Renata menatap langit yang tengah menurunkan gerimis. Napasnya memburu sementara peluh terus menetes dari pori-pori yang terbuka.Hampir setengah hari Renata berlatih jurus baru yang diajarkan sang ayah. Jurus tingkat tinggi yang cukup sulit, pada kondisi fisik manusia normal butuh waktu berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun untuk bisa dikuasai secara sempurna.Namun Renata tak bisa menunggu. Ia harus menjadi lebih kuat dalam waktu singkat agar bisa membantu Samudera Biru, setidaknya tidak menjadi beban untuk lelaki itu.Setelah Singgih Wirayudha memberitahunya tentang pengkhianatan Panglima Kuning, Renata merasa begitu khawatir. Situasi saat ini sangat tidak menguntungkan bagi sang kekasih yang tengah menghadapi vonis hukuman.Renata menghela napas berat lantas menatap pedang giok perak yang melayang di udara secara horizontal. Sekali menjejak ia telah berpindah, berdiri ajeg di atas pedang.Dengan lembut jarinya mengayun, melesat mengelilingi mansion seperti penyihir cantik da
Di langit temaram kerajaan peri samudera, tiga sosok melayang ringan seperti kapas. Mendarat di atap bangunan megah dengan ukiran nama ‘Malvis’ di atas gerbang utamanya.“Tunggu dan perhatikan situasi.”Dua sosok mengangguk sementara sosok yang berbicara melesat turun dan merubah diri menjadi transparan. Dengan cepat ia menyelinap ke dalam kamar yang penerangannya masih tampak menyala. Setelah berhasil masuk sosok itu segera mewujudkan diri kembali. Mengangguk sopan pada lelaki yang tengah duduk di belakang meja penuh dokumen.“Pangeran Samudera Biru,” desis lelaki pemilik kamar dengan raut terkejut yang kentara.“Maaf mengganggumu, Paman Malvis.”Penyelinap yang memang Samudera Biru adanya tersenyum ramah.Perdana Menteri Malvis segera berdiri dan membungkuk kecil penuh tanda tanya. Bukankah keponakan tirinya itu tengah dikurung di penjara suci gunung roh yang terkenal misterius dan tak bisa ditembus?“Bagaimana Anda bisa keluar?” tanya Perdana Mentri Malvis setelah berdiri tegak
Pintu aula pengadilan kerajaan peri samudera terbuka lebar. Serombongan prajurit masuk bersama Samudera Biru selaku terdakwa.Tatap sinis dan cemooh seketika meruar, memonopoli ruangan yang sejak awal sudah bertensi tinggi.Dari tempatnya berdiri Pangeran Aaron menyeringai. Merasa puas dengan penampilan Samudera Biru. Tubuh sepupunya itu kini hanya terbalut selembar baju berbahan goni, tanpa perhiasan apalagi alas kaki mewah. Rambut hitamnya yang legam terburai. Wajahnya yang selalu berseri kusam oleh debu, selaras dengan dua lengan yang terikat rantai.Lain Pangeran Aaron lain lagi Rama dan Ratansa yang berdiri di sudut ruangan. Mereka saling melempar pandang penuh arti.Ya, Samudera Biru memang sengaja berpenampilan lusuh. Tujuannya apa lagi selain mengecoh musuh. Namun yang terpenting adalah mencegah perjanjian rahasia antara ibunya dengan para peri kuno mencuat ke permukaan.“Hai, sepupu,” Samudera Biru membalas seringai tanpa suara. Lengannya yang terikat diangkat, melambai samb
Aura paviliun timur, di luar istana utama kerajaan peri samudera tampak suram.Pangeran Agung Harold berdiri di balik meja kerja dengan napas mendengus. Dokumen, kuas, pajangan dan cangkir teh terberai di lantai.Para sekutunya tampak diam seribu bahasa. Nyali mereka ciut namun juga tak puas. Bagaimanapun mereka bersedia mengikuti Pangeran Agung Harold demi mendapat keuntungan. Jika seperti ini bukan hanya akan merugi tapi juga riskan dihabisi.“Ayah, ita tak bisa diam saja. Mereka pasti telah bersekongkol,” Pangeran Aaron membuka suara.“Benar, kita harus membalas mereka,” dukung salah satu dewan. Pangeran Agung Harold melirik malas. Menghempaskan diri ke atas kursi.“Katakan cara kalian membalas?”“Kita langsung saja serang mereka malam ini juga,” jawab Pangeran Aaron lugas.“Apa kau bodoh?! Kau tidak lihat Perdana Menteri Malvis sudah menentukan sikap?! Apa kau pikir Raja Sion tidak menjadi waspada setelah ini?!”“Tapi kita juga memiliki pasukan yang tak sedikit, apa lagi yang dit
“Cabut gelar Putra Mahkota Pangeran Samudera Biru!!”“Hukum mati pengkhianat!!”Dua kalimat itu terdengar sahut menyahut diringi kepalan lengan yang mengacung ke atas.Spanduk, poster, hologram dan layar besar berisi protes dan caci maki berseliweran di udara. Ribuan peri lelaki perempuan berikat kepala putih kompak bolak-balik menyanyikan lagu perjuangan. Sesekali mereka mendorong barikade pengawal yang menjaga gerbang istana.Di antara kerumunan itu tampak membaur puluhan peri berwajah kaku. Meski pakaian mereka sama dengan pakaian yang dikenakan warga sipil namun jika diamati lebih jauh gerak-gerik mereka tampak seperti prajurit terlatih.Dalam satu kesempatan peri-peri mencurigakan itu saling bertukar isyarat. Beberapa dari mereka mengeluarkan belati kecil dari balik lengan baju lalu dengan cepat melempar ke arah penjaga gerbang.“Pembunuh! Ada pembunuh!” pekikkan kaget terdengar nyaring seiring tubuh tiga penjaga yang ambruk ke lantai granit.Beberapa pengawal sontak menatap ke
Leon berdiri di atas atap gedung. Matanya menatap lurus ke depan di mana pandangan malam kota terlihat begitu mempesona.Sesekali ia menghela napas, membuang penat yang bertumpuk memenuhi kepala dan hatinya.“Tuan Panglima, apa sebenarnya yang terjadi?” desah Leon sembari menyugar rambut frustasi.Sungguh sampai detik ini ia belum bisa menerima jika Panglima Kuning adalah sosok bertopeng misterius yang menjadi musuh mereka.Ia ingin percaya namun bayangan-bayangan kebersamaan mereka terus merongrong, menolak sosok Panglima Kuning yang culas dan jahat. Hal tersebut sebenarnya tak mengherankan. Bagi Leon, Panglima Kuning adalah sosok yang teramat penting.. Dia adalah penolong sekaligus pelindungnya. Dia adalah guru sekaligus tuan yang tegas namun baik hati dan bijaksana.Berkat Panglima Kuning Leon dan para dedemit gedung yang sebelumnya begitu liar menjadi lebih beradab dan memiliki arah dalam menjalani hidup.Karakteristik pembimbing seperti itu mustahil melakukan hal-hal buruk kecua
Leon menatap gerbang mansion yang menjulang. Ratusan peri berseliweran di udara, berjaga dengan begitu awas.Setelah menarik napas panjang ia menukik turun. Berjalan menghampiri dengan tenang.“Siapa kau!!” salah satu peri langsung membentak dengan garang. Dalam sekejap Leon sudah dikelilingi formasi pengurung yang berbahaya.“Hamba Leon, teman Nona Shiny dari gedung milik Pangeran Samudera Biru,” ucap Leon sambil mengangkat kedua lengan di atas kepala.“Kenapa kau ke mari? Bukankah seluruh penghuni gedung itu dilarang untuk ke luar?” selidik peri yang menghardik dengan tatapan curiga.“Benar, hanya saja ada hal penting yang harus hamba sampaikan kepada Nona Shiny.”“Hal apa?”“Maaf ini sedikit pribadi,” jawab Leon sambil memasang ekspresi tersipu.Peri penjaga mendengus.“Huh, kembalilah lain kali. Untuk sekarang siapa pun dilarang memasuki mansion tanpa izin Pangeran Samudera Biru.”“Tapi, hamba ....” “Pergilah!”Leon menatap para peri penjaga dengan mata memelas. Namun mereka acuh
Singgih Wirayudha menatap waspada lelaki gemulai beranting panjang yang berdiri di atas punggung kupu-kupu tujuh warna.Mereka telah bertempur cukup lama namun belum terlihat tanda siapa yang akan kalah dan menang.Tak jauh dari mereka Hyang Sagara tampak sibuk meladeni lelaki bertampang sangar yang menunggangi seekor kobra merah bertanduk tunggal. Lidah ular itu sesekali terjulur, mendesis dengan menggidikkan.Sementara di bawah sana, di halaman utama mansion, ribuan kupu-kupu tujuh warna tampak menyerang para peri penjaga dengan begitu agresif."Tuan Singgih Wirayudha, kekuatan Anda semakin melemah ya,” iblis gemulai itu membuka suara sambil mengelus tengkuk tunggangannya.“Itu hanya perasaanmu, Jenderal Maracas,” balas Singgih Wirayudha tenang. Meski dalam hati mengakui jika kekuatannya memang semakin melemah pasca terlepas dari segel naskala loka.“Tapi kau masih terlihat sangat gagah,” lanjut sang iblis sambil menjilat bibir bawahnya dengan genit. Mata jernihnya tanpa sungkan men