Laki mengunci pintu kamar setelah mendengar teriakan memilukan dari wanita yang dibencinya. Ia memutuskan menyelesaikan membaca laporan yang diberikan ke lima tetua itu sebelum pergi. Di tengah membaca ia jadi teringat dengan Riri. Bagaimana ya kira-kira reaksinya, pasti melas.
Laki memutar kursi putarnya ke kaca jendela di belakangnya. "Sudah hampir malam, orang-orang tua itu belum memberikan laporan."
TOK TOK TOK.
Laki bergegegas membuka pintu kamar dan melihat tetua berjenggot tebal sedang berdiri di hadapannya.
Tetua berjenggot tebal masuk ke dalam kamar Laki bersama ke empat rekan di belakangnya. "Saya bertemu dengan anak perempuan itu."
"Lalu?"
"Lumayan juga, kalau dipoles dengan baik."
"Dia bukan boneka." Laki menatap muak pria tua yang berdiri di depan mejanya. "Apa katanya?'
"Dia tidak memberikan jawaban, dia malah berteriak 'gila' ke saya," jawab tetua berjenggot tebal dengan nada wibawa.
K
Entah berapa lama Riri berlari, ia merasa tidak lelah. Mungkin karena sudah terbiasa dengan medan hutan ini atau mungkin genggaman tangan Laki yang tidak lepas. Di sela pelarian mereka berdua, Laki selalu mengingatkan ada dahan atau akar pohon di bawah supaya Riri bisa menghindar. Riri dan Laki tertawa tanpa suara, mereka tidak mengabaikan para hewan malam yang menatap heran mereka dan suara burung hantu seolah menemani mereka berdua atau suara para hewan karnivora yang sedang berburu malam. Riri mengikuti Laki naik ke gunung, kalau saja ia perempuan seperti mbak ratih, bisa-bisa berhenti terus sementara di belakang ada Radith yang berusaha mengejar mereka. Laki menghentikan larinya dan balik badan sambil terengah-engah. "Saya rasa sudah cukup jauh." Riri menoleh ke belakang dan terengah-engah. "Sepertinya, tidak ada suara yang mengikuti kita." "Kamu tidak takut masuk ke dalam sini? B
"Terima kasih sudah membawaku ke tempat tadi, tempat yang indah." Riri menunduk malu. Laki mengantarnya pulang ke perbatasan hutan dan desa, di belakang punggung Riri sudah terlihat rumahnya. "Hati-hati ya." Laki mengacak rambut Riri. Riri memperbaiki rambutnya dengan cemberut. Samar-samar mereka berdua mendengar suara orang berbicara mendekati mereka, sontak Riri menarik Laki bersembunyi dibalik dahan pohon. "Kamu yakin Dith kalau Riri tidak ke ladang?" "Tadi aku sempat ke ladang, Ciki masih disana. Kemana dia ya? Masa dia frustasi terus bunuh diri?" khawatir Radith. "Hus! Palingan dia lagi cari udara segar, keluarganyakan dapat musibah." Riri melihat Radith berbicara dengan salah satu warga desa bertubuh kurus. Riri mengenalnya, itu pak Parjo. Petani tebu. "Saya kasihan sama nak Ririnya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Padahal
"Kamu dilamar pemilik tanah?" tanya Eyang putri tidak percaya. Riri mengangguk pelan. Semalam ia tidak bisa tidur memikirkan hal ini, begitu pulang sekolah melihat eyang putri sudah duduk menonton TV di kursi goyang kesayangannya. Ia begitu gembira dan mengeluarkan semua keluh kesahnya. "Kapan itu terjadi?" "Kemarin, Eyang." Eyang putri menghela napas sambil mengelus dadanya. "Duh, gusti." "Kenapa, Eyang?" "Pemilik tanah datang kesini?" Riri menggeleng cepat. "Utusannya yang kesini." "Dan kamu terima lamarannya?" Riri menggeleng sekali lagi. "Apa kamu akan menerima lamarannya?" Riri diam menu
"Bu, bapak sudah buku mulut nih." Bapak menunjuk mulutnya yang terbuka lebar, tanda minta disuapin lagi. Ibu menurutinya sambil menahan malu dilihat pasien lain. Ya, bapak masuk ruang bangsal perawatan yang diisi 8 orang. "Bapak ini. Malu ah, sudah tua." "Ya, nggak papa toh," jawab bapak sambil mengunyah makanannya. Setelah dioperasi dua hari lalu, bapak tidak bisa makan-makanan keras dan dua hari ini meskipun tidak bisa bergerak bebas, hanya bisa duduk dan tiduran terus. Bapak semakin manja ke ibu. Awalnya ibu mengira bapak sengaja melakukan itu di depan bapaknya Radith, ternyata dugaan ibu salah. Alhasil beginilah sekarang, Menyuapi suaminya dengan tontonan banyak keluarga pasien, bahkan sesekali ada anak muda yang bersiul menggoda mereka berdua. Riri masuk ruang bangsal dan menggaruk kepalanya
"Luca benar-benar menjengkelkan!" gerutu Laki sambil konsentrasi menyetir mobil. Ia terpaksa menuruti permintaan Luca mengenai makanan gara-gara kalah taruhan. Setelah puas bertemu dengan Rosaline, Luca menemuinya dan bertaruh mengenai sepak bola yang diadakan siaran langsung di ibukota, mereka bertaruh di tengah pertandingan berlangsung. Tentu saja dirinya kalah dan menuruti perkataan Luca untuk makan steak ala Jawa. Untung saja Laki punya teman yang membuka restaurant steak di tengah kota dengan budget minim, sekalian aja kerjain Luca. Tiba-tiba Laki menghentikan mobilnya ke pinggir ketika melihat orang yang dikenalnya berdiri di pinggir jalan dengan wajah lesu di tengah hujan. Laki keluar dari mobilnya dengan payung, ia melihat Riri berdiri bengong di pinggir jalan mengabaikan hujan dan tatapan orang-orang. Iamenghampiri R
Laki menghentikan mobil di pinggir jalan dekat hutan, arah ke rumah untuk makan bersama fast food yang sudah dipesannya. Laki dan Riri sepakat tidak turun di tempat masuk desa supaya tidak menimbulkan curiga warga desa."Jadi kamu akan menolak lamaran keduanya?" tanya Laki sambil makan burger."Ya. Itu keputusan akhirku.""Kenapa?""Seorang perempuan yang mendapatkan masalah, bukan berarti pernikahan jalan keluarnya. Kecuali untuk kasus tertentu sih." Jawab Riri sambil menyeruput colanya. "Akukan tidak hamil," tambahnya.Laki tertawa.Riri jadi ikutan tertawa. "Benar bukan?""Benar sih, pernikahan bukan akhir jawaban dari masalah." Dan seharusnya Rosaline beserta keluarganya mendengar jawaban ini. Tambah Laki dalam hati."Biar bagaimanapun aku masih berusia 15 tahun, masih banyak yang harus aku lakukan dari sekedar menjadi istri.""Istri dari orang kaya tidak ma
KriiiiingLaki dan Riri terkejut. Mereka berdua sama-sama menatap sumber suara yang ternyata handphone Laki. "Alarm." Kata Laki sambil mematikan alarm handphone."Memang sudah jam berapa?" tanya Riri."Jam 5 sore." Laki menunjukan layar handphone."Gawat, aku harus pulang!" Riri dengan cepat menghabiskan burger sambil melepas jasket Laki yang sudah basah sebagian karena menutup dirinya."Kamu baik-baik saja pulang dalam keadaaan basah? Nanti keluarga kamu tanya bagaimana?""Ya, aku bilang kehujanan. Kan memang benar toh," cuek Riri.Laki menghela napas kecewa. Niatnya ingin jalan sampai ke rumah Riri dengan alasan mengantar rumah."Oh, ya. Terima kasih atas traktiran dan tumpangannya ya. Aku tidak tahu harus bagaimana kalau tidak ada kamu.""Sama-sama." Laki menunjukan senyum terbaiknya."Kapan-kapan datanglah ke rumahku biar aku bisa membalas kebaikan hatimu dengan memasak, gini-gini masakanku enak lho," aj
Luca duduk di sebelah Rosaline yang melamun di gazebo taman. "Kamu ternyata disini, kenapa duduk disini?"Rosaline menoleh pelan ke Luca. "Kamu sendiri kenapa disini?""Akhirnya kamu menjawab, jadi kegilaan kamu sudah berakhir?" seringai Luca sambil bermain dan mencium rambutnya."Jadi kamu tahu tentang itu semua?" "Orang lain bisa kamu tipu tapi aku dan Laki tidak bisa ditipu, kami sudah bertemu orang seperti kamu di luar sana," kata Luca."Tapi tidak ada orang semenyedihkan aku. Menikah dengan orang yang tidak aku cintai hanya untuk menutupi suamiku yang kabur demi wanita lain." Rosaline menatap kosong taman, mengingat masa lalu menyenangkan sekaligus menyedihkan.Luca tergelitik ingin mengatakan kalau Rosaline sendirilah yang menyebabkan suaminya kabur. Biar bagaimanapun suami sebelumnya tidak pernah menyukai Rosaline dan keluarganya yang sangat mengagungkan kekayaan dan kekuasaan. "Semua orang pasti punya jawaban sendiri dalam men