Malam berlalu, hari itu Seledri tidur di kamar Ica dan memastikan sahabatnya baik-baik saja. cermin yang muncul secara misterius semalam sudah cukup membuatnya takut akan terjadi sesuatu pada Ica.
“Wang Shi Li …”
Seledri terkejut saat mendengar namanya dipanggil lagi. Lebih terkejut lagi saat ia melihat Ica berdiri di sana. Tatapan kosong dan juga memegang cermin di dadanya. Sebuah pemandangan yang sangat tidak diinginkan.
“Ica, buang cermin itu sekarang!” teriak Seledri.
“Aku adalah cermin dan cermin adalah aku.”
“Tidak Ica, kau adalah sahabatku dan aku tidak akan membiarkan cermin itu mengambilmu.”
“Aku adalah cermin dan cermin adalah aku.”
Seledri mendekati Ica dan berusaha menyadarkannya. Tangannya ditepis dengan mudah. Tubuh Seledri terpental.
“Uhuk!” Seledri berusaha bangkit. Ia tidak peduli apapun yang terjadi. Ia tidak akan membiarkan Ica dia
Seledri memandangi ponselnya dengan ragu. Ada panggilan masuk berdering sedari tadi. Satu atau dua kali mungkin tidak begitu masalah atau hanya sekedar penipuan melalui panggilan telepon seperti yang pernah ia alami. Panggilan ketiga, Seledri memutuskan untuk menjawab meski ragu. Ia memasang telinganya dengan baik untuk mendengar seluruh kalimat yang diucapakan wanita dari seberang.Tinggal di tempat dengan bahasa yang berbeda dengan bahasa Ibu tentu sangat tidak mudah, belum lagi bila sang lawan bicara mulai menambahkan sedikit dialek khas dari wilayah tertentu.Menjadi mahasiswa asing di negeri tirai bambu mempunyai kesan tersendiri bagi gadis berambut panjang itu.“Halo, dengan Seledri Anggun Pratama?”Deg! Jantung Seledri memacu. Sebuah suara yang ia kenal.“Iya, saya Seledri,” jawabnya dengan sedikit ragu.“Besok pagi jam sepuluh, Anda harus menemui saya di Gedung Internasional lantai tiga, ada yang h
Seledri dan Claire lalu masuk dan melihat-lihat, siapa tahu kan ada benda yang menarik perhatian mereka. Tempat yang terasa aneh namun akan sayang bila dilewatkan begitu saja. Seledri lalu tertarik pada sebuah benda yang terletak di sudut ruangan. Usang, itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadannya.“Nona, apa nona mencari sesuatu yang istimewa?” tawar seorang nenek padanya. Nenek itu lalu memberikan sebuah benda di tangan Seledri. “Ini akan sangat membantumu.”“Tapi ….” Seledri belum selesai dengan kalimatnya. Suara nenek itu bagai sihir yang mengontrol jiwanya untuk mengambil cermin dari tangan sang nenek.“Anggap ini hadiah, gunakan ini saat kamu membutuhkannya.”“Seledri, hei!” celetuk Claire sambil menepuk bahunya. “Kamu bicara dengan siapa? Apa ini? apa kau ingin membeli cermin ini?”“I-ini ….” Seledri juga bingung dengan apa yang dipe
Pelajaran itu selesai. Meskipun ia sangat ingin keluar, ia memastikan Ke Laoshi terlebih dahulu keluar dari kelas. Sungguh akan tidak sopan bila keluar terlebih dahulu dari sang guru, bukan? Setelah Ke Laoshi meninggalkan kelas, murid-murid itu segera menuju kantin ataupun kembali ke asrama untuk beristirahat.Sama halnya dengan murid yang menguras energy saat berpikir, tentu Seledri akan terlebih dahulu menuju kantin untuk mengisi perutnya. Ia sudah berada dalam barisan mahasiswa kelaparan di sana. Pada jam makan siang seperti ini tentu kantin akan padat sekali. Banyak juga dari mereka yang akhirnya memutuskan untuk membungkusnya saja dan memakannya di kamar masing-masing.Seledri mengambil nampan dan piring, magkuk, sumpit dan juga sendok. Ia mulai memilih makanan di kantinnya. Biasanya ia akan menghabiskan setidaknya sepuluh sampai lima belas kuai untuk sekali makan. Ia benar-benar berhemat sekarang. Delapan kuai cukup baginya untuk mendapat menu yang terbilan
“Wang Shi Li … Wang Shi Li ….”Seledri mulai terbiasa sedikit untuk mendengar bisik-bisik suara yang terus memanggil namanya. Meskipun awalnya ia ketakutan, ia berusaha untuk tidak terlalu memedulikannya.Hadapi ketakutanmu, mungkin itulah yang ada di dalam kepala gadis itu. Dua hari telah berlalu setelah kejadian itu. Ia sangat yakin itu adalah panggilan dari cermin tua yang ia beli di sebuah toko kecil di wilayah Bijiangdao. Ia mengingat-ingat kembali kejadian itu dan menangkap sesuatu yang aneh. Sejak awal ia sama sekali tidak berniat membeli benda aneh nan mahal itu.“Aku terhipnotis?”“Wang Shi ….”“Hentikan!” teriaknya, “tak bisakah kau berhenti memanggilku? Aku sedang belajar!” Rasa marah Seledri sudah memuncak, ia membutuhkan konsentrasi dibanding rasa takut dengan benda aneh itu. Ujian akhir semester tengah di depan mata. Ia harus mempersiapkannya dengan baik.
Sang surya menyapa dengan santainya. Musim dingin telah datang. Kini, menggunakan padding adalah kewajiban. Salju memang belum menyapa, namun hawa dingin semakin terasa. Seledri bangun dengan malas. Ia memiliki kuliah pagi di gedung F. Rasanya, ingin sekali bolos saja. Seledri bukanlah mahasiswa yang begitu bodoh, ia cukup pintar di kelasnya hanya saja tidak cukup untuk menjaminnya lulus begitu saja dalam setiap mata kuliah, terlebih lagi dengan bahasa yang digunakan.Mandi pagi dan sore hari adalah kebiasaan orang Indonesia. Seledri tidak mengikuti kebiasaan itu pagi ini. terlalu malas dan juga ia sedikit terlambat. Ia hanya menyikat gigi dan mencuci muka, kemudian mengganti pakaian dan menggunakan skincare. Deodorant? Nope! Di musim seperti ini ketiak akan lebih jinak dan tidak mengeluarkan bau apapun.Gedung asrama dan gedung F hanya butuh sepuluh hingga lima belas menit dengan berjalan kaki.Seledri berjalan santai sambil membawa tote bagnya. Ia jug
Seledri meninggalkan ruang ujian dengan bersemangat. Senyumnya secerah matahari di musim panas. Ia lalu berjalan menuju lift untuk ke lantai satu. Ia mempercepat langkahnya tatkala lift itu hendak tertutup.Sayangnya, ia terlambat beberapa detik. Bisa saja orang di dalam lift menahan lift tertutup. Sayanganya, mereka bukanlah orang yang bisa diajak kerjasama. Seledri masih tersenyum, baginya mengerjakan soal ujian dengan sangat mudah masih cukup membuatnya bergembira.“Dari tadi senyum-seyum mulu.” Suara Alfa mengagetkannya. Seledri mengubah ekspresi riangnya menjadi datar.“Karena senyum bisa membuat luka sedikit tertutupi,” balasnya cuek. “Ah, aku mau lewat tangga saja,” imbuhnya lagi sambil berjalan ke sisi kanan lift dan mulai menuruni anak tangga. Ia seperti menghindari Alfa.“Ayo jalan bersama. Aku juga akan lewat tangga saja. ini hanya di lantai empat, menuruni tangga sepertinya bisa membakar sedikit lemak.
Seledri lalu membuka lemari pakaian dan melihat-lihat ada hal bagus apa yang bisa ia gandakan dari sana. “Oh iya aku lupa kalau aku tidak punya apa-apa.” Ia tersenyum kecut dalam batinnya. “Claire? Aku rasa ia punya sesuatu yang mahal.” Seledri segera berlari menuju gedung sebelah. Gedung asrama milik Claire. Tuk tu tuk …. Claire membuka pintu dengan malasnya. Wajah kusutnya cukup menjelaskan bahwa kedatangan Seledri benar-benar menganggunya. “Apa yang kamu inginkan?” “Claire, bolehkah aku meminjam perhiasanmu sebentar? Aku akan mengembalikannya dengan segera.” Calire menyipitkan matanya. “Kamu tidak sedang berusaha menipuku, kan?” tanyanya penuh selidik. “Shi Li apa kamu dalam masalah? Kamu butuh uang? Aku bisa meminjamkanmu.” “Tidak, aku hanya membutuhkan perhiasanmu em …” Seledri menghentikan kalimatnya. Ia harus menemukan alasan yang tepat untuk meminjam benda mahal itu. “Aku ingin membuat desain perhiasan. Aku perl
Seledri dan Nina lalu membuat masakan untuk makan malam mereka berempat. Awal desember yang dingin sangat tepat rasanya bila memakan makanan dari kampung halaman. Bukan berarti makanan di Tiongkok tidak enak, hanya saja terkadang ada masanya rasa rindu dengan cita rasa masakan negeri sendiri.Nina lalu memasukan hasil opor ayam ke dalam mangkuk yang besar. Aroma khas bumbu itu membuat saliva Seledri ingin segera meluncur dengan lancangnya.“Tahan keinginanmu, Sel. Sebentar lagi kok kita akan makan bersama,” ledek Nina yang melihat wajah lucu Seledri saat memandang opor ayam itu. “Betewe tadi ikannya kamu beli di mana?”“Oh, di toko kecil yang dekat asrama anak lokal. Di sana lebih lengkap.”“Jauh juga belinya.”“Kan naik sepeda. Tapi anginnya semiriwiiigggg ….”“Iyalah, musim dingin begini. Orang gila siapa yang mau naik sepeda, yang ada masuk angin. Tapi betewe terima