“Cabut gelar Putra Mahkota Pangeran Samudera Biru!!”“Hukum mati pengkhianat!!”Dua kalimat itu terdengar sahut menyahut diringi kepalan lengan yang mengacung ke atas.Spanduk, poster, hologram dan layar besar berisi protes dan caci maki berseliweran di udara. Ribuan peri lelaki perempuan berikat kepala putih kompak bolak-balik menyanyikan lagu perjuangan. Sesekali mereka mendorong barikade pengawal yang menjaga gerbang istana.Di antara kerumunan itu tampak membaur puluhan peri berwajah kaku. Meski pakaian mereka sama dengan pakaian yang dikenakan warga sipil namun jika diamati lebih jauh gerak-gerik mereka tampak seperti prajurit terlatih.Dalam satu kesempatan peri-peri mencurigakan itu saling bertukar isyarat. Beberapa dari mereka mengeluarkan belati kecil dari balik lengan baju lalu dengan cepat melempar ke arah penjaga gerbang.“Pembunuh! Ada pembunuh!” pekikkan kaget terdengar nyaring seiring tubuh tiga penjaga yang ambruk ke lantai granit.Beberapa pengawal sontak menatap ke
Leon berdiri di atas atap gedung. Matanya menatap lurus ke depan di mana pandangan malam kota terlihat begitu mempesona.Sesekali ia menghela napas, membuang penat yang bertumpuk memenuhi kepala dan hatinya.“Tuan Panglima, apa sebenarnya yang terjadi?” desah Leon sembari menyugar rambut frustasi.Sungguh sampai detik ini ia belum bisa menerima jika Panglima Kuning adalah sosok bertopeng misterius yang menjadi musuh mereka.Ia ingin percaya namun bayangan-bayangan kebersamaan mereka terus merongrong, menolak sosok Panglima Kuning yang culas dan jahat. Hal tersebut sebenarnya tak mengherankan. Bagi Leon, Panglima Kuning adalah sosok yang teramat penting.. Dia adalah penolong sekaligus pelindungnya. Dia adalah guru sekaligus tuan yang tegas namun baik hati dan bijaksana.Berkat Panglima Kuning Leon dan para dedemit gedung yang sebelumnya begitu liar menjadi lebih beradab dan memiliki arah dalam menjalani hidup.Karakteristik pembimbing seperti itu mustahil melakukan hal-hal buruk kecua
Leon menatap gerbang mansion yang menjulang. Ratusan peri berseliweran di udara, berjaga dengan begitu awas.Setelah menarik napas panjang ia menukik turun. Berjalan menghampiri dengan tenang.“Siapa kau!!” salah satu peri langsung membentak dengan garang. Dalam sekejap Leon sudah dikelilingi formasi pengurung yang berbahaya.“Hamba Leon, teman Nona Shiny dari gedung milik Pangeran Samudera Biru,” ucap Leon sambil mengangkat kedua lengan di atas kepala.“Kenapa kau ke mari? Bukankah seluruh penghuni gedung itu dilarang untuk ke luar?” selidik peri yang menghardik dengan tatapan curiga.“Benar, hanya saja ada hal penting yang harus hamba sampaikan kepada Nona Shiny.”“Hal apa?”“Maaf ini sedikit pribadi,” jawab Leon sambil memasang ekspresi tersipu.Peri penjaga mendengus.“Huh, kembalilah lain kali. Untuk sekarang siapa pun dilarang memasuki mansion tanpa izin Pangeran Samudera Biru.”“Tapi, hamba ....” “Pergilah!”Leon menatap para peri penjaga dengan mata memelas. Namun mereka acuh
Singgih Wirayudha menatap waspada lelaki gemulai beranting panjang yang berdiri di atas punggung kupu-kupu tujuh warna.Mereka telah bertempur cukup lama namun belum terlihat tanda siapa yang akan kalah dan menang.Tak jauh dari mereka Hyang Sagara tampak sibuk meladeni lelaki bertampang sangar yang menunggangi seekor kobra merah bertanduk tunggal. Lidah ular itu sesekali terjulur, mendesis dengan menggidikkan.Sementara di bawah sana, di halaman utama mansion, ribuan kupu-kupu tujuh warna tampak menyerang para peri penjaga dengan begitu agresif."Tuan Singgih Wirayudha, kekuatan Anda semakin melemah ya,” iblis gemulai itu membuka suara sambil mengelus tengkuk tunggangannya.“Itu hanya perasaanmu, Jenderal Maracas,” balas Singgih Wirayudha tenang. Meski dalam hati mengakui jika kekuatannya memang semakin melemah pasca terlepas dari segel naskala loka.“Tapi kau masih terlihat sangat gagah,” lanjut sang iblis sambil menjilat bibir bawahnya dengan genit. Mata jernihnya tanpa sungkan men
Samudera Biru menatap layar raksasa yang terus bergerak memperlihatkan potongan-potongan situasi di seluruh kerajaan peri samudera secara saksama. Setelah pemberontakan Pangeran Agung Harold dipublikasi dan wacana perang disebar ke seluruh negeri, situasi menjadi begitu sensitif.Ketakutan, kegelisahan serta kemarahan bercampur menjadi satu.Kesibukan besar pun terjadi. Para wanita, lansia dan anak-anak berduyun-duyun diungsikan ke benteng pertahanan masing-masing kota. Rumah-rumah penempaan dua puluh empat jam beroperasi. Gudang-gudang pangan dibuka dan dijaga dengan sangat ketat.Prajurit-prajurit elit ditempatkan di setiap pos-pos krusial. Sementara dinding pelindung telah diperkuat di seluruh wilayah tanpa kecuali.“Yang Mulia, seluruh pasukan telah siap,” lapor Komandan Galael sambil menjura.“Hem, satu jam lagi kita berangkat,” ucap Samudera Biru sambil menyentuh baju zirah di atas manekin besi. Sesuai rencana, hari ini Samudera Biru akan memimpin pasukan untuk menyerang para
Di sebuah ranjang besar mewah bergaya klasik Renata terbaring dengan begitu tenang.Rambut panjangnya yang sehitam malam terserak indah di atas bantal putih bersih. Gaun merah berbelahan dada rendah melekat sempurna di tubuhnya yang menawan.Kelambu dan tirai-tirai tipis berwarna putih meliuk tertiup angin sepoi-sepoi, memberi ilusi seorang dewi yang tengah tertidur.Namun keindahan itu tak berlangsung lama. Kening Renata tiba-tiba mengernyit, napasnya memburu seperti seseorang yang tengah bermimpi buruk.“Hahh!!” Dalam satu helaan napas ia terjaga lantas meringis halus oleh rasa pusing yang mendera kepala.Renata mengerjap, menggeleng berulang kali. Mengais kesadaran dengan susah payah. Kelebat ingatan menari seperti kaset rusak. Ia terdiam sejenak, mengurai sedikit demi sedikit.Ketika semakin jernih, gadis itu sontak melompat dan dibuat terpaku oleh pakaiannya yang demikian terbuka.“Kau sudah bangun, gadis.”Renata menoleh. Selain terdengar begitu lembut dan menghipnotis, sapaa
Lintang Timoer mengepalkan lengan hingga buku-buku jarinya memutih. Ia merasa begitu marah sekaligus membenci dirinya sendiri. Ia seperti seekor semut di tangan raksasa. Dipermainkan sedemikian rupa tanpa bisa melawan.Lintang Timoer menatap kamar yang dijaga dua pengawal. Ingin rasanya menerobos dan membawa Renata kabur. Namun terlalu beresiko. Alih-alih berhasil malah nyawanya yang melayang lebih dulu.Karena itu Lintang Timoer memilih menyelinap pergi, tergesa menuju lorong di mana kamarnya berada.Setelah mengunci pintu, Lintang Timoer memeras otak hingga rasanya akan meledak. Berbagai rencana berseliweran di kepalanya seperti benang kusut.Satu-satunya rencana paling realistis untuk saat ini adalah bekerja sama dengan Samudera Biru. Tetapi itu terdengar seperti menjilat ludah sendiri. Dengan sifat Samudera Biru yang angkuh dan arogan, menjalin kerja sama adalah kemustahilan. Tapi demi Renata, Lintang Timoer bersedia merendahkan dirinya sendiri. Tawa sumbang memenuhi kamar, Li
Tiga wanita berpinggang ramping terbang di udara seperti burung camar.Di pedataran yang penuh oleh barak-barak pasukan singa emas milik Jenderal Agung Ellard mereka mendarat dengan mulus dan memukau.Prajurit yang tengah berjaga sontak mengurung dengan senjata terhunus, namun segera mundur saat salah satu dari wanita tersebut menyibak sedikit tudung yang menutupi kepalanya.Dengan hormat para prajurit memberi jalan, kepala mereka bahkan menunduk takzim.Ketiga wanita melenggang, aroma bebungaan segar tercium dari setiap gerak mereka. Sangat kontras dengan aroma maskulin yang mendominasi setiap sudut barak Di depan barak terbesar, dua dari tiga wanita itu berhenti, mengambil posisi di kanan dan kiri pintu, sementara wanita yang berjalan di depan masuk ke dalam dengan langkah ringan.Di dalam barak tampak sesosok pria tengah duduk di depan meja panjang, serius mengamati sebuah peta topografi usang.Menyadari kehadiran seseorang pria itu mendongak. Matanya sontak melebar.“Ellaria,” gu