"Kau tidak seharusnya mengatakan itu pada orang asing!"
Tangan Rafael menarik lengan Kiana dengan kuat dan menyembunyikannya di belakang tubuhnya. Namun karena cengkeram yang begitu kuat, Kiana harus meringis sakit. Dia hendak membantah perkataan Rafael, tapi laki-laki itu malah memelototinya. "Kau menyakitinya, Rafael. Lepaskan dia." Bukannnya menurut, Rafael justeru menggeram marah. Dia berniat menarik Kiana ke dalam rumah. Meninggalkan kakek tua yang seenaknya membawa Kiana begitu saja. Sayangnya, Guzman dengan cepat menahan Kiana dari sisi yang lain. "Jangan bertindak kasar. Kasihan Kiana." Pandangan Rafael baru kemudian melihat ke arah Kiana. Lengan wanita itu memerah karena ulahnya dan spontan membuatnya seketika melepaskan genggamannya. Matanya terlihat bergetar, tapi dia malah membuang muka tanpa seucap kata maaf pun. Sampai Guzman yang menarik Kiana masuk ke da"Masuklah Kiana, anggap saja ini rumahmu sendiri," ucap Guzman sambil tersenyum lebar. Dia mengajak Kiana masuk ke dalam rumahnya. Menculik wanita itu dari cucunya. Biar saja Rafael mencari-cari Kiana. Cucunya harus mendapat pelajaran karena menghalanginya melihat wanita ini. Setelah menyelediki yang terjadi, Guzman mendapati fakta kalau Kiana adalah orang yang terlibat dalam kematian anaknya, Daren, lima tahun yang lalu. Benci? Tidak, dia tidak membenci Kiana, karena setelah diselidiki, dia tahu perbuatan anaknya yang hampir saja memperkosa wanita ini. Sungguh, ini adalah fakta yang membuatnya sangat terluka sebagai seorang ayah. Daren adalah putranya yang sangat berengsek. Dia menjadi semakin merasa bersalah pada Kiana. Sekarang, Rafael justeru bersikap demikian. Sungguh mengecewakan. "Rumahnya sangat indah." Kiana tidak bohong saat memuji hal tersebut. Rumah tempat kakek Rafael t
Rafael memarkirkan mobilnya di luar gerbang saat melihat bodyguard dan security-nya tengah menahan dua orang laki-laki yang mencoba masuk ke dalam rumah. Membuat matanya memicing saat merasa mengenali mereka. Hingga Rafael dengan terpaksa turun dari mobil dan menghampiri kerumunan tersebut. "Ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut di rumahku?" Semua mata serentak tertuju ke arah Rafael yang baru datang. Begitu pula dua orang yang tadi berseteru dengan security dan bodyguard-nya. Arkan dan Andrew. Dua kakak-beradik yang membuat Rafael mengernyitkan dahi. Apa maksud kedatangan keduanya? "Mereka berdua mencoba masuk ke dalam rumah, Tuan. Kami berusaha menghalanginya," ucap salah seorang security, yang seketika membuat Andrew melotot marah. "Kau sial--" "Maaf Dokter Rafael, ada hal yang harus kami pastikan di sini," sahut Arkan yang langsung menutup mulut adiknya dan menahan Andrew sebelum
Kiana menatap pakaian yang dikenakannya dengan gugup. Dress berwarna biru langit dan lengan panjang sebatas lutut dengan motif bunga di bagian bawah tampak cantik melekat di tubuhnya. Tak hanya itu, dress tersebut memerlihatkan pundak serta bentuk dadanya, membuat Kiana tampak manis sekaligus seksi. Rambutnya pun diikat ke atas hingga terlihat leher jenjangnya. Penampilannya saat jauh berbeda dibanding saat tinggal bersama Rafael. Kiana tidak pernah didandani seperti ini oleh para pelayan. Ralat, dia pernah satu kali saat Rafael berniat mengusir Mili dan menggunakannya. Setelah itu, Kiana dibiarkan memakai seragam pelayan tanpa perlu memakai makeup. "Anda sangat cantik, Nona. Saya seperti melihat bidadari yang jatuh dari langit," ucap salah satu pelayan dengan berlebihan. Memuji penampilan Kiana sekaligus orang yang bertugas melakukan make over padanya. "Terima kasih." Kiana tersenyum tip
"Kau, apa kau waras? Kiana pasti ada di sana! Rafael menyembunyikannya. Sialan, harusnya kau membiarkanku mencarinya," umpat Andrew begitu dia dan Arkan tiba di rumah. Ada Sashi yang sudah menunggu keduanya pulang setelah menidurkan kedua anaknya. Dia ikut khawatir dengan Kiana, jika benar kalau wanita itu ditahan oleh seseorang. "Apa yang terjadi? Kak Arkan, Andrew, kalian tidak berhasil menemukan Kiana?" Sashi berjalan mendekati Arkan dan menatap suaminya dengan cemas. Namun terlihat Arkan hanya tersenyum kecut seraya menggeleng. Menjelaskan kalau dia tidak berhasil. "Rafael sangat licik, dia pasti menyembunyikan Kiana di suatu tempat," sahut Andrew seraya merebahkan tubuhnya di sofa. Dia lelah. Pikiran dan tenaganya. "Sayang, bisa kamu ambilkan aku minum?" Arkan mengecup singkat bibir istrinya. Membiarkan Sashi meninggalkan mereka sampai dia duduk di samping adiknya dan menatap serius ke arah Andre
Rafael membuka matanya dengan malas. Menatap matahari yang sudah menampakkan diri. Dia merasa baru tidur dua jam lalu, kini dia harus terbangun lagi. Kepalanya terasa sedikit pusing, bintang-bintang seolah berputar di kepalanya. Sial. Dia tidak bisa tidur semalaman. Gara-gara mimpi buruk tentang ayahnya kembali muncul. Kematian yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri atau tentang perilaku menjijikkan ayahnya yang selalu membuatnya mual. Rasanya itu seperti baru terjadi kemarin. Rafael benci memikirkannya. Namun bayangan ayahnya tidak pernah lepas dari benaknya. Saat wajah sekarat pria tua itu terus terbayang di kepalanya. Sambil menghela napas, Rafael bangkit dari ranjang dan berjalan ke arah kamar mandi. Melihat matanya yang seperti mengantuk, sebelum mencuci wajahnya. Jadwalnya sedikit untuk hari ini. Dia enggan berada di rumah sakit terlalu pagi. Mendengar gosip atau bahkan Ken yang pasti terus menanyakan tentang Kiana.
"Rafael, jelaskan, bagaimana Kiana bisa ada di rumah Kakekmu? Apa yang terjadi?" "Tidak ada. Hanya Kakek tua itu membawa Kiana," dengkus Rafael seraya terus berjalan menuju kamar rawat mamanya. Dia ingin melihat kondisinya setelah sang kakek mengatakan kalau dia mendapat kabar bahwa mamanya sudah membaik. Mungkin itu hanya alasan agar dia pergi dan tidak mengganggu Kiana. "Oh, baguslah. Dia tidak perlu menderita lagi," gumam Ken pelan, namun ucapannya terdengar oleh Rafael yang seketika memberikan tatapan tajamnya. "Apa?" Ken hanya memberikan ringisan pelan pada Rafael hingga terdengar dengusan kasar dari Rafael, sebelum dia mempercepat langkahnya dan meninggalkan Ken yang mengikutinya dari belakang. Untuk masalah Kiana, akan dia urus nanti. Sekarang, Rafael ingin tahu sejauh apa perkembangan mamanya. Sesampainya di ruangan, Rafael tidak mendapati Firanda di sana. Ruangan itu
Kiana merenung. Dia memikirkan permintaan Guzman tadi siang. Saat kakek tua itu memintanya memaafkan Rafael dan memohon agar dia menikah dengan laki-laki itu. Memang tidak ada paksaan, namun melihat tatapan penuh harap Guzman padanya, membuat Kiana tidak enak. Kakek tua itu ingin dia mengubah Rafael agar kembali pada Rafael yang dulu. Tidak memiliki dendam dan menjalani hidup dengan sederhana. Apakah itu bisa? Rasanya saja sangat mustahil. Tadi pagi saja, dia ditertawakan gara-gara membicarakan masa lalu laki-laki itu. Rafael tidak menganggap perkataannya serius. Ditambah sekarang, dia yakin kalau perasaan benci terhadap Rafael sudah terkikis. Ada perasaan lain yang begitu mengganggunya dan membuat Kiana sangat takut. Jalan mana yang harus dia ambil sekarang? Di tengah kemelut permasalahan yang membuatnya bingung dan maju-mundur, Kiana tidak sadar jika seseorang berusaha memutar kunci kamarnya. Melangkah ma
"Shit, kenapa harus mogok!" umpat Andrew saat mobilnya tiba-tiba berhenti di pinggir jalan. Berdecak sebal karena hari sudah mulai gelap dan dia sangat butuh tumpangan untuk pergi menemui Arkan. Membicarakan kembali tentang Kiana. Sekarang, dia pasti akan terlambat. Terpaksa, Andrew keluar dari mobil dan menghubungi taksi. Dia tidak bisa menunda-nundanya lagi. Namun saat dia sedang sibuk bicara di telepon, matanya tanpa sengaja melihat seseorang yang dikejar-kejar oleh beberapa pria. Awalnya dia memilih mengabaikan, semua itu tidak ada urusannya sama sekali. Akan tetapi, tak disangka pria yang dikejar oleh beberapa orang itu menyebrang dan menuju ke arahnya. Mungkin karena orang itu juga tanpa sengaja melihatnya. Gilanya lagi, pria itu bersembunyi di belakang tubuhnya, membuat ponselnya terjatuh. Belum cukup sampai sana, Andrew harus menjadi sasaran orang-orang yang mengejar itu juga. Ada sekitar tiga orang dan mereka semua tampak
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal