"Kenapa dengannya, Kak?" Sashi menatap suaminya yang datang menghampirinya dan memeluk erat pinggangnya. Mengecup bibirnya dengan singkat. Lalu beralih melirik ke arah Andrew yang duduk di sofa dengan ekspresi penuh frustrasi. Adik iparnya tiba-tiba datang dan mengajak suaminya untuk minum bersama.
"Tidak tahu, Sayang. Mungkin masalah Kiana lagi," jawab Arkan tanpa melepaskan pelukannya, "bagaimana dengan anak-anak, mereka sudah tidur?" Arkan memberi kecupan mesra di leher Sashi. Dia sudah merindukan istrinya yang sepanjang hari terus dimonopoli oleh kedua anaknya. Namun sayangnya, tubuh Arkan didorong oleh Sashi yang seakan tahu apa yang ada dalam di pikiran suaminya. "Kak Arkan apaan sih? Kakak urus saja Andrew dulu. Kasihan dia." "Biarkan saja, nanti dia akan pulang sendiri. Aku ingin menghabiskan waktu dengan istriku." Adik kurang ajar dan selalu menyusahkannya itu, terus mengganggu k"APA? KIANA PERGI? BAGAIMANA BISA KALIAN MEMBIARKANNYA PERGI SEORANG DIRI?" Andrew membentak para pelayan dan security yang tadi melihat Kiana keluar dari rumahnya. Jantungnya mencelos, memikirkan bagaimana wanita itu bisa meninggalkannya lagi. "Maafkan kami, Tuan. Non Kiana mengatakan kalau dia hanya akan keluar. Kami tidak tahu kalau dia pergi," jawab security yang tadi sempat berbincang sebentar dengan Kiana. Dia menjelaskan jika wanita itu pergi tanpa membawa apa-apa. Jadi, dirinya tidak berpikir kalau Kiana berniat meninggalkan kediaman. Hanya saja, sialnya Andrew menemukan secarik kertas berisi satu kalimat yang 'Maafkan aku dan selamat tinggal, Andrew'. Kalimat yang dia temukan di meja nakas bersama cincin yang sengaja dia simpan di sana. Masih berharap jika wanita itu mau memakainya. "Sialan! Dasar tidak berguna!" "Andrew, bagaimana jika kita mencarinya sekarang? Aku khawati
Sashi dengan telaten menyuapi makanan pada Kiana. Membantu wanita itu dengan tulus, sedang Arkan terus memerhatikan keduanya dari sudut ruangan. Dia jelas bisa melihat keduanya tersenyum seolah mereka adalah teman lama yang baru bertemu. "Berapa usia kandunganmu, Kiana?" "Hm, baru dua minggu." Kiana tersenyum sambil mengelus perut ratanya. Seandainya Rafael bisa menerima anak ini, dia pasti akan sangat senang. Namun Kiana sadar, itu hanyalah mimpi. Rafael tidak akan menerima dia dan anaknya. "Itu, anak ...." "Rafael." Tatapan mata Kiana berubah redup. Anak yang ada di rahimnya ini, mengingatkan dia yang telah mengkhianati Andrew. "Jadi benar, kau tidur dengan dokter itu? Pantas saja adikku merengek," ucap Arkan menyela pembicaraan keduanya. Dia berjalan menghampiri sang istri. Namun karena perkataannya yang tajam, kata-kata Arkan tanpa sadar melukai hati Kiana.&nb
"Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Mama? Kenapa bisa sampai begini?" Rafael hampir berteriak saat mendengar mamanya kembali kritis dan dipindahkan lagi ke ruang darurat setelah tadi kondisinya sudah mulai membaik. Beberapa dokter bahkan hilir mudik di depannya, namun tak ada satu pun yang mau menjawab. Sampai sang kakek menepuk pundaknya pelan. "Ada seseorang yang berusaha untuk meracuni ibumu, Rafael." Wajahnya seketika berubah sangat pucat. Rafael merasa jantungnya berhenti berdetak. Matanya yang memerah menatap Guzman tak percaya. Namun terlihat berkaca-kaca. "A-apa?" "Botol infus milik ibumu diracuni. Kakek sedang mencari tahu siapa yang berani melakukannya." Tubuh besar Rafael spontan jatuh. Dia terduduk di lantai. Kedua tangannya bergetar hebat. Rafael sangat takut. Sebuah mimpi buruk menghantuinya. Padahal dia hanya meninggalkan mamanya sebentar. Tidak lama, tapi kenapa ada orang jahat
Kiana terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya sudah ada di sebuah kamar. Kamar yang diingatnya merupakan kamar di rumah Andrew. Dia kembali ke sini. Namun saat menatap sekeliling, matanya tak menemukan seorang pun ada di sana. Membuat Kiana langsung bangkit dari ranjang dan mendekat ke arah pintu. Dia berjalan pelan untuk mencari Andrew saat matanya tak mendapati siapa pun di luar. Kakinya melangkah sambil melihat-lihat keadaan rumah yang kosong, sampai saat Kiana mengira kalau dirinya ditinggal seorang diri, dia mendengar suara percakapan dari arah ruang tamu yang memang tak tertutup pintu dan hanya dibatasi oleh sekat. Di sana tampak ada Andrew, Arkan, Ken dan Sashi juga seorang pria dewasa yang sebelumnya tidak pernah Kiana lihat. Entah apa yang mereka bicarakan, namun tampaknya keempat orang itu tengah berdiskusi dengan sangat serius. Kiana berpikir kalau orang itu mungkin rekan kerja Andrew atau Arkan, meski terlihat an
"Harusnya tadi kau tidak bicara seperti itu," ucap Andrew yang duduk di pinggir ranjang dan menatap Kiana yang berbaring memunggunginya. "Aku tidak mau membahasnya, tolong pergi." "Kiana, Ayahmu mungkin saja masih hidup dan dia tidak benar-benar berniat meninggalkanmu." Andrew mengusap lengan Kiana dengan lembut. Dia sadar kalau wanita itu kini menjadi jauh lebih emosional. Meski tetap saja, Andrew kesal saat memikirkan kalau sikap Kiana mulai berubah padanya. "Andrew, jangan ganggu aku. Aku ingin tidur." Kiana berniat mengambil selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Namun Andrew dengan cepat menepisnya dan merangkak naik ke atas tubuh Kiana. "Aku belum selesai bicara. Kau juga belum menjelaskan kenapa tiba-tiba melarikan diri dari sini." "An-andrew, menyingkirlah." Ditahannya dada bidang Andrew yang hendak mengurung tubuhnya. Kiana dibuat gugup sampai tidak sanggup menguca
Rafael menatap foto ibunya di ruang tengah dengan pandangan lurus. Setelah kata-kata Guzman yang menyuruhnya untuk menangkap pelaku yang membuat ibunya meninggal, Rafael akhirnya mau keluar kamar. Membersihkan dirinya yang selama beberapa hari terlihat kusut dan kurang tidur. Awalnya, dia ingin pergi menemui Arkan untuk membicarakan tentang Kiana, tapi Rafael pikir kalau orang yang membunuh ibunya jauh lebih penting. Dia tidak akan tenang jika orang itu masih berkeliaran bebas. Sementara sang kakek saat ini tidak bisa melakukan banyak hal. Guzman sedang mempersiapkan pesta pernikahan sepupunya. Hingga suara telepon mengganggu lamunannya. Serta merta, Rafael langsung mengangkat panggilan yang ternyata itu berasal dari Ken. Dia meminta Ken untuk mencari tahu soal CCTV yang dirusak. Ken memiliki kenalan orang yang bisa memperbaikinya. Hanya itu harapan Rafael satu-satunya. "Kau menemukan sesuatu, Ken?"&nbs
Kiana hanya bisa menatap lurus ke depan. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi macam apa setelah mendengar cerita ayahnya. Ternyata, ayah dan ibunya di masa muda telah membuat kesalahan yang menyebabkan dia harus dilahirkan. Ayahnya bercerita kalau keduanya saling mencintai, hanya saja kedua orang tua Garry tidak setuju dan membuat keduanya berpisah. Ayahnya dibawa ke luar negeri dan dijodohkan dengan wanita lain. Sementara ibunya sudah mengandung dia. Sayangnya, perjodohan itu tak pernah berhasil karena ayahnya selalu menolak. Hingga Garry kembali untuk mencari Lyana. Namun sialnya, ibunya sudah diusir oleh keluarganya sendiri. Kiana tidak tahu apa saja yang dialami oleh ibunya. Dia hanya tahu kalau ibunya jahat, tapi tak pernah sekali pun tahu apa yang telah dialami oleh ibunya hingga menjadi seperti ini. Kiana tidak bisa membayangkan bagaimana seorang wanita yang diusir dan terlunta-lunta bisa hidup di jalanan. Hingga menemukan
"Sepertinya semuanya sudah jelas. Orang itu berniat menghancurkanmu," ucap Ken setelah dia dan Rafael melihat kembali rekaman CCTV yang memang seperti dugaannya, ada seseorang yang berniat melakukan hal buruk terhadap ibunya Rafael. "Kau akan menangkapnya?" "Aku akan bicarakan ini dengan Kakek." Rafael hanya bisa mendesah frustrasi. Dia tak menyangka kalau orang itu bisa bertindak nekat untuk membalas perbuatannya atau sebenarnya, untuk memuaskan sifat tamaknya? Apa selanjutnya, dia yang akan disingkirkan? "Kakek? Aku baru dengar kau memanggil Kakek." Ken sedikit terkekeh mendengar panggilan Rafael pada Guzman. Temannya itu selalu enggan bahkan untuk mengakui Guzman sebagai kakek. Sekarang, angin segar apa yang membuat Rafael mau berkata begitu? "Apa sekarang hubungan kalian sudah lebih baik? Sudah kuduga, kau itu memang menyayangi kakekmu." "Tutup mulutmu, aku sedang tidak ingin menghajar seseorang." Ini memaluk