"SIALAN! KENAPA BISA BEGINI? KATAKAN APA YANG SEBENARNYA TERJADI!" Rafael menggebrak meja kerjanya dengan keras. Membentak Guzman yang sekarang berdiri di depannya. Dia naik pitam setelah mengetahui apa yang terjadi pada mamanya yang kembali memberontak. Padahal selama beberapa hari ini, mamanya sudah tenang.
Kepalanya terasa berdenyut sakit. Dia tidak tega melihat mamanya harus dirantai karena tidak berhenti berontak dan berniat menyakiti orang lain. Dia yakin, mamanya tidak akan kembali seperti itu jika tidak ada hal yang memicunya. Rafael juga tadi tidak sengaja mendengar namanya menyebut nama Lyana. Wanita jalang itu. "Tenanglah, tidak terjadi apa pun. Tahan emosimu. Mungkin ibumu hanya merasa frustrasi," ucap Guzman berusaha menutupi apa yang terjadi. Entah apa yang terjadi pada Kiana jika dia mengatakan semuanya. "Jangan bohong! Jelas-jelas kau tahu apa yang terjadi!" Rafael mendesis dan sambil mengetTubuh Kiana gemetar. Dia takut melihat Rafael yang sangat marah. Apa mungkin sesuatu telah terjadi? Apa kehadirannya telah membuat keadaan menjadi semakin buruk? Hingga saat Kiana tengah berpikir, dia dibuat tersentak oleh tangan Rafael yang mencengkeram rahangnya. Alhasil, Kiana harus menahan rasa sakit. "Kaupikir, apa yang telah kaulakukan, huh? Apa kau sedang berusaha membalasku?" desis Rafael tepat di depan wajah Kiana. "Apa? Tidak! Aku tidak berniat melakukan itu! Aku tidak bermaksud begitu!" Kiana menggelengkan kepalanya beberapa kali sambil memegang kedua tangan laki-laki itu. Tak pernah ada niat sedikit pun untuk melakukan hal jahat pada ibunya Rafael. Bukan seperti itu tujuannya. Kiana tidak mau lagi melakukan hal jahat, terlebih dia dan Firanda tidak memiliki masalah apa-apa. Tidak mungkin dirinya berniat menyerang ibu dari Rafael tanpa alasan. "Aku hanya, aku hanya mau melihat ibumu. Aku tidak tahu kalau dia akan b
Andrew, Ken dan Guzman masuk ke dalam rumah dengan langkah terburu-buru. Para pelayan sudah berbaris rapi seperti tahu akan kedatangan mereka. Hingga Guzman lantas dihampiri oleh kepala pelayan yang tadi meneleponnya dan memberitahukan kalau Rafael berada di kamar Kiana. Tentu saja, tubuh Guzman langsung membatu. Matanya membulat dengan jantung yang berdetak kencang. Dia takut cucunya melakukan hal buruk. Membuatnya tanpa basa-basi, langsung berjalan menuju kamar Kiana. Diikuti oleh Andrew serta Ken dari belakang. Ken yang memang tidak memiliki jadwal ke rumah sakit, tentu ingin melihat Kiana dan memastikan wanita itu baik-baik saja. Meski rasa khawatirnya tidak hilang sejak Guzman mengatakan bahwa Rafael ada di rumah karena Ken tahu, kalau Rafael adalah orang yang nekat. Hingga ketika mereka bertiga sudah ada di depan pintu, tanpa banyak bicara, Andrew yang sudah kesal mendobraknya dengan keras sampai pintu itu rusak dan memerliha
Sinar matahari mulai menembus masuk melalui ventilasi udara dan jendela yang sedikit terbuka. Di sebuah kamar di mana seorang wanita tengah tertidur dengan laki-laki yang duduk dan terlelap di sebelahnya. Sampai wanita itu akhirnya membuka mata. Bias cahaya mentari menyilaukan matanya dari arah sebelah kiri, membuatnya dengan cepat berpaling ke sisi kanan. Dia masih mengantuk, matanya akan kembali terlelap, tapi justru terbuka lebar saat melihat siapa orang yang ada di sebelahnya dan menggenggam tangannya dengan erat. "Andrew?" panggilnya dengan pelan. Dia berusaha untuk melepaskan genggaman tangan itu, akan tetapi hal tersebut justru membangunkan Andrew. Kepala laki-laki itu terangkat dan menatap ke arahnya dengan mata sayu karena masih mengantuk. Andrew tampak mengusap kedua matanya dan tersenyum tipis. "Kiana? Akhirnya kau bangun juga," desahnya lega. Pandangan Andrew terlihat penuh kerinduan. Dalam sekejap, r
Kiana tidak tahu apa yang terjadi pada Rafael setelah dia dibawa ke rumah milik Andrew. Akhirnya, dia tetap merepotkan laki-laki itu. Padahal Kiana sudah membalasnya dengan sebuah pengkhianatan. Kenapa Andrew bisa sangat mencintainya seperti ini? Bertahun-tahun mereka berteman, berpisah lalu bertemu lagi, namun perasaan Andrew sama sekali tidak berubah terhadapnya. Mungkin sempat teralihkan dengan kehadiran Sashi, tapi hanya sebentar karena setelah mereka bertemu kembali, Andrew terus melekat padanya. Bahkan saat ini, laki-laki itu tengah menyisir rambutnya di depan cermin. Kiana bisa melihat senyum Andrew. Dia tidak tahu apa ada hal baik atau tidak. Padahal dia sudah berkata kalau dirinya tidak bisa mencintai laki-laki itu, tapi sepertinya lagi-lagi Andrew menulikan telinganya. "Andrew, aku bisa melakukannya sendiri. Biarkan aku menyisirnya." "Tidak, Kiana. Kau diam saja," ucap Andrew sambil menahan tangan Kiana
Keadaan cukup buruk saat Firanda dibawa ke rumah sakit. Rafael dan Guzman tidak bisa menghilangkan perasaan khawatir. Terlebih Rafael yang sedari tadi mondar-mandir tak jelas di depan ruang IGD. Tubuhnya masih kaku dan wajah tegangnya sama sekali tak mengendur. Dia takut terjadi sesuatu pada mamanya. Kenapa dan bagaimana bisa ini terjadi? Bukankah mamanya sudah diikat? Sayangnya, petugas yang menemukan mamanya pun mengatakan tidak tahu apa-apa. Dia juga terkejut ketika mendapati sebuah ruangan dengan pintu terbuka, padahal semua pintu akan tertutup jika malam hari tiba. Terlebih rantai yang mengikat Firanda juga sudah dilepas. Menjelaskan mungkin ada orang yang datang ke sana. Namun sialnya, Rafael tidak bisa mengetahui siapa orang itu. CCTV yang memantau area di sekitar ruangan mamanya sudah dirusak oleh seseorang. Seperti memang sudah direncanakan. Jika seperti ini, Rafael berharap lebih baik mamanya seperti mayat hidup dari pada
Kini, Firanda dipindahkan ke ruang ICU. Kondisi mamanya masih kritis dan Rafael tidak bisa memejamkan mata dari dini hari tadi. Begitu juga dengan Guzman yang setia menemaninya. Kakeknya itu tidak meninggalkannya barang sebentar pun. Selalu ada di sisi Rafael dan berusaha menenangkannya. "Rafael, makanlah. Kau belum mengisi perutmu sejak tadi." Guzman menyodorkan kantung plastik berisi satu bungkus makanan yang dia suruh belikan dari bawahannya pada Rafael. Dia sudah mengambil bagiannya. Namun sayangnya, Rafael menggeleng. Dia tidak tertarik dengan makanan itu. Dirinya hanya bisa menunggu karena dokter belum mengizinkan seorang pun untuk masuk ke dalam. Mamanya harus beristirahat dan jangan diganggu sementara waktu. "Jangan keras kepala. Jika kau sakit, siapa yang menjaga ibumu?" Barulah setelah Guzman mengatakan kalimat itu, Rafael dengan terpaksa mengambil kantung plastik dan mengeluarkan makanan dari san
"Kenapa dengannya, Kak?" Sashi menatap suaminya yang datang menghampirinya dan memeluk erat pinggangnya. Mengecup bibirnya dengan singkat. Lalu beralih melirik ke arah Andrew yang duduk di sofa dengan ekspresi penuh frustrasi. Adik iparnya tiba-tiba datang dan mengajak suaminya untuk minum bersama. "Tidak tahu, Sayang. Mungkin masalah Kiana lagi," jawab Arkan tanpa melepaskan pelukannya, "bagaimana dengan anak-anak, mereka sudah tidur?" Arkan memberi kecupan mesra di leher Sashi. Dia sudah merindukan istrinya yang sepanjang hari terus dimonopoli oleh kedua anaknya. Namun sayangnya, tubuh Arkan didorong oleh Sashi yang seakan tahu apa yang ada dalam di pikiran suaminya. "Kak Arkan apaan sih? Kakak urus saja Andrew dulu. Kasihan dia." "Biarkan saja, nanti dia akan pulang sendiri. Aku ingin menghabiskan waktu dengan istriku." Adik kurang ajar dan selalu menyusahkannya itu, terus mengganggu k
"APA? KIANA PERGI? BAGAIMANA BISA KALIAN MEMBIARKANNYA PERGI SEORANG DIRI?" Andrew membentak para pelayan dan security yang tadi melihat Kiana keluar dari rumahnya. Jantungnya mencelos, memikirkan bagaimana wanita itu bisa meninggalkannya lagi. "Maafkan kami, Tuan. Non Kiana mengatakan kalau dia hanya akan keluar. Kami tidak tahu kalau dia pergi," jawab security yang tadi sempat berbincang sebentar dengan Kiana. Dia menjelaskan jika wanita itu pergi tanpa membawa apa-apa. Jadi, dirinya tidak berpikir kalau Kiana berniat meninggalkan kediaman. Hanya saja, sialnya Andrew menemukan secarik kertas berisi satu kalimat yang 'Maafkan aku dan selamat tinggal, Andrew'. Kalimat yang dia temukan di meja nakas bersama cincin yang sengaja dia simpan di sana. Masih berharap jika wanita itu mau memakainya. "Sialan! Dasar tidak berguna!" "Andrew, bagaimana jika kita mencarinya sekarang? Aku khawati
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal