Leon menatap gerbang mansion yang menjulang. Ratusan peri berseliweran di udara, berjaga dengan begitu awas.Setelah menarik napas panjang ia menukik turun. Berjalan menghampiri dengan tenang.“Siapa kau!!” salah satu peri langsung membentak dengan garang. Dalam sekejap Leon sudah dikelilingi formasi pengurung yang berbahaya.“Hamba Leon, teman Nona Shiny dari gedung milik Pangeran Samudera Biru,” ucap Leon sambil mengangkat kedua lengan di atas kepala.“Kenapa kau ke mari? Bukankah seluruh penghuni gedung itu dilarang untuk ke luar?” selidik peri yang menghardik dengan tatapan curiga.“Benar, hanya saja ada hal penting yang harus hamba sampaikan kepada Nona Shiny.”“Hal apa?”“Maaf ini sedikit pribadi,” jawab Leon sambil memasang ekspresi tersipu.Peri penjaga mendengus.“Huh, kembalilah lain kali. Untuk sekarang siapa pun dilarang memasuki mansion tanpa izin Pangeran Samudera Biru.”“Tapi, hamba ....” “Pergilah!”Leon menatap para peri penjaga dengan mata memelas. Namun mereka acuh
Singgih Wirayudha menatap waspada lelaki gemulai beranting panjang yang berdiri di atas punggung kupu-kupu tujuh warna.Mereka telah bertempur cukup lama namun belum terlihat tanda siapa yang akan kalah dan menang.Tak jauh dari mereka Hyang Sagara tampak sibuk meladeni lelaki bertampang sangar yang menunggangi seekor kobra merah bertanduk tunggal. Lidah ular itu sesekali terjulur, mendesis dengan menggidikkan.Sementara di bawah sana, di halaman utama mansion, ribuan kupu-kupu tujuh warna tampak menyerang para peri penjaga dengan begitu agresif."Tuan Singgih Wirayudha, kekuatan Anda semakin melemah ya,” iblis gemulai itu membuka suara sambil mengelus tengkuk tunggangannya.“Itu hanya perasaanmu, Jenderal Maracas,” balas Singgih Wirayudha tenang. Meski dalam hati mengakui jika kekuatannya memang semakin melemah pasca terlepas dari segel naskala loka.“Tapi kau masih terlihat sangat gagah,” lanjut sang iblis sambil menjilat bibir bawahnya dengan genit. Mata jernihnya tanpa sungkan men
Samudera Biru menatap layar raksasa yang terus bergerak memperlihatkan potongan-potongan situasi di seluruh kerajaan peri samudera secara saksama. Setelah pemberontakan Pangeran Agung Harold dipublikasi dan wacana perang disebar ke seluruh negeri, situasi menjadi begitu sensitif.Ketakutan, kegelisahan serta kemarahan bercampur menjadi satu.Kesibukan besar pun terjadi. Para wanita, lansia dan anak-anak berduyun-duyun diungsikan ke benteng pertahanan masing-masing kota. Rumah-rumah penempaan dua puluh empat jam beroperasi. Gudang-gudang pangan dibuka dan dijaga dengan sangat ketat.Prajurit-prajurit elit ditempatkan di setiap pos-pos krusial. Sementara dinding pelindung telah diperkuat di seluruh wilayah tanpa kecuali.“Yang Mulia, seluruh pasukan telah siap,” lapor Komandan Galael sambil menjura.“Hem, satu jam lagi kita berangkat,” ucap Samudera Biru sambil menyentuh baju zirah di atas manekin besi. Sesuai rencana, hari ini Samudera Biru akan memimpin pasukan untuk menyerang para
Di sebuah ranjang besar mewah bergaya klasik Renata terbaring dengan begitu tenang.Rambut panjangnya yang sehitam malam terserak indah di atas bantal putih bersih. Gaun merah berbelahan dada rendah melekat sempurna di tubuhnya yang menawan.Kelambu dan tirai-tirai tipis berwarna putih meliuk tertiup angin sepoi-sepoi, memberi ilusi seorang dewi yang tengah tertidur.Namun keindahan itu tak berlangsung lama. Kening Renata tiba-tiba mengernyit, napasnya memburu seperti seseorang yang tengah bermimpi buruk.“Hahh!!” Dalam satu helaan napas ia terjaga lantas meringis halus oleh rasa pusing yang mendera kepala.Renata mengerjap, menggeleng berulang kali. Mengais kesadaran dengan susah payah. Kelebat ingatan menari seperti kaset rusak. Ia terdiam sejenak, mengurai sedikit demi sedikit.Ketika semakin jernih, gadis itu sontak melompat dan dibuat terpaku oleh pakaiannya yang demikian terbuka.“Kau sudah bangun, gadis.”Renata menoleh. Selain terdengar begitu lembut dan menghipnotis, sapaa
Lintang Timoer mengepalkan lengan hingga buku-buku jarinya memutih. Ia merasa begitu marah sekaligus membenci dirinya sendiri. Ia seperti seekor semut di tangan raksasa. Dipermainkan sedemikian rupa tanpa bisa melawan.Lintang Timoer menatap kamar yang dijaga dua pengawal. Ingin rasanya menerobos dan membawa Renata kabur. Namun terlalu beresiko. Alih-alih berhasil malah nyawanya yang melayang lebih dulu.Karena itu Lintang Timoer memilih menyelinap pergi, tergesa menuju lorong di mana kamarnya berada.Setelah mengunci pintu, Lintang Timoer memeras otak hingga rasanya akan meledak. Berbagai rencana berseliweran di kepalanya seperti benang kusut.Satu-satunya rencana paling realistis untuk saat ini adalah bekerja sama dengan Samudera Biru. Tetapi itu terdengar seperti menjilat ludah sendiri. Dengan sifat Samudera Biru yang angkuh dan arogan, menjalin kerja sama adalah kemustahilan. Tapi demi Renata, Lintang Timoer bersedia merendahkan dirinya sendiri. Tawa sumbang memenuhi kamar, Li
Tiga wanita berpinggang ramping terbang di udara seperti burung camar.Di pedataran yang penuh oleh barak-barak pasukan singa emas milik Jenderal Agung Ellard mereka mendarat dengan mulus dan memukau.Prajurit yang tengah berjaga sontak mengurung dengan senjata terhunus, namun segera mundur saat salah satu dari wanita tersebut menyibak sedikit tudung yang menutupi kepalanya.Dengan hormat para prajurit memberi jalan, kepala mereka bahkan menunduk takzim.Ketiga wanita melenggang, aroma bebungaan segar tercium dari setiap gerak mereka. Sangat kontras dengan aroma maskulin yang mendominasi setiap sudut barak Di depan barak terbesar, dua dari tiga wanita itu berhenti, mengambil posisi di kanan dan kiri pintu, sementara wanita yang berjalan di depan masuk ke dalam dengan langkah ringan.Di dalam barak tampak sesosok pria tengah duduk di depan meja panjang, serius mengamati sebuah peta topografi usang.Menyadari kehadiran seseorang pria itu mendongak. Matanya sontak melebar.“Ellaria,” gu
Malam semakin naik. Setelah para jenderal dan komandan kembali ke baraknya masing-masing, Ellaria yang sedikit mabuk menulis sepucuk surat untuk Samudera Biru. Hatinya tiba-tiba merasa sedikit goyah, ingin memberi kesempatan terakhir untuk lelaki itu. Ingin bernegosiasi setidaknya sekali saja.Ellaria menerbangkan elang roh pembawa pesan. Dengan kecepatannya, surat akan sampai dalam waktu satu dua jam saja. Ia akan menunggu Samudera Biru hingga matahari terbit.Sayangnya tanpa Ellaria sadari elang roh pembawa pesannya telah musnah di tangan Pangeran Aaron dan selusin bawahannya yang tengah mengintai tak jauh dari barak pasukan.Pangeran Aaron membaca surat dengan tersenyum miring lantas membakarnya hingga menjadi debu.“Brukk!!”Dua tubuh tiba-tiba terlempar ke bawah kaki Pangeran Aaron.Tubuh itu berlumuran darah dengan napas yang terdengar putus-putus.Pangeran Aaron yang semula mengernyit berubah menjadi semringah saat melihat pelaku pelemparan yang kini berdiri ajeg di depannya,
Kenzio tercekat saat ular putih peliharaan Lintang Timoer membawanya ke sebuah hutan yang ditutupi oleh kabut. Mata Kenzio menyipit, mengamati keadaan sekitarnya yang tampak begitu hening. Bahkan suara gesekan dedauanan tertiup angin pun sama sekali tak terdengar, seolah tempat itu adalah ruang hampa.“Inikah hutan bangkai?” batin Kenzio sangsi. Pasalnya ia tak mencium aroma bangkai sedikit pun, justru hidungnya samar-samar mencium aroma anggrek yang menyegarkan.Ular putih di samping Kenzio mendesis lalu membuka mulut lebar-lebar.Sebutir pil berwarna merah muda beraroma amis keluar dan melayang di depan Kenzio. “Adik Tuanku, makanlah pil kesadaran ini.”Kenzio mengernyit, menatap ular putih dan pil dengan sedikit jijik.“Kenapa aku harus memakannya?” Ular putih menjulurkan lidah dua kali. Desisannya terdengar tak sabar.“Tidakkah Adik Tuanku merasa ada yang aneh dengan aroma anggrek ini?”Kenzio menarik napas dan menggeleng polos.“Hanya ada aroma segar dan menyenangkan seolah se