"Ibu, ibu dimana? Riri takut..." rengek gadis kecil yang duduk bersandar di bawah pohon sambil memeluk kedua lututnya dengan ketakutan.
Hari sudah kembali berganti malam, entah berapa lama ia sudah duduk di bawah pohon ini sambil menyusuri sungai. Berharap bisa kembali ke desa.
Gadis kecil itu mulai menitikan air matanya dengan ketakutan, suara burung hantu di hutan mulai bermunculan dan lolongan serigala menambah keseraman di telinganya.
Ia semakin mengeratkan pelukan di kakinya dan bergumam pelan karena kelaparan. "Ibu..."
"Lho, ada orang disini?"
Gadis kecil itu mengangkat kepalanya dengan takut. Hantu?
"Kenapa kamu bisa di dalam hutan?"
Gadis kecil itu bersikap defensif ketika orang itu berusaha mendekatinya.
"Ah, susah juga ya. Saya kira anak kecil itu ramah dengan orang lain."
GUK
Anak kecil itu terkejut ketika seekor anjing berwarna cokelat mengendus dirinya. A... anjing?
Orang itu berjongkok di samping anjingnya. "Tenang saja, ini anjing ramah. Jenisnya memang tidak jelas tapi dijamin sifatnya jelas kok, baik juga sama anak kecil. Kalau ada anjing ini adik kecil tidak takut bukan?"
Gadis kecil itu mengulurkan tangannya dengan ragu sementara si anjing menyundul tangan kecil dengan kepala supaya mengelus kepalanya. Gadis kecil itu tertawa seolah melupakan kesulitannya.
Orang itu tersenyum lega. "Boleh saya tahu dimana orang tua kamu?"
"Di desa."
"Desa ya, kamu kenapa bisa di dalam hutan sendirian?"
Kedua mata anak kecil itu meredup. "Ada orang yang bilang kalau dia ayah kandung Riri, Riri senang dan diajak jalan-jalan terus..." anak kecil itu mulai terisak. "Terus orangnya hilang, Riri cari-cari nggak ada sampai Riri nggak bisa pulang."
"Dari desa mana kamu? saya antar ya."
"Tahu tempatnya? Riri aja nggak bisa pulang karena hutan ini luaaaasss sekali."
"Tapi hutan ini nggak jahat sama Riri 'kan?"
Anak kecil itu bingung dengan pertanyaan orang di depannya, ia hanya menjawab dengan anggukan.
"Ayo, saya antar kamu. Kamu masih ingat wajah orang yang bawa kamukan?"
"Kalau lihat, mungkin ingat."
"Kalau begitu sekalian ya kita cari desa, mungkin saja orang-orang kebingungan mencari kamu."
"Riri nggak kuat berdiri. Riri lapaar." Rengek anak kecil itu.
Orang itu menggendongnya lalu memberikan cokelat di saku jasnya. "Kalau begini bisa kan? Ini cokelat. Saya hanya punya ini."
Anak kecil itu menerima cokelat yang sudah digigit sedikit lalu memakannya dengan kelaparan. "Terima kasih."
Orang itu berjalan berdampingan dengan anjingnya untuk membawa anak itu pulang.
Riri keluar dari rumah dengan bersungut-sungut kesal sambil membawa dua buah ember. Gimana tidak kesal, PDAM rumah sedang bermasalah. Jadinya dia harus mengambil air sumur yang ternyata air sumur sedang kering, dia terpaksa mengambil air dari sungai. Sungainya tidak terlalu jauh tapi keluar rumah jam setengah lima, belum dirinya sudah harus di sekolah jam 6.15 pagi. Mau tak mau ia harus melanggar peraturan, untung saja eyang putri sedang menginap di rumah om. Jadi tidak perlu diingatkan tentang peraturan desa mereka. Kalau tidak melanggar bisa-bisa dirinya terlambat MOS, meski pihak sekolah sudah melonggarkan peraturan jam masuk untuk anak-anak yang berasal dari daerah penguasa gunung. Untuk mengambil air sungai, Riri memang harus masuk ke dalam hutan. Tapi hutannya tidak terlalu menyeramkan karena Riri sudah kenal dengan daerah ini sejak lahir. Langkah Riri berhenti ketika melihat seorang pr
Riri tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan jalan keluar untuk Hida. Ia melihat jam beker yang menunjukan pukul tiga pagi, terbesit keinginannya untuk keluar dan mencari laki-laki itu lagi. Laki-laki tampan dengan punggung kesepian. Riri bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil cincin di laci meja, cincin emas polos dengan berlian hijau di tengah. Warna yang disukainya. Ia mengambil jaket dan memasukan cincin di dalam saku jaket, lebih baik ia mengembalikan cincin ini kalau benar ini milik pria itu. Ini juga sebagai permintaan maaf karena sudah melempar ember dan menuduhnya macam-macam. Riri mengendap-ngendap keluar dari kamar dan melihat sekeliling. Nenek sudah tidur pulas di kamar begitu juga dengan orang tuanya, ia mengambil kunci cadangan di buffet dekat pintu ruang tamu lalu keluar perlahan tanpa menimbulkan suara. Riri berlari ke samping rumah dan masuk ke dalam hutan hanya mengandalkan
Riri terbangun dari mimpi buruknya. Ia bermimpi dikejar ular besar yang akan menelannya hidup-hidup dan juga orang itu bahkan hanya berdiri dan menertawakan dirinya, dia tidak mau menolong Riri meskipun ia berteriak minta tolong sekuat tenaga.Riri melihat jam bekernya. Jam 2.45 pagi. Waktunya sholat tahajud.Riri memaksa dirinya bangun dan berusaha melawan dinginnya udara gunung setelah menyibak selimut, lalu menyeret langkahnya ke kamar mandi untuk wudhu. Saat membuka pintu ia melihat bapak tertidur di depan tv. Riri tersenyum dan mengambil selimut yang terjatuh di lantai, ia menyelimuti bapaknya. Tanpa ada bapak entah bagaimana nasib Riri ibu dan eyang putri sekarang setelah ditinggalkan eyang kakung.Riri menggeleng lalu wudhu dan sholat Tahajud, setelah menyelesaikan sholat. Ia melihat jam beker menunjukan angka 3.Perkataan Hida dan permintaan Radith membuat dirinya tida
Riri terbangun jam tiga pagi seperti biasanya, setelah sholat tahajud. Ia memutuskan masuk ke dalam hutan lagi diam-diam untuk mencari batu di sungai, padahal sepulang sekolah sudah senang-senang saja tidak ada tugas berat dan sekarang ia malah lupa mengambil batu di sungai.Kalau bilang ke bapak dan ibu pasti marah-marah dan menyuruhnya berangkat setelah jam 5. Riri tidak mau berangkat sekolah dengan keringat dimana-mana. Makanya ia buru-buru mengambil jaketnya untuk ke sungai hutan.Riri menghentikan langkahnya ketika melihat pria yang dikenalnya. Pria yang hanya ia tahu bernama Laki berdiri di tempat sama seperti kemarin, mungkinkah..."Kalau yang kamu cari, sarang burung. Itu sudah dipindah Radith."Laki menoleh dan tersenyum, "Kamu lagi, kenapa kamu selalu datang ke hutan di waktu terlarang? Jangan-jangan kangen saya."
Di depan tak ada apapun hingga aku menutup mataDan aku mulai memimpikan apa yang aku inginkan,Aku menutup mataku,Untuk melihat mimpikuRiri memejamkan kedua matanya sambil terus bernyanyi.Ketika Tuhan hanya melihat segala penderitaanmu,Kamu hanya bisa menutup matamu,Dan mengatakan semuanya baik-baik saja, Baik-baik saja...Riri mulai meneteskan air mata, ia teringat suatu hal yang sangat menyakitkan ketika ibunya menangis setelah mendengar cerita Hida lalu perkataan Laki mempertanyakan dirinya apakah bahagia tinggal disini dan yang terakhir kedatangan bapak dengan luka lebam di tubuh menggores luka di batinnya.Tidak bolehkah dirinya melupakan masa lalu yang menyakitkan? Masa lalu yang membuat dirinya sesak.Rir
Riri yang sudah merasa menjauh dari Laki, melihat ke belakang. Apakah semua pria selalu begitu? Pertemuan tidak disengaja seolah menjadi takdir untuk mereka, lantas berniat meninggalkan istri di rumah, Riri jadi merasa heran, memangnya si Laki ini tidak bekerja? tidak khawatir meninggalkan istrinya karena pergi di jam segini.Riri mengenyahkan pemikiran buruknya, tidak ada gunanya memikirkan hal itu, hmmm... selanjutnya ia kemana ya? Masih ada sisa waktu banyak sebelum sholat subuh, di rumah tidak ada siapapun. Eyang putri memutuskan menemani ibunya selama di rumah sakit kota lalu warga desa hanya mengandalkan tetangga depan sama samping rumah alias keluarga Radith untuk menjaga rumah karena mereka memperbaiki saluran air kebun dan sawah warga supaya tanaman tidak mati.Riri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Duh, bingung. Di rumah sendirian juga dirinya tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bengong, Radith juga sudah cerita di telepon kalau ia tidak perlu datan
"Anda dari tadi tertawa, apakah ada yang lucu?" tanya pria tua berwajah wibawa menatap aneh Laki yang tersenyum sambil membaca buku. Seingatnya, Laki tidak terlalu suka membaca buku humor. Jadi tidak mungkin buku itu penyebab Laki tertawa. Laki mengangkat kepala. "Ada masalah?" "Tidak. Hanya saja mood anda terlihat sangat baik hari ini." "Hmm," gumam Laki sambil meneruskan membaca buku. "Apakah hari ini anda tidak tertarik ke kantor?" "Untuk apa? Sudah ada kalian yang mengatasinya, ini keinginan kalian semua bukan?" Kelima tetua duduk di hadapan Laki, tidak berani menjawab sindiran Laki. Mereka bertukar kode lewat mata sehingga memutuskan meneruskan pekerjaan yang mereka bawa di kamar Laki. "Mengenai pembangunan yang diajukan... apakah anda tidak bertemu dengan pengembangnya?" tanya salah satu tetua berjenggot tebal. "Saya sudah membaca proposalnya, saya tidak tertarik." "Tapi..." "Apa perlu mengul
Laki mengunci pintu kamar setelah mendengar teriakan memilukan dari wanita yang dibencinya. Ia memutuskan menyelesaikan membaca laporan yang diberikan ke lima tetua itu sebelum pergi. Di tengah membaca ia jadi teringat dengan Riri. Bagaimana ya kira-kira reaksinya, pasti melas. Laki memutar kursi putarnya ke kaca jendela di belakangnya. "Sudah hampir malam, orang-orang tua itu belum memberikan laporan." TOK TOK TOK. Laki bergegegas membuka pintu kamar dan melihat tetua berjenggot tebal sedang berdiri di hadapannya. Tetua berjenggot tebal masuk ke dalam kamar Laki bersama ke empat rekan di belakangnya. "Saya bertemu dengan anak perempuan itu." "Lalu?" "Lumayan juga, kalau dipoles dengan baik." "Dia bukan boneka." Laki menatap muak pria tua yang berdiri di depan mejanya. "Apa katanya?' "Dia tidak memberikan jawaban, dia malah berteriak 'gila' ke saya," jawab tetua berjenggot tebal dengan nada wibawa. K