"Aku menyukaimu, Rafael. Aku menyukaimu."
Ucapan itu diakhiri dengan lumatan menggebu di bibirnya. Kiana bergerak di pangkuan Rafael tanpa mengenakan sehelai benang pun. Mengerang saat kulit mereka bersentuhan dan ketika tubuh bagian bawah mereka bersatu dalam peluh. Begitu juga dengan Rafael yang memejamkan matanya dan menikmati setiap keindahan yang Kiana miliki. Dia puas setiap kali bercinta dengan wanita ini. Sekarang, hasratnya kian membludak setelah mendengar ucapan wanita itu. Didorongnya Kiana hingga menabrak meja di depannya secara kasar, menyebabkan meja itu bergeser dari tempatnya. Jeritan kesakitan terdengar, namun sekali pun tak membuat gerakan Rafael terhenti. Laki-laki itu malah menggoyangkan pinggulnya semakin kasar. Menikmati punggung Kiana di depan matanya. Dia selalu senang saat berhasil menaklukkan Kiana. Wanita yang selalu menantangnya untuk berdebat. Menyukai? Suka? Wanita itu me"Bisakah aku datang ke rumahmu malam ini?" "Tidak." "Bisakah aku bertemu dengan Kiana?" "Tidak." "Rafael, apa kau ingin mengurung Kiana di rumah seharian?" "Ya," jawabnya tanpa mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari berkas-berkas milik pasiennya. Tidak memedulikan jika di depannya Ken yang terus merengek meminta agar diizinkan untuk menemui Kiana. "Rafael--" Telinganya yang sudah panas mendengar ocehan temannya itu, tanpa sadar membuat Rafael menggebrak meja. Dia berdiri dari duduknya dan menatap tajam ke arah Ken. "Sebaiknya kau keluar. Aku harus pergi rapat beberapa sebentar lagi." "Tapi--" Tak mau berdebat panjang lebar, Rafael langsung pergi meninggalkan Ken begitu saja. Dia melangkah buru-buru menuju ruang rapat para dokter. Sementara Ken hanya terdiam karena memang, dia tidak ikut serta. Hanya orang-orang yang
Kiana terdiam di kamar Rafael tanpa tahu harus melakukan apa. Dia hanya diperintahkan oleh Mara untuk tetap berada di dalam kamar. Jangan berusaha keluar atau membuat keributan. Meski begitu, Kiana penasaran, memang ada siapa sampai dia kembali dikurung seperti ini? Tadi, saat dia mengintip melalui jendela, matanya hanya menemukan mobil mewah yang masuk ke dalam halaman rumah Rafael. Sayangnya, dia tidak bisa melihat siapa yang keluar dari mobil itu. Apakah ada seseorang yang penting datang ke sini? Rafael sengaja menyembunyikannya? Laki-laki itu memang sepertinya berniat untuk membuatnya mendekam hingga mati di sini. Di saat tengah memikirkan hal tersebut, pintu kamar terbuka. Menampilkan sang pemilik rumah. Rafael berdiri menatap Kiana dengan kedua alis yang mengernyit heran. Kenapa wanita ini bisa ada di sini? Padahal dia sudah menyuruh Mara untuk menyembunyikan Kiana di tempat yang aman, bukan di kamarnya. "K
"Kau membuang semua peninggalan orang tuamu?" tanya Guzman saat dia dan Rafael berada di balkon lantai atas. Menatap pemandangan malam dengan segelas wine sebagai teman. "Tidak. Aku menyimpannya di tempat yang aman." Guzman mengangguk. Sebagai ayah, dia cukup senang jika Rafael masih mau menyimpan barang-barang milik Darren. Meski dia tidak berharap cucunya akan merawatnya. Setelah apa yang terjadi, anaknya memang pantas dibenci. "Dua hari lagi peringatan kematian ayahmu. Apa yang ingin kau--" "Aku tidak akan datang. Jangan beritahu aku apa pun tentang itu karena aku tidak akan pernah datang," potong Rafael sebelum Guzman menyelesaikan kalimatnya. Matanya menatap lurus ke arah langit. Menatap rembulan yang bersinar sangat terang, tidak seperti biasanya. "Itu sangat tidak etis. Kau adalah anak satu-satunya. Mana mungkin tidak datang?" Rafael menoleh. Menghadiahkan
Kiana menatap pantulan dirinya di cermin. Kalung berlian pemberian Rafael terlihat menggantung di lehernya dan membuatnya terlihat sangat cantik. Rambut hitamnya dibiarkan terurai indah dengan poni yang menutupi kening. Hanya saja, yang dikenakannya sekarang adalah seragam pelayan. Namun meski demikian, Kiana tetap cantik. Setelah selesai merapikan penampilan, dia bergegas keluar kamar. Melakukan tugasnya seperti biasa. Menyiapkan sarapan untuk Rafael. Meski anehnya, setelah kejadian di pagi hari saat dia membangunkan laki-laki itu, Rafael jadi menghindarinya. Kiana merasa kalau Rafael tidak mau berdekatan dengannya. Tepat saat dirinya tengah memikirkan itu, matanya tiba-tiba melihat sosok yang dia pikirkan berjalan ke arahnya. Sontak saja, Kiana lantas berjalan mendekatinya. "Rafael! Kau mau langsung berang--" Sungguh nahas, ucapan Kiana terputus saat Rafael berjalan melewatinya begitu saja. Tanpa menatap
"Maaf, sepertinya aku mengganggu kalian." Pemandangan yang ada di depannya membuat dia benar-benar menelan ludah kasar. Tidak bisa mengalihkan matanya sedikit pun. Paha mulus Kiana yang terpampang karena rok panjangnya yang tersingkap, serta tangan Rafael yang menyentuh dada wanita itu yang terbuka, ditambah posisi keduanya terlihat sangat intim. Membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa malu. Telat sedikit saja, mungkin aktivitas panas tak bermoral itu sudah terjadi. Apa Kiana memang wanita seperti ini? Menggoda pria untuk melakukan hubungan intim? Dia tidak percaya. Jujur, saat Rafael mengatakan kalau keduanya tidur bersama, dia masih ragu. Akan tetapi, setelah melihat tindakan provokatif Kiana dengan mata kepalanya sendiri, dia rasa ucapan temannya benar. Kiana seperti wanita-wanita lain yang melempar tubuhnya sembarangan untuk disentuh. "Do-dokter Ken?" Kiana tergagap. Dia kaget bukan k
Kiana memainkan rambut hitam milik Rafael dengan lembut. Napasnya masih tersengal-sengal setelah sebelumnya dia dan laki-laki itu menghabiskan banyak tenaga. Dia lagi-lagi tidak bisa menolak ketika Rafael menyentuhnya. Kenyataannya, Kiana sangat menikmati apa yang terjadi di antara mereka. "Tubuhmu panas. Aku menyukainya." Tangan Kiana tidak bisa berhenti menyentuh tubuh Rafael yang berkeringat. Membuat laki-laki itu kembali mengerang lirih merasa digoda. "Cukup Kiana. Berhenti menggodaku." Secepat kilat, Rafael menahan tangan Kiana ke atas. Tidak membiarkan wanita itu kembali meraba-raba tubuhnya. Menutup tubuh mereka dengan selimut tebal. Meski karena Kiana tidak bisa diam, selimut yang menutupi tubuhnya sedikit merosot ke bawah. Memerlihatkan tubuh bagian atasnya di hadapan Rafael. Melihat hal tersebut, Rafael berdehem sambil mengalihkan pandangannya. Dia spontan melepaskan tangannya yang menggenggam len
"Terima kasih sudah menyelamatkanku, Tuan Marcel." Kiana menatap Marcel yang tersenyum sambil fokus menyetir. Dia berada di dalam mobil milik Marcel setelah laki-laki itu menyelamatkannya dengan mengajaknya pergi meninggalkan Arkan. Kiana tidak tahu apakah ini pilihan yang tepat atau tidak, tapi hanya laki-laki ini yang bisa menolongnya tadi. Tubuhnya bahkan masih gemetar saat mengingat Arkan hampir menangkapnya. Setelah apa yang terjadi, kini kehadiran Arkan terasa seperti mimpi buruk. Kiana tidak mungkin lupa akan kata-kata laki-laki itu yang berniat mencarinya dan memasukkan dia kembali ke penjara atau rumah sakit jiwa. Kata-kata Arkan yang penuh kebencian. Maka satu-satunya untuk menghindari itu adalah dengan menjauhi Arkan. "Kiana, apa kau sudah makan?" "Huh? B-belum." Kiana sedikit tergagap mendengar perkataan laki-laki itu yang tiba-tiba. "Bagaimana kalau kita pe
Rafael menatap hotel di depannya dengan tangan terkepal. Dia masuk terburu-buru dan berjalan ke arah meja resepsionis sambil memasang wajah dingin. "Tolong tunjukkan ke mana Marcel membawa seorang wanita!" "Maaf Tuan, ini--" "Kau harus mengatakannya jika ingin selamat. Kau tahu siapa aku 'kan!" Rafael menyorot tajam pada sang resepsionis. Hingga resepsionis itu ketakutan dan mengatakan apa yang diketahuinya, sekaligus menunjukkan di mana keberadaan Marcel. Tak mau membuang waktu, Rafael dengan segera berlari menuju ke arah kamar yang disebut oleh sang resepsionis. Hatinya sudah sangat panas memikirkan apa yang dilakukan Marcel terhadap Kiana. Bagaimana mungkin anak buahnya sendiri membiarkan Kiana pergi? Membuatnya harus pulang detik itu juga karena marah memikirkan Kiana kabur. Wanita pelayan itu membiarkan Kiana keluar, padahal sudah tahu kalau dia tidak pernah mengizinkannya. Meski beruntung
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal