Di tempat parkir Cfd.
Laki yang tidak peduli tatapan aneh orang-orang karena menarik istrinya di depan umum, langsung mendorong Rosaline ke pintu penumpang belakang mobil. "Apa-apaan sih kamu!"
"Kamu yang apa-apaan!" sengit Rosaline
"Anak itu tidak sengaja menabrakku! Kamu ngapain ribut kayak orang gila gitu!"
"Kamu memang sudah menganggapku gila!" balas Rosaline tidak terima.
Luca yang berdiri di belakang Laki tidak melakukan apapun, dia tidak berani ikut campur urusan rumah tangga orang lain.
Laki mendorong mundur Rosaline hingga terjepit di antara mobil dan dirinya. "Kamu pikir, saya tidak tahu- selama ini kamu diam-diam mengambil uang saya untuk menambah koleksi perhiasan kamu? uang pengobatan yang selama ini saya berikan ke salah satu asisten kamu, kamu gunakan sebagian untuk menutup mulut dokter dan sebagian lagi kamu larikan ke rekening kamu?"
Rosaline menatap terkejut Laki, begitu juga dengan Luca.
"Da... da..."
"Kenapa tiba-tiba anda bertanya seperti itu?" tanya orang di seberang telepon.Setelah memberikan nomornya ke Hida, Laki segera pulang ke rumah dan menelepon kepala desa di kamarnya. "Saya mendengar kabar salah satu warga dijemput paksa polisi.""Anda dengar darimana? Hanya orang tertentu saja yang mengetahuinya."Laki menepuk keningnya. Kepala desa tempat Riri berada sangat cerdas dan hati-hati, beliau bahkan bisa memanipulasi kelima tetua. Laki sangat mengagumi kepala desa ini meskipun agak sebal pada beliau.Laki yang jalan mondar-mandir di kamarnya memutar otak. "Saya memiliki mata-mata yang dapat dipercaya.""...."Tidak ada respon dari kepala desa. Laki melihat handphone kerjanya untuk memastikan tetap terhubung. "Hallo?"Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Dan kenapa anda ingin mengetahuinya sekarang setelah warga saya ditangkap? Saya tidak ingin ada kejadian seperti di desa sebelah. Terlambat penanganan."
Setelah selesai menghubungi staffnya, tiba-tiba ada telepon masuk di handphonenya. Nomor yang tak dikenal. Laki mengerutkan kening dan ragu mengangkatnya. "Siapa?" Handphone mati sebentar lalu berdering kembali. Laki mengangkatnya dengan ragu. "Hallo?" "Akhirnya diangkat, kemana saja sih?" terdengar suara riang seorang anak perempuan di seberang. Laki mengerutkan kening. "Siapa ini?" "Ini aku, Hida. Teman Riri." "Oh!" "Jadi bagaimana?" "Apanya?" "Kamu bersedia tidak menolong Riri?" Laki tanpa sadar mengangguk. "Tentu!" "Dengar ya, aku sebenarnya mau menuruti perkataan Riri, hanya saja aku agak gregetan sama pemilik tanah yang suka lambat menangani itu, apalagi kalau sudah masuk polisi, urusannya makin ribet deh." Laki hampir tertawa. Padahal dirinya pemilik tanah. "Hallo? Kamu mendengarku?" "Ya, saya mendengar." "Kamu tidak akan mendapatkan info dari siapapun kecua
Waktu berlalu dengan cepat, satu minggu lamanya Riri tidak mendapat kabar sama sekali mengenai kondisi bapak, bertanya pun terkesan orang-orang menghindar. Mereka memilih melakukan tugasnya masing-masing termasuk membantu mengurus lahan milik bapak, eyang putri pun memilih membantu bekerja daripada membahas perihal masuk penjaranya bapak. Di sekolah, Riri juga di gosipkan sebagai anak narapidana. Beberapa teman yang kenal di ospek pun memilih menjauh. Sayangnya dia dan Hida beda kelas, jadi bertemu pun hanya pada saat berangkat sekolah, istirahat dan pulang sekolah. Di kelas tidak ada yang mau mengajak bicara kecuali wali kelasnya tapi pernah Riri tidak sengaja mendengar ruang guru bergosip mengenai bapak, mereka menganggap bapaknya orang yang menyeramkan. Entah kenapa gossip yang beredar jauh lebih parah dari kenyataannya, sejak kapan bapaknya memiliki niat membunuh hanya karena tidak suka ada pembangunan jalan, sejak kapan bapaknya dianggap anarkis?
Laki melepas kaca mata dan memijat kening, surat perjanjian yang difoto Hida hanya di bagian isi. Tidak di bagian tanda tangan, saat Laki bertanya, Hida menjawab bahwa tanda tangan itu tidak penting difoto karena sudah jelas kepala desa mengiyakan bahwa itu tanda tangan pemilik desa. Laki pun tidak bisa melihat tanggal penanda tanganan. Dia tidak menanyakannya lagi supaya tidak menimbulkan kecurigaan dari anak SMA berpikiran kritis di saat tertentu. Laki bersandar di kursi dan mengangkat salah satu kertas laporan di atas meja. Tadi pagi, sekretaris memberikan jumlah sisa anggaran dari pajak. Hasilnya dia harus menutup kekurangan dengan dana pribadi kerajaan, orang-orang disini memang terlalu boros. TOK TOK TOK “Masuk.” Jawab Laki sambil meletakan kaca mata dan kertas di atas meja. Luca masuk dengan senyuman lebar sambil memberikan dokumennya ke Laki. “Coba lihat apa yang aku dapatkan.” Laki mengangkat salah satu al
Samar-samar Riri mendengar suara gumaman seorang anak perempuan, suara yang dikenalnya. Riri mencari sumber suara untuk memastikannya. Dia berjalan perlahan dengan hati-hati, tak lama ia menemukan sosok yang dicarinya.Di balik pohon besar dekat sungai dia menemukan sosok yang dicarinya, Hida yang berjalan mondar mandir di samping sungai menggunakan jilbab panjang sedada dan celana panjang training, mondar-mandir dengan panik.“Hida,” sapa Riri.Hida menoleh dan terkejut. “Riri!”“Kenapa kamu mondar mandir disini?” Riri berjalan mendekati Hida.“Tidak, tidak apa-apa hahahaha- aku tidak apa-apa.” Geleng Hida dengan raut wajah panik dan pucat.“Hida?” Riri tidak percaya dengan perkataan Hida. Malam begini kenapa ke hutan? selama dirinya keluar diam-diam, tidak pernah bertemu dengannya.Hida berlutut di hadapan Riri, memutuskan berkata jujur. “Tolong, tolong jangan m
"Ibu, ibu dimana? Riri takut..." rengek gadis kecil yang duduk bersandar di bawah pohon sambil memeluk kedua lututnya dengan ketakutan. Hari sudah kembali berganti malam, entah berapa lama ia sudah duduk di bawah pohon ini sambil menyusuri sungai. Berharap bisa kembali ke desa. Gadis kecil itu mulai menitikan air matanya dengan ketakutan, suara burung hantu di hutan mulai bermunculan dan lolongan serigala menambah keseraman di telinganya. Ia semakin mengeratkan pelukan di kakinya dan bergumam pelan karena kelaparan. "Ibu..." "Lho, ada orang disini?" Gadis kecil itu mengangkat kepalanya dengan takut. Hantu? "Kenapa kamu bisa di dalam hutan?" Gadis kecil itu bersikap defensif ketika orang itu berusaha mendekatinya. "Ah, susah juga ya. Saya kira anak kecil itu ramah dengan orang lain."  
Riri keluar dari rumah dengan bersungut-sungut kesal sambil membawa dua buah ember. Gimana tidak kesal, PDAM rumah sedang bermasalah. Jadinya dia harus mengambil air sumur yang ternyata air sumur sedang kering, dia terpaksa mengambil air dari sungai. Sungainya tidak terlalu jauh tapi keluar rumah jam setengah lima, belum dirinya sudah harus di sekolah jam 6.15 pagi. Mau tak mau ia harus melanggar peraturan, untung saja eyang putri sedang menginap di rumah om. Jadi tidak perlu diingatkan tentang peraturan desa mereka. Kalau tidak melanggar bisa-bisa dirinya terlambat MOS, meski pihak sekolah sudah melonggarkan peraturan jam masuk untuk anak-anak yang berasal dari daerah penguasa gunung. Untuk mengambil air sungai, Riri memang harus masuk ke dalam hutan. Tapi hutannya tidak terlalu menyeramkan karena Riri sudah kenal dengan daerah ini sejak lahir. Langkah Riri berhenti ketika melihat seorang pr
Riri tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan jalan keluar untuk Hida. Ia melihat jam beker yang menunjukan pukul tiga pagi, terbesit keinginannya untuk keluar dan mencari laki-laki itu lagi. Laki-laki tampan dengan punggung kesepian. Riri bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil cincin di laci meja, cincin emas polos dengan berlian hijau di tengah. Warna yang disukainya. Ia mengambil jaket dan memasukan cincin di dalam saku jaket, lebih baik ia mengembalikan cincin ini kalau benar ini milik pria itu. Ini juga sebagai permintaan maaf karena sudah melempar ember dan menuduhnya macam-macam. Riri mengendap-ngendap keluar dari kamar dan melihat sekeliling. Nenek sudah tidur pulas di kamar begitu juga dengan orang tuanya, ia mengambil kunci cadangan di buffet dekat pintu ruang tamu lalu keluar perlahan tanpa menimbulkan suara. Riri berlari ke samping rumah dan masuk ke dalam hutan hanya mengandalkan