PRANG!!!
Suara pecahan kaca terdengar saat sebuah piring melayang ke lantai. Makanannya pun ikut berhamburan. Mengotori keramik putih dan membuatnya tampak berantakan. Siapa lagi yang melakukannya selain Kiana? Wanita yang kini malah membuang makan siangnya sendiri. "AKU TIDAK MAU MAKAN! AKU MAU BEBAS!" teriak Kiana pada seorang perawat wanita yang membawakan makan siang untuknya. Kedua tangannya yang dilepas sementara, membuatnya mudah memberontak. Menatap perawat itu dengan sengit hingga Kiana tiba-tiba menarik lengannya tanpa sang perawat sempat menghindar. "BEBASKAN AKU! Bawa aku pergi dari sini!" "Awww ...." Cengkeraman tangan Kiana begitu kuat dan sedikit melukai sang perawat hingga terdengar rintih kesakitan. Berusaha melepaskan diri dari Kiana, meski semua itu tentu adalah percuma. "Lepaskan aku, wanita gila!" "A-apa? Apa yang baru saja kauucapkan?" Mata Kiana menyipit. Dia tidak tampak marah mendengar perkataan perawat yang menyebutnya sebagai 'wanita gila'. Sudah Kiana katakan, dia tidak gila! "AKU TIDAK GILA! BERANI SEKALI KAU MENGATAIKU GILA!" Perawat wanita yang ketakutan melihat ekspresi marah Kiana, berusaha melepaskan diri, namun entah karena tarikan Kiana yang cukup kuat atau bagaimana, perawat itu malah harus menjadi sasaran kemarahannya. Sampai saat Kiana menjambak rambut wanita itu dengan bringas. Tidak peduli jika kakinya masih dirantai. Kemarahannya semakin menjadi karena wanita itu terus mengatainya gila. "Rasakan ini! Rasakan kau! Dasar berdebah sialan!" "Aakhhhhh ... tolong ...." Tanpa peduli teriakan kesakitan perawat itu, Kiana terus menjambak kuat rambutnya. Siapa pun yang melihat, tentu akan berpikir kalau Kiana memang sudah gila. Dia malah tertawa keras saat sang perawat menangis. "Bodoh! Dasar bodoh! Kau harus menerimanya. Dengar, aku bukan orang gila. Kaulah yang gila!" "TOLONG ... SIAPA PUN TOLONG ...." Segala daya upaya untuk melepaskan diri dari kebrutalan Kiana sudah perawat itu lakukan. Mulai dari menekan tombol yang berguna memanggil seseorang sambil mendorong tubuh Kiana. Sayang, saat rasa panik tengah melandanya, Kiana tanpa aba-aba malah menggigit lengan perawat tersebut. Membuatnya semakin berteriak kencang meminta pertolongan. Darah tampak keluar lengannya saking kencang gigitan yang Kiana lakukan. Bahkan suara jeritan itu tidak cukup untuk menutupi rasa sakit yang dirasakan sang perawat. Hingga di saat perawat itu hendak pasrah, terdengar suara-suara langkah kaki yang berjalan terburu-buru ke ruangannya. Sayangnya, Kiana yang terlanjur marah karena ucapan perawat itu, tidak begitu memerhatikan siapa yang datang. Dia terus menggigit lengannya kuat, hingga dengan serentak, kedua tangannya tiba-tiba ditarik paksa oleh dua orang yang berada di sisi kanan dan kirinya. Dua laki-laki datang dan memegangi Kiana. Seorang wanita lainnya ikut membantu perawat yang menjadi korban keganasan Kiana sementara satu laki-laki yang datang terakhir, hanya menatap Kiana dengan pandangan dingin. "APA-APAAN INI! LEPASKAN AKU! KALIAN TIDAK BISA MELAKUKAN INI!" Kiana kembali memberontak, namun kedua tangannya ditahan kuat oleh dua laki-laki yang saat ini berusaha kembali memborgolnya. "Sepertinya kita tidak bisa membiarkannya di sini. Dia membahayakan orang lain," celetuk salah seorang laki-laki yang berhasil memborgol kembali kedua tangan Kiana. Membuat Kiana semakin tak henti memberontak. "BEBASKAN AKU! AKU MAU PULANG! BEBASKAN AKU!" "Tidak bisa. Dia harus di sini. Wanita ini sakit," ucapnya. Dengan langkah yang tenang, dia berjalan mendekati Kiana yang terus meronta meminta dilepas. Sampai wanita itu tiba-tiba terdiam ketika melihat siapa orang yang ada di depan matanya dan hanya sekejap mata, tatapan kemarahan kembali menyelimuti sorot matanya. "KAU! KAU DOKTER SIALAN! Cuih!" Tanpa basa-basi, Kiana langsung meludahi laki-laki yang tersenyum menatapnya itu. Membuat dua orang laki-laki yang tadi membantu menenangkan Kiana, terkejut bukan main. "Dokter Rafael--" Orang yang diludahi Kiana adalah Rafael. Laki-laki itu tampak tenang dan tak tersinggung sedikit pun dengan perlakuan Kiana. Rafael malah menghentikan ucapan laki-laki tadi dengan memberi tanda melalui gerakan tangannya dan meminta mereka untuk pergi. Membiarkan dirinya sendiri bersama Kiana. "Jangan khawatir, pergilah. Aku yang akan bertanggung jawab atas pasien ini." "Tapi--" "Tidak apa-apa." Rafael memberikan senyum formal yang tak mampu ditolak oleh dua laki-laki yang merupakan bawahannya itu. Tampak mereka dengan patuh berjalan keluar ruangan. Bersama dengan dua wanita yang tadi sempat ketakutan. "Apa? Kau mau marah? Kau mau memaksaku minum obat itu lagi! Hah!" bentak Kiana tepat di depan wajah Rafael. Sayangnya, laki-laki itu hanya tersenyum geli dan mengusap bekas ludah Kiana padanya. Kemarahan seperti inilah yang dia inginkan. Dia ingin melihat Kiana seperti wanita gila sungguhan. "Tidak. Aku hanya ingin melihat betapa menyedihkannya dirimu ini. Baru dua hari di sini, kau sudah membuat kekacauan separah ini. Dasar bodoh, kau semakin mempersulit dirimu sendiri." "A-apa? Apa maksud ucapanmu?" Kiana menatap Rafael penuh kebingungan. Sama sekali tidak mengerti maksud perkataan laki-laki itu. Dia tidak mengerti. Kenapa dokter itu ingin melihatnya yang menyedihkan? Kata-kata kurang ajar apa yang terlontar dari mulutnya? Dia seorang dokter. Apa itu kata-kata yang pantas diucapkan untuk seorang pasien? Tidak. Bukan Kiana mengakui kalau dia gila, tapi perkataan laki-laki itu menganggu rasa penasaran dan egonya. Perkataannya seolah mengingatkan dia pada tahun-tahun menyedihkannya dulu. Kiana tidak suka! Dia tidak selemah itu sekarang! Dia bukan orang yang pantas diinjak-injak lagi! Sayangnya, Rafael tidak menanggapi lebih jauh perkataan Kiana. Tatapannya malah beralih melihat ke arah lantai yang kotor karena ulah Kiana. "Karena kau membuang makan siangmu. Sampai nanti sore, kau tidak akan mendapat jatah makan." Tepat setelah mengucapkan kalimat itu, Rafael berlalu meninggalkan Kiana tanpa memberi obat penenang atau obat yang kemarin diberikannya. "KAU, AKU BELUM SELESAI! BERHENTI!" *** Sendirian. Malam itu, Kiana benar-benar sendirian di ruangannya. Gelisah dan tidak bisa tidur. Rasa laparnya juga sangat mengusik, membuat matanya tak kunjung mau terpejam. Ucapan Rafael benar-benar dilaksanakan, karena tingkah Kiana yang membuang makanan, wanita itu sampai tidak diberi makan. Perutnya tak berhenti berbunyi. Rasa lapar itu membuat Kiana semakin gelisah, tapi tidak ada apa siapa pun yang berani mendatangi dan memberinya makan. Kabar penyerangan yang Kiana lakukan pada seorang perawat tadi siang, sudah menyebar dan membuat para perawat lainnya sedikit ketakutan. Kiana adalah salah satu pasien yang paling sulit dikendalikan di sana. Meski tentunya, mereka juga sudah cukup sering menangani pasien gila seperti Kiana dan biasanya, mereka akan ditempatkan di ruangan-ruangan khusus. Itu jugalah yang menjadi salah satu penyebab kenapa Kiana memiliki ruangan sendiri, tanpa pasien lainnya. Ada kekhawatiran Kiana akan menyerang pasien lain dan menimbulkan kekacauan yang lebih besar. Walaupun demikian, beruntungnya Kiana sudah sedikit lebih tenang sekarang. Meski memang dia tetap tidak terima kalau harus tinggal di sini, tapi mulutnya sudah tidak lagi berteriak. Tenggorokannya sangat sakit karena teriakan yang percuma. Mereka tidak mau mendengar ucapannya sama sekali. Pandangan Kiana meredup. Tidak terdengar suara-suara lagi, yang menemaninya hanya kesunyian. "Apa salahku? Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kalian benar-benar jahat. Kenapa semua orang bersikap kejam padaku? Kenapa mereka begitu membenciku? Aku tidak salah. Wanita itu pantas mati. Dia bukan ibu yang baik," lirih Kiana dengan air mata yang tampak mengalir membasahi pipinya. Dia merasa benar-benar sendirian di dunia ini. Keluarganya sudah tidak ada. Ibunya tewas dia bunuh sementara ayah? Kiana tidak pernah tahu apa ayahnya masih hidup atau tidak. Dia tidak pernah tahu siapa pria yang menanamkan benih hingga dia harus terlahir ke dunia ini. Jalang. Ibunya hanya seorang jalang yang menjajakan tubuh untuk mendapat uang. Bukan tidak mungkin, dia adalah anak yang tidak 'disengaja' harus ada di dunia ini."Lebih baik aku mati dari pada hidup seperti ini," ratapnya. Tanpa diketahui dan tidak Kiana sadari, di tempat lain, seseorang tengah memantaunya lewat sebuah kamera kecil di sudut ruangan. Menatap Kiana yang tertidur dan meratap dengan pandangan yang sulit diartikan.
Tiga hari setelah kejadian itu, tidak ada seorang pun perawat yang berani mendatangi tempat Kiana berada. Jika bukan karena Kiana ingin buang air, mereka tidak akan datang. Kalaupun datang, mereka hanya mau Kiana tetap diborgol dan tentunya, ditemani oleh satu orang lainnya. Menjaga jarak sejauh mungkin sebelum wanita itu mengamuk. Ketimbang seperti pasien gila, Kiana lebih mirip seperti seorang tahanan. Hanya saja, tempatnya dikurung berbeda dari para penjahat lain. Saat waktu makan pun, Kiana sama sekali tidak dilepas. Dia tetap diborgol. Demi keselamatan, para perawat hanya membiarkan salah satu borgol tangan kanan Kiana yang dibuka, sedangkan tangan lain dan kedua kakinya terus diborgol. Mereka menganggap, jika Kiana adalah pasien yang paling berbahaya. Apalagi saat mengetahui catatan hitam tentang wanita itu juga peristiwa menggemparkan beberapa hari lalu. Ketakutan menyusup ke
Mata yang tadi terpejam itu, perlahan mulai terbuka. Berkedip menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Suara lenguhan terdengar sangat lirih saat rasa sakit di kepala menghantamnya. Memaksanya untuk bangun seketika, hingga saat matanya terbuka secara penuh, tatapan pertama matanya langsung jatuh pada seorang laki-laki yang berada di sisi kanannya. Dia adalah Rafael. Melihat kehadiran orang tersebut, dahinya sontak berkerut dalam. Masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi? Tak hanya sampai sana, dia juga menyadari sesuatu. Menyadari saat tangannya dipasangi sebuah infus dan dia berada di ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Tergugu di tempat, hanya itu yang terjadi padanya. Sampai akhirnya, laki-laki yang dia lihat pertama kali mulai membuka suara. "Percobaan bunuh diri. Apa yang ada dalam pikiran dangkalmu? Kaupikir, semua akan selesai saat kau mati?" Ucapan bernada dingin dan sarkas itu ter
"Rafael, Kakek harap kamu segera keluar dari rumah sakit itu dan bantu Kakek mengurus perusahan. Kau tahu, 'kan, Kakek sudah sangat tua dan tidak ada lagi yang bisa mengurusnya selain kamu," ucap seorang pria paruh baya yang berusia sekitar delapan puluh tahunan. Menatap cucunya yang tampak selalu memasang wajah enggan. Mereka tengah duduk saling berhadapan di ruang tengah, namun tidak ada satu pun makanan atau minuman yang tersaji di meja. Atmosfer yang mengelilingi mereka juga terasa dingin. Tatapan tajam bak sinar laser tampak menyorot pria tua berkemeja rapi dengan dasi di lehernya. Semua rambutnya tampak beruban, tak menyisakan satu pun yang berwarna hitam. Dialah Guzman, kakek kandung dari Rafael sekaligus pemilik dari rumah sakit jiwa yang Rafael urus. "Aku tidak bisa. Suruh saja Om Mario untuk mengurusnya," balas Rafael dengan nada acuh. Bersandar dan melepas jas putih yang selalu m
Kiana menatap Andrew dengan senyum manisnya. Menggenggam tangan hangat itu dan menciumnya. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah satu minggu lebih berdiam diri di rumah sakit jiwa, akhirnya sekarang Kiana bisa melihat seseorang yang dia kenal, temannya. "Andrew, maafkan aku. Maaf aku membohongimu selama ini, aku hanya memanfaatkanmu," ucap Kiana dengan nada lirih. Tenggorokannya terasa tercekat oleh sesuatu, membuat Kiana sulit menjelaskan, betapa dia amat sangat bersalah pada laki-laki itu. Rasa malu dan penyesalan yang harusnya dia rasakan dulu, kini malah dia rasakan sekarang. "Aku menipumu. Apa kamu membenciku?" Tatapan Kiana terlihat serius, namun terlihat ada ketakutan dalam sorot matanya. Dia takut, jika Andrew akan kecewa dan meninggalkannya sendiri. Sungguh, seumpamanya itu terjadi, dia akan benar-benar sendiri. Kiana akan hidup sendiri, tanpa orang-orang yang menemani dan
Pemandangan taman yang dipenuhi oleh bunga dan rumput hijau, juga pepohonan yang cukup tinggi menjadi satu-satunya pemandangan luar biasa bagi Kiana yang kini masih terjebak di ruangannya. Ruangan yang pertama kali dia tempati. Mereka sudah memindahkannya kembali ke ruangan asalnya. Semua itu karena beberapa hari ini, kondisi tubuh Kiana sudah jauh lebih baik dan yang paling penting dari semua itu adalah saat dirinya kini tak lagi diborgol. Dia dibebaskan. Tentu apa yang Kiana rasakan sekarang, tak terlepas dari hasil protes Andrew beberapa hari lalu yang meminta untuk jangan memborgol atau laki-laki itu akan melaporkan masalah ini. Alhasil, mereka pun setuju. Hal itu juga diizinkan saat melihat Kiana tidak lagi menyerang siapa pun beberapa hari terakhir selama dirawat. Menurut dan meminum obat sesuai anjuran dokter. Meski saat ini, mulutnya justru lebih sering terkunci rapat. Tidak lagi be
"Katakan, apa yang kau alami dan rasakan sebelumnya. Apa kau memiliki trauma?" Rafael menatap Kiana yang duduk di hadapannya dengan tidak nyaman. Semua terlihat dari tatapan Kiana yang seperti enggan melihatnya. Wanita itu berkali-kali menatap pintu keluar dan menatapnya takut. Saat ini, mereka tengah menjalankan sesi psikoterapi untuk Kiana, berdua di ruang kerja Rafael dengan sebuah meja yang menjadi pembatas. Rafael perlu memeriksa kondisi mental wanita itu untuk catatan medis. Apakah Kiana sudah baik-baik saja atau tidak. "Apa itu penting? Tidak ada yang perlu kejelaskan lagi, kau sudah tahu semuanya." Meski tatapannya terlihat enggan dan tak nyaman, namun Kiana masih tetap bisa membantah. Dia tidak bisa lagi percaya pada Rafael setelah laki-laki itu mengatakan kalau dia memiliki gangguan mental. Kiana merasa, dia akan dalam masalah jika mengataka
"Raf, kau kenapa? Kenapa menutup mulutnya seperti itu?" tanya dokter Ken yang baru saja masuk ke ruangan Rafael. Dia sedang bersantai saat tugasnya sudah selesai. Niatnya datang untuk mengajak Rafael makan. Memang, mereka berdua cukup dekat dari kuliah. Sudah hal biasa bagi Ken dan Rafael makan bersama. Meski ada beberapa yang menganggap kedekatan mereka seperti ada sesuatu. Mengingat kalau keduanya tidak pernah terlihat memiliki pasangan, tapi tentu saja itu tidak benar. Tanpa disuruh dan diizinkan sang pemilik ruangan, Ken dengan santainya duduk tepat di hadapan Rafael. Tempat yang tadi Kiana tempati. Menatap rekan kerja sekaligus temannya dengan tatapan seperti sedikit heran. "Bukan apa-apa. Ada apa ke sini?" tanya Rafael tanpa menurunkan tangannya dari mulut. Dia terus menutupinya seolah tidak mau Ken melihat kondisinya.
Lagi-lagi, Kiana terbangun di tempat yang sama, ranjang yang sama dan suasana yang sama. Meski sudah hampir dua minggu berada di dalam rumah sakit jiwa itu, tapi dia masih belum terbiasa. Semuanya terasa sangat asing, membuatnya begitu merindukan rumah. Tentu saja semua itu hanya angan belaka. Hal yang sulit untuk menjadi nyata. Meski beberapa hari terakhir, seperti ucapannya, Andrew selalu datang untuk menjenguknya. Laki-laki itu selalu bercerita tentang kehidupan yang akan mereka jalani nantinya. Senang? Entahlah, seperti biasa, Kiana hanya bisa terdiam mendengarnya. Dia juga berharap seperti itu, tapi bahkan untuk keluar dari ruangan ini pun terasa sangat sulit. Dia hanya diizinkan keluar jika dokter memanggilnya. Satu hal yang bisa Kiana lakukan hanya menatap para pasien lain dari balik jendela. Entahlah, itu terasa seperti kebiasaannya untuk saat ini. Bukan. Bukan Kiana mulai menerima
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal