Riri tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan jalan keluar untuk Hida. Ia melihat jam beker yang menunjukan pukul tiga pagi, terbesit keinginannya untuk keluar dan mencari laki-laki itu lagi. Laki-laki tampan dengan punggung kesepian.
Riri bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil cincin di laci meja, cincin emas polos dengan berlian hijau di tengah. Warna yang disukainya. Ia mengambil jaket dan memasukan cincin di dalam saku jaket, lebih baik ia mengembalikan cincin ini kalau benar ini milik pria itu. Ini juga sebagai permintaan maaf karena sudah melempar ember dan menuduhnya macam-macam.
Riri mengendap-ngendap keluar dari kamar dan melihat sekeliling. Nenek sudah tidur pulas di kamar begitu juga dengan orang tuanya, ia mengambil kunci cadangan di buffet dekat pintu ruang tamu lalu keluar perlahan tanpa menimbulkan suara.
Riri berlari ke samping rumah dan masuk ke dalam hutan hanya mengandalkan sinar bulan terang, kalau memakai senter takutnya ketahuan penjaga keamanan desa. Hutan kecil yang sangat ia kenal, tidak ada binatang buas yang mengganggu, hanya ada monyet dan binatang herbivora lainnya.
Ia celingukan kanan kiri untuk mencari pria itu. Dimana dia? Apakah di tempat yang sama seperti kemarin?
Riri berhenti ketika melihat pria itu berdiri di bawah pohon sambil menatap ke atas. Riri ikut melihat ke atas. Rupanya ada sarang burung yang hampir jatuh di antara ranting pohon, Riri jadi merasa ragu untuk mendekati pria itu. Tanpa sadar ia menginjak ranting pohon, pria itu balik badan.
Riri tertegun.
Hutan memang gelap, cahaya mereka hanya sinar rembulan yang menyelip di balik daun pepohonan hutan. Ia jadi bisa melihat jelas pria itu, selain karena perawakannya yang seperti pria asing, matanya juga berwarna hijau. Hijau seperti tanaman yang ia sukai dan hijau seperti permata di cincin yang ia bawa.
"Kamu yang kemarin." Pria itu menoleh dan menatap dingin Riri.
Riri menelan ludah. "Aku hanya penasaran."
"Penasaran?"
"Barang yang kamu cari belum ketemu?"
Kedua mata pria itu menyipit. "Kenapa kamu bertanya?"
"Habisnya, kamu masih di dalam hutan."
Pria itu kembali memunggungi Riri dan mendongak ke atas. "Saya hanya kasihan dengan sarang burung disana. Kalau itu jatuh, telurnya akan pecah sementara induknya mencari makan, anak-anaknya sudah pergi."
Riri terkesima.
Baru kali ini ia bertemu pria yang peduli dengan hewan kecil seperti burung. Kalau tetangganya pasti sudah menembak burung ini atau berburu telurnya untuk dimasak. "Kamu bisa memanjat ke atas untuk memperbaiki letaknya bukan?"
"Kalau bisa, saya pasti sudah naik dari tadi."
Riri berjalan mendekati pria itu hingga berdiri sejajar dengannya. "Mau aku yang naik?"
Pria itu menoleh ke Riri dengan terkejut. "Kamu bisa naik ke atas?"
Riri mengangguk canggung. "Dari kecil biasa naik pohon cuma sekarang dilarang keras sama bapak dan ibu, hanya menolong burung pasti tidak apakan?"
Pria itu tidak menjawab, ia kembali mendongak ke atas. "Dahannya sangat tinggi."
"Tapi kokoh untuk dinaiki." Riri tersenyum melihat dahan pohon tempat sarang burung yang hampir jatuh.
Pria itu melirik Riri. "Kamu yakin bisa naik ke atas?"
Riri melepas jaketnya dan ancang-ancang menaiki dahan pohon. "Kamu jaga di bawah, ya."
Pria itu tidak menjawab, ia hanya menatap aneh Riri ketika mulai menaiki pohon. "Seorang perempuan tidak boleh naik pohon."
"Emansipasi!" teriak Riri yang mencari tempat berpijak di dahan.
"Kenapa tidak pinjam tangga saja?" tanya pria itu.
"Hemat Waktu!" jawab Riri dengan cuek, dia sudah mulai bisa menggapai sarang burung itu. "Ini mau diletakan dimana?" tanyanya dari atas.
Pria itu mendongak menatap Riri ke atas lalu mengerutkan kening tidak nyaman. "Letakan saja disana yang benar, jangan sampai jatuh!" sahutnya.
Riri menuruti perkataan pria itu, ia meletakan sarang burung di antara dahan kokoh dan tersembunyi dari balik daun pohon supaya tidak dimakan ular.
"Kalau tidak bisa turun, saya akan menangkap kamu!"
Kebanggaan Riri untuk emansipasi merasa diinjak. Ia mulai menuruni dahan pohon dengan cepat dan loncat dari dahan terendah. "Jangan meremehkan perempuan!"
Pria itu masih menatap Riri dengan aneh.
"Kenapa?" tanya Riri sambil menepuk-nepuk badannya untuk menghilangkan daun yang menempel.
"Dari tadi celana dalammu kelihatan."
Riri yang menyadari kesalahannya memakai rok selutut melotot ngeri ke pria itu sambil berusaha menutupinya. "KAMU NGINTIP YA?!"
Pria itu tertawa. "Posisi kamu di atas makanya mau tidak mau saya harus melihatnya bukan? Terima kasih tontonan gratisnya. Tapi maaf, saya tidak tertarik anak kecil."
"Dasar tidak sopan!" gerutu Riri sambil mengeluarkan cincin yang ditemukannya tadi siang di dalam genggaman tangannya. "Barang yang kamu cari sudah ketemu?" tanyanya.
Pria itu menggeleng pelan.
Riri menatap cincin di tangannya lalu menatap pria di hadapannya, ia menarik tangan pria itu lalu memberikan cincin di telapak tangannya. "Ini yang kamu cari?"
Pria itu hendak menarik tangan lalu terkejut melihat sebuah benda di tangannya. "Darimana kamu mendapatkannya?"
"Di sungai, ini jatuh di sungai dan terselip diantara bebatuan. Bagaimana caranya bisa jatuh kesana?" tanya Riri, "Tapi kalau kamu tidak mau memberitahunya tidak apa."
"Saya bertengkar dengan istri saya, lalu dia membuang cincin ini di sungai."
Oh, ternyata cowok ganteng di depannya sudah menikah. Riri mengangguk mengerti. Yah, pantas saja, cowok ganteng dimana-mana lakunya gampang.
Pria itu tersenyum tulus ke Riri. "Terima kasih banyak."
Riri terkesima dengan senyuman pria itu. Tidak hanya tampan di wajah tapi senyumnya juga memikat, andai saja pria di hadapannya ini tidak beristri mungkin Riri akan jatuh cinta, tapi ia sudah suka mata pria itu sih.
Riri memalingkan wajah. "Tidak perlu berterima kasih. Itu sebagai permintaan maaf karena sudah melempar ember dan menuduh macam-macam."
Pria itu mengerutkan kening lalu menatap Riri. "Sepertinya saya harus kembali, pulanglah."
Riri mengangguk.
"Sampai jumpa, Riri," kata pria itu sambil melewati Riri.
Riri yang terkejut menoleh ke belakang, ia menatap punggung pria yang sedang berjalan menjauh. "Bagaimana, dia tahu namaku?"
__________
Riri pulang ke rumah dengan lesu. Semalam tidak bisa tidur ditambah naik pohon lalu kegiatan MOS sama dengan capeknya berlipat-lipat, mata juga sudah tidak bisa ditahan lagi. "Assalamualaikum."
"Lihat bu, sudah ikat rambutnya warna-warni gitu terus mukanya lesu, kayak badut aja." Sindir bapak yang asyik minum kopi di ruang tamu sambil menertawakan putri kesayangannya.
Riri menoleh. "Bapak nggak kerja?"
"Tadi ada pertemuan desa. Kepala desa mengumumkan peraturan baru."
"Oh." Riri menyeret langkah kakinya, masuk ke dalam kamar.
"Kamu tidak penasaran apa peraturannya?!" teriak bapak.
"Paling pengumuman biasa," jawab Riri dari dalam kamar.
Ibu yang meletakan gorengan ke atas meja menyahut. "Peraturan lama dirubah... warga desa dilarang keluar setelah jam sebelas malam kecuali yang ronda di batas tertentu selain itu jam pagi juga diundur. Setelah jam 5 pagi, warga boleh keluar rumah."
Riri keluar dari kamar secepat kilat, matanya menjadi melek. "Seriusan bu? Kok tiba-tiba dirubah?"
"Banyak warga yang mengeluh tentang jam pagi. Meskipun itu peraturan lama, tetap saja anak mereka harus sekolah, apalagi sekolahnya jauh seperti kamu. Harus naik angkot dulu, beda sama SD yang tinggal jalan saja," jawab ibu.
Riri menatap curiga bapak. "Yang sekolahnya jauhkan cuma Hida, Riri dan Radith. Sisanya desa sebelahkan pak?"
Bapak menghindari pandangan curiga Riri.
"Ya tidak masalah sih, tentang peraturan pagi." Riri mengangkat kedua bahunya dengan cuek. "Tapi memberlakukan jam malam bukannya aneh?"
"Lho, bukannya memang dari dulu sudah memberlakukan jam malam? Kamunya saja yang sok cuek. Warga dilarang keluar setelah jam 12 malam untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Rondapun hanya sebatas dalam desa, tidak boleh keliling luar desa. Yang keliling hanya pengawal tuan tanah," ibu menjelaskan pada Riri, "Hanya saja ini waktunya dipercepat dan dimundurkan satu jam."
Riri mengangkat salah satu alisnya. "Riri baru tahu ada detail seperti itu."
"Yah, selama inikan kamu di rumah terus. Lagipula tidak ada untungnya anak-anak tahu mengenai perlakuan jam malam," Jawab bapak, "Selama desa aman sampai sekarang, para warga tidak akan keberatan mengenai peraturan ini."
Riri menguap dan meregangkan badannya. "Riri ngantuk, mau tidur dulu."
"Mandi dulu Ri," saran ibu.
Riri menggeleng. "Nanti sore saja bu, ini masih jam 1 siang."
"Kamu sudah sholat?" tanya bapak.
Riri nyengir lalu masuk ke kamar mandi untuk wudhu tanpa membantah. Saat akan menyalakan keran, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal begitu melihat air yang mengalir hanya sedikit. "Bu, air PDAMnya bermasalah lagi ya?'" teriak Riri dari kamar mandi.
"Ambil air sungai dulu, Ri. Yang di kamar mandi dihemat untuk malam!" sahut ibu, "Sumur sebelah lagi diperbaiki."
Riri menghela napas kesal lalu mengambil satu ember dan keluar dari kamar mandi. "Riri bawa satu ember! Riri ke sungai dulu. Assalamualaikum!" pamitnya.
"Iya nak!" sahut ibu.
Riri masuk ke dalam hutan sambil bernyanyi, ia melihat burung-burung berkicau, para tupai mencari makan, kelinci yang mengintip di balik akar pohon melihatnya dengan takut-takut dan...
"Radith!" seru Riri sambil lari menghampiri Radith. Meskipun Radith memunggunginya, ia tahu kalau itu teman sejak kecilnya.
Radith balik badan. "Ri..."
Riri terkejut melihat sarang burung di tangannya dengan tiga butir telur. Kalau tidak salah, inikan sarang yang ia perbaiki letaknya tadi pagi. "Kenapa sama sarangnya?"
Radith tersenyum sedih. "Ketika aku mau ke sungai, aku melihat seekor burung jatuh dan terluka parah. Sayangnya tidak bisa aku selamatkan, aku pikir burung ini punya anak karena jatuhnya persis di bawah dahan ini." Radith menunjuk dahan pohon di atasnya. "Ternyata benar, dia punya telur yang belum menetas."
Riri menatap kasihan sarang burung itu. "Kasihan sekali, sekarang induknya dimana?"
"Dikubur di belakang pohon itu, aku gali sangat dalam supaya tidak dimakan predator." Radith menunjuk belakang dahan pohon tempat mereka berdiri.
"Kamu yang akan merawat telur-telur ini?" tanya Riri.
"Aku coba bilang ke ayah dan kakek, mereka berduakan pelihara burung," jawab Radith.
Riri melirik ember berwarna hitam di bawah kaki Radith. "Kamu mau ambil air?"
Radith mengangguk. "Tadi atap sumur diperbaiki, serpihannya kena bagian dalam, belum dibersihkan."
"Kalau gitu aku ambilkan ya biar cepat, sekalian kita pulang bareng." Riri mengambil ember milik Radith.
"Eh, kan berat. Tidak usah," tolak Radith.
"Tak apa." Riri sudah berlari meninggalkan Radith sebelum ia menolaknya lagi.
Radith tersenyum dan menghela napas. "Anak baik," gumamnya.
Sepuluh menit kemudian, Riri datang membawa dua ember dengan susah payah. Radith yang mengetahui itu dengan cepat mendekatinya dan mengambil ember miliknya dengan satu tangan.
"Terima kasih," ucap Radith.
Riri tersenyum. Ia meletakan ember miliknya sebentar lalu mengangkatnya dengan kedua tangan. Lebih ringan dari yang tadi. "Ayo pulang."
Radith dan Riri keluar hutan beriringan.
"Aku akan coba bicara ke kakek mengenai perburuan liar," Radith buka suara.
"Perburuan liar?"
"Akhir-akhir ini banyak warga di luar desa yang memburu hewan-hewan di hutan seperti tupai, kelinci dan induk telur ini." Radith menatap sendu sarang burung di pelukannya.
"Aku baru tahu itu."
"Warga di desa kita tidak mungkin melakukan perburuan liar di hutan terutama menyakiti hewan dengan senjata, kita memang tidak kaya seperti orang-orang di kota tapi semua kebutuhan kita terpenuhi dari hasil pertanian dan perkebunan yang melimpah selain itu pemilik tanah tidak menerapkan sistem bagi hasil melainkan 10% pertahun untuk pendapatan kita di jadi tidak mungkin mereka melakukan itu apalagi hutan sudah menjadi sahabat kita sejak kecil," lanjutnya.
"Memang benar sih." Riri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. ia teringat tetangga yang suka menembak burung. Mau cerita ke Radith masih belum ada bukti, hanya sebatas mendengar cerita saja.
"Siapapun yang melakukan ini pasti warga di luar desa, makanya aku coba bicara ke kakek. Siapa tahu ada solusi."
Tiba-tiba Riri memikirkan pria asing yang ia temui setiap subuh di hutan, jangan-jangan pria itu yang melakukannya?
Riri menggeleng. Tidak, tidak mungkin pria itu yang melakukannya karena pria itu mengkhawatirkan telur burung itu.
"Ada apa Ri? Kamu sakit?" tanya Radith.
"Ah, aku hanya kepikiran mengenai tuan tanah kita," bohongnya.
Radith menghela napas. "Aku memang dengar tuan tanah itu merupakan raja salah satu di Indonesia, beliau terkenal eksentrik. Nenek moyangnya setuju negara bergabung dengan Indonesia tapi beliau tidak setuju kalau pemerintah ikut campur masalah tanahnya."
"Kelihatan jahat sekali ya, tidak mau ada yang utak atik hartanya," Riri mulai berpikiran buruk.
"Orang awam memang berpikiran seperti itu. Tapi coba kamu pikirkan lagi, di luar sana hutan, kebun dan sawah sudah menjadi pemukiman manusia dan perkebunan sawit. Hanya menguntungkan pihak tertentu yaitu manusia."
"Eh?" Riri tidak mengerti apa yang dikatakan Radith.
"Tapi yang hidup di bumi ini bukan hanya manusia melainkan hewan, raja mempertimbangkan hal itu. Boleh pemikiran kita maju akan teknologi dan pendidikan tapi bukan berarti sifat kita menjadi terbelakang dengan menyakiti hewan dan lingkungan bukan?"
Mata Riri membelalak tidak percaya. "Ini Radith yang aku kenal?"
"Hahahaha sayangnya aku mengutip perkataan raja."
"Raja? Kamu sudah bertemu dengan beliau?" tanya Riri.
"Belum, aku membacanya di proposal tanah yang ditanyakan kakek, ada beberapa pihak yang mau mengubah hutan kita menjadi lahan perkebunan sawit."
"Jangan! Kasihan dong hewan-hewan di hutan. Belum yang di gunung, merekakan juga butuh tempat dan makan."
"Karena itu raja menolaknya dan mengutip kalimatnya sendiri di proposal, lucu juga ya." Radith menatap langit. "Kita tidak pernah bertemu dengan raja dan keluarganya, tapi mereka melindungi kita dengan baik. Aku mau menjadi penguasa seperti itu."
"Apa? Kamu mau jadi menantu raja?" Riri tertawa terbahak-bahak.
"Bukan itu maksud aku!" dengus Radith. "Aku ingin menjadi atasan seperti itu, yang memperhatikan rakyatnya. Mungkin aku akan tinggal di luar desa sebelum pensiun disini."
Riri menghentikan langkahnya. "Tinggal di luar desa?"
Radith yang merasa Riri tidak di sampingnya, balik badan. "Ya, di kota banyak sekali yang hidupnya miris, mereka miskin segalanya. Berbeda dengan warga kita, yang paling miskin disini saja masih bisa kasih makan anak istrinya."
"Kamu serius? kamu sudah memikirkannya masak-masak?"
"Aku serius. Aku ingin seperti ayahku, sekarang beliau membantu masalah keuangan desa bukan? Kalau tidak begitu, desa tidak akan bisa bertahan saat menghadapi kesulitan," Radith membanggakan ayahnya.
Itulah yang dilakukan ayah Riri. Berhemat untuk masa depan keluarga.
"Dan pada saat itu..." Radith menatap serius Riri, "Maukah kamu ikut denganku?"
Riri mengerjap. "Ikut? Kita tinggal bersama? Tapikan itu tidak bo..."
"Bukan tinggal bersama, tapi menikah. Kamu mau menikah denganku?" Radith bertanya dengan nada serius.
Riri tertawa gugup. "Ya ampun Dith, aku ini baru SMA, udah diajak menikah? Ya ampuuunn hahaha."
"Ini serius Ri, tolong dipikirkan. Tidak masalah kita kuliah terlebih dahulu baru menikah, aku akan menunggumu."
"Tapi..."
"Ehem!"
Riri dan Radith menoleh.
Bapak berdehem di belakang sambil menatap tajam mereka berdua. "Sudah selesai cari airnya?"
"Sudah pak." Riri mengangguk lalu berjalan cepat menuju rumahnya.
"Ah..." Radith mengurungkan niatnya memanggil Riri begitu melihat wajah masam bapak Riri. Mau tidak mau ia menyapa beliau, "Om, maaf. Radith tidak tahu di belakang..."
"Sudah dari tadi om disini." Bapak Riri berjalan melewati Radith. "Radith, saya tahu bagaimana perasaan kamu pada anak saya tapi saya menginginkan masa depan untuk anak saya satu-satunya dan itu bukan menikah muda."
Radith tersenyum. "Saya paham om, saya minta maaf sudah bicara langsung ke Riri, seharusnya Radith bicara terlebih dahulu ke om."
"Tidak ada hasilnya kamu bicara pada saya, lebih baik kamu pikirkan semuanya dengan masak sebelum gegabah mengambil keputusan. Kita tidak mau masa lalu kelam terulang kembali."
Radith menghela napas. "Saya paham, kalau begitu Radith pulang dulu sebelum kehabisan waktu sholat. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam!" jawab bapak Riri sambil melengos pergi meninggalkan Radith.
Riri terbangun dari mimpi buruknya. Ia bermimpi dikejar ular besar yang akan menelannya hidup-hidup dan juga orang itu bahkan hanya berdiri dan menertawakan dirinya, dia tidak mau menolong Riri meskipun ia berteriak minta tolong sekuat tenaga.Riri melihat jam bekernya. Jam 2.45 pagi. Waktunya sholat tahajud.Riri memaksa dirinya bangun dan berusaha melawan dinginnya udara gunung setelah menyibak selimut, lalu menyeret langkahnya ke kamar mandi untuk wudhu. Saat membuka pintu ia melihat bapak tertidur di depan tv. Riri tersenyum dan mengambil selimut yang terjatuh di lantai, ia menyelimuti bapaknya. Tanpa ada bapak entah bagaimana nasib Riri ibu dan eyang putri sekarang setelah ditinggalkan eyang kakung.Riri menggeleng lalu wudhu dan sholat Tahajud, setelah menyelesaikan sholat. Ia melihat jam beker menunjukan angka 3.Perkataan Hida dan permintaan Radith membuat dirinya tida
Riri terbangun jam tiga pagi seperti biasanya, setelah sholat tahajud. Ia memutuskan masuk ke dalam hutan lagi diam-diam untuk mencari batu di sungai, padahal sepulang sekolah sudah senang-senang saja tidak ada tugas berat dan sekarang ia malah lupa mengambil batu di sungai.Kalau bilang ke bapak dan ibu pasti marah-marah dan menyuruhnya berangkat setelah jam 5. Riri tidak mau berangkat sekolah dengan keringat dimana-mana. Makanya ia buru-buru mengambil jaketnya untuk ke sungai hutan.Riri menghentikan langkahnya ketika melihat pria yang dikenalnya. Pria yang hanya ia tahu bernama Laki berdiri di tempat sama seperti kemarin, mungkinkah..."Kalau yang kamu cari, sarang burung. Itu sudah dipindah Radith."Laki menoleh dan tersenyum, "Kamu lagi, kenapa kamu selalu datang ke hutan di waktu terlarang? Jangan-jangan kangen saya."
Di depan tak ada apapun hingga aku menutup mataDan aku mulai memimpikan apa yang aku inginkan,Aku menutup mataku,Untuk melihat mimpikuRiri memejamkan kedua matanya sambil terus bernyanyi.Ketika Tuhan hanya melihat segala penderitaanmu,Kamu hanya bisa menutup matamu,Dan mengatakan semuanya baik-baik saja, Baik-baik saja...Riri mulai meneteskan air mata, ia teringat suatu hal yang sangat menyakitkan ketika ibunya menangis setelah mendengar cerita Hida lalu perkataan Laki mempertanyakan dirinya apakah bahagia tinggal disini dan yang terakhir kedatangan bapak dengan luka lebam di tubuh menggores luka di batinnya.Tidak bolehkah dirinya melupakan masa lalu yang menyakitkan? Masa lalu yang membuat dirinya sesak.Rir
Riri yang sudah merasa menjauh dari Laki, melihat ke belakang. Apakah semua pria selalu begitu? Pertemuan tidak disengaja seolah menjadi takdir untuk mereka, lantas berniat meninggalkan istri di rumah, Riri jadi merasa heran, memangnya si Laki ini tidak bekerja? tidak khawatir meninggalkan istrinya karena pergi di jam segini.Riri mengenyahkan pemikiran buruknya, tidak ada gunanya memikirkan hal itu, hmmm... selanjutnya ia kemana ya? Masih ada sisa waktu banyak sebelum sholat subuh, di rumah tidak ada siapapun. Eyang putri memutuskan menemani ibunya selama di rumah sakit kota lalu warga desa hanya mengandalkan tetangga depan sama samping rumah alias keluarga Radith untuk menjaga rumah karena mereka memperbaiki saluran air kebun dan sawah warga supaya tanaman tidak mati.Riri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Duh, bingung. Di rumah sendirian juga dirinya tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bengong, Radith juga sudah cerita di telepon kalau ia tidak perlu datan
"Anda dari tadi tertawa, apakah ada yang lucu?" tanya pria tua berwajah wibawa menatap aneh Laki yang tersenyum sambil membaca buku. Seingatnya, Laki tidak terlalu suka membaca buku humor. Jadi tidak mungkin buku itu penyebab Laki tertawa. Laki mengangkat kepala. "Ada masalah?" "Tidak. Hanya saja mood anda terlihat sangat baik hari ini." "Hmm," gumam Laki sambil meneruskan membaca buku. "Apakah hari ini anda tidak tertarik ke kantor?" "Untuk apa? Sudah ada kalian yang mengatasinya, ini keinginan kalian semua bukan?" Kelima tetua duduk di hadapan Laki, tidak berani menjawab sindiran Laki. Mereka bertukar kode lewat mata sehingga memutuskan meneruskan pekerjaan yang mereka bawa di kamar Laki. "Mengenai pembangunan yang diajukan... apakah anda tidak bertemu dengan pengembangnya?" tanya salah satu tetua berjenggot tebal. "Saya sudah membaca proposalnya, saya tidak tertarik." "Tapi..." "Apa perlu mengul
Laki mengunci pintu kamar setelah mendengar teriakan memilukan dari wanita yang dibencinya. Ia memutuskan menyelesaikan membaca laporan yang diberikan ke lima tetua itu sebelum pergi. Di tengah membaca ia jadi teringat dengan Riri. Bagaimana ya kira-kira reaksinya, pasti melas. Laki memutar kursi putarnya ke kaca jendela di belakangnya. "Sudah hampir malam, orang-orang tua itu belum memberikan laporan." TOK TOK TOK. Laki bergegegas membuka pintu kamar dan melihat tetua berjenggot tebal sedang berdiri di hadapannya. Tetua berjenggot tebal masuk ke dalam kamar Laki bersama ke empat rekan di belakangnya. "Saya bertemu dengan anak perempuan itu." "Lalu?" "Lumayan juga, kalau dipoles dengan baik." "Dia bukan boneka." Laki menatap muak pria tua yang berdiri di depan mejanya. "Apa katanya?' "Dia tidak memberikan jawaban, dia malah berteriak 'gila' ke saya," jawab tetua berjenggot tebal dengan nada wibawa. K
Entah berapa lama Riri berlari, ia merasa tidak lelah. Mungkin karena sudah terbiasa dengan medan hutan ini atau mungkin genggaman tangan Laki yang tidak lepas. Di sela pelarian mereka berdua, Laki selalu mengingatkan ada dahan atau akar pohon di bawah supaya Riri bisa menghindar. Riri dan Laki tertawa tanpa suara, mereka tidak mengabaikan para hewan malam yang menatap heran mereka dan suara burung hantu seolah menemani mereka berdua atau suara para hewan karnivora yang sedang berburu malam. Riri mengikuti Laki naik ke gunung, kalau saja ia perempuan seperti mbak ratih, bisa-bisa berhenti terus sementara di belakang ada Radith yang berusaha mengejar mereka. Laki menghentikan larinya dan balik badan sambil terengah-engah. "Saya rasa sudah cukup jauh." Riri menoleh ke belakang dan terengah-engah. "Sepertinya, tidak ada suara yang mengikuti kita." "Kamu tidak takut masuk ke dalam sini? B
"Terima kasih sudah membawaku ke tempat tadi, tempat yang indah." Riri menunduk malu. Laki mengantarnya pulang ke perbatasan hutan dan desa, di belakang punggung Riri sudah terlihat rumahnya. "Hati-hati ya." Laki mengacak rambut Riri. Riri memperbaiki rambutnya dengan cemberut. Samar-samar mereka berdua mendengar suara orang berbicara mendekati mereka, sontak Riri menarik Laki bersembunyi dibalik dahan pohon. "Kamu yakin Dith kalau Riri tidak ke ladang?" "Tadi aku sempat ke ladang, Ciki masih disana. Kemana dia ya? Masa dia frustasi terus bunuh diri?" khawatir Radith. "Hus! Palingan dia lagi cari udara segar, keluarganyakan dapat musibah." Riri melihat Radith berbicara dengan salah satu warga desa bertubuh kurus. Riri mengenalnya, itu pak Parjo. Petani tebu. "Saya kasihan sama nak Ririnya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Padahal