Di sebuah ranjang besar mewah bergaya klasik Renata terbaring dengan begitu tenang.Rambut panjangnya yang sehitam malam terserak indah di atas bantal putih bersih. Gaun merah berbelahan dada rendah melekat sempurna di tubuhnya yang menawan.Kelambu dan tirai-tirai tipis berwarna putih meliuk tertiup angin sepoi-sepoi, memberi ilusi seorang dewi yang tengah tertidur.Namun keindahan itu tak berlangsung lama. Kening Renata tiba-tiba mengernyit, napasnya memburu seperti seseorang yang tengah bermimpi buruk.“Hahh!!” Dalam satu helaan napas ia terjaga lantas meringis halus oleh rasa pusing yang mendera kepala.Renata mengerjap, menggeleng berulang kali. Mengais kesadaran dengan susah payah. Kelebat ingatan menari seperti kaset rusak. Ia terdiam sejenak, mengurai sedikit demi sedikit.Ketika semakin jernih, gadis itu sontak melompat dan dibuat terpaku oleh pakaiannya yang demikian terbuka.“Kau sudah bangun, gadis.”Renata menoleh. Selain terdengar begitu lembut dan menghipnotis, sapaa
Lintang Timoer mengepalkan lengan hingga buku-buku jarinya memutih. Ia merasa begitu marah sekaligus membenci dirinya sendiri. Ia seperti seekor semut di tangan raksasa. Dipermainkan sedemikian rupa tanpa bisa melawan.Lintang Timoer menatap kamar yang dijaga dua pengawal. Ingin rasanya menerobos dan membawa Renata kabur. Namun terlalu beresiko. Alih-alih berhasil malah nyawanya yang melayang lebih dulu.Karena itu Lintang Timoer memilih menyelinap pergi, tergesa menuju lorong di mana kamarnya berada.Setelah mengunci pintu, Lintang Timoer memeras otak hingga rasanya akan meledak. Berbagai rencana berseliweran di kepalanya seperti benang kusut.Satu-satunya rencana paling realistis untuk saat ini adalah bekerja sama dengan Samudera Biru. Tetapi itu terdengar seperti menjilat ludah sendiri. Dengan sifat Samudera Biru yang angkuh dan arogan, menjalin kerja sama adalah kemustahilan. Tapi demi Renata, Lintang Timoer bersedia merendahkan dirinya sendiri. Tawa sumbang memenuhi kamar, Li
Tiga wanita berpinggang ramping terbang di udara seperti burung camar.Di pedataran yang penuh oleh barak-barak pasukan singa emas milik Jenderal Agung Ellard mereka mendarat dengan mulus dan memukau.Prajurit yang tengah berjaga sontak mengurung dengan senjata terhunus, namun segera mundur saat salah satu dari wanita tersebut menyibak sedikit tudung yang menutupi kepalanya.Dengan hormat para prajurit memberi jalan, kepala mereka bahkan menunduk takzim.Ketiga wanita melenggang, aroma bebungaan segar tercium dari setiap gerak mereka. Sangat kontras dengan aroma maskulin yang mendominasi setiap sudut barak Di depan barak terbesar, dua dari tiga wanita itu berhenti, mengambil posisi di kanan dan kiri pintu, sementara wanita yang berjalan di depan masuk ke dalam dengan langkah ringan.Di dalam barak tampak sesosok pria tengah duduk di depan meja panjang, serius mengamati sebuah peta topografi usang.Menyadari kehadiran seseorang pria itu mendongak. Matanya sontak melebar.“Ellaria,” gu
Malam semakin naik. Setelah para jenderal dan komandan kembali ke baraknya masing-masing, Ellaria yang sedikit mabuk menulis sepucuk surat untuk Samudera Biru. Hatinya tiba-tiba merasa sedikit goyah, ingin memberi kesempatan terakhir untuk lelaki itu. Ingin bernegosiasi setidaknya sekali saja.Ellaria menerbangkan elang roh pembawa pesan. Dengan kecepatannya, surat akan sampai dalam waktu satu dua jam saja. Ia akan menunggu Samudera Biru hingga matahari terbit.Sayangnya tanpa Ellaria sadari elang roh pembawa pesannya telah musnah di tangan Pangeran Aaron dan selusin bawahannya yang tengah mengintai tak jauh dari barak pasukan.Pangeran Aaron membaca surat dengan tersenyum miring lantas membakarnya hingga menjadi debu.“Brukk!!”Dua tubuh tiba-tiba terlempar ke bawah kaki Pangeran Aaron.Tubuh itu berlumuran darah dengan napas yang terdengar putus-putus.Pangeran Aaron yang semula mengernyit berubah menjadi semringah saat melihat pelaku pelemparan yang kini berdiri ajeg di depannya,
Kenzio tercekat saat ular putih peliharaan Lintang Timoer membawanya ke sebuah hutan yang ditutupi oleh kabut. Mata Kenzio menyipit, mengamati keadaan sekitarnya yang tampak begitu hening. Bahkan suara gesekan dedauanan tertiup angin pun sama sekali tak terdengar, seolah tempat itu adalah ruang hampa.“Inikah hutan bangkai?” batin Kenzio sangsi. Pasalnya ia tak mencium aroma bangkai sedikit pun, justru hidungnya samar-samar mencium aroma anggrek yang menyegarkan.Ular putih di samping Kenzio mendesis lalu membuka mulut lebar-lebar.Sebutir pil berwarna merah muda beraroma amis keluar dan melayang di depan Kenzio. “Adik Tuanku, makanlah pil kesadaran ini.”Kenzio mengernyit, menatap ular putih dan pil dengan sedikit jijik.“Kenapa aku harus memakannya?” Ular putih menjulurkan lidah dua kali. Desisannya terdengar tak sabar.“Tidakkah Adik Tuanku merasa ada yang aneh dengan aroma anggrek ini?”Kenzio menarik napas dan menggeleng polos.“Hanya ada aroma segar dan menyenangkan seolah se
Kenzio menghela napas. Ular putih langsung mengirimnya ke dalam ilusi Singgih Wirayudha begitu saja tanpa memberinya kesempatan untuk kembali ke tubuhnya barang sejenak.Tapi Kenzio tak bisa mengeluh. Ia mengerti mereka tak memiliki banyak waktu. “Paman Singgih!” Singgih Wirayudha yang tengah menginjak kepala Singgih Wirayudha yang lain mendongak.“Nak, kau di sini,” ucapnya terkejut.“Iya, aku datang untuk membawa Paman keluar.”Kenzio melirik Singgih Wirayudha yang tergeletak tanpa daya, matanya yang bengkak mengerjap-ngerjap meminta bantuan. “Ah, dia hanya ilusi. Aku hanya bisa membuatnya babak belur, tak bisa melenyapkannya seberapa keras aku berusaha. ” Singgih Wirayudha yang segar bugar buru-buru memberi penjelasan sambil memperkuat injakan kakinya sehingga Singgih Wirayudha yang naas itu mengerang.Kenzio hanya mengangguk-angguk lantas mengalihkan pandang ke keadaan sekitar yang dipenuhi bebatuan dan ilalang, sekilas terlihat mirip dengan gerbang lotus utara.“Nak, bagaimana
Ratusan iblis penjaga gua menatap rombongan Hyang Sagara dengan ganas. Pemimpin mereka yang berwujud manusia berkepala kerbau beranting bulat besar mengacungkan golok, memberi komando untuk menyerbu.“Tuan Singgih, serahkan mereka pada kami, Anda carilah Renata,” ucap Hyang Sagara pada Singgih Wirayudha tanpa mengalihkan fokus dari ratusan iblis yang menerjang ke arah mereka.“Baik, kalian berhati-hatilah.”Singgih Wirayudha menjejak tanah, melenting terbang seperti alap-alap.Ular neraka yang tak tertarik untuk ikut bertarung menyusul. Ia mendesis lalu melata dengan kecepatan luar biasa. Iblis yang mencoba menghentikannya terlempar tanpa ampun, seolah menabrak dinding atos.Hyang Sagara hanya bisa melirik kepergian sang ular dengan pasrah. Apa lagi yang bisa diharapkan dari ular sombong tersebut? Pada dasarnya mereka tidak memiliki hubungan apa-apa.Melihat Singgih Wirayudha hampir mencapai mulut gua, iblis berkepala kerbau sontak berbalik dan mengejar. Hyang Sagara tak tinggal diam,
Pedataran luas di dekat ngarai selatan kerajaan peri samudera tampak gegap gempita.Bendera kebesaran berkibar. Genderang dan tetabuhan pemicu adrenalin dipukul susul menyusul. Binatang-binatang padang meringkuk ketakutan dalam sarang, sebagian memilih untuk menjauh karena mencium aroma bahaya.Di langit, matahari tampak patuh. Tak menampakan diri dengan arogan seperti biasa, takut mengalami nasib seperti rerumputan yang semula indah bak karpet tebal raksasa berwarna zambrud, namun kini tergilas habis oleh telapak jutaan peri yang berbaris rapi dan saling berhadapan.Wajah mereka garang dan penuh gairah membunuh.Samudera Biru menarik napas. Rencananya untuk menunaikan perang telah tunai.Apakah ia sedih? Karena bagaimanapun mereka adalah saudaranya sendiri.Jawabannya adalah tidak.Sejak mereka mencelakai sang ibu tanpa ragu, maka hari ini akan datang cepat atau lambat, tidak tidak peduli siapa yang memulai terlebih dahulu. Samudera Biru hanya merasa sedikit miris karena di mata me