Riri terbangun jam tiga pagi seperti biasanya, setelah sholat tahajud. Ia memutuskan masuk ke dalam hutan lagi diam-diam untuk mencari batu di sungai, padahal sepulang sekolah sudah senang-senang saja tidak ada tugas berat dan sekarang ia malah lupa mengambil batu di sungai.
Kalau bilang ke bapak dan ibu pasti marah-marah dan menyuruhnya berangkat setelah jam 5. Riri tidak mau berangkat sekolah dengan keringat dimana-mana. Makanya ia buru-buru mengambil jaketnya untuk ke sungai hutan.
Riri menghentikan langkahnya ketika melihat pria yang dikenalnya. Pria yang hanya ia tahu bernama Laki berdiri di tempat sama seperti kemarin, mungkinkah...
"Kalau yang kamu cari, sarang burung. Itu sudah dipindah Radith."
Laki menoleh dan tersenyum, "Kamu lagi, kenapa kamu selalu datang ke hutan di waktu terlarang? Jangan-jangan kangen saya."
Di depan tak ada apapun hingga aku menutup mataDan aku mulai memimpikan apa yang aku inginkan,Aku menutup mataku,Untuk melihat mimpikuRiri memejamkan kedua matanya sambil terus bernyanyi.Ketika Tuhan hanya melihat segala penderitaanmu,Kamu hanya bisa menutup matamu,Dan mengatakan semuanya baik-baik saja, Baik-baik saja...Riri mulai meneteskan air mata, ia teringat suatu hal yang sangat menyakitkan ketika ibunya menangis setelah mendengar cerita Hida lalu perkataan Laki mempertanyakan dirinya apakah bahagia tinggal disini dan yang terakhir kedatangan bapak dengan luka lebam di tubuh menggores luka di batinnya.Tidak bolehkah dirinya melupakan masa lalu yang menyakitkan? Masa lalu yang membuat dirinya sesak.Rir
Riri yang sudah merasa menjauh dari Laki, melihat ke belakang. Apakah semua pria selalu begitu? Pertemuan tidak disengaja seolah menjadi takdir untuk mereka, lantas berniat meninggalkan istri di rumah, Riri jadi merasa heran, memangnya si Laki ini tidak bekerja? tidak khawatir meninggalkan istrinya karena pergi di jam segini.Riri mengenyahkan pemikiran buruknya, tidak ada gunanya memikirkan hal itu, hmmm... selanjutnya ia kemana ya? Masih ada sisa waktu banyak sebelum sholat subuh, di rumah tidak ada siapapun. Eyang putri memutuskan menemani ibunya selama di rumah sakit kota lalu warga desa hanya mengandalkan tetangga depan sama samping rumah alias keluarga Radith untuk menjaga rumah karena mereka memperbaiki saluran air kebun dan sawah warga supaya tanaman tidak mati.Riri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Duh, bingung. Di rumah sendirian juga dirinya tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bengong, Radith juga sudah cerita di telepon kalau ia tidak perlu datan
"Anda dari tadi tertawa, apakah ada yang lucu?" tanya pria tua berwajah wibawa menatap aneh Laki yang tersenyum sambil membaca buku. Seingatnya, Laki tidak terlalu suka membaca buku humor. Jadi tidak mungkin buku itu penyebab Laki tertawa. Laki mengangkat kepala. "Ada masalah?" "Tidak. Hanya saja mood anda terlihat sangat baik hari ini." "Hmm," gumam Laki sambil meneruskan membaca buku. "Apakah hari ini anda tidak tertarik ke kantor?" "Untuk apa? Sudah ada kalian yang mengatasinya, ini keinginan kalian semua bukan?" Kelima tetua duduk di hadapan Laki, tidak berani menjawab sindiran Laki. Mereka bertukar kode lewat mata sehingga memutuskan meneruskan pekerjaan yang mereka bawa di kamar Laki. "Mengenai pembangunan yang diajukan... apakah anda tidak bertemu dengan pengembangnya?" tanya salah satu tetua berjenggot tebal. "Saya sudah membaca proposalnya, saya tidak tertarik." "Tapi..." "Apa perlu mengul
Laki mengunci pintu kamar setelah mendengar teriakan memilukan dari wanita yang dibencinya. Ia memutuskan menyelesaikan membaca laporan yang diberikan ke lima tetua itu sebelum pergi. Di tengah membaca ia jadi teringat dengan Riri. Bagaimana ya kira-kira reaksinya, pasti melas. Laki memutar kursi putarnya ke kaca jendela di belakangnya. "Sudah hampir malam, orang-orang tua itu belum memberikan laporan." TOK TOK TOK. Laki bergegegas membuka pintu kamar dan melihat tetua berjenggot tebal sedang berdiri di hadapannya. Tetua berjenggot tebal masuk ke dalam kamar Laki bersama ke empat rekan di belakangnya. "Saya bertemu dengan anak perempuan itu." "Lalu?" "Lumayan juga, kalau dipoles dengan baik." "Dia bukan boneka." Laki menatap muak pria tua yang berdiri di depan mejanya. "Apa katanya?' "Dia tidak memberikan jawaban, dia malah berteriak 'gila' ke saya," jawab tetua berjenggot tebal dengan nada wibawa. K
Entah berapa lama Riri berlari, ia merasa tidak lelah. Mungkin karena sudah terbiasa dengan medan hutan ini atau mungkin genggaman tangan Laki yang tidak lepas. Di sela pelarian mereka berdua, Laki selalu mengingatkan ada dahan atau akar pohon di bawah supaya Riri bisa menghindar. Riri dan Laki tertawa tanpa suara, mereka tidak mengabaikan para hewan malam yang menatap heran mereka dan suara burung hantu seolah menemani mereka berdua atau suara para hewan karnivora yang sedang berburu malam. Riri mengikuti Laki naik ke gunung, kalau saja ia perempuan seperti mbak ratih, bisa-bisa berhenti terus sementara di belakang ada Radith yang berusaha mengejar mereka. Laki menghentikan larinya dan balik badan sambil terengah-engah. "Saya rasa sudah cukup jauh." Riri menoleh ke belakang dan terengah-engah. "Sepertinya, tidak ada suara yang mengikuti kita." "Kamu tidak takut masuk ke dalam sini? B
"Terima kasih sudah membawaku ke tempat tadi, tempat yang indah." Riri menunduk malu. Laki mengantarnya pulang ke perbatasan hutan dan desa, di belakang punggung Riri sudah terlihat rumahnya. "Hati-hati ya." Laki mengacak rambut Riri. Riri memperbaiki rambutnya dengan cemberut. Samar-samar mereka berdua mendengar suara orang berbicara mendekati mereka, sontak Riri menarik Laki bersembunyi dibalik dahan pohon. "Kamu yakin Dith kalau Riri tidak ke ladang?" "Tadi aku sempat ke ladang, Ciki masih disana. Kemana dia ya? Masa dia frustasi terus bunuh diri?" khawatir Radith. "Hus! Palingan dia lagi cari udara segar, keluarganyakan dapat musibah." Riri melihat Radith berbicara dengan salah satu warga desa bertubuh kurus. Riri mengenalnya, itu pak Parjo. Petani tebu. "Saya kasihan sama nak Ririnya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Padahal
"Kamu dilamar pemilik tanah?" tanya Eyang putri tidak percaya. Riri mengangguk pelan. Semalam ia tidak bisa tidur memikirkan hal ini, begitu pulang sekolah melihat eyang putri sudah duduk menonton TV di kursi goyang kesayangannya. Ia begitu gembira dan mengeluarkan semua keluh kesahnya. "Kapan itu terjadi?" "Kemarin, Eyang." Eyang putri menghela napas sambil mengelus dadanya. "Duh, gusti." "Kenapa, Eyang?" "Pemilik tanah datang kesini?" Riri menggeleng cepat. "Utusannya yang kesini." "Dan kamu terima lamarannya?" Riri menggeleng sekali lagi. "Apa kamu akan menerima lamarannya?" Riri diam menu
"Bu, bapak sudah buku mulut nih." Bapak menunjuk mulutnya yang terbuka lebar, tanda minta disuapin lagi. Ibu menurutinya sambil menahan malu dilihat pasien lain. Ya, bapak masuk ruang bangsal perawatan yang diisi 8 orang. "Bapak ini. Malu ah, sudah tua." "Ya, nggak papa toh," jawab bapak sambil mengunyah makanannya. Setelah dioperasi dua hari lalu, bapak tidak bisa makan-makanan keras dan dua hari ini meskipun tidak bisa bergerak bebas, hanya bisa duduk dan tiduran terus. Bapak semakin manja ke ibu. Awalnya ibu mengira bapak sengaja melakukan itu di depan bapaknya Radith, ternyata dugaan ibu salah. Alhasil beginilah sekarang, Menyuapi suaminya dengan tontonan banyak keluarga pasien, bahkan sesekali ada anak muda yang bersiul menggoda mereka berdua. Riri masuk ruang bangsal dan menggaruk kepalanya