Kiana terdiam di kamar Rafael tanpa tahu harus melakukan apa. Dia hanya diperintahkan oleh Mara untuk tetap berada di dalam kamar. Jangan berusaha keluar atau membuat keributan. Meski begitu, Kiana penasaran, memang ada siapa sampai dia kembali dikurung seperti ini? Tadi, saat dia mengintip melalui jendela, matanya hanya menemukan mobil mewah yang masuk ke dalam halaman rumah Rafael. Sayangnya, dia tidak bisa melihat siapa yang keluar dari mobil itu.
Apakah ada seseorang yang penting datang ke sini? Rafael sengaja menyembunyikannya? Laki-laki itu memang sepertinya berniat untuk membuatnya mendekam hingga mati di sini. Di saat tengah memikirkan hal tersebut, pintu kamar terbuka. Menampilkan sang pemilik rumah. Rafael berdiri menatap Kiana dengan kedua alis yang mengernyit heran. Kenapa wanita ini bisa ada di sini? Padahal dia sudah menyuruh Mara untuk menyembunyikan Kiana di tempat yang aman, bukan di kamarnya. "K"Kau membuang semua peninggalan orang tuamu?" tanya Guzman saat dia dan Rafael berada di balkon lantai atas. Menatap pemandangan malam dengan segelas wine sebagai teman. "Tidak. Aku menyimpannya di tempat yang aman." Guzman mengangguk. Sebagai ayah, dia cukup senang jika Rafael masih mau menyimpan barang-barang milik Darren. Meski dia tidak berharap cucunya akan merawatnya. Setelah apa yang terjadi, anaknya memang pantas dibenci. "Dua hari lagi peringatan kematian ayahmu. Apa yang ingin kau--" "Aku tidak akan datang. Jangan beritahu aku apa pun tentang itu karena aku tidak akan pernah datang," potong Rafael sebelum Guzman menyelesaikan kalimatnya. Matanya menatap lurus ke arah langit. Menatap rembulan yang bersinar sangat terang, tidak seperti biasanya. "Itu sangat tidak etis. Kau adalah anak satu-satunya. Mana mungkin tidak datang?" Rafael menoleh. Menghadiahkan
Kiana menatap pantulan dirinya di cermin. Kalung berlian pemberian Rafael terlihat menggantung di lehernya dan membuatnya terlihat sangat cantik. Rambut hitamnya dibiarkan terurai indah dengan poni yang menutupi kening. Hanya saja, yang dikenakannya sekarang adalah seragam pelayan. Namun meski demikian, Kiana tetap cantik. Setelah selesai merapikan penampilan, dia bergegas keluar kamar. Melakukan tugasnya seperti biasa. Menyiapkan sarapan untuk Rafael. Meski anehnya, setelah kejadian di pagi hari saat dia membangunkan laki-laki itu, Rafael jadi menghindarinya. Kiana merasa kalau Rafael tidak mau berdekatan dengannya. Tepat saat dirinya tengah memikirkan itu, matanya tiba-tiba melihat sosok yang dia pikirkan berjalan ke arahnya. Sontak saja, Kiana lantas berjalan mendekatinya. "Rafael! Kau mau langsung berang--" Sungguh nahas, ucapan Kiana terputus saat Rafael berjalan melewatinya begitu saja. Tanpa menatap
"Maaf, sepertinya aku mengganggu kalian." Pemandangan yang ada di depannya membuat dia benar-benar menelan ludah kasar. Tidak bisa mengalihkan matanya sedikit pun. Paha mulus Kiana yang terpampang karena rok panjangnya yang tersingkap, serta tangan Rafael yang menyentuh dada wanita itu yang terbuka, ditambah posisi keduanya terlihat sangat intim. Membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa malu. Telat sedikit saja, mungkin aktivitas panas tak bermoral itu sudah terjadi. Apa Kiana memang wanita seperti ini? Menggoda pria untuk melakukan hubungan intim? Dia tidak percaya. Jujur, saat Rafael mengatakan kalau keduanya tidur bersama, dia masih ragu. Akan tetapi, setelah melihat tindakan provokatif Kiana dengan mata kepalanya sendiri, dia rasa ucapan temannya benar. Kiana seperti wanita-wanita lain yang melempar tubuhnya sembarangan untuk disentuh. "Do-dokter Ken?" Kiana tergagap. Dia kaget bukan k
Kiana memainkan rambut hitam milik Rafael dengan lembut. Napasnya masih tersengal-sengal setelah sebelumnya dia dan laki-laki itu menghabiskan banyak tenaga. Dia lagi-lagi tidak bisa menolak ketika Rafael menyentuhnya. Kenyataannya, Kiana sangat menikmati apa yang terjadi di antara mereka. "Tubuhmu panas. Aku menyukainya." Tangan Kiana tidak bisa berhenti menyentuh tubuh Rafael yang berkeringat. Membuat laki-laki itu kembali mengerang lirih merasa digoda. "Cukup Kiana. Berhenti menggodaku." Secepat kilat, Rafael menahan tangan Kiana ke atas. Tidak membiarkan wanita itu kembali meraba-raba tubuhnya. Menutup tubuh mereka dengan selimut tebal. Meski karena Kiana tidak bisa diam, selimut yang menutupi tubuhnya sedikit merosot ke bawah. Memerlihatkan tubuh bagian atasnya di hadapan Rafael. Melihat hal tersebut, Rafael berdehem sambil mengalihkan pandangannya. Dia spontan melepaskan tangannya yang menggenggam len
"Terima kasih sudah menyelamatkanku, Tuan Marcel." Kiana menatap Marcel yang tersenyum sambil fokus menyetir. Dia berada di dalam mobil milik Marcel setelah laki-laki itu menyelamatkannya dengan mengajaknya pergi meninggalkan Arkan. Kiana tidak tahu apakah ini pilihan yang tepat atau tidak, tapi hanya laki-laki ini yang bisa menolongnya tadi. Tubuhnya bahkan masih gemetar saat mengingat Arkan hampir menangkapnya. Setelah apa yang terjadi, kini kehadiran Arkan terasa seperti mimpi buruk. Kiana tidak mungkin lupa akan kata-kata laki-laki itu yang berniat mencarinya dan memasukkan dia kembali ke penjara atau rumah sakit jiwa. Kata-kata Arkan yang penuh kebencian. Maka satu-satunya untuk menghindari itu adalah dengan menjauhi Arkan. "Kiana, apa kau sudah makan?" "Huh? B-belum." Kiana sedikit tergagap mendengar perkataan laki-laki itu yang tiba-tiba. "Bagaimana kalau kita pe
Rafael menatap hotel di depannya dengan tangan terkepal. Dia masuk terburu-buru dan berjalan ke arah meja resepsionis sambil memasang wajah dingin. "Tolong tunjukkan ke mana Marcel membawa seorang wanita!" "Maaf Tuan, ini--" "Kau harus mengatakannya jika ingin selamat. Kau tahu siapa aku 'kan!" Rafael menyorot tajam pada sang resepsionis. Hingga resepsionis itu ketakutan dan mengatakan apa yang diketahuinya, sekaligus menunjukkan di mana keberadaan Marcel. Tak mau membuang waktu, Rafael dengan segera berlari menuju ke arah kamar yang disebut oleh sang resepsionis. Hatinya sudah sangat panas memikirkan apa yang dilakukan Marcel terhadap Kiana. Bagaimana mungkin anak buahnya sendiri membiarkan Kiana pergi? Membuatnya harus pulang detik itu juga karena marah memikirkan Kiana kabur. Wanita pelayan itu membiarkan Kiana keluar, padahal sudah tahu kalau dia tidak pernah mengizinkannya. Meski beruntung
Kiana menatap manik mata hitam milik Rafael dengan wajah memerah. Kedua kakinya melingkar di pinggang laki-laki itu. Membiarkan saat Rafael menggoyangkan pinggulnya secara kasar. Sementara kedua tangannya terikat oleh borgol. Ini semua salahnya, jika saja tadi dia tidak asal menggoda Rafael, dirinya tidak akan berakhir seperti ini. Rafael benar-benar memborgolnya. "Katakan. Katakan ... sesuatu, Kiana." Hembusan napas kasar laki-laki itu menerpa wajahnya. Membuat Kiana semakin bergairah, namun dia tidak bisa melakukan banyak hal. Kedua tangannya hanya bisa mengepal saat Rafael dengan sengaja menggerayangi tubuhnya. Sekuat tenaga, Kiana menahan erangan kenikmatan akibat ulah Rafael. "Dasar jalang." Senyum culas terlihat di bibir Rafael ketika Kiana tanpa sengaja mendesis nikmat. "Akhhh ... lepas. Tolong lepaskan tanganku." Sayangnya Rafael tidak mau mendengar. Dia menikma
"Kami bertemu Kiana tadi." Fokus Andrew yang tengah menatap ponsel spontan teralihkan pada Arkan dan Sashi. Matanya melotot dan refleks merangsek maju. "A-apa? Kalian, katakan di mana kalian bertemu dengan Kiana?" "Aku tidak sengaja melihat Kiana saat sedang belanja, tapi dia lari ketakutan," sahut Sashi sambil menatap Arkan dengan raut wajah bingung. Padahal suaminya sudah mengejarnya, namun Kiana justeru lari tunggang langgang. "Dia pasti takut melihatku." Arkan meringis dan menatap adiknya dengan penuh rasa bersalah. Matanya bisa melihat dengan sangat jelas kekecewaan dan ekspresi takut yang Kiana tunjukkan padanya. "Dia pasti menyangka Kak Arkan akan memenjarakannya lagi." Andrew mendesah frustrasi memikirkannya. Kiana pernah bercerita tentang ucapan kakaknya yang ingin memasukkannya kembali ke dalam rumah sakit jiwa. Pasti ucapan itu menimbulkan efek trauma bagi Kiana.