Kiana terbangun saat matahari sudah tenggelam. Selimut yang menutupi tubuhnya sudah merosot sebatas pinggul, membiarkan kulit telanjang bagian atasnya terlihat. Matanya berkedip beberapa saat. Mencari keberadaan Rafael yang beberapa jam lalu kembali membuatnya melakukan kesalahan dan menyerah di bawah kuasa laki-laki itu. Sayangnya, batang hidungnya tidak terlihat. Rafael sudah meninggalkannya saat dia masih terlelap.
Hampir saja umpatan keluar dari mulutnya sebelum dia kemudian mendengar suara pintu yang dibuka dari luar. Pelakunya adalah Mara. Wanita itu menatap Kiana yang masih dalam keadaan telanjang dengan ekspresi terkejut, sebelum dia kemudian paham apa yang telah terjadi antara Kiana dan majikannya. Mara berpura-pura untuk menghiraukannya. "Tolong ganti pakaianmu, Tuan Rafael sudah menunggu di meja makan." Kiana yang pada awalnya berniat untuk malas-malasan, mulai teralihkan. Dia menatap Mara dengan kening berk"Rafael ke mana?" Kiana menggenggam tangan Mara dengan erat saat wanita itu akan melewatinya. Tadi, dia sudah masuk ke kamar Rafael, namun laki-laki itu sama sekali tidak terlihat. Ruangan yang semalam terbuka juga kini sudah tertutup. "Tuan sedang lari pagi. Mungkin akan tiba sebentar lagi," jawab marah sembari melepaskan tangan Kiana yang menggenggamnya. Meninggalkan wanita itu untuk kembali bekerja seperti biasa, sebelum kemudian Kiana menahannya lagi. "Tunggu, Noe dan yang lainnya, di mana mereka?" Ketika bangun tidur, Kiana sama sekali tidak melihat keduanya. Hanya ada Mara seorang diri. Kiana bertanya bukan karena mereka sudah berbaikan, melainkan karena penasaran saja. "Tuan Rafael sudah memecat mereka." "APA? DIPECAT?" Saking kagetnya, Kiana sampai tidak sadar malah berteriak. Dia membuat Mara mengerutkan keningnya tidak suka. Akan tetapi, Kiana benar-ben
"Kau, dasar keponakan tidak tahu diuntung. Jangan berpikir kau sudah mengalahkan kami. Kau dan ayahmu sama-sama licik. Aku pastikan, kau akan mendapatkan balasannya," desis Mario sambil menunjuk ke dada Rafael. Tatapannya penuh permusuhan, jelas semua ini terjadi setelah Rafael membeberkan semua kelakuan busuk Marcel yang mengganggu Kiana pada sang kakek. Rafael yang memang tidak salah dan menghajar Marcel, tentu tidak terima. Sementara Guzman jelas memahami semuanya dengan bijak dan menghukum Marcel selama dua bulan untuk tidak diperbolehkan ikut campur dalam masalah perusahaan. Tak hanya itu, Marcel juga tidak diperbolehkan berkeliaran ke club malam atau tempat-tempat lainnya yang biasa dikunjungi, jika tidak maka Guzman akan mencabut semua hak untuk Marcel. Sementara Mario diperintahkan untuk mengawasi anaknya agar tidak melanggar atau kalau tidak, hal yang sama akan terjadi padanya juga. Guzman akan mencoret Mario sebagai
"Aku menyukaimu, Rafael. Aku menyukaimu." Ucapan itu diakhiri dengan lumatan menggebu di bibirnya. Kiana bergerak di pangkuan Rafael tanpa mengenakan sehelai benang pun. Mengerang saat kulit mereka bersentuhan dan ketika tubuh bagian bawah mereka bersatu dalam peluh. Begitu juga dengan Rafael yang memejamkan matanya dan menikmati setiap keindahan yang Kiana miliki. Dia puas setiap kali bercinta dengan wanita ini. Sekarang, hasratnya kian membludak setelah mendengar ucapan wanita itu. Didorongnya Kiana hingga menabrak meja di depannya secara kasar, menyebabkan meja itu bergeser dari tempatnya. Jeritan kesakitan terdengar, namun sekali pun tak membuat gerakan Rafael terhenti. Laki-laki itu malah menggoyangkan pinggulnya semakin kasar. Menikmati punggung Kiana di depan matanya. Dia selalu senang saat berhasil menaklukkan Kiana. Wanita yang selalu menantangnya untuk berdebat. Menyukai? Suka? Wanita itu me
"Bisakah aku datang ke rumahmu malam ini?" "Tidak." "Bisakah aku bertemu dengan Kiana?" "Tidak." "Rafael, apa kau ingin mengurung Kiana di rumah seharian?" "Ya," jawabnya tanpa mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari berkas-berkas milik pasiennya. Tidak memedulikan jika di depannya Ken yang terus merengek meminta agar diizinkan untuk menemui Kiana. "Rafael--" Telinganya yang sudah panas mendengar ocehan temannya itu, tanpa sadar membuat Rafael menggebrak meja. Dia berdiri dari duduknya dan menatap tajam ke arah Ken. "Sebaiknya kau keluar. Aku harus pergi rapat beberapa sebentar lagi." "Tapi--" Tak mau berdebat panjang lebar, Rafael langsung pergi meninggalkan Ken begitu saja. Dia melangkah buru-buru menuju ruang rapat para dokter. Sementara Ken hanya terdiam karena memang, dia tidak ikut serta. Hanya orang-orang yang
Kiana terdiam di kamar Rafael tanpa tahu harus melakukan apa. Dia hanya diperintahkan oleh Mara untuk tetap berada di dalam kamar. Jangan berusaha keluar atau membuat keributan. Meski begitu, Kiana penasaran, memang ada siapa sampai dia kembali dikurung seperti ini? Tadi, saat dia mengintip melalui jendela, matanya hanya menemukan mobil mewah yang masuk ke dalam halaman rumah Rafael. Sayangnya, dia tidak bisa melihat siapa yang keluar dari mobil itu. Apakah ada seseorang yang penting datang ke sini? Rafael sengaja menyembunyikannya? Laki-laki itu memang sepertinya berniat untuk membuatnya mendekam hingga mati di sini. Di saat tengah memikirkan hal tersebut, pintu kamar terbuka. Menampilkan sang pemilik rumah. Rafael berdiri menatap Kiana dengan kedua alis yang mengernyit heran. Kenapa wanita ini bisa ada di sini? Padahal dia sudah menyuruh Mara untuk menyembunyikan Kiana di tempat yang aman, bukan di kamarnya. "K
"Kau membuang semua peninggalan orang tuamu?" tanya Guzman saat dia dan Rafael berada di balkon lantai atas. Menatap pemandangan malam dengan segelas wine sebagai teman. "Tidak. Aku menyimpannya di tempat yang aman." Guzman mengangguk. Sebagai ayah, dia cukup senang jika Rafael masih mau menyimpan barang-barang milik Darren. Meski dia tidak berharap cucunya akan merawatnya. Setelah apa yang terjadi, anaknya memang pantas dibenci. "Dua hari lagi peringatan kematian ayahmu. Apa yang ingin kau--" "Aku tidak akan datang. Jangan beritahu aku apa pun tentang itu karena aku tidak akan pernah datang," potong Rafael sebelum Guzman menyelesaikan kalimatnya. Matanya menatap lurus ke arah langit. Menatap rembulan yang bersinar sangat terang, tidak seperti biasanya. "Itu sangat tidak etis. Kau adalah anak satu-satunya. Mana mungkin tidak datang?" Rafael menoleh. Menghadiahkan
Kiana menatap pantulan dirinya di cermin. Kalung berlian pemberian Rafael terlihat menggantung di lehernya dan membuatnya terlihat sangat cantik. Rambut hitamnya dibiarkan terurai indah dengan poni yang menutupi kening. Hanya saja, yang dikenakannya sekarang adalah seragam pelayan. Namun meski demikian, Kiana tetap cantik. Setelah selesai merapikan penampilan, dia bergegas keluar kamar. Melakukan tugasnya seperti biasa. Menyiapkan sarapan untuk Rafael. Meski anehnya, setelah kejadian di pagi hari saat dia membangunkan laki-laki itu, Rafael jadi menghindarinya. Kiana merasa kalau Rafael tidak mau berdekatan dengannya. Tepat saat dirinya tengah memikirkan itu, matanya tiba-tiba melihat sosok yang dia pikirkan berjalan ke arahnya. Sontak saja, Kiana lantas berjalan mendekatinya. "Rafael! Kau mau langsung berang--" Sungguh nahas, ucapan Kiana terputus saat Rafael berjalan melewatinya begitu saja. Tanpa menatap
"Maaf, sepertinya aku mengganggu kalian." Pemandangan yang ada di depannya membuat dia benar-benar menelan ludah kasar. Tidak bisa mengalihkan matanya sedikit pun. Paha mulus Kiana yang terpampang karena rok panjangnya yang tersingkap, serta tangan Rafael yang menyentuh dada wanita itu yang terbuka, ditambah posisi keduanya terlihat sangat intim. Membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa malu. Telat sedikit saja, mungkin aktivitas panas tak bermoral itu sudah terjadi. Apa Kiana memang wanita seperti ini? Menggoda pria untuk melakukan hubungan intim? Dia tidak percaya. Jujur, saat Rafael mengatakan kalau keduanya tidur bersama, dia masih ragu. Akan tetapi, setelah melihat tindakan provokatif Kiana dengan mata kepalanya sendiri, dia rasa ucapan temannya benar. Kiana seperti wanita-wanita lain yang melempar tubuhnya sembarangan untuk disentuh. "Do-dokter Ken?" Kiana tergagap. Dia kaget bukan k