Tamatlah riwayatnya.
Kiana hanya bisa berdoa saat mendengar suara Rafael mengalun di gendang telinganya. Bagai sebuah warning yang memintanya segera bersembunyi agar tidak ketahuan. Jelahs opsi untuk melarikan diri tidak ada untuknya saat ini. Kenapa? Kenapa bisa seperti ini? Bukankah Mara bilang kalau Rafael tidak akan pulang? Mungkinkah wanita itu hanya membohonginya? Senyum kecut muncul di bibirnya. Tak seharusnya Kiana percaya pada semua orang yang ada di sini. Semuanya hanya mementingkan diri mereka sendiri. Akan tetapi, dia sungguh beruntung karena telah menutup lemari sebelum Rafael datang. Laki-laki itu ... tidak akan curiga bukan? Kiana juga sudah membereskan kembali berkas yang tadi sempat dia acak-acak. Meski satu kesalahan yang dia lakukan, Kiana lupa mengunci pintu ruangan. Dia hanya menutupnya saja. Sungguh sialan. Di tengah rasa cemas karena takut sewaktu-waktu RafPart selanjutnya mohon jangan baca dulu, soalnya sama. Aku mau ganti dulu. Harap sabar.
Kiana menahan napas saat jemari kasar Rafael perlahan mulai menyentuh tubuhnya. Sentuhan itu begitu menyengat seperti aliran listrik hingga deru napasnya terdengar memberat. Tangannya tanpa sadar meraih sejumput rambut hitam Rafael sambil mengerang. Wajahnya memerah, menikmati setiap sentuhan lembut dan lumatan kecil di area sensitifnya. Namun kepalanya terus menggeleng, seakan berkata kalau dia tidak ingin berakhir dalam dekapan laki-laki tampan itu. Kiana berusaha menolak. Kakinya menendang sambil meminta Rafael untuk berhenti. "Tidak. T-tolong hhentikan ...." Suaranya yang terdengar lirih justeru seperti undangan bagi Rafael yang saat ini diliputi gairah. Bibirnya menyunggingkan senyum miring. Dia tahu, ketika dia telah memulai, maka tidak ada kata berhenti. Kiana telah membangunkan sisi lain dalam diri Rafael selama ini. Sebuah hasrat yang sudah terkurung rapat, kini meminta dibebaskan. Rafael yang awalnya mengaku
Warning! Bagi yang sudah baca bab sebelumnya, bisa di-refresh ulang dengan hapus cache. Part sudah diganti. Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi.___Tak pernah terpikirkan sebelumnya kalau Rafael akan melewati malam yang panas untuk kedua kalinya bersama Kiana. Membuat dirinya saat ini merasakan euforia yang berbeda. Bagaimana bisa, Rafael membayangkan kembali kejadian semalam saat dia harusnya menenangkan pasien?Huh, benar-benar sialan. Rafael menghela napas lelah lalu mengalihkan perhatiannya pada seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan di depannya. Tak jauh darinya tampak seorang laki-laki tengah dipegangi oleh beberapa orang karena mengamuk, sebelum kemudian ketika diberi obat, laki-laki itu mulai tenang. Namun pegangan di kedua tangannya belum kunjung dilepas."Bagaimana bisa Anda membiarkannya tidak minum obat? Anda tahu apa yang Anda lakukan bisa sangat berbahaya?" Tatapan Rafael tampak sangat menusuk. Menunjukkan kalau dia geram dengan tindakan wani
"Rafael, kau apakan Kiana?" Pertanyaan itu berasal dari Ken yang saat ini tengah menatap temannya dengan pandangan menusuk. Dia jelas mendengar kalau Rafael membuat Kiana harus melayaninya. Sungguh berengsek! Itu berarti, selama ini Rafael 'lah orang yang menyembunyikan Kiana? Tangan Ken langsung terkepal saat memikirkan temannya dengan tega membodohinya seperti ini. Kenapa Rafael sampai tega mempermainkan Kiana? Apalagi perkataan laki-laki itu tentang Kiana terdengar tidak sepantasnya. "Ken." "Kau?" Baik Mili dan Rafael menoleh ke arah Ken bersamaan. Mili terkejut dengan kedatangan Ken sementara Rafael hanya menatapnya datar. Dia tidak terlalu menghiraukan saat Ken tahu dan mendengar percakapannya dengan Mili. "Kiana ... apa Kiana ada di rumahmu? Apa kau menyembunyikan dia selama ini, huh?" Tatapan Ken berubah tajam. Dia langsung meraih kerah jas Rafael dengan kuat. U
Rambut hitamnya terurai indah. Lipstik merah tampak terpoles di bibirnya. Sort dress bermotif bunga tampak cantik ketika dia kenakan. Penampilannya memberi kesan polos, tapi juga cantik. Ini pertama kalinya Kiana memakai pakaian bagus selama tinggal bersama Rafael. Mengingatkan dia pada penampilannya beberapa tahun lalu. Namun dia mengenakan ini bukan tanpa alasan, ternyata Rafael memiliki tujuannya tersendiri. "Kiana, aku senang melihatmu baik-baik saja." Seulas senyum kecut tercetak di bibir indahnya. Kiana menatap laki-laki yang dulu pernah menolongnya. Laki-laki baik hati dari pada Rafael. Tak pernah disangka kalau laki-laki itu akan datang ke sini. "Iya, Dokter Ken, Rafael merawatku dengan baik." Kiana bisa merasakan sebuah tangan yang merangkul pinggangnya mengerat. Membuatnya harus bersandar di bahu kokoh itu. Siapa lagi yang melakukannya jika bukan Rafael? "Kau ... benar-benar tidak ingin
Kiana terbangun saat matahari sudah tenggelam. Selimut yang menutupi tubuhnya sudah merosot sebatas pinggul, membiarkan kulit telanjang bagian atasnya terlihat. Matanya berkedip beberapa saat. Mencari keberadaan Rafael yang beberapa jam lalu kembali membuatnya melakukan kesalahan dan menyerah di bawah kuasa laki-laki itu. Sayangnya, batang hidungnya tidak terlihat. Rafael sudah meninggalkannya saat dia masih terlelap. Hampir saja umpatan keluar dari mulutnya sebelum dia kemudian mendengar suara pintu yang dibuka dari luar. Pelakunya adalah Mara. Wanita itu menatap Kiana yang masih dalam keadaan telanjang dengan ekspresi terkejut, sebelum dia kemudian paham apa yang telah terjadi antara Kiana dan majikannya. Mara berpura-pura untuk menghiraukannya. "Tolong ganti pakaianmu, Tuan Rafael sudah menunggu di meja makan." Kiana yang pada awalnya berniat untuk malas-malasan, mulai teralihkan. Dia menatap Mara dengan kening berk
"Rafael ke mana?" Kiana menggenggam tangan Mara dengan erat saat wanita itu akan melewatinya. Tadi, dia sudah masuk ke kamar Rafael, namun laki-laki itu sama sekali tidak terlihat. Ruangan yang semalam terbuka juga kini sudah tertutup. "Tuan sedang lari pagi. Mungkin akan tiba sebentar lagi," jawab marah sembari melepaskan tangan Kiana yang menggenggamnya. Meninggalkan wanita itu untuk kembali bekerja seperti biasa, sebelum kemudian Kiana menahannya lagi. "Tunggu, Noe dan yang lainnya, di mana mereka?" Ketika bangun tidur, Kiana sama sekali tidak melihat keduanya. Hanya ada Mara seorang diri. Kiana bertanya bukan karena mereka sudah berbaikan, melainkan karena penasaran saja. "Tuan Rafael sudah memecat mereka." "APA? DIPECAT?" Saking kagetnya, Kiana sampai tidak sadar malah berteriak. Dia membuat Mara mengerutkan keningnya tidak suka. Akan tetapi, Kiana benar-ben
"Kau, dasar keponakan tidak tahu diuntung. Jangan berpikir kau sudah mengalahkan kami. Kau dan ayahmu sama-sama licik. Aku pastikan, kau akan mendapatkan balasannya," desis Mario sambil menunjuk ke dada Rafael. Tatapannya penuh permusuhan, jelas semua ini terjadi setelah Rafael membeberkan semua kelakuan busuk Marcel yang mengganggu Kiana pada sang kakek. Rafael yang memang tidak salah dan menghajar Marcel, tentu tidak terima. Sementara Guzman jelas memahami semuanya dengan bijak dan menghukum Marcel selama dua bulan untuk tidak diperbolehkan ikut campur dalam masalah perusahaan. Tak hanya itu, Marcel juga tidak diperbolehkan berkeliaran ke club malam atau tempat-tempat lainnya yang biasa dikunjungi, jika tidak maka Guzman akan mencabut semua hak untuk Marcel. Sementara Mario diperintahkan untuk mengawasi anaknya agar tidak melanggar atau kalau tidak, hal yang sama akan terjadi padanya juga. Guzman akan mencoret Mario sebagai
"Aku menyukaimu, Rafael. Aku menyukaimu." Ucapan itu diakhiri dengan lumatan menggebu di bibirnya. Kiana bergerak di pangkuan Rafael tanpa mengenakan sehelai benang pun. Mengerang saat kulit mereka bersentuhan dan ketika tubuh bagian bawah mereka bersatu dalam peluh. Begitu juga dengan Rafael yang memejamkan matanya dan menikmati setiap keindahan yang Kiana miliki. Dia puas setiap kali bercinta dengan wanita ini. Sekarang, hasratnya kian membludak setelah mendengar ucapan wanita itu. Didorongnya Kiana hingga menabrak meja di depannya secara kasar, menyebabkan meja itu bergeser dari tempatnya. Jeritan kesakitan terdengar, namun sekali pun tak membuat gerakan Rafael terhenti. Laki-laki itu malah menggoyangkan pinggulnya semakin kasar. Menikmati punggung Kiana di depan matanya. Dia selalu senang saat berhasil menaklukkan Kiana. Wanita yang selalu menantangnya untuk berdebat. Menyukai? Suka? Wanita itu me