Tidak ada yang bisa menentang keinginan Rafael saat laki-laki itu sudah memberi perintah. Membuat Kiana yang harusnya saat ini terlelap di atas ranjang empuk, justru harus diam di samping Rafael menemaninya. Duduk di pinggir ranjang karena tidak bisa tidur sekalian berjaga-jaga jika Rafa melakukan sesuatu terhadapnya.
Ya, bagaimana tidak? Pintu kamar dikunci dari luar. Membuatnya hanya bisa menatap pria tampan namun jahat di depannya tanpa bisa melakukan apa-apa. Sebenarnya, niat apa yang membuat Rafael mengurungnya di kamar laki-laki itu? Tidak tahukah kalau saat ini, mungkin saja Kiana bisa membunuhnya? Rafael sedang sakit, membunuh laki-laki itu jelas tidak sulit. Ketika dia berhasil melumpuhkan Rafael, bukannya kebebasannya akan segera datang? Sekilas, itulah yang Kiana pikirkan. Membunuh laki-laki yang kini dengan terlelapnya tidur. Namun, saat pikiran itu terlintas, Kiana juga teringat dengan apa yang dulu sempat dilakukannya pad"Buang makanannya." "Apa? Kenapa?" Kiana menatap sup ayam buatannya dengan nanar saat Rafael menolak masakannya. Padahal itu dibuat dengan susah payah. Kiana memasaknya karena Mara meminta untuk menyiapkan laki-laki itu makan malam. Tidak ada yang aneh, supnya pun masih panas. Kiana juga berani menjamin kalau rasanya tidak akan mengecewakan. Sedari kecil, dia sudah belajar memasak dan saat remaja, ibunya juga selalu diminta buatkan makanan olehnya. Walau atas dasar terpaksa. "Aku ingin makanan yang lain," balas Rafael tanpa peduli kalau Kiana tengah menahan sabar. "Tidak, aku tidak mau memasak lagi. Makan atau tidak, hanya itu pilihanmu!" Sudah malam dan Kiana juga ingin istirahat. Dia tidak mau terus-menerus melayani Rafael. Apalagi dia tidak mendapat gaji apa pun dari laki-laki itu. Salah. Sebenarnya Rafael memberinya hak untuk meminta apa pun yang dia mau pada Mara, yang tentu
"Rafael, kenapa kau memukuli Marcel?" tanya Guzman pada cucu kesayangannya, Rafael. Dia kaget setelah mendengar kalau Marcel dipukuli oleh Rafael di rumah laki-laki itu. Mario memberitahu dan mendesaknya untuk menghukum Rafael. Tentu karena perbuatan Rafael dianggap sudah sangat keterlaluan. Kini, dia langsung memerintahkan orang-orangnya untuk membawa paksa Rafael dari rumah sakit. Tidak peduli apakah cucunya menolak atau tidak. Sebenarnya dia bingung, dengan perubahan yang terjadi pada cucunya itu. Kenapa Rafael yang bahkan selalu menghindari perkelahian, kini justeru lebih sering berkelahi? Insiden di pesta pertunangan Marcel pun demikian dan sekarang cucunya kembali melakukan hal yang sama. "Jadi kau membawaku secara paksa ke sini hanya untuk mendapat pertanyaan semacam itu? Kenapa tidak tanyakan saja padanya? Kenapa dia sampai berani menyentuh pelayanku," ujar Rafael. Matanya menatap kakeknya dengan sinis. Rafael sama
Tamatlah riwayatnya. Kiana hanya bisa berdoa saat mendengar suara Rafael mengalun di gendang telinganya. Bagai sebuah warning yang memintanya segera bersembunyi agar tidak ketahuan. Jelahs opsi untuk melarikan diri tidak ada untuknya saat ini. Kenapa? Kenapa bisa seperti ini? Bukankah Mara bilang kalau Rafael tidak akan pulang? Mungkinkah wanita itu hanya membohonginya? Senyum kecut muncul di bibirnya. Tak seharusnya Kiana percaya pada semua orang yang ada di sini. Semuanya hanya mementingkan diri mereka sendiri. Akan tetapi, dia sungguh beruntung karena telah menutup lemari sebelum Rafael datang. Laki-laki itu ... tidak akan curiga bukan? Kiana juga sudah membereskan kembali berkas yang tadi sempat dia acak-acak. Meski satu kesalahan yang dia lakukan, Kiana lupa mengunci pintu ruangan. Dia hanya menutupnya saja. Sungguh sialan. Di tengah rasa cemas karena takut sewaktu-waktu Raf
Kiana menahan napas saat jemari kasar Rafael perlahan mulai menyentuh tubuhnya. Sentuhan itu begitu menyengat seperti aliran listrik hingga deru napasnya terdengar memberat. Tangannya tanpa sadar meraih sejumput rambut hitam Rafael sambil mengerang. Wajahnya memerah, menikmati setiap sentuhan lembut dan lumatan kecil di area sensitifnya. Namun kepalanya terus menggeleng, seakan berkata kalau dia tidak ingin berakhir dalam dekapan laki-laki tampan itu. Kiana berusaha menolak. Kakinya menendang sambil meminta Rafael untuk berhenti. "Tidak. T-tolong hhentikan ...." Suaranya yang terdengar lirih justeru seperti undangan bagi Rafael yang saat ini diliputi gairah. Bibirnya menyunggingkan senyum miring. Dia tahu, ketika dia telah memulai, maka tidak ada kata berhenti. Kiana telah membangunkan sisi lain dalam diri Rafael selama ini. Sebuah hasrat yang sudah terkurung rapat, kini meminta dibebaskan. Rafael yang awalnya mengaku
Warning! Bagi yang sudah baca bab sebelumnya, bisa di-refresh ulang dengan hapus cache. Part sudah diganti. Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi.___Tak pernah terpikirkan sebelumnya kalau Rafael akan melewati malam yang panas untuk kedua kalinya bersama Kiana. Membuat dirinya saat ini merasakan euforia yang berbeda. Bagaimana bisa, Rafael membayangkan kembali kejadian semalam saat dia harusnya menenangkan pasien?Huh, benar-benar sialan. Rafael menghela napas lelah lalu mengalihkan perhatiannya pada seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan di depannya. Tak jauh darinya tampak seorang laki-laki tengah dipegangi oleh beberapa orang karena mengamuk, sebelum kemudian ketika diberi obat, laki-laki itu mulai tenang. Namun pegangan di kedua tangannya belum kunjung dilepas."Bagaimana bisa Anda membiarkannya tidak minum obat? Anda tahu apa yang Anda lakukan bisa sangat berbahaya?" Tatapan Rafael tampak sangat menusuk. Menunjukkan kalau dia geram dengan tindakan wani
"Rafael, kau apakan Kiana?" Pertanyaan itu berasal dari Ken yang saat ini tengah menatap temannya dengan pandangan menusuk. Dia jelas mendengar kalau Rafael membuat Kiana harus melayaninya. Sungguh berengsek! Itu berarti, selama ini Rafael 'lah orang yang menyembunyikan Kiana? Tangan Ken langsung terkepal saat memikirkan temannya dengan tega membodohinya seperti ini. Kenapa Rafael sampai tega mempermainkan Kiana? Apalagi perkataan laki-laki itu tentang Kiana terdengar tidak sepantasnya. "Ken." "Kau?" Baik Mili dan Rafael menoleh ke arah Ken bersamaan. Mili terkejut dengan kedatangan Ken sementara Rafael hanya menatapnya datar. Dia tidak terlalu menghiraukan saat Ken tahu dan mendengar percakapannya dengan Mili. "Kiana ... apa Kiana ada di rumahmu? Apa kau menyembunyikan dia selama ini, huh?" Tatapan Ken berubah tajam. Dia langsung meraih kerah jas Rafael dengan kuat. U
Rambut hitamnya terurai indah. Lipstik merah tampak terpoles di bibirnya. Sort dress bermotif bunga tampak cantik ketika dia kenakan. Penampilannya memberi kesan polos, tapi juga cantik. Ini pertama kalinya Kiana memakai pakaian bagus selama tinggal bersama Rafael. Mengingatkan dia pada penampilannya beberapa tahun lalu. Namun dia mengenakan ini bukan tanpa alasan, ternyata Rafael memiliki tujuannya tersendiri. "Kiana, aku senang melihatmu baik-baik saja." Seulas senyum kecut tercetak di bibir indahnya. Kiana menatap laki-laki yang dulu pernah menolongnya. Laki-laki baik hati dari pada Rafael. Tak pernah disangka kalau laki-laki itu akan datang ke sini. "Iya, Dokter Ken, Rafael merawatku dengan baik." Kiana bisa merasakan sebuah tangan yang merangkul pinggangnya mengerat. Membuatnya harus bersandar di bahu kokoh itu. Siapa lagi yang melakukannya jika bukan Rafael? "Kau ... benar-benar tidak ingin
Kiana terbangun saat matahari sudah tenggelam. Selimut yang menutupi tubuhnya sudah merosot sebatas pinggul, membiarkan kulit telanjang bagian atasnya terlihat. Matanya berkedip beberapa saat. Mencari keberadaan Rafael yang beberapa jam lalu kembali membuatnya melakukan kesalahan dan menyerah di bawah kuasa laki-laki itu. Sayangnya, batang hidungnya tidak terlihat. Rafael sudah meninggalkannya saat dia masih terlelap. Hampir saja umpatan keluar dari mulutnya sebelum dia kemudian mendengar suara pintu yang dibuka dari luar. Pelakunya adalah Mara. Wanita itu menatap Kiana yang masih dalam keadaan telanjang dengan ekspresi terkejut, sebelum dia kemudian paham apa yang telah terjadi antara Kiana dan majikannya. Mara berpura-pura untuk menghiraukannya. "Tolong ganti pakaianmu, Tuan Rafael sudah menunggu di meja makan." Kiana yang pada awalnya berniat untuk malas-malasan, mulai teralihkan. Dia menatap Mara dengan kening berk