"Rafael, kau apakan Kiana?"
Pertanyaan itu berasal dari Ken yang saat ini tengah menatap temannya dengan pandangan menusuk. Dia jelas mendengar kalau Rafael membuat Kiana harus melayaninya. Sungguh berengsek! Itu berarti, selama ini Rafael 'lah orang yang menyembunyikan Kiana? Tangan Ken langsung terkepal saat memikirkan temannya dengan tega membodohinya seperti ini. Kenapa Rafael sampai tega mempermainkan Kiana? Apalagi perkataan laki-laki itu tentang Kiana terdengar tidak sepantasnya. "Ken." "Kau?" Baik Mili dan Rafael menoleh ke arah Ken bersamaan. Mili terkejut dengan kedatangan Ken sementara Rafael hanya menatapnya datar. Dia tidak terlalu menghiraukan saat Ken tahu dan mendengar percakapannya dengan Mili. "Kiana ... apa Kiana ada di rumahmu? Apa kau menyembunyikan dia selama ini, huh?" Tatapan Ken berubah tajam. Dia langsung meraih kerah jas Rafael dengan kuat. URambut hitamnya terurai indah. Lipstik merah tampak terpoles di bibirnya. Sort dress bermotif bunga tampak cantik ketika dia kenakan. Penampilannya memberi kesan polos, tapi juga cantik. Ini pertama kalinya Kiana memakai pakaian bagus selama tinggal bersama Rafael. Mengingatkan dia pada penampilannya beberapa tahun lalu. Namun dia mengenakan ini bukan tanpa alasan, ternyata Rafael memiliki tujuannya tersendiri. "Kiana, aku senang melihatmu baik-baik saja." Seulas senyum kecut tercetak di bibir indahnya. Kiana menatap laki-laki yang dulu pernah menolongnya. Laki-laki baik hati dari pada Rafael. Tak pernah disangka kalau laki-laki itu akan datang ke sini. "Iya, Dokter Ken, Rafael merawatku dengan baik." Kiana bisa merasakan sebuah tangan yang merangkul pinggangnya mengerat. Membuatnya harus bersandar di bahu kokoh itu. Siapa lagi yang melakukannya jika bukan Rafael? "Kau ... benar-benar tidak ingin
Kiana terbangun saat matahari sudah tenggelam. Selimut yang menutupi tubuhnya sudah merosot sebatas pinggul, membiarkan kulit telanjang bagian atasnya terlihat. Matanya berkedip beberapa saat. Mencari keberadaan Rafael yang beberapa jam lalu kembali membuatnya melakukan kesalahan dan menyerah di bawah kuasa laki-laki itu. Sayangnya, batang hidungnya tidak terlihat. Rafael sudah meninggalkannya saat dia masih terlelap. Hampir saja umpatan keluar dari mulutnya sebelum dia kemudian mendengar suara pintu yang dibuka dari luar. Pelakunya adalah Mara. Wanita itu menatap Kiana yang masih dalam keadaan telanjang dengan ekspresi terkejut, sebelum dia kemudian paham apa yang telah terjadi antara Kiana dan majikannya. Mara berpura-pura untuk menghiraukannya. "Tolong ganti pakaianmu, Tuan Rafael sudah menunggu di meja makan." Kiana yang pada awalnya berniat untuk malas-malasan, mulai teralihkan. Dia menatap Mara dengan kening berk
"Rafael ke mana?" Kiana menggenggam tangan Mara dengan erat saat wanita itu akan melewatinya. Tadi, dia sudah masuk ke kamar Rafael, namun laki-laki itu sama sekali tidak terlihat. Ruangan yang semalam terbuka juga kini sudah tertutup. "Tuan sedang lari pagi. Mungkin akan tiba sebentar lagi," jawab marah sembari melepaskan tangan Kiana yang menggenggamnya. Meninggalkan wanita itu untuk kembali bekerja seperti biasa, sebelum kemudian Kiana menahannya lagi. "Tunggu, Noe dan yang lainnya, di mana mereka?" Ketika bangun tidur, Kiana sama sekali tidak melihat keduanya. Hanya ada Mara seorang diri. Kiana bertanya bukan karena mereka sudah berbaikan, melainkan karena penasaran saja. "Tuan Rafael sudah memecat mereka." "APA? DIPECAT?" Saking kagetnya, Kiana sampai tidak sadar malah berteriak. Dia membuat Mara mengerutkan keningnya tidak suka. Akan tetapi, Kiana benar-ben
"Kau, dasar keponakan tidak tahu diuntung. Jangan berpikir kau sudah mengalahkan kami. Kau dan ayahmu sama-sama licik. Aku pastikan, kau akan mendapatkan balasannya," desis Mario sambil menunjuk ke dada Rafael. Tatapannya penuh permusuhan, jelas semua ini terjadi setelah Rafael membeberkan semua kelakuan busuk Marcel yang mengganggu Kiana pada sang kakek. Rafael yang memang tidak salah dan menghajar Marcel, tentu tidak terima. Sementara Guzman jelas memahami semuanya dengan bijak dan menghukum Marcel selama dua bulan untuk tidak diperbolehkan ikut campur dalam masalah perusahaan. Tak hanya itu, Marcel juga tidak diperbolehkan berkeliaran ke club malam atau tempat-tempat lainnya yang biasa dikunjungi, jika tidak maka Guzman akan mencabut semua hak untuk Marcel. Sementara Mario diperintahkan untuk mengawasi anaknya agar tidak melanggar atau kalau tidak, hal yang sama akan terjadi padanya juga. Guzman akan mencoret Mario sebagai
"Aku menyukaimu, Rafael. Aku menyukaimu." Ucapan itu diakhiri dengan lumatan menggebu di bibirnya. Kiana bergerak di pangkuan Rafael tanpa mengenakan sehelai benang pun. Mengerang saat kulit mereka bersentuhan dan ketika tubuh bagian bawah mereka bersatu dalam peluh. Begitu juga dengan Rafael yang memejamkan matanya dan menikmati setiap keindahan yang Kiana miliki. Dia puas setiap kali bercinta dengan wanita ini. Sekarang, hasratnya kian membludak setelah mendengar ucapan wanita itu. Didorongnya Kiana hingga menabrak meja di depannya secara kasar, menyebabkan meja itu bergeser dari tempatnya. Jeritan kesakitan terdengar, namun sekali pun tak membuat gerakan Rafael terhenti. Laki-laki itu malah menggoyangkan pinggulnya semakin kasar. Menikmati punggung Kiana di depan matanya. Dia selalu senang saat berhasil menaklukkan Kiana. Wanita yang selalu menantangnya untuk berdebat. Menyukai? Suka? Wanita itu me
"Bisakah aku datang ke rumahmu malam ini?" "Tidak." "Bisakah aku bertemu dengan Kiana?" "Tidak." "Rafael, apa kau ingin mengurung Kiana di rumah seharian?" "Ya," jawabnya tanpa mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari berkas-berkas milik pasiennya. Tidak memedulikan jika di depannya Ken yang terus merengek meminta agar diizinkan untuk menemui Kiana. "Rafael--" Telinganya yang sudah panas mendengar ocehan temannya itu, tanpa sadar membuat Rafael menggebrak meja. Dia berdiri dari duduknya dan menatap tajam ke arah Ken. "Sebaiknya kau keluar. Aku harus pergi rapat beberapa sebentar lagi." "Tapi--" Tak mau berdebat panjang lebar, Rafael langsung pergi meninggalkan Ken begitu saja. Dia melangkah buru-buru menuju ruang rapat para dokter. Sementara Ken hanya terdiam karena memang, dia tidak ikut serta. Hanya orang-orang yang
Kiana terdiam di kamar Rafael tanpa tahu harus melakukan apa. Dia hanya diperintahkan oleh Mara untuk tetap berada di dalam kamar. Jangan berusaha keluar atau membuat keributan. Meski begitu, Kiana penasaran, memang ada siapa sampai dia kembali dikurung seperti ini? Tadi, saat dia mengintip melalui jendela, matanya hanya menemukan mobil mewah yang masuk ke dalam halaman rumah Rafael. Sayangnya, dia tidak bisa melihat siapa yang keluar dari mobil itu. Apakah ada seseorang yang penting datang ke sini? Rafael sengaja menyembunyikannya? Laki-laki itu memang sepertinya berniat untuk membuatnya mendekam hingga mati di sini. Di saat tengah memikirkan hal tersebut, pintu kamar terbuka. Menampilkan sang pemilik rumah. Rafael berdiri menatap Kiana dengan kedua alis yang mengernyit heran. Kenapa wanita ini bisa ada di sini? Padahal dia sudah menyuruh Mara untuk menyembunyikan Kiana di tempat yang aman, bukan di kamarnya. "K
"Kau membuang semua peninggalan orang tuamu?" tanya Guzman saat dia dan Rafael berada di balkon lantai atas. Menatap pemandangan malam dengan segelas wine sebagai teman. "Tidak. Aku menyimpannya di tempat yang aman." Guzman mengangguk. Sebagai ayah, dia cukup senang jika Rafael masih mau menyimpan barang-barang milik Darren. Meski dia tidak berharap cucunya akan merawatnya. Setelah apa yang terjadi, anaknya memang pantas dibenci. "Dua hari lagi peringatan kematian ayahmu. Apa yang ingin kau--" "Aku tidak akan datang. Jangan beritahu aku apa pun tentang itu karena aku tidak akan pernah datang," potong Rafael sebelum Guzman menyelesaikan kalimatnya. Matanya menatap lurus ke arah langit. Menatap rembulan yang bersinar sangat terang, tidak seperti biasanya. "Itu sangat tidak etis. Kau adalah anak satu-satunya. Mana mungkin tidak datang?" Rafael menoleh. Menghadiahkan