Kiana merenung. Dia memikirkan permintaan Guzman tadi siang. Saat kakek tua itu memintanya memaafkan Rafael dan memohon agar dia menikah dengan laki-laki itu. Memang tidak ada paksaan, namun melihat tatapan penuh harap Guzman padanya, membuat Kiana tidak enak. Kakek tua itu ingin dia mengubah Rafael agar kembali pada Rafael yang dulu. Tidak memiliki dendam dan menjalani hidup dengan sederhana.
Apakah itu bisa? Rasanya saja sangat mustahil. Tadi pagi saja, dia ditertawakan gara-gara membicarakan masa lalu laki-laki itu. Rafael tidak menganggap perkataannya serius. Ditambah sekarang, dia yakin kalau perasaan benci terhadap Rafael sudah terkikis. Ada perasaan lain yang begitu mengganggunya dan membuat Kiana sangat takut. Jalan mana yang harus dia ambil sekarang? Di tengah kemelut permasalahan yang membuatnya bingung dan maju-mundur, Kiana tidak sadar jika seseorang berusaha memutar kunci kamarnya. Melangkah ma"Shit, kenapa harus mogok!" umpat Andrew saat mobilnya tiba-tiba berhenti di pinggir jalan. Berdecak sebal karena hari sudah mulai gelap dan dia sangat butuh tumpangan untuk pergi menemui Arkan. Membicarakan kembali tentang Kiana. Sekarang, dia pasti akan terlambat. Terpaksa, Andrew keluar dari mobil dan menghubungi taksi. Dia tidak bisa menunda-nundanya lagi. Namun saat dia sedang sibuk bicara di telepon, matanya tanpa sengaja melihat seseorang yang dikejar-kejar oleh beberapa pria. Awalnya dia memilih mengabaikan, semua itu tidak ada urusannya sama sekali. Akan tetapi, tak disangka pria yang dikejar oleh beberapa orang itu menyebrang dan menuju ke arahnya. Mungkin karena orang itu juga tanpa sengaja melihatnya. Gilanya lagi, pria itu bersembunyi di belakang tubuhnya, membuat ponselnya terjatuh. Belum cukup sampai sana, Andrew harus menjadi sasaran orang-orang yang mengejar itu juga. Ada sekitar tiga orang dan mereka semua tampak
"Rafael, kau tahu 'kan kalau Kiana tidak salah?" tanya Guzman sambil menatap Rafael yang duduk di hadapannya. Suasana malam yang sunyi dan dingin, seolah menjadi teman bagi mereka. Guzman gemas dengan sikap Rafael yang tidak ada perubahan. Cucunya itu, tampak santai dan dia tahu kalau Rafael kembali meniduri Kiana. Sudah dia katakan kalau semua ruangan ini dipasang CCTV, tapi sepertinya Rafael malah menantangnya. "Kau lebih membelanya dibanding cucumu sendiri?" Rafael tersinggung. Dia tidak suka dengan ucapan Guzman. Baginya Kiana tetap salah, karena terlahir dan memiliki wajah yang mirip dengan wanita itu. "Jika kau salah, tentu aku tidak bisa membelamu." Guzman mengusap wajahnya kasar. Meski pada kenyataannya, saat dia tahu kesalahan Rafael sekali pun, dia tetap tidak mau melaporkan cucunya itu. Mungkin tindakannya terlalu egois karena hanya meminta maaf pada Kiana, sementara Rafael dibiarkan begitu saja tanpa dihukum. Dia kira,
"Rafael belum pulang?" "Belum, Tuan." Guzman mengangguk. Meminta pelayan itu untuk pergi dan berjalan menuju ruang makan. Cucunya kembali terlambat pulang. Semua ini pasti karena menantunya. Dia jadi penasaran, sejauh mana perkembangan Firanda? Apa menantunya sudah benar-benar sembuh atau tidak? Mungkin ini juga yang menjadi penyebab Rafael sedikit ceria dari biasanya. Benar-benar, dia tidak menyangka dalam diri cucunya masih terdapat kelembutan. "Lho, Kiana, kenapa kau yang menyiapkan makan malam?" Guzman terkejut saat mendapati Kiana tengah menata piring dan meletakkan makanan yang di bawanya dari dapur dibantu oleh para pelayan lain. "Ah, Kakek, Kiana hanya membantu sedikit. Tidak ada yang bisa Kiana kerjakan selama tinggal di sini," balasnya sambil meringis. Dia cemas kalau Guzman akan memarahinya. Meski kakek tua itu hanya menghembuskan napas kasar dan tersenyum lembut. Perlahan, dia berja
"Maaf, saya mengambilnya tanpa izin, tapi saya sangat tertarik dengan ini." Andrew merogoh saku bajunya dan memerlihatkan selembar foto yang dia ambil dari dompet Garry beberapa hari lalu. Tindakannya memang kurang ajar, tapi rasa penasaran membuatnya sulit menahan diri. Dia juga mengatakannya pada sang kakak. Namun Arkan juga bingung dan berkata untuk bertanya langsung. Semua itu jelas karena mereka tidak dapat mencari tahu tentang seorang Garry Carlson. Kehidupan pribadi pria itu sangat tertutup rapat. Artikel yang menjelaskan tentang latar belakangnya pun sangat sedikit. Ditambah, pria ini tidak pernah menetap di suatu negara dan sering berpindah-pindah. Meski ada yang mengatakan kalau selama sepuluh tahun terakhir, sang milyarder itu memilih untuk tinggal di sini. "Astaga, akhirnya aku menemukan ini. Aku mencari-carinya dari kemarin," gumam Garry dengan penuh haru. Dia merebut foto itu dan menatapnya penuh cinta. Jantungnya sep
Jika ada wanita terbodoh di dunia ini, mungkin dialah orangnya. Bisa-bisanya Kiana menyukai orang yang pernah menyakiti, menahan bahkan berperilaku buruk terhadapnya. Bahkan sekarang, lagi-lagi dia memberikan tubuhnya pada laki-laki yang terlelap di sampingnya. Matanya menelisik tubuh kekar di sampingnya. Menatap laki-laki yang telah memiliki hati dan tubuhnya dengan lekat. Rafael. Rahang tegas itu terlihat begitu menawan. Bibir dan mata yang terpejam tampak begitu menenangkan. Dada lebar yang membuat setiap wanita berharap bisa bersandar di sana. Tangan kekar yang bisa menjadi tempat berlindung. Rasanya Kiana tidak percaya jika laki-laki ini memiliki masa lalu yang kelam. Kenangan buruk yang mengubah semua sifatnya menjadi sangat mengerikan. Padahal kesan kuat begitu melekat padanya. Memergoki perselingkuhan ayahnya, tidak dipercayai oleh ibunya setelah mengungkapkan keberengsekan ayahnya, dan hampir menja
"Apa kau yakin ini adalah tempatnya?" tanya Garry saat Andrew mengajaknya ke suatu tempat. Di daerah yang cukup terpencil dan jarang sekali terlihat warga. Dia jelas kaget, apalagi setelah melihat sebuah rumah yang ada di depan matanya. "Ya, sebaiknya Anda lihat dulu ke dalam." Rumah kecil yang sudah tak terawat. Tanaman merambat di dinding dan pintu. Rumah tak layak huni karena begitu pintu dibuka, pintu tersebut langsung ambruk. Menampilkan pemandangan rumah yang sangat kotor. Tidak ada satu pun barang pada tempatnya. Semua bak kapal pecah. Apalagi setelah dia melihat lantai yang berwarna merah pekat nyaris seperti berwarna hitam dan terlihat kering. Dia tidak tahu apa itu, tapi Andrew tahu. Itu adalah darah yang sampai saat ini belum dibersihkan dan dibiarkan begitu saja hingga mengering. "Apa ini benar-benar tempat yang layak untuk ditinggali manusia?" Garry menggeleng. Lemari televisi yang a
Langkah kakinya tertahan, nyalinya mendadak ciut. Kiana tidak berani mendekat. Pandangannya berubah sedih. Wanita itu dulu begitu kurus kering, tatapan matanya selalu kosong seolah tak bernyawa, bahkan untuk tersenyum saja, dia tidak pernah melihatnya dan penyebab semua itu adalah karena perselingkuhan ibunya dan ayah Rafael. Akan tetapi, sekarang terlihat berbeda, tubuhnya sudah sedikit berisi, bibirnya pun terus tersenyum. Jika Kiana mendekat sekarang, apakah yang akan terjadi? "Kiana, ayo," ajak Guzman, membuat Kiana mengangguk ragu. Dia yang awalnya meminta, jadi dia tidak memiliki pilihan lain apalagi menolak. Jika semuanya baik-baik saja, dia ingin sekali meminta maaf atas yang telah ibunya lakukan. "Firanda," panggil Guzman sambil menghampiri wanita yang duduk di kursi roda. Di dekat sebuah pohon rindang, bersantai sembari melihat bunga-bunga bersama seorang perawat. Sang perawat yang men
"SIALAN! KENAPA BISA BEGINI? KATAKAN APA YANG SEBENARNYA TERJADI!" Rafael menggebrak meja kerjanya dengan keras. Membentak Guzman yang sekarang berdiri di depannya. Dia naik pitam setelah mengetahui apa yang terjadi pada mamanya yang kembali memberontak. Padahal selama beberapa hari ini, mamanya sudah tenang. Kepalanya terasa berdenyut sakit. Dia tidak tega melihat mamanya harus dirantai karena tidak berhenti berontak dan berniat menyakiti orang lain. Dia yakin, mamanya tidak akan kembali seperti itu jika tidak ada hal yang memicunya. Rafael juga tadi tidak sengaja mendengar namanya menyebut nama Lyana. Wanita jalang itu. "Tenanglah, tidak terjadi apa pun. Tahan emosimu. Mungkin ibumu hanya merasa frustrasi," ucap Guzman berusaha menutupi apa yang terjadi. Entah apa yang terjadi pada Kiana jika dia mengatakan semuanya. "Jangan bohong! Jelas-jelas kau tahu apa yang terjadi!" Rafael mendesis dan sambil menget
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal