"Maaf, sepertinya aku mengganggu kalian."
Pemandangan yang ada di depannya membuat dia benar-benar menelan ludah kasar. Tidak bisa mengalihkan matanya sedikit pun. Paha mulus Kiana yang terpampang karena rok panjangnya yang tersingkap, serta tangan Rafael yang menyentuh dada wanita itu yang terbuka, ditambah posisi keduanya terlihat sangat intim. Membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa malu. Telat sedikit saja, mungkin aktivitas panas tak bermoral itu sudah terjadi. Apa Kiana memang wanita seperti ini? Menggoda pria untuk melakukan hubungan intim? Dia tidak percaya. Jujur, saat Rafael mengatakan kalau keduanya tidur bersama, dia masih ragu. Akan tetapi, setelah melihat tindakan provokatif Kiana dengan mata kepalanya sendiri, dia rasa ucapan temannya benar. Kiana seperti wanita-wanita lain yang melempar tubuhnya sembarangan untuk disentuh. "Do-dokter Ken?" Kiana tergagap. Dia kaget bukan kKiana memainkan rambut hitam milik Rafael dengan lembut. Napasnya masih tersengal-sengal setelah sebelumnya dia dan laki-laki itu menghabiskan banyak tenaga. Dia lagi-lagi tidak bisa menolak ketika Rafael menyentuhnya. Kenyataannya, Kiana sangat menikmati apa yang terjadi di antara mereka. "Tubuhmu panas. Aku menyukainya." Tangan Kiana tidak bisa berhenti menyentuh tubuh Rafael yang berkeringat. Membuat laki-laki itu kembali mengerang lirih merasa digoda. "Cukup Kiana. Berhenti menggodaku." Secepat kilat, Rafael menahan tangan Kiana ke atas. Tidak membiarkan wanita itu kembali meraba-raba tubuhnya. Menutup tubuh mereka dengan selimut tebal. Meski karena Kiana tidak bisa diam, selimut yang menutupi tubuhnya sedikit merosot ke bawah. Memerlihatkan tubuh bagian atasnya di hadapan Rafael. Melihat hal tersebut, Rafael berdehem sambil mengalihkan pandangannya. Dia spontan melepaskan tangannya yang menggenggam len
"Terima kasih sudah menyelamatkanku, Tuan Marcel." Kiana menatap Marcel yang tersenyum sambil fokus menyetir. Dia berada di dalam mobil milik Marcel setelah laki-laki itu menyelamatkannya dengan mengajaknya pergi meninggalkan Arkan. Kiana tidak tahu apakah ini pilihan yang tepat atau tidak, tapi hanya laki-laki ini yang bisa menolongnya tadi. Tubuhnya bahkan masih gemetar saat mengingat Arkan hampir menangkapnya. Setelah apa yang terjadi, kini kehadiran Arkan terasa seperti mimpi buruk. Kiana tidak mungkin lupa akan kata-kata laki-laki itu yang berniat mencarinya dan memasukkan dia kembali ke penjara atau rumah sakit jiwa. Kata-kata Arkan yang penuh kebencian. Maka satu-satunya untuk menghindari itu adalah dengan menjauhi Arkan. "Kiana, apa kau sudah makan?" "Huh? B-belum." Kiana sedikit tergagap mendengar perkataan laki-laki itu yang tiba-tiba. "Bagaimana kalau kita pe
Rafael menatap hotel di depannya dengan tangan terkepal. Dia masuk terburu-buru dan berjalan ke arah meja resepsionis sambil memasang wajah dingin. "Tolong tunjukkan ke mana Marcel membawa seorang wanita!" "Maaf Tuan, ini--" "Kau harus mengatakannya jika ingin selamat. Kau tahu siapa aku 'kan!" Rafael menyorot tajam pada sang resepsionis. Hingga resepsionis itu ketakutan dan mengatakan apa yang diketahuinya, sekaligus menunjukkan di mana keberadaan Marcel. Tak mau membuang waktu, Rafael dengan segera berlari menuju ke arah kamar yang disebut oleh sang resepsionis. Hatinya sudah sangat panas memikirkan apa yang dilakukan Marcel terhadap Kiana. Bagaimana mungkin anak buahnya sendiri membiarkan Kiana pergi? Membuatnya harus pulang detik itu juga karena marah memikirkan Kiana kabur. Wanita pelayan itu membiarkan Kiana keluar, padahal sudah tahu kalau dia tidak pernah mengizinkannya. Meski beruntung
Kiana menatap manik mata hitam milik Rafael dengan wajah memerah. Kedua kakinya melingkar di pinggang laki-laki itu. Membiarkan saat Rafael menggoyangkan pinggulnya secara kasar. Sementara kedua tangannya terikat oleh borgol. Ini semua salahnya, jika saja tadi dia tidak asal menggoda Rafael, dirinya tidak akan berakhir seperti ini. Rafael benar-benar memborgolnya. "Katakan. Katakan ... sesuatu, Kiana." Hembusan napas kasar laki-laki itu menerpa wajahnya. Membuat Kiana semakin bergairah, namun dia tidak bisa melakukan banyak hal. Kedua tangannya hanya bisa mengepal saat Rafael dengan sengaja menggerayangi tubuhnya. Sekuat tenaga, Kiana menahan erangan kenikmatan akibat ulah Rafael. "Dasar jalang." Senyum culas terlihat di bibir Rafael ketika Kiana tanpa sengaja mendesis nikmat. "Akhhh ... lepas. Tolong lepaskan tanganku." Sayangnya Rafael tidak mau mendengar. Dia menikma
"Kami bertemu Kiana tadi." Fokus Andrew yang tengah menatap ponsel spontan teralihkan pada Arkan dan Sashi. Matanya melotot dan refleks merangsek maju. "A-apa? Kalian, katakan di mana kalian bertemu dengan Kiana?" "Aku tidak sengaja melihat Kiana saat sedang belanja, tapi dia lari ketakutan," sahut Sashi sambil menatap Arkan dengan raut wajah bingung. Padahal suaminya sudah mengejarnya, namun Kiana justeru lari tunggang langgang. "Dia pasti takut melihatku." Arkan meringis dan menatap adiknya dengan penuh rasa bersalah. Matanya bisa melihat dengan sangat jelas kekecewaan dan ekspresi takut yang Kiana tunjukkan padanya. "Dia pasti menyangka Kak Arkan akan memenjarakannya lagi." Andrew mendesah frustrasi memikirkannya. Kiana pernah bercerita tentang ucapan kakaknya yang ingin memasukkannya kembali ke dalam rumah sakit jiwa. Pasti ucapan itu menimbulkan efek trauma bagi Kiana.
"Jadi, apa kau bisa menjelaskan pada Kakek apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau bisa sampai menjadi pelayan cucuku dan katakan, apa saja yang diperbuat Rafael padamu?" Guzman menatap lekat ke arah Kiana yang ada di depannya. Dia menemui wanita itu saat Rafael tengah di rumah sakit. Kesempatan mengorek banyak informasi tentang kelakuan cucu biadabnya itu. Guzman tahu seperti apa sifat Rafael, tidak mungkin cucunya mau mengakui kesalahannya. Rafael licik dan pandai berkelit. "Itu ... aku tidak tahu, Kek." Kiana meremas kedua tangannya dengan gugup. Dia sendiri bingung tentang alasan Rafael begitu membencinya di hari pertama mereka bertemu. Jika kemarin dia sempat mengira kalau Rafael membencinya karena telah membunuh ayah dari laki-laki itu, tampaknya semua itu salah. Rafael tidak terlihat seperti sangat marah karena masalah itu. Seperti ada sesuatu yang laki-laki itu sembunyikan. Sayangnya Kiana tidak tahu itu
"Kau tidak seharusnya mengatakan itu pada orang asing!" Tangan Rafael menarik lengan Kiana dengan kuat dan menyembunyikannya di belakang tubuhnya. Namun karena cengkeram yang begitu kuat, Kiana harus meringis sakit. Dia hendak membantah perkataan Rafael, tapi laki-laki itu malah memelototinya. "Kau menyakitinya, Rafael. Lepaskan dia." Bukannnya menurut, Rafael justeru menggeram marah. Dia berniat menarik Kiana ke dalam rumah. Meninggalkan kakek tua yang seenaknya membawa Kiana begitu saja. Sayangnya, Guzman dengan cepat menahan Kiana dari sisi yang lain. "Jangan bertindak kasar. Kasihan Kiana." Pandangan Rafael baru kemudian melihat ke arah Kiana. Lengan wanita itu memerah karena ulahnya dan spontan membuatnya seketika melepaskan genggamannya. Matanya terlihat bergetar, tapi dia malah membuang muka tanpa seucap kata maaf pun. Sampai Guzman yang menarik Kiana masuk ke da
"Masuklah Kiana, anggap saja ini rumahmu sendiri," ucap Guzman sambil tersenyum lebar. Dia mengajak Kiana masuk ke dalam rumahnya. Menculik wanita itu dari cucunya. Biar saja Rafael mencari-cari Kiana. Cucunya harus mendapat pelajaran karena menghalanginya melihat wanita ini. Setelah menyelediki yang terjadi, Guzman mendapati fakta kalau Kiana adalah orang yang terlibat dalam kematian anaknya, Daren, lima tahun yang lalu. Benci? Tidak, dia tidak membenci Kiana, karena setelah diselidiki, dia tahu perbuatan anaknya yang hampir saja memperkosa wanita ini. Sungguh, ini adalah fakta yang membuatnya sangat terluka sebagai seorang ayah. Daren adalah putranya yang sangat berengsek. Dia menjadi semakin merasa bersalah pada Kiana. Sekarang, Rafael justeru bersikap demikian. Sungguh mengecewakan. "Rumahnya sangat indah." Kiana tidak bohong saat memuji hal tersebut. Rumah tempat kakek Rafael t