"Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Mama? Kenapa bisa sampai begini?" Rafael hampir berteriak saat mendengar mamanya kembali kritis dan dipindahkan lagi ke ruang darurat setelah tadi kondisinya sudah mulai membaik. Beberapa dokter bahkan hilir mudik di depannya, namun tak ada satu pun yang mau menjawab. Sampai sang kakek menepuk pundaknya pelan.
"Ada seseorang yang berusaha untuk meracuni ibumu, Rafael." Wajahnya seketika berubah sangat pucat. Rafael merasa jantungnya berhenti berdetak. Matanya yang memerah menatap Guzman tak percaya. Namun terlihat berkaca-kaca. "A-apa?" "Botol infus milik ibumu diracuni. Kakek sedang mencari tahu siapa yang berani melakukannya." Tubuh besar Rafael spontan jatuh. Dia terduduk di lantai. Kedua tangannya bergetar hebat. Rafael sangat takut. Sebuah mimpi buruk menghantuinya. Padahal dia hanya meninggalkan mamanya sebentar. Tidak lama, tapi kenapa ada orang jahatKiana terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya sudah ada di sebuah kamar. Kamar yang diingatnya merupakan kamar di rumah Andrew. Dia kembali ke sini. Namun saat menatap sekeliling, matanya tak menemukan seorang pun ada di sana. Membuat Kiana langsung bangkit dari ranjang dan mendekat ke arah pintu. Dia berjalan pelan untuk mencari Andrew saat matanya tak mendapati siapa pun di luar. Kakinya melangkah sambil melihat-lihat keadaan rumah yang kosong, sampai saat Kiana mengira kalau dirinya ditinggal seorang diri, dia mendengar suara percakapan dari arah ruang tamu yang memang tak tertutup pintu dan hanya dibatasi oleh sekat. Di sana tampak ada Andrew, Arkan, Ken dan Sashi juga seorang pria dewasa yang sebelumnya tidak pernah Kiana lihat. Entah apa yang mereka bicarakan, namun tampaknya keempat orang itu tengah berdiskusi dengan sangat serius. Kiana berpikir kalau orang itu mungkin rekan kerja Andrew atau Arkan, meski terlihat an
"Harusnya tadi kau tidak bicara seperti itu," ucap Andrew yang duduk di pinggir ranjang dan menatap Kiana yang berbaring memunggunginya. "Aku tidak mau membahasnya, tolong pergi." "Kiana, Ayahmu mungkin saja masih hidup dan dia tidak benar-benar berniat meninggalkanmu." Andrew mengusap lengan Kiana dengan lembut. Dia sadar kalau wanita itu kini menjadi jauh lebih emosional. Meski tetap saja, Andrew kesal saat memikirkan kalau sikap Kiana mulai berubah padanya. "Andrew, jangan ganggu aku. Aku ingin tidur." Kiana berniat mengambil selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Namun Andrew dengan cepat menepisnya dan merangkak naik ke atas tubuh Kiana. "Aku belum selesai bicara. Kau juga belum menjelaskan kenapa tiba-tiba melarikan diri dari sini." "An-andrew, menyingkirlah." Ditahannya dada bidang Andrew yang hendak mengurung tubuhnya. Kiana dibuat gugup sampai tidak sanggup menguca
Rafael menatap foto ibunya di ruang tengah dengan pandangan lurus. Setelah kata-kata Guzman yang menyuruhnya untuk menangkap pelaku yang membuat ibunya meninggal, Rafael akhirnya mau keluar kamar. Membersihkan dirinya yang selama beberapa hari terlihat kusut dan kurang tidur. Awalnya, dia ingin pergi menemui Arkan untuk membicarakan tentang Kiana, tapi Rafael pikir kalau orang yang membunuh ibunya jauh lebih penting. Dia tidak akan tenang jika orang itu masih berkeliaran bebas. Sementara sang kakek saat ini tidak bisa melakukan banyak hal. Guzman sedang mempersiapkan pesta pernikahan sepupunya. Hingga suara telepon mengganggu lamunannya. Serta merta, Rafael langsung mengangkat panggilan yang ternyata itu berasal dari Ken. Dia meminta Ken untuk mencari tahu soal CCTV yang dirusak. Ken memiliki kenalan orang yang bisa memperbaikinya. Hanya itu harapan Rafael satu-satunya. "Kau menemukan sesuatu, Ken?"&nbs
Kiana hanya bisa menatap lurus ke depan. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi macam apa setelah mendengar cerita ayahnya. Ternyata, ayah dan ibunya di masa muda telah membuat kesalahan yang menyebabkan dia harus dilahirkan. Ayahnya bercerita kalau keduanya saling mencintai, hanya saja kedua orang tua Garry tidak setuju dan membuat keduanya berpisah. Ayahnya dibawa ke luar negeri dan dijodohkan dengan wanita lain. Sementara ibunya sudah mengandung dia. Sayangnya, perjodohan itu tak pernah berhasil karena ayahnya selalu menolak. Hingga Garry kembali untuk mencari Lyana. Namun sialnya, ibunya sudah diusir oleh keluarganya sendiri. Kiana tidak tahu apa saja yang dialami oleh ibunya. Dia hanya tahu kalau ibunya jahat, tapi tak pernah sekali pun tahu apa yang telah dialami oleh ibunya hingga menjadi seperti ini. Kiana tidak bisa membayangkan bagaimana seorang wanita yang diusir dan terlunta-lunta bisa hidup di jalanan. Hingga menemukan
"Sepertinya semuanya sudah jelas. Orang itu berniat menghancurkanmu," ucap Ken setelah dia dan Rafael melihat kembali rekaman CCTV yang memang seperti dugaannya, ada seseorang yang berniat melakukan hal buruk terhadap ibunya Rafael. "Kau akan menangkapnya?" "Aku akan bicarakan ini dengan Kakek." Rafael hanya bisa mendesah frustrasi. Dia tak menyangka kalau orang itu bisa bertindak nekat untuk membalas perbuatannya atau sebenarnya, untuk memuaskan sifat tamaknya? Apa selanjutnya, dia yang akan disingkirkan? "Kakek? Aku baru dengar kau memanggil Kakek." Ken sedikit terkekeh mendengar panggilan Rafael pada Guzman. Temannya itu selalu enggan bahkan untuk mengakui Guzman sebagai kakek. Sekarang, angin segar apa yang membuat Rafael mau berkata begitu? "Apa sekarang hubungan kalian sudah lebih baik? Sudah kuduga, kau itu memang menyayangi kakekmu." "Tutup mulutmu, aku sedang tidak ingin menghajar seseorang." Ini memaluk
Satu minggu berlalu. Pernikahan Marcel dan Mili digelar. Rafael enggan datang, namun dia tidak bisa menghindar untuk sekarang. Meski seminggu yang lalu ibunya baru saja dikebumikan, kini dia harus mengikuti pesta pernikahan Marcel yang sengaja dipercepat. Sangat bertentangan dengan perasaannya yang masih berduka. Alhasil, Rafael hanya duduk diam di sudut ruangan dan melihat Mili sudah mengenakan gaun dengan veil pengantin yang menjuntai ke lantai. Wanita yang pernah menjadi tunangannya itu tersenyum malu-malu pada Marcel yang kini menatapnya. Menyambut dan mencium punggung tangannya bak seorang putri. Rafael hanya mengernyitkan dahi melihatnya. Mili tampak bahagia, sedikit melenceng dari ekspektasinya. Dia pikir, wanita itu akan kabur di hari pernikahannya. Akan tetapi, tampaknya Mili sudah menerima Marcel. Terlihat jelas saat keduanya mengucap janji suci. Mereka seperti memang menantikan momen bahagia itu. Bahkan sepup
Rafael tersenyum dan menerima jabatan tangan dari beberapa orang yang akan menjadi rekan kerjanya. Dia tidak memiliki pilihan lain saat kakeknya sudah bertindak dan meminta surat praktiknya dicabut beberapa hari yang lalu karena pelanggan kode etik. Tentu saja dia harus menelan kekecewaan. Rafael yang telah belajar dengan sungguh-sungguh dan mengenyam pendidikan tinggi agar meraih apa yang diinginkannya, kini harus bisa menerima kenyataan kalau semua itu telah lepas dari genggamannya. Akan tetapi Rafael sadar, apa yang dilakukannya pada Kiana sudah melanggar aturan. Dia tidak bisa mengelak. Perbuatan jahat yang dilakukannya, telah menghancurkan kariernya. Namun, meski dia menyesalinya sekali pun, semua tetap tidak akan berubah. Walau dia tahu, kakeknya pasti berbohong dan tidak mengatakan semuanya. Guzman tentu tidak ingin dia dipenjara. "Terima kasih." Setelah berbincang-bincang sebentar, Rafael melirik ke arah
"Sial." Rafael meringis saat tangan kirinya berlumuran darah karena menahan pisau yang hendak di arahkan padanya. Meski matanya menatap khawatir saat melihat Kiana berada di tangan anak buah Mario. "Dasar bodoh! Aku sudah menyuruhmu untuk pergi! Kenapa masih di sini!" Di mana Ken berada? Kenapa temannya itu begitu bodoh membiarkan Kiana tertangkap? Bagaimana situasi di ballroom yang ada di bawah mereka saat ini? Apakah semuanya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja? Apa kakeknya berhasil memanggil anak buahnya dan polisi? Ken khawatir kalau semua orang sudah menjadi sandera. "Ak-aku--" "Percuma. Gedung ini sudah dikepung. Kau tahu, otakku terlalu cerdas untuk memikirkan segala kemungkinan yang terjadi," ucap Mario sambil terus menekan pisaunya. Membuat Rafael hanya meringis saat merasakan perih. Namun Mario sangat menikmatinya. Dia ingin sekali Rafael mati agar dia bisa menguasai harta keka
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal