Rafael memarkirkan mobilnya di luar gerbang saat melihat bodyguard dan security-nya tengah menahan dua orang laki-laki yang mencoba masuk ke dalam rumah. Membuat matanya memicing saat merasa mengenali mereka. Hingga Rafael dengan terpaksa turun dari mobil dan menghampiri kerumunan tersebut.
"Ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut di rumahku?" Semua mata serentak tertuju ke arah Rafael yang baru datang. Begitu pula dua orang yang tadi berseteru dengan security dan bodyguard-nya. Arkan dan Andrew. Dua kakak-beradik yang membuat Rafael mengernyitkan dahi. Apa maksud kedatangan keduanya? "Mereka berdua mencoba masuk ke dalam rumah, Tuan. Kami berusaha menghalanginya," ucap salah seorang security, yang seketika membuat Andrew melotot marah. "Kau sial--" "Maaf Dokter Rafael, ada hal yang harus kami pastikan di sini," sahut Arkan yang langsung menutup mulut adiknya dan menahan Andrew sebelumKiana menatap pakaian yang dikenakannya dengan gugup. Dress berwarna biru langit dan lengan panjang sebatas lutut dengan motif bunga di bagian bawah tampak cantik melekat di tubuhnya. Tak hanya itu, dress tersebut memerlihatkan pundak serta bentuk dadanya, membuat Kiana tampak manis sekaligus seksi. Rambutnya pun diikat ke atas hingga terlihat leher jenjangnya. Penampilannya saat jauh berbeda dibanding saat tinggal bersama Rafael. Kiana tidak pernah didandani seperti ini oleh para pelayan. Ralat, dia pernah satu kali saat Rafael berniat mengusir Mili dan menggunakannya. Setelah itu, Kiana dibiarkan memakai seragam pelayan tanpa perlu memakai makeup. "Anda sangat cantik, Nona. Saya seperti melihat bidadari yang jatuh dari langit," ucap salah satu pelayan dengan berlebihan. Memuji penampilan Kiana sekaligus orang yang bertugas melakukan make over padanya. "Terima kasih." Kiana tersenyum tip
"Kau, apa kau waras? Kiana pasti ada di sana! Rafael menyembunyikannya. Sialan, harusnya kau membiarkanku mencarinya," umpat Andrew begitu dia dan Arkan tiba di rumah. Ada Sashi yang sudah menunggu keduanya pulang setelah menidurkan kedua anaknya. Dia ikut khawatir dengan Kiana, jika benar kalau wanita itu ditahan oleh seseorang. "Apa yang terjadi? Kak Arkan, Andrew, kalian tidak berhasil menemukan Kiana?" Sashi berjalan mendekati Arkan dan menatap suaminya dengan cemas. Namun terlihat Arkan hanya tersenyum kecut seraya menggeleng. Menjelaskan kalau dia tidak berhasil. "Rafael sangat licik, dia pasti menyembunyikan Kiana di suatu tempat," sahut Andrew seraya merebahkan tubuhnya di sofa. Dia lelah. Pikiran dan tenaganya. "Sayang, bisa kamu ambilkan aku minum?" Arkan mengecup singkat bibir istrinya. Membiarkan Sashi meninggalkan mereka sampai dia duduk di samping adiknya dan menatap serius ke arah Andre
Rafael membuka matanya dengan malas. Menatap matahari yang sudah menampakkan diri. Dia merasa baru tidur dua jam lalu, kini dia harus terbangun lagi. Kepalanya terasa sedikit pusing, bintang-bintang seolah berputar di kepalanya. Sial. Dia tidak bisa tidur semalaman. Gara-gara mimpi buruk tentang ayahnya kembali muncul. Kematian yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri atau tentang perilaku menjijikkan ayahnya yang selalu membuatnya mual. Rasanya itu seperti baru terjadi kemarin. Rafael benci memikirkannya. Namun bayangan ayahnya tidak pernah lepas dari benaknya. Saat wajah sekarat pria tua itu terus terbayang di kepalanya. Sambil menghela napas, Rafael bangkit dari ranjang dan berjalan ke arah kamar mandi. Melihat matanya yang seperti mengantuk, sebelum mencuci wajahnya. Jadwalnya sedikit untuk hari ini. Dia enggan berada di rumah sakit terlalu pagi. Mendengar gosip atau bahkan Ken yang pasti terus menanyakan tentang Kiana.
"Rafael, jelaskan, bagaimana Kiana bisa ada di rumah Kakekmu? Apa yang terjadi?" "Tidak ada. Hanya Kakek tua itu membawa Kiana," dengkus Rafael seraya terus berjalan menuju kamar rawat mamanya. Dia ingin melihat kondisinya setelah sang kakek mengatakan kalau dia mendapat kabar bahwa mamanya sudah membaik. Mungkin itu hanya alasan agar dia pergi dan tidak mengganggu Kiana. "Oh, baguslah. Dia tidak perlu menderita lagi," gumam Ken pelan, namun ucapannya terdengar oleh Rafael yang seketika memberikan tatapan tajamnya. "Apa?" Ken hanya memberikan ringisan pelan pada Rafael hingga terdengar dengusan kasar dari Rafael, sebelum dia mempercepat langkahnya dan meninggalkan Ken yang mengikutinya dari belakang. Untuk masalah Kiana, akan dia urus nanti. Sekarang, Rafael ingin tahu sejauh apa perkembangan mamanya. Sesampainya di ruangan, Rafael tidak mendapati Firanda di sana. Ruangan itu
Kiana merenung. Dia memikirkan permintaan Guzman tadi siang. Saat kakek tua itu memintanya memaafkan Rafael dan memohon agar dia menikah dengan laki-laki itu. Memang tidak ada paksaan, namun melihat tatapan penuh harap Guzman padanya, membuat Kiana tidak enak. Kakek tua itu ingin dia mengubah Rafael agar kembali pada Rafael yang dulu. Tidak memiliki dendam dan menjalani hidup dengan sederhana. Apakah itu bisa? Rasanya saja sangat mustahil. Tadi pagi saja, dia ditertawakan gara-gara membicarakan masa lalu laki-laki itu. Rafael tidak menganggap perkataannya serius. Ditambah sekarang, dia yakin kalau perasaan benci terhadap Rafael sudah terkikis. Ada perasaan lain yang begitu mengganggunya dan membuat Kiana sangat takut. Jalan mana yang harus dia ambil sekarang? Di tengah kemelut permasalahan yang membuatnya bingung dan maju-mundur, Kiana tidak sadar jika seseorang berusaha memutar kunci kamarnya. Melangkah ma
"Shit, kenapa harus mogok!" umpat Andrew saat mobilnya tiba-tiba berhenti di pinggir jalan. Berdecak sebal karena hari sudah mulai gelap dan dia sangat butuh tumpangan untuk pergi menemui Arkan. Membicarakan kembali tentang Kiana. Sekarang, dia pasti akan terlambat. Terpaksa, Andrew keluar dari mobil dan menghubungi taksi. Dia tidak bisa menunda-nundanya lagi. Namun saat dia sedang sibuk bicara di telepon, matanya tanpa sengaja melihat seseorang yang dikejar-kejar oleh beberapa pria. Awalnya dia memilih mengabaikan, semua itu tidak ada urusannya sama sekali. Akan tetapi, tak disangka pria yang dikejar oleh beberapa orang itu menyebrang dan menuju ke arahnya. Mungkin karena orang itu juga tanpa sengaja melihatnya. Gilanya lagi, pria itu bersembunyi di belakang tubuhnya, membuat ponselnya terjatuh. Belum cukup sampai sana, Andrew harus menjadi sasaran orang-orang yang mengejar itu juga. Ada sekitar tiga orang dan mereka semua tampak
"Rafael, kau tahu 'kan kalau Kiana tidak salah?" tanya Guzman sambil menatap Rafael yang duduk di hadapannya. Suasana malam yang sunyi dan dingin, seolah menjadi teman bagi mereka. Guzman gemas dengan sikap Rafael yang tidak ada perubahan. Cucunya itu, tampak santai dan dia tahu kalau Rafael kembali meniduri Kiana. Sudah dia katakan kalau semua ruangan ini dipasang CCTV, tapi sepertinya Rafael malah menantangnya. "Kau lebih membelanya dibanding cucumu sendiri?" Rafael tersinggung. Dia tidak suka dengan ucapan Guzman. Baginya Kiana tetap salah, karena terlahir dan memiliki wajah yang mirip dengan wanita itu. "Jika kau salah, tentu aku tidak bisa membelamu." Guzman mengusap wajahnya kasar. Meski pada kenyataannya, saat dia tahu kesalahan Rafael sekali pun, dia tetap tidak mau melaporkan cucunya itu. Mungkin tindakannya terlalu egois karena hanya meminta maaf pada Kiana, sementara Rafael dibiarkan begitu saja tanpa dihukum. Dia kira,
"Rafael belum pulang?" "Belum, Tuan." Guzman mengangguk. Meminta pelayan itu untuk pergi dan berjalan menuju ruang makan. Cucunya kembali terlambat pulang. Semua ini pasti karena menantunya. Dia jadi penasaran, sejauh mana perkembangan Firanda? Apa menantunya sudah benar-benar sembuh atau tidak? Mungkin ini juga yang menjadi penyebab Rafael sedikit ceria dari biasanya. Benar-benar, dia tidak menyangka dalam diri cucunya masih terdapat kelembutan. "Lho, Kiana, kenapa kau yang menyiapkan makan malam?" Guzman terkejut saat mendapati Kiana tengah menata piring dan meletakkan makanan yang di bawanya dari dapur dibantu oleh para pelayan lain. "Ah, Kakek, Kiana hanya membantu sedikit. Tidak ada yang bisa Kiana kerjakan selama tinggal di sini," balasnya sambil meringis. Dia cemas kalau Guzman akan memarahinya. Meski kakek tua itu hanya menghembuskan napas kasar dan tersenyum lembut. Perlahan, dia berja