" Tatapan Kiana terlihat serius, namun terlihat ada ketakutan dalam sorot matanya. Dia takut, jika Andrew akan kecewa dan meninggalkannya sendiri. Sungguh, seumpamanya itu terjadi, dia akan benar-benar sendiri. Kiana akan hidup sendiri, tanpa orang-orang yang menemani dan menjadi sandaran untuknya ketika lelah. Hanya dengan memikirkannya saja, itu sudah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan, apalagi jika terjadi? Hanya Andrew satu-satunya orang yang Kiana miliki saat ini. Dia berharap laki-laki itu mau memaafkannya. “Aku marah dan kecewa, tapi aku tidak bisa membencimu, Kia. Aku sangat mencintaimu dan kau tahu semua itu,” lirih Andrew sambil menyentuh rambut cokelat Kiana yang terurai, terlihat sedikit lusuh. Mungkin karena Kiana tidak beranjak dari ranjang sedikit pun. Setelah sempat membuat kehebohan dan dibuat pingsan kemarin, Kiana harus kembali dipasangi infus. Dia masih berada di kamar rawat, bukan kamar bak penjara dengan kedua kaki dan tangan yang terikat. Seperti kata dokter Ken kemarin, kondisi Kiana masih memprihatinkan. Andrew bisa melihat perbedaan mendasar dengan Kiana yang dia kenal dulu dan sekarang. Entah hanya perasaannya saja atau memang, di sini Kiana seperti tidak terurus, membuat perasaan ingin melindunginya kembali muncul. Andai saja dia bisa melakukan sesuatu untuk Kiana. Sungguh, sampai kapan pun, Andrew tidak mungkin bisa membenci Kiana. Dia terlalu mencintai wanita itu lebih dari apa pun. Meski rasanya sakit. Meski dia telah dikhianati dan bahkan tidak pernah Kiana cintai. Andrew bahkan tidak memedulikan perkataan kakaknya yang menyuruh dia untuk mencari wanita lain. Kiana adalah cintanya dan tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi itu. Andrew yakin, apa yang dia rasakan tidak sebanding dengan penderitaan yang Kiana alami. Penyiksaan. Andrew melihat langsung saat ibu Kiana menyiksanya. Seandainya dia memiliki bukti, Andrew akan membela Kiana dari kasus pembunuhan itu. Dia tahu, kalau Kiana pasti hanya membela diri. Walaupun pada kenyataannya, kesalahan Kiana tak hanya itu, dan kakaknya pasti akan menentang keinginannya. "Apa itu benar? Kamu tidak membenciku?" Keraguan masih terlihat jelas di mata Kiana. Dia sedikit tak percaya, bagaimana mungkin Andrew mau memaafkannya dengan begitu mudah. "Kamu benar-benar memaafkanku?" "Aku memaafkanmu, karena aku mencintaimu. Semua orang pernah melakukan kesalahan, Kia dan akan selalu ada kesempatan bagi mereka yang mau berubah." Andrew berucap seraya membingkai wajah Kiana dan membuat wanita itu untuk menatapnya, sampai tanpa diduga, Andrew mendaratkan ciumannya di bibir Kiana. Bibir yang selama ini selalu dia rindukan, membuat perasaan sedih kembali menguasainya. Dia tidak bisa membayangkan betapa menderitanya Kiana di sini. Meski beruntung, wanita itu tidak merasakan dinginnya berada di balik jeruji besi, tapi, semua tetap memiliki risiko. Mental Kiana terganggu saat harus ada di sana. "Jadi, jangan lakukan itu. Jangan mencoba untuk bunuh diri lagi," ucap Andrew setelah melepas pagutan bibir mereka. Menyeka bibir Kiana dengan lembut dan hati-hati. "A-apa?" Mata Kiana tampak terbelalak mendengar perkataan Andrew. Bingung untuk beberapa saat, sebelum kemudian dia menyadari kalau kemarin, Andrew sempat berbincang dengan dokter yang menyuntikkannya obat bius. Jangan bilang, jika dokter itu mengatakan semuanya? "Jangan lakukan sesuatu yang bisa membuatmu dalam masalah. Tolong tahan emosimu." Tangan Andrew mengusap kerutan di wajah Kiana. Dia jelas khawatir bukan main saat dokter Ken menjelaskan apa yang terjadi sejak Kiana dibawa ke rumah sakit jiwa itu. Kejadian yang membuat Kiana terlihat berbahaya untuk orang lain. "Apa kamu tidak sadar, dengan kamu yang bersikap kasar dan berkali-kali menyakiti orang lain, mereka akan menganggapmu benar-benar gila, Kia." "Tapi ... mereka mengurungku, Andrew! Mereka mengikat kedua tangan dan kakiku! Tentu saja aku marah! Aku ini manusia dan ingin bebas. Aku bukan orang gila! Aku ingin pergi dari sini. Tolong, yakinkan mereka kalau aku tidak gila! Aku yakin kamu bisa melakukan sesuatu untukku, Andrew. Tolong bebaskan aku," ujar Kiana dengan air mata yang tampak menetes. Menatap Andrew penuh permohonan. Kiana sudah tidak peduli kalau seandainya Andrew berpikir dia adalah wanita tidak tahu diri, yang terus saja meminta bantuan setelah membuat laki-laki itu terlibat masalah karena ulahnya. Kenyataannya, saat ini dia memang membutuhkan bantuan laki-laki itu. Hanya Andrew satu-satunya harapan dia untuk melarikan diri dari sini. Sayangnya, harapan hanyalah harapan. Jawaban dari Andrew justru malah membuat tubuh Kiana semakin lemas. "Maaf, Kia, kali ini aku tidak bisa membantumu. Orang tuaku sedang menghukumku dan Kakakku, dia tidak melarangku untuk ikut campur masalahmu, tapi aku bisa berjanji satu hal padamu, aku akan sering-sering datang melihatmu ke sini." Andrew menatap Kiana dengan penuh rasa bersalah. Dia juga bersalah, dan kedua orang tuanya menjatuhkan hukuman untuknya. Hal yang memang pantas Andrew terima sejak dulu. Dia selalu menjadi anak pembangkang. Tak pernah absen dalam membuat masalah, apalagi untuk kakaknya, namun beruntungnya, kakaknya memberikan dia kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Tentu, Andrew ingin berubah menjadi lebih baik lagi dan melupakan masa lalu buruk yang sempat dia lakukan. Kesalahan-kesalahan yang fatal dan hampir saja dia menghancurkan sebuah keluarga hanya gara-gara cinta butanya. Andrew berharap, Kiana juga mau berubah dan mereka bisa hidup bahagia. Meski semuanya mungkin akan terasa sulit. "Ka-kamu tidak bisa me-membantuku? Lalu, kamu akan m-meninggalkanku sendiri di sini? Andrew, apa kamu tega? Kamu bilang, kamu mencintaiku! Kamu bilang, kamu akan melakukan apa pun! TAPI KENAPA KAMU MALAH TIDAK MAU MELAKUKANNYA! KENAPA!!! KAMU JAHAT ANDREW! KAMU JAHAT SEPERTI KAKAKMU!" Kiana langsung memukuli Andrew dan menangis histeris. Ketakutan dia akan tinggal selamanya di sini, terus membayanginya. Kiana tidak bisa melupakan kata-kata yang Rafael ucapkan waktu itu. Dia tidak bisa. "Kiana, Kiana, tenanglah. Kendalikan emosimu." Andrew berusaha menenangkan Kiana yang terus menerus memukuli bahunya. Wanita itu tampak ketakutan dan dia takut kalau tangis histeris Kiana membuat para perawat datang. "TIDAK! KAMU HARUS MENGELUARKANKU DULU DARI SINI!" Andrew menyugar rambut hitamnya dan menghela napas kasar, hingga dia tanpa basa-basi langsung memeluk Kiana dengan erat. Mengusap punggung wanita itu untuk menenangkannya. Membisikkan kata-kata yang seketika itu juga membuat Kiana terdiam. "Aku akan melakukannya, tapi aku mohon, jangan bertindak berlebihan. Kamu harus tenang, aku berjanji akan mengeluarkanmu dari sini. Jangan memancing perhatian orang lain, dan jangan bertindak gegabah." "Benarkah?" Mata Kiana kembali berbinar mendengar penuturan Andrew, hingga saat itu juga Andrew mengangguk. Membenarkan perkataannya. Rasa senang bukan kepalang hadir dalam hati Kiana. "Aku akan berusaha, tapi aku tidak tahu kapan aku bisa melakukannya. Aku mohon, jangan lakukan tindakan yang bisa membuatmu dalam masalah, mengerti?" Perkataan itu langsung dijawab anggukan kepala oleh Kiana. Dia tersenyum senang, hingga saking senangnya, Kiana menarik Andrew untuk kembali berciuman. Hanya itu yang bisa dia berikan sebagai rasa terima kasihnya. Andrew masih mau menerimanya. "Andrew, aku merindukanmu." Tangan kecil Kiana mengusap rahang kokoh Andrew. Menurun menyusuri leher hingga dada. Tatapannya sedikit bernafsu, menjelaskan jika wanita itu tengah bergairah, namun saat Kiana akan membuka kancing kemeja Andrew, laki-laki itu segera menahannya. Andrew sadar, di mana mereka berada sekarang. "Berhenti, kita tidak bisa melakukannya di sini. Aku harus pulang." "Ta-tapi, kita baru bertemu--" Ucapan Kiana terputus saat tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Membuat Andrew yang dalam keadaan hampir menindih tubuh Kiana, langsung bangkit dan membenahi diri. Mengancingkan kembali bajunya yang sempat Kiana buka. "Ini kamar pasien, bukan tempat untuk mesum. Waktumu sudah habis, kau tidak boleh terlalu lama berada di sini." Sindiran itu keluar dari mulut Rafael. Dia yang membuka pintu dan menginterupsi kegiatan panas yang akan sempat terjadi. Matanya terlihat memancarkan sorot jijik dengan pemandangan tadi. "Ah, maaf, tapi kami tidak melakukan apa-apa. Baiklah, aku akan pergi," ucap Andrew sedikit gelagapan. Dia hendak beranjak, sebelum Kiana menahan lengannya. Ada tatapan tidak rela saat Andrew harus pergi, dan hal itu lantas saja membuat Andrew bereaksi dengan memberikan senyum simpul. "Aku akan sering mengunjungimu, Kia. Tenang saja." Setelah mengucapkan itu, Andrew langsung melepas genggaman tangan Kiana dan berjalan keluar ruangan, melewati Rafael yang sedari tadi melihat adegan menjijikkan itu dengan sinis. Sementara Andrew sendiri, bisa merasakan tatapan menusuk Rafael padanya saat mata mereka bersinggungan. Menimbulkan tanda tanya yang begitu besar dalam benaknya. Kenapa?_____
Halo readers, terima kasih yang sudah mengikuti cerita Kiana sampai ke sini😆 tetap pantengin terus ya, jangan bosen. Jangan lupa komen juga, pengen tahu pendapat kalian😙 dan maaf, updatenya suka ngaret.
Pemandangan taman yang dipenuhi oleh bunga dan rumput hijau, juga pepohonan yang cukup tinggi menjadi satu-satunya pemandangan luar biasa bagi Kiana yang kini masih terjebak di ruangannya. Ruangan yang pertama kali dia tempati. Mereka sudah memindahkannya kembali ke ruangan asalnya. Semua itu karena beberapa hari ini, kondisi tubuh Kiana sudah jauh lebih baik dan yang paling penting dari semua itu adalah saat dirinya kini tak lagi diborgol. Dia dibebaskan. Tentu apa yang Kiana rasakan sekarang, tak terlepas dari hasil protes Andrew beberapa hari lalu yang meminta untuk jangan memborgol atau laki-laki itu akan melaporkan masalah ini. Alhasil, mereka pun setuju. Hal itu juga diizinkan saat melihat Kiana tidak lagi menyerang siapa pun beberapa hari terakhir selama dirawat. Menurut dan meminum obat sesuai anjuran dokter. Meski saat ini, mulutnya justru lebih sering terkunci rapat. Tidak lagi be
"Katakan, apa yang kau alami dan rasakan sebelumnya. Apa kau memiliki trauma?" Rafael menatap Kiana yang duduk di hadapannya dengan tidak nyaman. Semua terlihat dari tatapan Kiana yang seperti enggan melihatnya. Wanita itu berkali-kali menatap pintu keluar dan menatapnya takut. Saat ini, mereka tengah menjalankan sesi psikoterapi untuk Kiana, berdua di ruang kerja Rafael dengan sebuah meja yang menjadi pembatas. Rafael perlu memeriksa kondisi mental wanita itu untuk catatan medis. Apakah Kiana sudah baik-baik saja atau tidak. "Apa itu penting? Tidak ada yang perlu kejelaskan lagi, kau sudah tahu semuanya." Meski tatapannya terlihat enggan dan tak nyaman, namun Kiana masih tetap bisa membantah. Dia tidak bisa lagi percaya pada Rafael setelah laki-laki itu mengatakan kalau dia memiliki gangguan mental. Kiana merasa, dia akan dalam masalah jika mengataka
"Raf, kau kenapa? Kenapa menutup mulutnya seperti itu?" tanya dokter Ken yang baru saja masuk ke ruangan Rafael. Dia sedang bersantai saat tugasnya sudah selesai. Niatnya datang untuk mengajak Rafael makan. Memang, mereka berdua cukup dekat dari kuliah. Sudah hal biasa bagi Ken dan Rafael makan bersama. Meski ada beberapa yang menganggap kedekatan mereka seperti ada sesuatu. Mengingat kalau keduanya tidak pernah terlihat memiliki pasangan, tapi tentu saja itu tidak benar. Tanpa disuruh dan diizinkan sang pemilik ruangan, Ken dengan santainya duduk tepat di hadapan Rafael. Tempat yang tadi Kiana tempati. Menatap rekan kerja sekaligus temannya dengan tatapan seperti sedikit heran. "Bukan apa-apa. Ada apa ke sini?" tanya Rafael tanpa menurunkan tangannya dari mulut. Dia terus menutupinya seolah tidak mau Ken melihat kondisinya.
Lagi-lagi, Kiana terbangun di tempat yang sama, ranjang yang sama dan suasana yang sama. Meski sudah hampir dua minggu berada di dalam rumah sakit jiwa itu, tapi dia masih belum terbiasa. Semuanya terasa sangat asing, membuatnya begitu merindukan rumah. Tentu saja semua itu hanya angan belaka. Hal yang sulit untuk menjadi nyata. Meski beberapa hari terakhir, seperti ucapannya, Andrew selalu datang untuk menjenguknya. Laki-laki itu selalu bercerita tentang kehidupan yang akan mereka jalani nantinya. Senang? Entahlah, seperti biasa, Kiana hanya bisa terdiam mendengarnya. Dia juga berharap seperti itu, tapi bahkan untuk keluar dari ruangan ini pun terasa sangat sulit. Dia hanya diizinkan keluar jika dokter memanggilnya. Satu hal yang bisa Kiana lakukan hanya menatap para pasien lain dari balik jendela. Entahlah, itu terasa seperti kebiasaannya untuk saat ini. Bukan. Bukan Kiana mulai menerima
"Dia membuang semua obat?" tanya Rafael saat dia mendapat laporan dari seorang perawat, yang memberitahunya kalau perawat itu menemukan sebungkus obat yang masih utuh tergeletak di lantai kamar Kiana. "Benar, Dok." "Kenapa bisa terjadi? Kau tidak mengawasinya?" Rafael mengetatkan rahangnya. Menatap tajam perawat wanita yang tampak sedikit bergetar takut. Dia menganggap kalau perawat itu lalai dalam pekerjaannya dan itu artinya, Kiana tidak meminum apa pun selama ini? Shit! Rafael berusaha meredam kekesalannya dengan menutup mata. Membiarkan perawat wanita itu terdiam beberapa saat sampai dengan sedikit terbata-bata, perawat itu menjawab, "Maafkan kami, semua itu kesalahan kami." Sekali lagi, Rafael menghela napas kasar. Dia lantas mengusir perawat itu pergi dari ruangannya
Akhirnya, karena berbagai pertimbangan dan melihat kondisi Kiana yang tampak begitu frustasi berada terus-menerus di dalam ruangan, pihak rumah sakit mengizinkannya untuk keluar. Membiarkan Kiana mengikuti kegiatan seperti pasien lainnya. Senang? Ya, Kiana sangat senang. Akhirnya, setelah terkurung berminggu-minggu, dia bisa menghirup udara segar. Duduk di bawah rindangnya pohon setelah selesai melakukan kerja bakti, membersihkan halaman. Bersama-sama dengan para perawat dan pasien lainnya. Kiana dengan pelan, merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau yang biasa hanya bisa dia pandangi dari balik jendela. Mengabaikan pasien lain dan menatap langit biru yang cerah. Tersenyum lebar sambil memejamkan mata. Dari sana, dia bisa melihat bangunan rumah sakit yang begitu besar. Pagar-pagar kokoh yang menjulang tinggi. Ternyata, rumah sakit jiwa tempatnya
"Siapa wanita tua yang kau ajak bicara waktu itu?" tanya Kiana tanpa basa-basi saat Rafael memberikannya waktu untuk bicara. Sepuluh menit. Laki-laki itu mengizinkannya dan mengajak Kiana ke tempat yang lebih sepi. Di dekat sebuah pohon rindang yang cukup jauh dari posisi pasien lain. "Maksudmu? Apa kau meminta waktuku hanya untuk bertanya hal tak penting?" Ada nada kesal dalam suara Rafael. Kedua alisnya mengernyit, dia sangat amat tidak senang dengan pertanyaan Kiana. Jelas, karena Rafael tahu siapa orang yang dimaksud. Sementara Kiana malah menyelipkan helaian rambutnya ke telinga dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia merasa sedikit terintimidasi dengan tatapan tajam Jonathan. Ekspresi laki-laki itu bahkan terlihat marah. Memangnya apa yang salah dengan pertanyaannya? Dia hanya bertanya karena penasaran. Kiana hanya merasa aneh saat melihat sikap Rafael yang begitu baik pa
Rafael membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya yang telanjang. Otot-otot yang selama ini tertutup, terlihat. Begitu mengkilap oleh sabun dan busa yang mengelilinginya. Menggoda setiap mata untuk menyentuhnya. Siapa pun wanita yang melihatnya, pasti menginginkan Rafael menjadi teman tidur satu malamnya. Namun hal itu bagai sesuatu yang amat mustahil, Rafael tidak pernah tertarik dengan wanita. Bukan tidak, mungkin belum. "Ahh, shit!" umpat Rafael saat ingatannya kembali berputar pada kejadian tadi, ketika Kiana menggodanya di halaman belakang. Rafael jelas masih bisa merasakan tangan-tangan itu menyentuh tubuhnya. Tindakan Kiana yang kurang ajar bahkan disalahpahami oleh rekan dokternya yang lain. Rafael harap, masalah ini tidak sampai terdengar ke telinga kakeknya. Akan sangat gawat jika itu terjadi. Memikirkan hal itu, membuat Rafael kesal bukan main. Dia benar-benar marah, hingga
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal