"Sepertinya semuanya sudah jelas. Orang itu berniat menghancurkanmu," ucap Ken setelah dia dan Rafael melihat kembali rekaman CCTV yang memang seperti dugaannya, ada seseorang yang berniat melakukan hal buruk terhadap ibunya Rafael. "Kau akan menangkapnya?"
"Aku akan bicarakan ini dengan Kakek." Rafael hanya bisa mendesah frustrasi. Dia tak menyangka kalau orang itu bisa bertindak nekat untuk membalas perbuatannya atau sebenarnya, untuk memuaskan sifat tamaknya? Apa selanjutnya, dia yang akan disingkirkan? "Kakek? Aku baru dengar kau memanggil Kakek." Ken sedikit terkekeh mendengar panggilan Rafael pada Guzman. Temannya itu selalu enggan bahkan untuk mengakui Guzman sebagai kakek. Sekarang, angin segar apa yang membuat Rafael mau berkata begitu? "Apa sekarang hubungan kalian sudah lebih baik? Sudah kuduga, kau itu memang menyayangi kakekmu." "Tutup mulutmu, aku sedang tidak ingin menghajar seseorang." Ini memalukSatu minggu berlalu. Pernikahan Marcel dan Mili digelar. Rafael enggan datang, namun dia tidak bisa menghindar untuk sekarang. Meski seminggu yang lalu ibunya baru saja dikebumikan, kini dia harus mengikuti pesta pernikahan Marcel yang sengaja dipercepat. Sangat bertentangan dengan perasaannya yang masih berduka. Alhasil, Rafael hanya duduk diam di sudut ruangan dan melihat Mili sudah mengenakan gaun dengan veil pengantin yang menjuntai ke lantai. Wanita yang pernah menjadi tunangannya itu tersenyum malu-malu pada Marcel yang kini menatapnya. Menyambut dan mencium punggung tangannya bak seorang putri. Rafael hanya mengernyitkan dahi melihatnya. Mili tampak bahagia, sedikit melenceng dari ekspektasinya. Dia pikir, wanita itu akan kabur di hari pernikahannya. Akan tetapi, tampaknya Mili sudah menerima Marcel. Terlihat jelas saat keduanya mengucap janji suci. Mereka seperti memang menantikan momen bahagia itu. Bahkan sepup
Rafael tersenyum dan menerima jabatan tangan dari beberapa orang yang akan menjadi rekan kerjanya. Dia tidak memiliki pilihan lain saat kakeknya sudah bertindak dan meminta surat praktiknya dicabut beberapa hari yang lalu karena pelanggan kode etik. Tentu saja dia harus menelan kekecewaan. Rafael yang telah belajar dengan sungguh-sungguh dan mengenyam pendidikan tinggi agar meraih apa yang diinginkannya, kini harus bisa menerima kenyataan kalau semua itu telah lepas dari genggamannya. Akan tetapi Rafael sadar, apa yang dilakukannya pada Kiana sudah melanggar aturan. Dia tidak bisa mengelak. Perbuatan jahat yang dilakukannya, telah menghancurkan kariernya. Namun, meski dia menyesalinya sekali pun, semua tetap tidak akan berubah. Walau dia tahu, kakeknya pasti berbohong dan tidak mengatakan semuanya. Guzman tentu tidak ingin dia dipenjara. "Terima kasih." Setelah berbincang-bincang sebentar, Rafael melirik ke arah
"Sial." Rafael meringis saat tangan kirinya berlumuran darah karena menahan pisau yang hendak di arahkan padanya. Meski matanya menatap khawatir saat melihat Kiana berada di tangan anak buah Mario. "Dasar bodoh! Aku sudah menyuruhmu untuk pergi! Kenapa masih di sini!" Di mana Ken berada? Kenapa temannya itu begitu bodoh membiarkan Kiana tertangkap? Bagaimana situasi di ballroom yang ada di bawah mereka saat ini? Apakah semuanya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja? Apa kakeknya berhasil memanggil anak buahnya dan polisi? Ken khawatir kalau semua orang sudah menjadi sandera. "Ak-aku--" "Percuma. Gedung ini sudah dikepung. Kau tahu, otakku terlalu cerdas untuk memikirkan segala kemungkinan yang terjadi," ucap Mario sambil terus menekan pisaunya. Membuat Rafael hanya meringis saat merasakan perih. Namun Mario sangat menikmatinya. Dia ingin sekali Rafael mati agar dia bisa menguasai harta keka
Mata Kiana melotot. Tubuhnya gemetar bukan main dan menatap takut ke arah tubuh yang gak jauh di depannya yang tiba-tiba tak sadarkan diri. Dia bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri saat tubuh Ken ambruk ketika Mario berniat menembaknya. Laki-laki itu menghalanginya hingga Ken yang memang sudah terluka sebelumnya, harus tertembak. Meski selang beberapa detik setelah Mario menembak Ken, Rafael berhasil menembak Mario juga hingga tewas di tempat walaupun kepalanya harus terkena vas bunga yang dipukul oleh pamannya. Akan tetapi, tentu saja hal tersebut tak mampu meredam jeritan penuh ketakutan yang keluar dari mulut Kiana. Dia melihat dua orang yang disayanginya terluka. "DOKTER KEN! RAFAEL" Teriakan histeris terdengar dan mengalihkan Rafael yang terduduk di atas tubuh pamannya sambil mengambil napas. Darah tampak mengucur dari luka lengan, kepala serta tangannya. Rafael sedikit pusing karena hantaman vas bunga di kepalanya.
Kedua mata itu berkedip. Rafael dengan pelan membuka matanya. Ruangan serba putihlah hal yang pertama kali dia lihat dan seorang wanita yang kini tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Rafael mengira ini hanyalah mimpi. Semua tidak nyata dan tidak mungkin ada bidadari yang turun serta duduk di sampingnya. "Akhirnya kau sudah sadar." Tatapan cemas jelas terlihat di wajah cantik itu. Beranjak mendekat dan membuat Rafael sadar kalau itu bukan mimpi. Dia juga sadar kalau ibunya tidak ada. Padahal rasanya, baru beberapa menit lalu mereka berbicara. Dia nyaris tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana yang hanya mimpi. "Kiana." Suara Rafael terdengar serak. Tenggorokannya terasa kering hingga Kiana dengan gesit segera mengambil air minum yang berada tak jauh darinya. Memberikan gelas itu dengan hati-hati padanya. "Terima kasih." Rafael sampai menahan napas saat melihat jaraknya dengan
Kiana menatap Rafael dengan malu. Tangannya dengan cepat membenahi dress miliknya dan mendorong tubuh laki-laki itu menjauh. Hampir saja, dia melakukan hal yang memalukan. Padahal ayahnya juga sedang ada di luar. "Ehm, itu ... aku juga salah. Maaf." "Tidak. Ini salahku yang tidak bisa menahan diri karena melihatmu sangat cantik." Rafael memilih memalingkan muka dan berdehem pelan. Tidak sadar kalau ucapannya membuat Kiana terbelalak. Pujian yang mungkin hampir tidak pernah keluar dari mulut yang selama ini hanya bisa menghinanya. Kata 'cantik' seolah sesuatu yang mustahil dikatakan oleh Rafael. Kiana sendiri tidak pernah ingat apakah laki-laki di depannya pernah mengatakan itu sebelumnya atau tidak? "Terima kasih, ini pertama kalinya kau memujiku." Debaran di dada Kiana kian mengencang. Matanya menatap Rafael sambil tersenyum manis. Bagaimana ini? Kiana tidak bisa mengendalikan diri dan menginginkan Rafael
Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain terduduk di ranjang. Dalam diamnya, tampak air mata menetes melewati pipinya yang bersih. Luka akibat goresan sudah ditutup, namun justru luka di hatinya kembali terbuka. Kiana telah memaafkan segala kesalahan Rafael, tapi dengan kesalahan terakhir laki-laki itu, dia sangat amat berat memaafkannya. Bagaimana mungkin Rafael bisa setega itu padanya? Membunuh calon anaknya hanya karena membencinya? Apa jadinya jika laki-laki itu tahu kalau dia tengah hamil? Apakah calon anaknya yang sekarang, juga akan bernasib sama? "Kiana, makan siang sudah siap. Ayo kita makan!" seru Garry yang berjalan masuk ke kamar Kiana. Menyentak Kiana dari lamunannya. Posisi Kiana yang memang sedang membelakangi, sama sekali tidak bisa membuat Garry melihatnya menangis. Sampai saat Garry mendekat, barulah dia menyadari kalau putrinya tengah bersedih. "Ya, Ayah." "Kamu baik-baik saja?"  
Rafael menatap pusara ibunya dengan lekat. Sebuket bunga dia letakkan di atas pemakaman itu. Wajahnya tampak murung. Tak ada senyum sedikit pun terlihat di sana. Meski hatinya sudah ikhlas dengan meninggalnya sang ibu di tangan pamannya sendiri. "Semoga Mama tenang di sana. Maafkan semua kesalahan Rafael." Hatinya sesak, tapi Rafael tahu kalau semuanya telah berakhir. Dia tidak bisa melanjutkan balas dendamnya karena mungkin, itu juga bukan hal yang diinginkan oleh sang ibu. Balas dendam yang pada kenyataannya malah menghancurkan dirinya sendiri. Dia menyesal. Matanya kemudian menoleh ke arah lain. Melihat makam ayahnya yang ada di sebelah ibunya. Kakinya ragu untuk mendekat, tapi teringat akan perbuatannya pada sang ayah, Rafael melangkah pelan. Makam itu tampak sangat tidak terawat. Berbeda dengan makam ibunya yang memang masih baru. Semua karena baik dia atau pun kakeknya, tidak hampir tidak pernah datang ke sini. &n