Seledri dan Claire lalu masuk dan melihat-lihat, siapa tahu kan ada benda yang menarik perhatian mereka. Tempat yang terasa aneh namun akan sayang bila dilewatkan begitu saja. Seledri lalu tertarik pada sebuah benda yang terletak di sudut ruangan. Usang, itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadannya.
“Nona, apa nona mencari sesuatu yang istimewa?” tawar seorang nenek padanya. Nenek itu lalu memberikan sebuah benda di tangan Seledri. “Ini akan sangat membantumu.”
“Tapi ….” Seledri belum selesai dengan kalimatnya. Suara nenek itu bagai sihir yang mengontrol jiwanya untuk mengambil cermin dari tangan sang nenek.
“Anggap ini hadiah, gunakan ini saat kamu membutuhkannya.”
“Seledri, hei!” celetuk Claire sambil menepuk bahunya. “Kamu bicara dengan siapa? Apa ini? apa kau ingin membeli cermin ini?”
“I-ini ….” Seledri juga bingung dengan apa yang dipegangnya, ia tidak yakin memilih benda itu.
Claire masih mengelilingi toko itu sambil memilih apa yang ingin dibelinya hingga akhirnya selesai. Setelah puas melihat-lihat, mereka ke kasir.
“Maaf nona, kami tidak menjual ini,” kata seorang karyawan.
“Lalu, bagaimana bila aku ingin membelinya?”
Kedua karyawan lalu saling berpandangan sebentar, mereka berbisik pelan lalu mengatakan pada Seledri harga yang harus dibayar.
“Seratus kuai,” kata karyawan itu tegas.
“Aiya, mahal sekali la!” protes Claire yang juga mendengar harga yang diberikan untuk sebuah cermin tua.
“Nona, cermin ini bukanlah barang sembarangan.”
“Tapi, apa ada yang mau membeli dengan harga seperti itu? Tadi kamu bilang benda ini tidak dijual.” Claire menatap Seledri sebentar lalu berkata dalam bahasa Inggris agar tidak dimengerti dua pegawai itu. “Kembalikan saja itu, cermin itu terlalu mahal.”
“Aku akan membayarnya,” Seledri lalu membuka barcode di aplikasi we Chat untuk pembayaran.
Claire yang berdiri di sana tidak habis pikir, bisa-bisanya temannya itu menghabiskan seratus kuai hanya untuk sebuah cermin usang. Seratus kuai uang yang sangat cukup untuk dipakai berbelanja di Zara atau HnM saat diskon besar-besaran. Kau bisa mendapat setidaknya dua atau tiga pakaian yang bagus bila jeli.
“Seledri, kau akan menyesal setelah ini,” ucapnya pelan.
“Aku menganggap ini hadiah karena aku baru saja kehilangan pekerjaan sampinganku,” balas Seledri santai.
Keduanya lalu meninggalkan toko itu dan melanjutkan ke tempat lain.
“Jadi, kemana kita akan menghabiskan waktu selanjutnya?”
“Saizeriya. Aku lapar dan aku kesal melihatmu membeli sesuatu yang tidak berguna.”
“Hey, come on. Ini bahkan jauh lebih baik dari pulpen yang kau beli itu. Dua puluh lima kuai? Kau bercanda, aku melihatnya di Taobao hanya sepuluh kuai.”
“What?!”
“Apa? Memang itu kenyataannya.”
“Mengapa kamu tidak memberitahuku? Oh, Sial aku baru saja menghabiskan beasiswaku untuk hal yang tidak berguna.”
“Berhentilah mengoceh dan ayo jalan, aku juga sudah lapar. Tanggal berapa ini? aku rasa salju akan segera turun.”
Mereka kemudian memilih makan di restoran Italia di sana. Menikmati makan malam dengan tenang lalu melanjutkan untuk berbelanja, lebih tepatnya menemani Claire menghamburkan uang. Seledri bisa mengontrol dirinya dengan baik kali ini, ia tidak membeli ini dan itu meskipun banyak sekali godaan dengan tulisan ‘sale’ bertebaran di mana-mana.
Setelah puas berbelanja, mereka kembali ke asrama dengan MRT line 3 dan dilanjutkan dengan bus 162 seperti biasanya.
“Nona! Nona! Halte terakhir sudah sampai!” teriak sopir yang mulai kesal.
Seledri terbangun dengan kaget. Ia tidak menyangka sangat kelelahan kali ini. ia mengambil gawai dari sakunya dan melihat jam, pukul sepuluh malam. Keadaan luar kampus begitu sunyi. Dari jauh ia bisa melihat dua satpam dengan sigap di pos mereka. Pandangan Seledri sedikit terarahkan pada sebuah kios kecil yang berada dekat halte kampus itu.
“Sejak kapan ada kios yang menjual bunga di sini?” katanya dalam hati.
“Nona, mau membeli sesuatu?” suara serak itu membuat Seledri terkejut.
“Xue Sheng, sampai kapan mau berdiri luar? Pintu pagar akan segera di tutup!”
Seledri berlari kencang menuju gerbang utama kampus sebelum ditutup. Itu adalah gerbang utama yang menghubungkan jalan besar dan juga kampus. Ia juga tersadar kalau Claire meninggalkannya di Bus tadi sendirian.
“Anak itu benar-benar kejam. Ia mengerjaiku rupanya. Tega sekali ia tidak membangunkanku saat sudah sampai.”
Ia lalu menuju asramanya, membersihkan diri dan menyiapkan susu hangat. Seledri lalu mengambil tasnya dan mengambil amplop putih pemberian pemilik sekolah.
“Xie-xie. Setidaknya ini sangat cukup untuk menghidupiku tiga bulan dengan mode hemat.” 2500 kuai uang yang didapatkan sebagai gaji terakhir dan juga pesangon. “Tapi setelah ini, dari mana aku akan hidup?”
Gadis manis itu lalu terpikat oleh suatu cahaya dalam tasnya. Ia mencari dan mendapati cermin yang baru saja di belinya.
“Bagus, dan sekarang aku baru saja menyesalinya. Seratus Kuai harusnya bisa aku gunakan untuk makan hingga minggu depan,” sesalnya sambil menyesap susu hangat itu.
Ia meletakkan cermin tua itu di meja riasnya berdekatan dengan skincare. Matanya lalu meningat sesuatu, ada yang aneh dengan cermin itu, apa benda itu tertukar? Seledri memperhatikannya lagi. Cermin itu sama sekali tidak seusang saat pertama ia membelinya.
Seledri mengambil ponsel lalu mengambil gambar dan mengirimkannya pada Claire.
[Claire- Canada]
Apa yang kamu bicarakan? Itu terlihat sama saja. Kamu hanya lelah setelah hari yang panjang Shi Li, tidurlah. Ingat, besok kita ada kelas pagi dan pastikan kamu sudah mengerjakan tugas dari Liu Laoshi.
Sedetik kemudian Seledri teringat akan tugasnya itu. Menyelesaikan diagnosa berdasarkan kenampakan lidah bukanlah hal yang begitu mudah. Ia meletakkan kembali cermin itu dan mulai mengerjakan tugasnya.
“Kenapa hari ini aku begitu malang? Tak bisakah aku beristirahat sebentar?” keluhnya sambil mulai menulis jawaban demi jawaban dari tugas itu. Perlahan tapi pasti, malam ini akan ia lewatkan dengan menahan kantuk.
Seakan waktu berjalan dengan sangat cepat, pagi datang begitu singkat. Seledri yang baru saja tertidur merasa kesal dengan jadwal kuliahnya semester ini. “Kelas pagi, kelas pagi, kelas pagi!” Keluh Seledri tiap kali ia bangun dan bersiap-siap.
***
“Morning, Shi Li,” sapa Claire begitu gadis cantik itu tiba di kelasnya. Seledri tidak membalas. Ia meletakkan kedua tangannya di meja dan menjadikannya tumpuan. Sleedri mengambil posisi untuk tidur di atas meja.
“Tak bisakah kamu memanggil dengan nama asliku?” balasnya dengan suara yang tidak begitu jelas sambil menahan kantuk.
“Loh, kenapa? Seluruh guru dan murid-murid di sini memanggilmu seperti itu.”
“Itu untuk mempermudah mereka menyebut namaku.”
“Bagaimana tugasmu?”
“Aku sudah menyelesaikannya, aku menghubungi semalam tapi sepertinya kamu sudah tertidur pulas. Ah, iya cermin itu ….”
“Oh, please … jangan lagi. Cermin itu hanya barang biasa dan tidak ada yang istimewa dengannya. Ah, aku tahu, sekarang kamu menyesal, ‘kan telah membelinya?” tebak Claire dengan antusias. Ia sangat yakin itu adalah hal yang ingin disampaikan Seledri.
“Tidak, bukan itu … hanya ….”
Suaranya terhenti. Ke Laoshi memasuki ruang kelas dan membuatnya harus memperhatikan dengan segera. Mereka kuliah seperti mahasiswa pada umumnya dengan wajah serius, ya bagi Seledri tentu saja tidak. Sesungguhnya, raga gadis itu memang berada di dalam kelas. Siapa yang menyangka bila jiwanya sedari tadi sudah berada di kantin. Pikirannya pun seperti itu, Seledri bahkan sudah menyusun makan siang seperti apa yang akan disantapnya nanti.
“Setelah ini tidak ada kuliah lagi, syukurlah. Ah … Harusnya aku bisa menghasilkan uang setelah ini. sekarang aku harus berhemat,” katanya dalam hati sambil memperhatikan jam dinding yang terletak di depan kelas. Ia menghitung detik demi detik sebelum bel tanda istirahat benar-benar berbunyi.
Pelajaran itu selesai. Meskipun ia sangat ingin keluar, ia memastikan Ke Laoshi terlebih dahulu keluar dari kelas. Sungguh akan tidak sopan bila keluar terlebih dahulu dari sang guru, bukan? Setelah Ke Laoshi meninggalkan kelas, murid-murid itu segera menuju kantin ataupun kembali ke asrama untuk beristirahat.Sama halnya dengan murid yang menguras energy saat berpikir, tentu Seledri akan terlebih dahulu menuju kantin untuk mengisi perutnya. Ia sudah berada dalam barisan mahasiswa kelaparan di sana. Pada jam makan siang seperti ini tentu kantin akan padat sekali. Banyak juga dari mereka yang akhirnya memutuskan untuk membungkusnya saja dan memakannya di kamar masing-masing.Seledri mengambil nampan dan piring, magkuk, sumpit dan juga sendok. Ia mulai memilih makanan di kantinnya. Biasanya ia akan menghabiskan setidaknya sepuluh sampai lima belas kuai untuk sekali makan. Ia benar-benar berhemat sekarang. Delapan kuai cukup baginya untuk mendapat menu yang terbilan
“Wang Shi Li … Wang Shi Li ….”Seledri mulai terbiasa sedikit untuk mendengar bisik-bisik suara yang terus memanggil namanya. Meskipun awalnya ia ketakutan, ia berusaha untuk tidak terlalu memedulikannya.Hadapi ketakutanmu, mungkin itulah yang ada di dalam kepala gadis itu. Dua hari telah berlalu setelah kejadian itu. Ia sangat yakin itu adalah panggilan dari cermin tua yang ia beli di sebuah toko kecil di wilayah Bijiangdao. Ia mengingat-ingat kembali kejadian itu dan menangkap sesuatu yang aneh. Sejak awal ia sama sekali tidak berniat membeli benda aneh nan mahal itu.“Aku terhipnotis?”“Wang Shi ….”“Hentikan!” teriaknya, “tak bisakah kau berhenti memanggilku? Aku sedang belajar!” Rasa marah Seledri sudah memuncak, ia membutuhkan konsentrasi dibanding rasa takut dengan benda aneh itu. Ujian akhir semester tengah di depan mata. Ia harus mempersiapkannya dengan baik.
Sang surya menyapa dengan santainya. Musim dingin telah datang. Kini, menggunakan padding adalah kewajiban. Salju memang belum menyapa, namun hawa dingin semakin terasa. Seledri bangun dengan malas. Ia memiliki kuliah pagi di gedung F. Rasanya, ingin sekali bolos saja. Seledri bukanlah mahasiswa yang begitu bodoh, ia cukup pintar di kelasnya hanya saja tidak cukup untuk menjaminnya lulus begitu saja dalam setiap mata kuliah, terlebih lagi dengan bahasa yang digunakan.Mandi pagi dan sore hari adalah kebiasaan orang Indonesia. Seledri tidak mengikuti kebiasaan itu pagi ini. terlalu malas dan juga ia sedikit terlambat. Ia hanya menyikat gigi dan mencuci muka, kemudian mengganti pakaian dan menggunakan skincare. Deodorant? Nope! Di musim seperti ini ketiak akan lebih jinak dan tidak mengeluarkan bau apapun.Gedung asrama dan gedung F hanya butuh sepuluh hingga lima belas menit dengan berjalan kaki.Seledri berjalan santai sambil membawa tote bagnya. Ia jug
Seledri meninggalkan ruang ujian dengan bersemangat. Senyumnya secerah matahari di musim panas. Ia lalu berjalan menuju lift untuk ke lantai satu. Ia mempercepat langkahnya tatkala lift itu hendak tertutup.Sayangnya, ia terlambat beberapa detik. Bisa saja orang di dalam lift menahan lift tertutup. Sayanganya, mereka bukanlah orang yang bisa diajak kerjasama. Seledri masih tersenyum, baginya mengerjakan soal ujian dengan sangat mudah masih cukup membuatnya bergembira.“Dari tadi senyum-seyum mulu.” Suara Alfa mengagetkannya. Seledri mengubah ekspresi riangnya menjadi datar.“Karena senyum bisa membuat luka sedikit tertutupi,” balasnya cuek. “Ah, aku mau lewat tangga saja,” imbuhnya lagi sambil berjalan ke sisi kanan lift dan mulai menuruni anak tangga. Ia seperti menghindari Alfa.“Ayo jalan bersama. Aku juga akan lewat tangga saja. ini hanya di lantai empat, menuruni tangga sepertinya bisa membakar sedikit lemak.
Seledri lalu membuka lemari pakaian dan melihat-lihat ada hal bagus apa yang bisa ia gandakan dari sana. “Oh iya aku lupa kalau aku tidak punya apa-apa.” Ia tersenyum kecut dalam batinnya. “Claire? Aku rasa ia punya sesuatu yang mahal.” Seledri segera berlari menuju gedung sebelah. Gedung asrama milik Claire. Tuk tu tuk …. Claire membuka pintu dengan malasnya. Wajah kusutnya cukup menjelaskan bahwa kedatangan Seledri benar-benar menganggunya. “Apa yang kamu inginkan?” “Claire, bolehkah aku meminjam perhiasanmu sebentar? Aku akan mengembalikannya dengan segera.” Calire menyipitkan matanya. “Kamu tidak sedang berusaha menipuku, kan?” tanyanya penuh selidik. “Shi Li apa kamu dalam masalah? Kamu butuh uang? Aku bisa meminjamkanmu.” “Tidak, aku hanya membutuhkan perhiasanmu em …” Seledri menghentikan kalimatnya. Ia harus menemukan alasan yang tepat untuk meminjam benda mahal itu. “Aku ingin membuat desain perhiasan. Aku perl
Seledri dan Nina lalu membuat masakan untuk makan malam mereka berempat. Awal desember yang dingin sangat tepat rasanya bila memakan makanan dari kampung halaman. Bukan berarti makanan di Tiongkok tidak enak, hanya saja terkadang ada masanya rasa rindu dengan cita rasa masakan negeri sendiri.Nina lalu memasukan hasil opor ayam ke dalam mangkuk yang besar. Aroma khas bumbu itu membuat saliva Seledri ingin segera meluncur dengan lancangnya.“Tahan keinginanmu, Sel. Sebentar lagi kok kita akan makan bersama,” ledek Nina yang melihat wajah lucu Seledri saat memandang opor ayam itu. “Betewe tadi ikannya kamu beli di mana?”“Oh, di toko kecil yang dekat asrama anak lokal. Di sana lebih lengkap.”“Jauh juga belinya.”“Kan naik sepeda. Tapi anginnya semiriwiiigggg ….”“Iyalah, musim dingin begini. Orang gila siapa yang mau naik sepeda, yang ada masuk angin. Tapi betewe terima
Seledri menutup pintu asramanya dan segera kembali membantu Nina mencuci piring.“Apa ada pernyataan cinta?” tanya Nina dengan jahilnya.“Kak … lama-lama kamu aku usir juga.”“U … aku takut sekali. Ah, setelah ini a ku mau ijin sama penjaga asrama untuk nginap di kamarmu. Aku tidak mungkin balik jam segini.”“Tidak usah minta ijin juga tidak apa-apa kok. Aku sering melihat mahasiswa asing di sini berkeliaran, lagi pula kamu juga mahasiswa universitas ini.”“Ya tetap saja, peraturan adalah peraturan. Aku tidak ingin di masa depan kamu mendapat kesulitan karena aku. Aku turun sebentar ke lantai satu, ya. Ini sisa panci saja kok. Hehehe.”Nina lalu turun menuju lantai satu dan menemui dua penjaga di sana. Ada dua orang di sana, satu adalah Bibi penjaga dan yang satunya seperti penjaga keamanan.Sementara Nina berada di sana, Seledri mencerna kembali kata-kata Alfa.
Seledri dan Ica sudah sampai di depan kamar Ica. Mereka segera masuk.“Aku akan membantumu menyiapkan tempat tidurmu. Kamu bisa mandi terlebih dahulu.”Ica menyetujuinya. Tubuhnya memang sudah lengket setelah perjalanan yang panjang. Ica lalu mengambil pakaian dan perlengkapan mandi dari kopernya lalu masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan tubuhnya, sementara itu Seledri memasang seprei, sarung bantal, dan merapikan menghilangkan sedikit debu yang ada di kamar Ica.“Aku ingin anak itu.” Seledri mendengar sebuah bisikan tepat di telinganya. “Ya, anak yang kau panggil Ica. Aku ingin jiwa anak itu.”Seledri terkejut mendengar bisikan itu. “Apa maksud suara itu? Apa ia menginginkan Ica? Untuk apa?”“Sel …” panggil Ica pelan.“Ah, iya.” Seledri sedikit terkejut saat kedatangan Ica dari kamar mandi.“Kamu kenapa? Apa kamu baik-baik saja?”